Pengantar Pelatihan Menulis Puisi ————————————————————————————– SIAPA bilang menulis puisi itu sulit? Tulisan kreatif yang paling gampang dibuat adalah puisi. Coba simak artikel berikut ini dengan seksama. Ambillah kertas dan pena. Tulislah puisi dengan cara menggambar dengan kata-kata. Dan terus ulang-ulanglah hingga jadi puisi yang indah. Dalam sehari Anda sudah jadi penyair. Memahami Istilah Puisi Istilah puisi, dalam sastra Indonesia, diadopsi dari bahasa Ingris, poetry. Dalam bahasa Ingris, kata poetry ini juga diadopsi dari bahasa Yunani, poet. Dalam bahasa Yunani, kata poet mempunyai arti orang yang mencipta (karya sastra) melalui imajinasinya. Dalam bahasa Indonesia, poet diterjemahkan sebagai penyair, atau orang yang membuat syair atau tepatnya orang yang membuat puisi. Dalam kesusasteraan Indonesia, puisi juga disebut sajak. Kata sajak berarti persamaan bunyi atau rima. Puisi disebut sajak, karena ragam sastra ini pada awalnya sangat memperhatikan persamaan bunyi atau rima pada akhir tiap barisnya, seperti terlihat pada pantun, syair, dan soneta. Banyak definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli teori sastra tentang puisi. Menurut Ensiklopedia Sastra Indonesia[1] puisi adalah karya seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, persajakan, dan kadang-kadang kata-kata kiasan. Penyair Inggris, Edgar Allan Poe, memiliki kalimat yang lebih sederhana untuk mendefinisikan puisi, yakni kata-kata yang disusun secara indah dan berirama. Allan Poe agaknya memandang puisi sekadar sebagai seni bahasa. Yang penting bagi dia bagaimana seni bahasa (puisi) itu terasa indah ketika dibaca, dan untuk ini, menurut Allan Poe, puisi harus memiliki dua unsur penting: keselarasan dan keharmonisan. Sementara itu, penyair Amerika Serikat (AS), Robert Frost, mengatakan puisi bermula dari kesenangan (empati, cinta) dan kegairahan (semangat, totalitas), serta berakhir dengan kebijaksanaan (kearifan). Allan Poe menyiapkan wadah (estetika), sedangkan Robert Frost mengisi ruh dan nilai-nilai (isi, tema)-nya. Jauh sebelum mereka, seorang sastrawan Italia, Quintus Horatius Flaccus, sudah memaklumkan bahwa seni sastra, khususnya puisi harus dulce (indah) dan utile (berguna). Definisi yang lebih pas dan merangkum sifat-sifat puisi, barangkali, adalah yang dikemukakan oleh penyair Inggris, Watts Dunton. Menurutnya, puisi adalah ekspresi yang kongkret dan bersifat artistik dari pikiran manusia secara emosional dan berirama. Lebih sederhana dari itu, namun dapat merangkum seluruhnya, kita dapat mendefinisikan puisi sebagai susunan kata yang indah dan bermakna. Di dalam definisi sederhana ini ada tiga kata kunci, yakni kata, indah, dan bermakna. Kata adalah unsur terkecil dari bahasa yang memiliki pengertian atau makna. Dalam berbagai bahasa, kata dapat terdiri dari satu huruf atau lebih. Karena media utamanya adalah bahasa, yakni kata, maka puisi disebut juga seni bahasa. Kata kunci indah memiliki pengertian bahwa tiap puisi, sebagai seni bahasa, harus mengandung atau dapat memancarkan aspek keindahan. Aspek keindahan puisi dibangun oleh puitika, estetika puisi, atau metode puisi, yang terdiri dari tipografi, rima, ritme, citraan, dan diksi. Sedangkan kata kunci bermakna memiliki pengertian bahwa puisi (yang bagus) harus mengandung makna atau pesan tertentu yang penting disampaikan kepada pembaca, karena makna atau pesan itu dapat bermanfaat sebagai sumber nilai, sumber inspirasi, sumber kearifan hidup, atau setidaknya, informasi penting yang bermanfaat bagi pembaca. Selaras dengan definisi sederhana di atas, merujuk pada prinsip dulce et utile Horatius, dan orientasi penciptaan yang menegaskan bahwa menulis puisi tidak hanya untuk keasyikan bermain keindahan bahasa; maka puisi yang bagus selayaknya memiliki dua syarat sekaligus: aspek estetiknya mampu menggetarkan rasa keindahan pembaca, dan aspek tematiknya dapat menjadi sumber inspirasi yang mencerahkan pembacanya. Beda Puisi dan Prosa Puisi berbeda dengan prosa. Puisi adalah karangan yang terikat oleh aturan bentuk tententu, seperti tipografi (susunan baris dan bait), persajakan (rima), dan irama (ritme), yang secara bersama-sama atau sebagian menjadi metode untuk membentuk keindahan puisi sebagai seni bahasa. Sedangkan prosa adalah karangan bebas, yang memiliki metode yang berbeda, tergantung pada jenis prosanya. Misalnya, prosa yang berupa esei akan memiliki karakter dan tujuan penulisan yang berbeda dengan cerita (cerpen dan novel). Karena itu, puisi yang bahasanya mirip esai disebut “puisi prosais” dan puisi yang mirip cerita disebut “puisi naratif”. Contoh kutipan puisi: ADA TELAGA JERNIH Dl HITAM MATAMU, MAMA Ada telaga jernih di hitam matamu, Mama airnya setiap pagi mengaliri putra-putri dengan tatapan kasih. Saya kira embun pagi yang menetes pada daun-daun dan air hujan yang menyegarkan tanaman bersumber pada air matamu itu. Ada telaga jernih di hitam matamu, Mama saya ingin berenang-renang setiap pagi, menyegarkan tubuh agar cepat menjadi besar. Dan dapat menggantikan engkau bekerja di dapur. Karena setiap hari terlihat engkau lelah sekali. (Puisi karya Sherly Malinton) Contoh kutipan esai: Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling awal dikenal dan dekat dengan anak maka peranannya dalam pendidikan dan proses pembentukan pribadi tampak dominan. Salah satu bagian dari keluarga adalah ibu. Kehidupan seseorang tak akan lepas dari seorang ibu. Menjadi ibu rumah tangga atau ibu untuk anak-anak sering dianggap profesi yang remeh-temeh oleh kebanyakan orang, anggapan ibu rumah tangga yang hanya bergelut dengan dapur, kasur, dan sumur kadang membuat sebagian ibu rumah tangga sering kali minder jika ditanya mengenai pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga. Seorang wanita yang memilih menjadi ibu rumah tangga bukanlah sesuatu yang salah. Baik wanita yang mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi maupun yang tidak, tidak salah apabila dalam kehidupannya wanita memilih menjadi ibu rumah tangga. Peran ibu rumah tangga dalam keluarga tidak hanya terpaku pada peran ibu dalam mendidik anak-anaknya. Seorang ibu juga bisa berkarier, akan tetapi ia tidak lupa akan perannya sebagai ibu dari anak-anaknya. (Bagian awal esai “Peranan Ibu dalam Keluarga”, Riyan Hidaya Tulloh, riyanhidayatulloh.wordpress.com, 17 Desember 2012) Contoh kutipan cerita: “Pematang kita jebol lagi, Bu,” kata ayah sambil melatakkan cangkul di balik pintu, melepas caping lebarnya dan menggantungkannya pada dinding kayu di atas cangkul. Tubuhnya basah kuyup. Caping yang terbuat dari anyaman bambu itu tampaknya hanya dapat melindungi kepala ayah dari terpaan hujan deras bercampur angin. “Lalu bagaimana, Pak?” tanya ibu dengan nada cemas. “Tentu saja banyak benih padi yang kita taburkan kemarin terhanyut. Besok kita harus menabur benih lagi. Padahal benih padi kita tinggal sedikit. Kalau terhanyut lagi, berarti kita harus mencari pinjaman lagi untuk membeli bibit baru.” “Mudah-mudahan tidak, Pak.” “Kopinya sudah dibuat, Bu?” “Belum, airnya belum mendidih.” Ayah segera meraih handuk dan masuk ke kamar mandi. Cepat-cepat ibu mengambil sarung dan kaos oblong, lalu menyampirkannya di atas pintu kamar mandi. Begitulah yang selalu ibu lakukan tiap ayah mandi sepulang dari sawah. Jika ibu sedang pergi pengajian di mushala atau rumah tetangga, maka kaos dan sarung itu akan disiapkannya lebih dulu di kursi bambu dekat pintu kamar mandi. Dengan isyarat itu ayah akan langsung tahu bahwa ibu sedang tidak di rumah. Dan, seperti biasa, sehabis mandi, ayah shalat Ashar, lalu membaringkan tubuhnya di atas dipan di ruang tamu untuk beristirahat. Namun, kali ini seperti tergambar perasaan jengkel di wajahnya. Entah, apakah dia jengkel karena pematang sawah kami sering jebol akibat banjir, atau karena sesore itu ibu belum menghidangkan kopi seperti biasa. Aku kurang mengerti. (Bagian awal cerpen “Harga Seorang Ayah” karya Ahmadun Yosi Herfanda, Majalah Keluarga, edisi Mei 1982). Salah satu pendekatan yang sangat membedakan antara puisi dan prosa, menurut Subagio Sastrowardoyo, adalah bahwa puisi mengintisarikan pengalaman, pikiran dan perasaan penulisnya — ke dalam baris-baris kalimat yang pendek, ringkas, dan ditandai dengan citraan-citraan yang indah dan bermakna. Sedangkan prosa, baik yang berupa esai maupun artikel ilmiah populer, adalah sebaliknya, menguraikan pengalaman, pemikiran/gagasan, dan keinginan atau cita-cita penulisnya — ke dalam alinea-alinea panjang yang membentuk karangan. Sedangkan di dalam cerita, baik cerpen maupun novel, semua itu disajikan dalam pengisahan yang mengenal plot, karakter, dan latar. Perkembangan Puitika Pada awalnya, pada masa puisi lama sampai masa Pujangga Baru, puisi atau sajak dikenal sebagai ragam sastra yang sangat terikat aturan bentuk, yakni terdiri dari bari-baris yang membentuk bait-bait, dan jumlah baris tiap bait bersifat tetap dengan pedoman persamaan bunyi (rima) tertentu yang bersifat ketat. Untuk gurindam, misalnya, tiap bait terdiri dari dua baris dengan persajakan aa atau ab. Untuk syair tiap bait empat baris dengan rima aaaa. Sedangkan untuk pantum tiap bait empat baris dengan rima aaaa, abab, abba, atau aabb. Pada perkembangan berikutnya, puisi (Indonesia modern) tidak lagi terikat oleh aturan atau konvensi di atas. Perkembangan baru yang dipengaruhi oleh sastra Barat (Eropa), terutama estetika soneta dari tradisi sastra Italia, dimulai sejak masa Angkatan Pujangga Baru, misalnya pada sajak-sajak J.E. Tatengkeng dan Amir Hamzah. Jika diteliti, J.E. Tatengkeng dan Amir Hamzah bahkan dapat dianggap sebagai perintis puisi bebas yang diteruskan oleh Chairil Anwar. Sebab, kedua penyair Pujangga Baru tersebut tidak hanya menulis puisi yang berpola soneta, tapi juga sajak-sajak dengan pola-pola yang lebih bebas. Pada masa Angkatan 45, bentuk puisi makin bebas lagi, seperti tampak pada karya-karya Chairil Anwar, dan terus berlanjut hingga sekarang. Puisi ditulis dengan bebas dan beragam, namun tetap indah, karena merupakan seni bahasa. Namun, untuk membedakannya dengan prosa, ciri-ciri utama keindahan puisi, yakni adanya tipografi, rima, ritme, citraan, dan diksi, masih banyak dipertahankan. Dari aspek tipografinya, misalnya, puisi hampir selalu terdiri dari baris-baris pendek yang membentuk bait-bait. Sampai sekarang pun banyak penyair yang masih menata dengan rapi tipografi atau bentuk luar puisi (yang terdiri dari baris-baris yang membentuk bait-bait) itu, meskipun sering dengan teknik pembaitan yang berbeda. Misalnya, tidak lagi dengan memberi spasi tiap ganti bait, tapi dengan kata pertama yang diketik menjorok ke pinggir atau masuk ke tengah. Sedangkan masalah persajakan atau rima tidak diikuti secara ketat lagi, tapi disusun secara luwes sesuai kebutuhan, seperti tampak pada sajak Sapardi Djoko Damono berikut ini. DALAM DOAKU dalam doaku subuh ini kau menjelma langit, yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima sara- suara ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara, yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat pelahan dari nun di sana, yang bersijingkat di jalan kecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya pada rambut, dahi dan bulu-bulu mataku… aku mencintaimu. itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu. Agar dalam semangat kebebasan berekspresi itu puisi tetap terasa indah, para penyair umumnya sekarang lebih mengandalkan pencitraan, atau penggambaran secara indah, dan tetap mempertahankan irama atau ritme. Di dalam khasanah sastra Barat, puisi pun tetap mempertahankan dua unsur pembentuk keindahan puisi itu. Hal itu sesuai dengan kata-kata penyair Inggris, Edgar Allan Poe, bahwa puisi adalah kata-kata yang disusun secara indah, berirama dan bermakna. Coba perhatikan cuplikan bait-bait puisi yang ditulis dalam semangat kebebasan berikut ini: Ini kali tiada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada melaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. (Bait 1-2 sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar) Ada burung dua, jantan dan betina hinggap di dahan Ada daun dua, tidak jantan tidak betina gugur di dahan Ada angin dan kapuk, dua dua sudah tua pergi ke selatan Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu mengendap dalam nyanyiku (Sajak “Stanza” karya WS Rendra) kalau aku merantau lalu datang musim kemarau sumur-sumur kering, dedaunan pun gugur bersama reranting hanya mataair airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir bila aku merantau sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar (Bait 1-2 sajak “Ibu” karya D Zawawi Imron) Pada kutipan-kutipan sajak di atas terlihat bagaimana para penyair tetap berusaha menulis puisi sebagai ‘seni bahasa’ yang indah dan puitis. Antara lain, dengan memperhatikan ritme (irama, musikalitas) dan rima (persajakan), meskipun tidak seketat aturan puisi lama (pantun dan syair). Irama dibangun dengan pengulangan bunyi yang sama di tengah baris-baris sajak, atau pengaturan jumlah kelompok kata (frase) pada tiap baris sajak. Sedangkan rima dibangun dengan sebisa mungkin menyamakan atau mengulang bunyi yang sama pada akhir baris, meskipun tidak sama persis. Metode Penulisan PuisiDalam membicarakan proses penciptaan puisi, orang sering menyebut metode penulisan puisi, yakni ‘kiat’ yang didasarkan pada prinsip-prinsip estetika puisi (konvensi puisi) yang diharapkan dapat menuntun seseorang untuk bisa menulis puisi dengan baik dan dengan hasil yang memuaskan. Apa yang disebut metode puisi pada dasarnya adalah unsur-unsur estetik pembangun keindahan puisi sebagai seni bahasa. Metode penulisan puisi, tentu, penting, tapi bukan segalanya. Metode hanya sebatas dapat membantu proses stilisasi dan mempercanggih peralatan puitik (poetical device) seseorang. Sebab, yang terpenting adalah ghirah (elan vital) untuk menulis puisi itu sendiri. Namun, memang tidak ada jeleknya, seorang penyair memahami metode penulisan puisi agar pena estetiknya menjadi tajam. Secara sederhana, metode penulisan puisi meliputi penataan tipografi (struktur fisik luar puisi secara keseluruhan), rima atau persajakan (persamaan bunyi pada akhir baris sajak). ritme atau irama, pencitraan (pengimajian, penggambaran atau pengalihan ide ke dalam simbol-simbol atau citraan-citraan alam, benda-benda, warna dan suara), dan diksi (pemilihan kata yang tepat, baik makna maupun bunyinya) Tipografi penting, terutama bagi pemula, agar secara fisik tampak bahwa karyanya berbentuk puisi, bukan prosa. Pencitraan penting agar kalimat-kalimat dalam puisi tidak sekadar berupa pernyataan-pernyataan verbal, tapi seperti diistilahkan Sapardi Djoko Damono, terbungkus ke dalam ‘kaca kristal’ citraan-citraan atau imaji-imaji yang indah. Diksi penting untuk memilih makna kata yang tepat dan menyusun irama serta bunyi yang enak. Ritme dan persajakan penting, untuk menambah keindahan puisi, sebagai seni bahasa. Metode paling elementer ini adalah menata struktur fisik luar puisi atau tipografi, meliputi pembarisan (pengaturan panjang-pendek baris-baris puisi), pembaitan (pegaturan bait-bait puisi, jumlah baris dalam bait-bait puisi), dan tata letak baris-baris serta bait-bait puisi (rata kiri, rata kanan, senter, membentuk gambar tertentu, atau zig-zag). Pada puisi Melayu lama, yakni pantun dan syair, pembarisan dan pembaitan diatur dengan sangat ketat, sesuai dengan aturan persajakannya yang juga sangat ketat. Misalnya, tiap baris terdiri dari 4-6 kata, dan tiap bait terdiri dari empat baris, dengan persajakan aaaa, abab, abba, atau aabb. Pada sastra Barat klasik, jumlah baris tiap bait lebih bervariasi, sejak dua baris per bait, sampai delapan baris per bait, dan masing-masing ada sebutannya. Dan, inilah yang mempengaruhi puisi Indonesia modern sejak masa Pujangga Baru, hingga puisi Indonesia kontemporer yang lebih bebas. Untuk tata letak baris-baris dan bait-bait puisi, pada puisi klasik, modern maupun kontemporer, baik puisi imajis, simbolik, balada, maupun kritik sosial, umumnya diketik rata kiri. Jarang yang rata kanan atau senter. Perubahan tipogtafi pada puisi-puisi jenis tersebut umumnya tidak mempengaruhi maknyanya. Hanya jenis puisi tipografis yang tata letaknya selalu khas dan unik, karena puisi jenis ini maknanya juga bergantung pada tipografinya sehingga kalau tipografinya diubah maknanya akan berubah. Ada puisi tipografis yang susunan baris-barisnya membentuk gambar benda tertentu, sehingga disebut puisi kongkret. Salah satu contoh adalah puisi “Warm” karya EE Cumming (AS) yang berupa sususan kata-kata aple yang membentuk buah apel, dengan hanya satu kata worn (ulat) di dalamnya. Ada juga yang disusun zig-zag, seperti puisi “Winka–Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri. Baik puisi “Warm” maupun “Winka–Sihka”, jika diubah tipografinya, akan rusak pula maknanya. Persajakan atau rima (rhyme) adalah persamaan atau pengulangan bunyi pada awal baris, tengah baris, atau akhir baris. Persamaan bunyi ini sangat penting agar puisi yang kita tulis jadi terasa indah jika dibaca. Sajak-sajak klasik, konvensional, dan modern, masih sangat memperhatikan rima. Simak, misalnya pantun, syair Melayu lama, dan sajak-sajak era Pujangga Baru, seperti karya-karya Mohammad Yamin. Ada beberapa jenis rima, yakni rima akhir (persamaan bunyi pada akhir baris), rima awal (pengulangan bunyi pada awal baris), dan rima dalam atau tengah (pengulangan bunyi pada deretan kata-kata dalam satu baris sajak). Untuk keindahan sajak, penyair dapat menggunakan salah satu, dua, atau kombinasi ketiganya. Pada sajak-sajak konvensional, rima (terutama rima akhir) ditata dengan pola-pola persajakan yang ketat, seperti aaaa, abab, abba, atau aabb. Tapi, pada sajak-sajak modern, pola-pola yang ketat itu mulai ditinggalkan. Dan pada sajak-sajak kontemporer, pola-pola rima konvensional itu lebih banyak ditinggalkan, dan persajakan atau persamaan bunyi muncul secara bebas. Kebebasan (pemberontakan estetik) seperti ini muncul secara kuat sejak masa J.E. Tatengkeng dan diteruskan (dipertajam) oleh Chairil Anwar. Namun, jika kita amati, masih banyak juga sajak Chairil yang tetap mempertahankan rima sebagai unsur pembentuk keindahan sajak-sajaknya. Pengertian ritme pada mulanya adalah gerak dalam bahasa tutur alami, atau irama tinggi-rendah, panjang pendek, dan jeda-jeda dalam bahasa tutur. Sedangkan dalam konteks puisi, ritme (rythm) adalah irama merdu yang muncul saat sajak dibacakan, baik berupa tekanan tinggi-rendah, panjang-pendek, pengulangan kata, maupun keteraturan jeda-jeda. Beda dengan rima (persajakan) yang dibangun dengan pengulangan bunyi, ritme dapat dibangun dengan pengulangan kata pada baris yang berbeda (paralelisme), dan pengaturan jumlah kata dalam frase atau jumlah frase dalam tiap baris sajak. Selain itu, ritme juga dapat dibangun melalui rima, karena salah satu fungsi rima adalah memunculkan ritme dalam sajak. Pada sajak-sajak kontemporer yang baris-baris dan bait-baitnya sudah relatif tidak beraturan, rima (terutama rima awal dan akhir) sudah tidak begitu diperhatikan lagi. Tetapi, banyak puisi kontemporer yang masih sangat memperhatikan ritme. Ritme tetap dipilih menjadi basis keindahan puisi, karena tanpa ritme puisi akan kehilangan musikalitasnya sebagai seni bahasa. Sajak-sajak Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono menjadi contoh yang pas untuk ini. Bagi banyak penyair ternama, ritme tetap penting. Selain dibangun dalam baris-baris pendek, ritme juga dapat dibangun dengan pengulangan kata atau paralelisme di tengah baris-baris sajak yang panjang. Pada sajak “Dalam Doaku”, penyair Sapardi Djoko Damono dengan sangat berhasil melakukannya melalui pengulangan kata ‘yang’. Dengan sangat indah Sapardi berhasil menuliskan doa dan kerinduannya untuk seseorang, dengan penuh rasa cinta, dalam baris-baris sajak yang penuh citraan alam yang sangat lembut dan indah. Coba kita perhatikan metode puisi yang dipakai Sapardi, dan bagaimana dia membungkus isinya dengan kaca kristal (citraan-citraan alam) yang mempesona, pada kutipan bait tiga, empat, dan enam, sajak tersebut berkiut ini: dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat pelahan dari nun di sana, yang bersijingkat di jalan kecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya pada rambut, dahi dan bulu-bulu mataku… aku mencintaimu. itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu. Tapi, banyak juga puisi kontemporer yang tidak begitu memperhatikan ritme, dan menganti keindahannya dengan permainan imaji (Nirwan Dewanto dan Afrizal Malna), atau mosaik benda-benda (Afrizal Malna). Coba kita simak sajak-sajak mereka berikut ini: Maaf, berapa berat badanmu? Sebentar saja, kepalaku satu kubik pasir. Tanganku 60 sm. Permisi, berapa jam berat badanmu? Bibirku tebal. Tentu, kakiku coklat, seperti bangunan pemerintah. Berat badanmu bagaimana, please. Namaku Ahmad, tolol! No, kepalaku satu kubik pasir. Ada saluran got. Irisan daging di wastafel. Tunggu. Kenapa tanganmu keras? Seperti kekuasaan…. (Sajak “Pelajaran Bahasa Inggris tentang Berat Badan” karya Afrizal Malna). Seorang bocah menebar bunga-bunga ke ranjangku Dan mencuri seekor kupu-kupu dari nyanyianku Menjelang dini hari mungkin aku mati Tubuhku menjelma laut, laguku jadi matahari (Sajak “Improvisasi” karya Nirwan Dewanto). Ada juga penyair yang menggantikan ritme dan persajakan dengan permainan logika yang humoristik (puisi humor), kisahan yang tragik (sajak balada), citraan atau pernyataan yang satir atau kritik politik yang tajam (sajak kritik sosial), namun secara visual tetap tampak sebagai puisi, karena terdiri dari baris-baris pendek dan terbagi dalam bait-bait. Puisi humor banyak ditulis oleh Jose Rizal Manua, Remy Silado, Taufiq Ismail, dan Yudistira ANM Massardi. Misalnya, sajak “Sikat Gigi” karya Yudhistira ANM Massardi sbb. Seseorang lupa mengosok giginya sebelum tidur Di dalam tidur ia bermimpi Ada sikap gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka Ketika ia bangun pagi hari Silat giginya tinggal sepotong Sepotong yang hilang itu agaknya Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali Dalam banyak buku teori penulisan puisi, pencitraan atau pengimajian sering diuraikan secara sangat rumit. Namun, pencitraan dapat dijelaskan secara sederhana sebagai penggambaran atau pengalihan ide (yang bersifat abstrak) ke dalam citraan-citraan yang konkret, baik citraan alam, benda-benda, warna, maupun suara. Karena itu, pencitraan sering juga disebut sebagai konkretisasi ide. Ada tiga macam pencitraan, yakni citraan visual, citraan auditif, dan citraan tastial. Pencitraan, dalam bahasa Sapardi, berfungsi sebagai ‘kaca kristal’ untuk membungkus makna agar tersampai secara indah dan mengesankan. Jika makna atau isi puisi dapat diibaratkan sebagai buah apel, maka apel itu berada di dalam kaca kristal. Orang yang melihat tahu bahwa itu apel, tapi tampak lebih indah, misalnya tampak jadi banyak, berbias, berubah-ubah bentuk, atau jadi berkilauan, sehingga membuat yang melihatnya jadi penasaran. Ada beberapa fungsi pencitraan. Pertama, menggambarkan gerak dan laku serta karakter (citraan visual), terutama pada sajak-sajak yang berkisah seperti ode dan balada. Sebagai contoh adalah sajak-sajak baladanya Rendra. Kedua, menggambarkan suasana tertentu, seperti suasana sepi, sendiri, riuh, gelisah, dsb. Pada sajak “Malam Leberan”, misalnya, Sitor Situmorang berhasil menggambarkan suasana sepi dengan imaji bulan di atas kuburan. Pada sajak “Senja di Pelabuhan Kecil”, Chairil Anwar berhasil menggambarkan suasana sepi dan sendiri dengan hanya menyebut benda-benda yang ada di pelabuhan, yang diam dan mati. Yang tampak bergerak hanya seekor burung elang yang melintas sendiri di langit sepi. Ketiga, memperjelas sesuatu agar sampai kepada pembaca atau agar pembaca ikut merasakannya (citraan auditif dan tastial). Dan, keempat, menggambarkan atau menyimbolkan ide yang abstrak menjadi konkret, seperti daun jatuh untuk menggambarkan kefanaan, api dan panas untuk menggambarkan kesatuan zat dan sifat (citraan visual dan tastial). Abdul Hadi WM memanfaatkan metode ini dengan sangat berhasil pada sajak “Tuhan Kita Begitu Dekat”, sbb. Tuhan, kita begitu dekat Bagai api dan panas Aku panas dalam apimu Tuhan, kita begitu dekat Bagai kain dan kapas Aku kapas dalam kainmu Tuhan, kita begitu dekat Bagai angin dan arah Aku arah pada anginmu Pemilihan kata yang tepat, baik makna maupun bunyinya, atau diksi, mutlak harus dilakukan oleh seseorang dalam menulis puisi. Fungsi diksi secara estetik adalah untuk membangun ritme dan persajakan, serta untuk mengutuhkan pencitraan. Fungsi lainnya adalah untuk membangun makna yang paling tepat, sesuai dengan tema dan jenis puisi. Jadi, pertimbangan dalam memilih kata (diksi) puisi adalah, ketepatan maknanya, keenakan bunyinya, ketepatan citraannya, dan ketepatan simboliknya. Untuk puisi-puisi kritik sosial, penyair bisa memilih kata-kata dalam makna leksikal atau denotatif, seperti yang dilakukan Rendra dalam Potret Pembangunan dalam Puisi. Tetapi, untuk sajak-sajak imajis dan simbolik, disarankan dipilih kata-kata yang asosiatif dan simbolik, seperti banyak dilakukan Abdul Hadi WM. Dengan diksi yang demikian, makna puisi akan menjadi berlapis. Orang akan menangkap makna dan gambaran harfiahnya dulu, baru kemudian makna simbolik atau yang terkandung di dalamnya. Tetapi, dalam prakteknya, bisa bercampuraduk antara pilihan kata dalam makna leksikal dan dalam makna simbolik. Kadang-kadang, yang simbolik hanya kata kuncinya saja, dan ini sudah mengesankan seluruh sajak menjadi simbolik, misalnya pada sajak “Sembahyang Rumputan”, yang diksinya juga untuk ketepatan makna, ritme dan persajakan, sbb. SEMBAHYANG RUMPUTAN Walau kau bungkam suara azan Walau kau gusur rumah-rumah tuhan Aku rumputan Takkan berhenti sembahyang : inna shalaati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaati lillahi rabbil ‘alamin topan menyapu luas padang tubuhku bergoyang-goyang tapi tetap teguh dalam sembahyang akarku yang mengurat di bumi tak berhenti mengucap shalawat nabi : allahumma shalli ‘ala muhammad ya rabbi shalli ‘alaihi wa sallim sembahyangku sembahyang rumputan sembahyang penyerahan jiwa dan badan yang rindu berbaring di pangkuan tuhan sembahyangku sembahyang rumputan sembahyang penyerahan habis-habisan Walau kau tebang aku Akan tumbuh sebagai rumput baru Walau kau bakar daun-daunku Akan bersemi melebihi dulu Aku rumputan Kekasih tuhan Di kota-kota disingkirkan Alam memeliharaku Subur di hutan-hutan Aku rumputan Tak pernah lupa sembahyang : sesungguhnya shalatku dan ibadahku hidupku dan matiku hanyalah bagi Allah, tuhan sekalian alam Pada kambing dan kerbau daun-daun hijau kupersembahkan pada tanah akar kupertahankan agar tak kehilangan asal keberadaan di bumi terendah aku berada tapi zikirku menggema menggetarkan jagat raya : la ilaaha illallah muhammadar rasulullah Aku rumputan kekasih tuhan seluruh gerakku adalah sembahyang Yogyakarta, 1992 Pada sajak di atas, kata kunci pertama yang dipilih adalah ‘rumputan’ – bukan ilalang atau rumput. Pemilihan kata (diksi) itu dengan pertimbangan bunyi: lebih terasa puitis, dan pas rimanya dengan kata-kata ‘adzan’ dan ‘rumah tuhan’ pada baris berikutnya. Kata ‘rumputan’ juga mewakili seluruh jenis rumput. Sedangkan secara simbolik, rumputan menyiratkan kesederajadan, sikap jamaah, kerakyatan, kerendahatian; tapi juga sekaligus semangat pantang menyerah, dan iman yang tak pernah padam. Dengan dipilihnya kata kunci ‘rumputan’, maka kata-kata berikutnya tinggal disesuaikan atau dipilih yang dari aspek rima (persajakan) mendekati kata ‘rumputan’, agar dapat tercipta persajakan dan irama (ritme) yang harmonis. Misalnya, kata ‘sembahyang’ (bukan shalat), dan kata ‘rumah tuhan’ (bukan masjid), dan begitu seterusnya, sampai ide dan renungan tentang makna shalat sebagai laku (syariat) ketundukan dan penyerahan diri pada Tuhan sekaligus simbol keteguhan iman itu tuntas dipuisikan melalui metafor (perumpamaan) ‘rumputan’. Majas, Gaya Bahasa, Metafora Di dalam menulis puisi, penyair banyak juga memanfaatkan berbagai majas atau gaya bahasa. Majas yang paling banyak dipakai adalah personifikasi, paralelisme, dan metafora. Majas personifikasi berfungsi untuk menghidupkan benda mati, benda alam, dan benda yang abstrak, yakni digambarkan dapat melakukan perbuatan seperti manusia, sehingga terkesan hidup dalam imajinasi pembaca. Misalnya, angin menampar angan-anganku jadi menyerpih bagai buih, rinduku bangkit jadi kupu-kupu yang terbang mencarimu. Berikut ini contoh beberapa puisi yang memanfaatkan majas personifikasi. DALAM DOAKU Karya Sapardi Djoko Damono dalam doaku subuh ini kau menjelma langit, yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima sara- suara ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara, yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat pelahan dari nun di sana, yang bersijingkat di jalan kecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya pada rambut, dahi dan bulu-bulu mataku… aku mencintaimu. itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu. Jakarta, 1990 MEDITASI BUNGA TERATAI Karya Ahmadun Yosi Herfanda rintik hujan itulah yang senantiasa menyampaikan kasihmu padaku, dan ika-ikan selalu mendoakan keselamatanku jika kau tanya makna goyangku ialah zikir tersempurna di antara para kekasih jiwa angin mengusap bening air telaga mengazaniku sujud ke pangkuan sang Maha Cinta burung-burung itulah yang selalu menyampaikan salamku padamu, ketika angin senja mengusap suntuk zikirku jika kau tanya agamaku agamaku agama keselamatan jika kau tanya makna imanku imanku iman kepasrahan hidupku mengakar di jantung tuhan sukma menyala menyibak kegelapan pandanglah putik bungaku nur muhammad mekar sepenuh jiwa pandanglah daun-daunku jari-jari tahiyat terucap tiap akhir persembahan zikirku zikir kemanunggalan diri lebur ke dalam tuhan Jakarta, 1995 Majas lain yang kerap digunakan penyair adalah paralelisme, yakni pengulangan kata atau kelompok kata tertentu pada posisi yang sama dalam beberapa baris sajak. Beberapa kutipan sajak yang memanfaatkan majas paralelisme: sembahyangku sembahyang rumputan sembahyang penyerahan jiwa dan badan yang rindu berbaring di pangkuan tuhan sembahyangku sembahyang rumputan sembahyang penyerahan habis-habisan walau kau tebang aku akan tumbuh sebagai rumput baru walau kau bakar daun-daunku akan bersemi melebihi dulu (Bait 3 dan 4 sajak “Sembahyang Rumputan” karya Ahmadun Yosi Herfanda) Ada burung dua, jantan dan betina hinggap di dahan Ada daun dua, tidak jantan tidak betina gugur di dahan Ada angin dan kapuk, dua dua sudah tua pergi ke selatan Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu mengendap dalam nyanyiku (Sajak “Stanza” karya WS Rendra) Selain majas-majas di atas, puisi juga sering menggunakan metafora. Metafora adalah majas perbandingan atau kias. Majas ini mengungkapkan suatu pengertian atau maksud tertentu secara tidak langsung dengan cara membandingkan atau mengiaskan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Misalnya, pemuda adalah tulang punggung negara; engkau belahan jantung hatiku; raja siang keluar dari ufuk timur; Jonathan adalah bintang kelas dunia. Melukis dengan Kata-kata Karena kekuatan utama puisi — terutama puisi imajis, puisi simbolik, dan puisi suasana – adalah citraan atau gambaran (imaji) tentang sesuatu, maka menulis puisi pada dasarnya, menurut Sapardi Djoko Damono, adalah melukis atau menggambar dengan kata-kata. Di sinilah proses konkretisasi ide yang abstrak – agar tergambar secara jelas – menjadi makin penting. Apa yang dilakukan oleh Abdul Hadi WM dalam sajak “Tuhan, Kita Begitu Dekat” adalah menghadirkan gambar yang bermakna simbolik agar ide tentang kemanunggalan manusia dengan Tuhan dapat hadir secara konkret di dalam imajinasi pembaca. Begitu juga yang dilakukan oleh Sapardi dalam sajak “Dalam Doaku” dan Chairil Anwar dalam “Senja di Pelabuhan Kecil”. Di dalam sajak balada, dan puisi berkisah pada umumnya, penggambaran ide dilakukan dengan menghadirkan potongan-potongan adegan yang tersusun menjadi sajak. Kisah tokoh (karakter) sajak tidak digambarkan secara detil seperti prosa fiksi (cerpen dan novel), tapi hanya potongan-potongan adegan terpenting yang secara keseluruhan dapat menggambarkan ide ataupun tema yang ditulis menjadi sajak. Contoh yang paling pas untuk ini adalah sajak-sajak balada karya Rendra, seperti sajak “Gerilya” berikut ini. Tubuh biru tatapan mata biru lelaki berguling di jalan |