Diantara pokok pokok ajaran al qur an yang mengatur tata cara kehidupan bermasyarakat biasa disebut

PENDAHULUAN Beberapa komunitas dalam peradaban, terutama umat Islam, Alquran dianggap sebagai kitab suci yang lengkap dan sempurna. Alquran adalah sebuah “Teks” (dengan T besar) yang mengatasi dan melampaui “teks-teks” lain dalam sejarah. Mengapa? Sebab Alquran merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah (melalui malaikat-Nya) kepada umat manusia. Ruh keilahian Alquranlah yang membuatnya tahan dari pelbagai kritik dan gempuran. Sebagai sebuah teks,[1] Alquran tidak pernah kering, apalagi habis. Teks Alquran bisa ditafsirkan secara kaya, tergantung konteks sosial-budaya dan “hermeneutik dalam” (struktur nilai dan kesadaran) pembacanya. Dengan demikian, persentuhan antara penafsir dengan Alquran merupakan pergulatan yang dinamis, bahkan sering tak terduga. Ibarat sebuah puisi dan tanda, Alquran tidak pernah berhenti dan membeku, tetapi selalu mengajak para penafsirnya untuk mencari dan menjelajah, suatu “peziarahan” hidup yang tak pernah usai. Alquran dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban Arab, bukan bermaksud menyederhanakan jika dikatakan bahwa peradaban Arab-Islam adalah “peradaban teks”. Artinya, bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan yang “teks” sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa yang membangun peradaban hanya teks semata. Teks apa pun tidak dapat membangun peradaban dan tidak pula mampu memancangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.[2] Dalam peradaban Islam, Alquran memiliki peran budaya yang tak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan dalam menentukan sifat dan watak ilmu-ilmu yang berkembang di dalamnya. Kalau boleh disimpulkan bahwa peradaban dalam suatu dimensi saja dapat dikatakan bahwa peradaban Mesir Kuno adalah peradaban “pascakematian”, peradaban Yunani adalah peradaban “akal”, sementara peradaban Arab-Islam adalah peradaban “teks”.[3] Alquran memang tergolong ke dalam sejumlah kecil kitab suci yang memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap jiwa manusia.[4] Kaum Muslimin sendiri, dalam rangka memahami Alquran, telah menghasilkan sangat banyak kitab tafsir yang berupaya menjelaskan makna pesannya. Namun, sejumlah besar mufassir Muslim masih memandang kitab itu mengandung bagian-bagian mutasyabihat yang, menurut mereka, maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.[5] Dalam makalah ini, penulis berusaha untuk mengkaji dan menganalisis kembali tentang Alquran sebagai sumber hukum syariah. Pertanyaannya yang perlu dirumuskan adalah: apa pentingnya dibahas Alquran sebagai sumber hukum syariah dan bagaimana kedudukan Alquran sebagai sumber hukum syariah itu? PEMBAHASAN Alquran dan Syariah 1) Alquran Kitab suci Islam–dalam bahasa Arab dikenal dengan berbagai sebutan dan yang paling populer adalah Alquran, yang artinya ‘bacaan’–disepakati oleh seluruh Muslim, tidak peduli dari golongan mazhab apa pun, sebagai wahyu berupa “Kata-Kata Literal Tuhan” yang diturunkan ke dalam hati, jiwa dan pikiran Nabi Muhammad melalui perantaraan malaikat penjaga wahyu; Jibril. Baik huruf maupun arti dari teks Alquran dipandang sakral, begitu juga segala sesuatu yang berhubungan dengannya, seperti melantunkan ayat-ayatnya atau menulis kalimat-kalimatnya.[6] Umat Islam sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang disebut Alquran dan termuat dalam mushaf, adalah otentik (semuanya adalah betul-betul dari Allah swt.), dan semua wahyu yang diterima Nabi Muhammad saw. dari Allah melalui malaikat Jibril telah termuat dalam Alquran. Keotentikan Alquran ini dapat dibuktikan dari kehati-hatian sahabat Nabi memeliharanya sebelum dibukukan dan dikumpulkan, begitu pula kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara penggandaannya. Sebelum dibukukan, ayat-ayat Alquran berada dalam rekaman teliti para sahabat, baik melalui hapalan yang kuat dan setia atau melalui tulisan di tempat yang terpisah. Ia disampaikan dan disebarluaskan secara periwayatan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Bentuk periwayatan seperti ini dinamai periwayatan secara mutawatir yang menghasilkan suatu kebenaran yang tidak meragukan. Oleh karena itu, Alquran itu bersifat otentik. Alquran dibukukan pada masa Abu Bakar. Pembukuannya dilakukan secara teliti dengan mencocokkan tulisan yang ada dengan hapalan para penghafal, sehingga kuat dugaan bahwa semua wahyu telah direkam dalam mushaf. Kemudian, hasil pembukuan itu disimpan secara aman di tangan Abu Bakar, lalu pindah ke tangan Umar Ibn Khattab dan setelah beliau wafat, pindah ke tangan Hafsah binti Umar (isteri Nabi). Terakhir, diadakan pentashihan pada masa khalifah Usman sehingga menghasilkan suatu naskah otentik yang disebut mushaf Imam. Salinan dari naskah (mushaf) itu dikirimkan ke kota-kota besar lain, sedangkan yang lain dari itu, dibakar. Mushaf Imam yang dijadikan standar itu dijadikan rujukan bagi perbanyakan dan pentashihan berikutnya sehingga berkembang dalam bentuk aslinya sampai sekarang ini.[7] Alquran berisikan beberapa tema atau ajaran pokok. Pertama sekali, Alquran berbicara tentang hakikat realitas, yaitu realitas Tuhan dan hubungannya dengan alam dunia. Kedua, Alquran menjelaskan secara panjang lebar hakikat alam dan dapat disebut sebagai pembahasan area kosmos Islam yang terkait dalam proses pewahyuan Alquran. Selanjutnya, Alquran banyak bercerita tentang sejarah kehidupan para nabi. Akan tetapi, kisah sejarah ini dikemukakan dan diuraikan lebih karena kepentingannya sebagai pelajaran bagi kehidupan iman di dalam jiwa dan bukan sebagai suatu indeks atau kumpulan kejadian sejarah masa lalu. Sejarah kehidupan nabi di dalam Alquran mengandung pelajaran moral dan spiritual untuk kita yang hidup di dunia sekarang ini.[8] Surah-surah dan ayat-ayat Alquranmerupakan jalan dan kompas dalam kehidupan umat Islam. Akar dari segala dalil atau argumentasi Islam, dari mulai filsafat dan teologi hingga hukum dan etika sampai pada sains dan seni dapat ditemukan di dalamnya. Semua pergerakan yang muncul dalam sejarah Islam, apakah itu bersifat keagamaan, intelektual, sosial, ataupun politik, mendapatkan legitimasi dari Alquran. Para ahli hukum berusaha menginterpretasikan ayat-ayat hukum dalam Alquran, sedangkan para ahli tasawuf bekerja mencari makna hakikinya. Para filosof menekuni ungkapan-ungkapan filosofis Alquran, sedangkan ahli teologi sibuk memperdebatkan uraian Alquran tentang hakikat sifat Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dunia. Hingga saat ini, sama dengan saat lahirnya, Alquran tetap merupakan realitas sentral dalam Islam dan jantung kehidupan umat Muslim baik dalam aspek kehidupan individu maupun sosial. b. Syariah[9] Syariah secara umum dipakai dalam dua arti: arti luas dan arti sempit.[10] Dalam arti luas syariah adalah keseluruhan ajaran Islam yang berupa norma-norma ilahiyah yang mengatur tingkah laku batin (sistem kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah laku konkrit pada taraf individual dan kolektif. Dalam arti ini syariah identik dengan din. Atas dasar itu ilmu syariah meliputi seluruh cabang pengetahuan keagamaan Islam seperti kalam, tasauf, tafsir, hadis, fiqih dan usulnya, dan seterusnya. Dalam arti sempit, syariah dimaksudkan bagian dari ajaran Islam yang berupa norma-norma yang mengatur sistem tingkah laku konkret, baik tingkah laku individual maupun tingkah laku kolektif. Atas dasar itu ilmu syariah dibatasi hanya meliputi ilmu fiqih dan ushul fiqih. Arti sempit inilah yang umum dipakai oleh para pengkaji bila mereka menyebut kata syariah. Syariah dalam literatur hukum Islam mempunyai tiga pengertian,[11] pertama, syariah dalam arti sumber hukum yang tidak dapat berubah sepanjang masa. Kedua, syariah dalam pengertian sumber hukum Islam, baik yang tidak berubah sepanjang masa maupun sumber hukum Islam yang dapat berubah. Ketiga, syariah dalam pengertian hukum-hukum yang digali (berdasarkan atas apa yang disebut al-Istinbath) dari Alquran dan syariah; hukum sebagaimana yang diinterpretasikan dan dilaksanakan oleh para Sahabat, ijtihad para mujtahid, dan hukum-hukum yang dihasilkan dengan metode qiyas dan metode-metode hukum lainnya. Tidak diragukan lagi bahwa syariah merupakan ruang ekspresi pengalaman agama yang paling penting bagi kaum Muslimin dan merupakan obyek refleksi utama mengenai Alquran dan teladan ideal Nabi saw. (syariah). Hal ini dapat dilacak akar-akarnya ke dalam sumber-sumber pokok ajaran Islam yang senantiasa menekankan kepatuhan kepada hukum Allah dan tidak melampaui hudud yang telah ditetapkan-Nya. Demikian syariah merepresentasikan sistem nilai keagamaan yang menjadi kerangka rujukan bagi tingkah laku dan perbuatan setiap orang Muslim.[12] Alquran Sebagai Sumber Hukum Syariah[13] Sumber paling utama bagi syariah adalah Alquran, yang oleh beberapa sarjana diklaim sebagai satu-satunya sumber dasar, dan semua sumber lainnya hanya untuk menjelaskan dan merinci aturan-aturan pokok dan prinsip-prinsip yang ada di dalam Kitab Suci. Terdapat sekitar 350 ayat hukum, atau yang dalam hukum Barat disebut juris corpus, dalam Alquran. Sebagian ayat tersebut berkenaan dengan masalah hukum secara spesifik dan sanksi-sanksi terhadap perbuatan yang diharamkan dan dilarang. Sebagian besar berkenaan dengan aturan-aturan umum dalam beribadah dan beberapa ayat merupakan perincian aturan-aturan umum dimaksud. Beberapa ayat yang lain menyinggung masalah perdagangan dan ekonomi. Selebihnya, banyak ayat yang membicarakan keadilan, persamaan, bukti dalam hukum, hak-hak dalam hukum, dan lain-lain. Jumlah ayat ini hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah keseluruhan ayat Alquran, tetapi ayat-ayat ini sangat esensial sebagai dasar hukum Islam.[14] Para ulama dan semua umat sepakat menjadikan Alquran sebagai sumber pertama dan utama bagi syariah Islam, termasuk dalam hukum Islam. Atas dasar ini seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum harus terlebih dahulu mencari rujukan di dalam Alquran.[15] Apabila tidak ditemukan di dalam Alquran, barulah ia dibenarkan menggunakan dalil-dalil lain. Penerimaan ulama dan semua umat Islam menjadikan Alquran sebagai sumber hukum pertama dilatarbelakangi sejumlah alasan, di antaranya: Keberadaan Alquran yang diakui secara mutawatir berasal dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantaraan malaikat Jibril. Hal ini menimbulkan keyakinan kuat kepada umat akan kebenaran Alquran sebagai petunjuk yang diturunkan Allah kepada manusia sehingga pantas dijadikan sebagai sumber hukum syariah.Informasi dari Alquran sendiri yang menjelaskan ia berasal dari Allah, di antaranya Q.S., al-Nisa’/4: 105: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang karena (membela) orang-orang yang khianat.Kemukjizatan Alquran sebagai bukti bahwa ia bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari Allah. Mukjizat berarti sesuatu yang dapat melemahkan, sehingga manusia tidak dapat membuat yang sama atau melebihi. Alquran adalah mukjizat Nabi Muhammad saw. sebagai bukti kerasulannya yang diutus untuk menyampaikan risalah kepada umat manusia. Bukti kemukjizatan Alquran dapat dilihat dari ketidakmampuan bangsa Arab dan manusia secara keseluruhan membuat tandingan semisal Alquran meskipun satu ayat saja. Tantangan ini tidak dapat dijawab manusia termasuk bangsa Arab yang terkenal memiliki sastra yang tinggi, meskipun mereka mempunyai kesempatan menjawab tantangan itu. Bentuk kemukjizatan Alquran ini dapat diamati dari keindahan bahasanya yang tidak mungkin dapat ditandingi ahli bahasa mana pun. Di samping itu terbukti dengan kebenaran Alquran dalam pemberitaan tentang kejadian masa lalu yang sesuai dengan pemberitaan dalam kitab suci sebelumnya, misalnya kisah Alquran tentang Ashabul Kahfi yang diakui kebenarannya oleh ahli sejarah dan ulama ahli kitab, padahal Nabi sendiri tidak pernah belajar dan bergaul dengan mereka.[16] Realitas ini, didukung lagi dengan kebenaran Alquran dalam pemberitaan tentang hal-hal yang ghaib, seperti dalam surat Yunus ayat 92, yang menjelaskan bahwa badan Fir’aun yang ditenggelamkan Allah di laut merah diselamatkan Allah sebagai bukti dan pelajaran bagi generasi sesudahnya. Ini dibuktikan ahli purbakala Loret yang pada tahun 1896 menemukan sebuah mumi Firaun bernama Maniptah yang mengejar Musa dan ditenggelamkan Allah di laut merah.[17] Selain itu, mukjizat Alquran dapat dilihat dari keseimbangan antara jumlah bilangan katanya. Di antara keseimbangan itu tergambar pada keseimbangan antara antonimnya, seperti kata alhayah (hidup) dan almaut (mati) yang terulang sebanyak 145 kali dan juga kesimbangan antara sinonimnya, seperti kata alharts dan alziraah (membajak/bertani), terulang sebanyak 14 kali.[18] Sebagai sumber utama ajaran Islam, Alquran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Alquran dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlak, dan syariah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syariah), dalam sistematika hukum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habl min al-nas).[19] a. Hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran Hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran secara garis besar dapat dikelompokkan kepada tiga macam, yaitu:[20] Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keyakinan atau akidah, seperti keimanan kepada Allah, masalah kenabian, kitab suci, malaikat, hari kemudian dan takdir serta hal-hal yang berhubungan dengan doktrin akidah. Hukum-hukum ini menjadi lapangan kajian ilmu tauhid atau ushuluddin. Hukum-hukum yang mengatur hubungan antara sesame manusia, mengenai berbagai sifat utama yang harus menjadi perhiasan diri seseorang dan menjauhkan diri dari berbagai sifat yang membawa kepada kehinaan. Hukum-hukum yang terkait dengan hal-hal ini merupakan ruang lingkup kajian ilmu akhlak.Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan hukum tentang tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan Allah dan dalam hubungannya dengan sesama manusia. Hukum-hukum ini dikaji dan dikembangkan dalam disiplin ilmu syariah. Dari hukum-hukum amaliyah ini berkembanglah ilmu fiqih. Hukum-hukum amaliyah yang terdapat dalam Alquran dapat dibagi kepada dua macam, yaitu hukum-hukum ibadat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hukum-hukum muamalat yang mengatur hubungan dengan sesamanya. Abdul Wahab Khallaf memerinci hukum-hukum muamalat ke dalam 7 macam, antara lain:[21] Hukum keluarga (Ahkam al-Ahwal al-Syakhshiah), yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan keluarga mulai saat berlangsung pernikahan sampai dengan aturan-aturan tentang hubungan suami isteri yang meliputi talak, rujuk, iddah, kewarisan dan sebagainya. Ayat-ayat Alquran yang menjelaskan masalah ini berjumlah sekitar 70 ayat.Hukum muamalat/perdata (al-Ahkam al-Madaniah), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam masalah jual beli, sewa-menyewa, gadai, syirkah (kongsi dagang), utang-piutang dan hukum perjanjian. Hukum-hukum yang termasuk dalam kelompok ini mengatur hubungan perorangan, masyarakat, segala hal yang berkaitan dengan harta kekayaan, memelihara hak dan kewajiban masing-masing. Ayat-ayat Alquran yang menjelaskan masalah ini sekitar 70 ayat. Hukum Pidana (al-ahkam al-jinayat), yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan tindak kejahatan. Adanya hukum ini bertujuan untuk menjaga dan memelihara stabilitas dan keamanan masyarakat dalam kehidupan. Dalam hukum tersebut dibicarakan aturan, seperti larangan membunuh, berzina, mencuri, merampok dan dijelaskan pula sanksi bagi pelaku. Ayat-ayat Alquran yang mengatur masalah ini berjumlah sekitar 30 ayat.Hukum Acara (al-ahkam al-murafaat), yaitu hukum-hukum yang mengatur masalah pengadilan, tatacara di pengadilan, kesaksian dan sumpah. Adanya hukum ini bertujuan agar putusan hakim di pengadilan objektif dan memuaskan pihak-pihak yang mencari keadilan. Untuk itu, di dalam hukum ini terdapat sejumlah aturan yang memberikan peluang kepada hakim untuk menyingkap mana pihak yang benar dan mana yang salah. Ayat-ayat Alquran yang menjelaskan masalah ini berkisar 13 ayat.Hukum Ketatanegaraan (al-Ahkam al-Dusturiah), yaitu hukum-hukum yang mengatur tentang masalah kenegaraan dan pemerintahan. Hukum-hukum ini dimaksudkan untuk menata dan mengatur hubungan penguasa dan rakyat. Selain itu, hukum ini untuk mengatur secara jelas apa yang menjadi hak individu dan apa yang menjadi hak masyarakat. Ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan persoalan ini berjumlah sekitar 10 ayat.Hukum Internasional ((al-Ahkam al-Dauliyah), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan antara negara Islam dengan negara non-Islam dan mengatur tata cara pergaulan dan hubungan antara warga negara Islam dengan non-muslim yang berada di negara Islam. Ayat-ayat Alquran tentang ini berjumlah sekitar 25 ayat. Hukum Ekonomi dan Keuangan (al-Ahkam al-Iqtishadiyah wa al-Maliyah), yaitu hukum-hukum yang mengatur hak-hak fakir miskin yang terdapat pada harta orang kaya. Hukum-hukum ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan keuangan antara orang kaya dan fakir miskin, dan hubungan antara Negara dan perorangan. Ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan ini sekitar 10 ayat. Sementara dari segi rinci dan tidak rincinya hukum yang terdapat dalam Alquran, Abu Zahrah membaginya kepada beberapa macam, sebagai berikut:[22] Ibadah, yaitu ayat-ayat hukum yang berkaitan dengan ibadah, diungkapkan dalam Alquran secara mujmal (global) tanpa merinci tata cara pelaksanaannya (kaifiyatnya). Misalnya, perintah melaksanakan shalat, puasa, sedekah, zakat dan haji. Kewajiban Shalat dijelaskan dalam Alquran, tetapi tidak dijelaskan mengenai rukun, syarat, waktu dan tata cara pelaksanaannya. Untuk menjelaskan ibadah ini secara rinci Allah memberikan kewenangan kepada Nabi Muhammad saw. melalui sunnahnya.Kaffarat (Denda), kaffarat merupakan bagian dari ibadah karena ia semacam denda terhadap perbuatan dosa (kesalahan) yang dilakukan seseorang.[23]Hukum Muamalat. Alquran hanya menjelaskan hukum ini dalam bentuk prinsip-prinsip dasar. Di antara prinsip-prinsip itu, larangan memakan harta orang lain secara batil (salah) dan keharusan perolehan harta dengan suka sama suka (ridha). Di samping itu, larangan berlaku zalim dan memakan harta melalui cara yang mengandung unsur riba. Aturan-aturan yang bersifat umum ini kemudian dirinci Nabi saw. melalui sunnahnya. Sementara terhadap hal-hal yang tidak dirinci sunnah, para mujtahid mempunyai peluang untuk mengembangkan sejalan dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat dengan menggunakan istinbath hukum yang terdapat di dalam ushul fiqih. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan hukum dalam Alquran sebagian besarnya disampaikan dalam bentuk prinsip-prinsip umum dan bersifat global, kecuali dalam beberapa hal, seperti dalam masalah kaffarat dan hukum keluarga serta dan beberapa hal dalam hukum pidana. b. Dalalah Alquran tentang hukum-hukum Semua umat Islam mengakui bahwa Alquran diturunkan secara mutawatir, sehingga dari sisi ini Alquran disebut qath’i al-tsubut. Namun, dari sisi dalalah Alquran tentang hukum tidak semuanya bersifat qath’i, tetapi ada yang bersifat zanni. Cukup banyak ayat-ayat qathi dalam Alquran. Pengertian qathi ini pula yang banyak diuraikan dalam kitab-kitab ushul fiqh, seperti yang dijelaskan Wahbah al-Zuhaily berikut:[24] فالنص القطعى الد لا لة هو اللفظ الوارد فى القران الذى يتعين فهمه ولا يحتمل الا معنى واحدا Artinya: Nash qathi dalalah ialah lafal yang terdapat di dalam Alquran yang dapat dipahami dengan jelas dan mengandung makna tunggal. Definisi qathi ini menggambarkan suatu ayat disebut qathi manakala dari lafal ayat tersebut hanya dapat dipahami makna tungal sehingga tidak mungkin dipahami darinya makna lain selain yang ditunjukkan lafal itu. Dalam hal ini, takwil tidak berlaku. Di antara ayat-ayat Alquran yang termasuk dalam kategori qathi dalalah ialah ayat-ayat tentang ushul Alsyariah yang merupakan ajaran-ajaran pokok agama Islam seperti shalat, zakat, dan haji , perintah menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, menegakkan keadilan dan kewajiban mensucikan diri dari hadas. Di samping itu, termasuk kelompok qathi adalah ayat yang berbicara tentang akidah, akhlak dan sebagian masalah muamalat.[25] Penempatan ayat-ayat ini dalam kategori qathi dalalah dilatarbelakangi ajaran-ajaran yang dikandung ayat tersebut termasuk pokok-pokok agama (esensial) yang bersifat tsawabith (tetap) dan tidak bersifat mutaghaiyyirat (berubah) karena perubahan zaman. Andai kata ayat-ayat ini termasuk kategori zhanni yang menjadi objek ijtihad tentu akan muncul ketidakstabilan dalam agama dan sangat mungkin mengalami perubahan-perubahan. Dalam sejarah hukum Islam, tidak pernah muncul mazhab fikih karena ayat-ayat qathi, tetapi yang ada dalam ayat-ayat zanni. Menurut Syatibi[26] maqasid alsyari dalam menetapkan syariah yang meliputi dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat didasarkan kepada dalil-dalil qathi karena ketiganya merupakan ushul Alsyariah, Syariah ditetapkan dengan dalil qathi, maka ushul alsyariah lebih utama ditetapkan dengan dalil qathi. Syatibi tidak mengemukakan ayat qathi mana yang berhubungan langsung dengan dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat tersebut. Namun, diasumsikan ayat-ayat yang mendukung terwujud ketiganya yang tersimpul dalam pemeliharaan lima hal pokok yaitu agama, diri, akal, keturunan dan harta merupakan ayat-ayat qathi. Misalnya, ushul al-ibadat yang meliputi iman, mengucapkan sahadatain, shalat, puasa, zakat dan haji yang ditunjukkan untuk pemeliharaan agama ditetapkan dengan ayat-ayat qathi. Mengingat ayat-ayat qathi dalalah dari sisi lafaznya tidak mengandung kebolehjadian makna lain dari apa yang dikandung lafal ayat itu, maka jelas peluang ijtihad tidak dimungkinkan pada setiap ayat yang qathi dalalah. Mempertegas ketentuan ini para ulama merumuskan suatu kaidah: لا مساغ للا جتهاد فى مورد النص Artinya: Tidak diperkenankan ijtihad ketika sudah ada ketetapan nash Nash yang dimaksudkan dalam kaidah ini adalah nash yang qathi dalalah. Dengan kata lain ayat-ayat yang qathi dalalah tidak menjadi majal (ruang lingkup) ijtihad bagi para mujtahid. Meskipun dari sisi lafalnya suatu ayat qathi, dari sisi makna mungkin saja zhanni sehingga bisa dikembangkan maknanya, tetapi bukan dimaksudkan menggeser pengertian ayat tersebut. Adapun metode mengembangkannya melalui qias, seperti halnya mengqiyaskan keharaman khamar kepada segala jenis minuman atau narkoba yang sengaja dibuat untuk memabukkan. Sementara ayat-ayat zhanni dalalah merupakan lapangan ijtihad. Ini dipahami dari definisi zhanni dalalah sebagaimana dirumuskan Abd al-Wahhab Khallaf:[27] النص الظنى الدلالة فهومادل على معنى ولكن يحتمل ان يوول ويصرف عن هذا المعنى ويراد منه معنى غيره Artinya: Nash zhanni dalalah ialah suatu lafal yang menunjukkan suatu makna, tetapi makna itu mengandung kebolehjadian sehingga dapat ditakwilkan dan dipalingkan dari makna itu kepada makna yang lain. Dari definisi ini dipahami suatu ayat zhanni mengandung lebih dari satu pengertian sehingga memungkinkan ditakwil, seperti firman Allah surat Albaqarah, 2: 228 والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء... Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Kata quru dalam ayat ini merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh karena itu, apabila quru diartikan dengan suci sebagaimana yang dipahami ulama Syafiiyah logis dan benar karena sesuai dengan makna bahasanya. Impikasinya, wanita-wanita yang ditalak suaminya memiliki masa iddah (menunggu) selama tiga kali suci. Sementara apabila kata quru diartikan sebagai haid sebagaimana yang dipahami ulama Hanafiyah adalah benar dan tepat. Ini berimplikasi dalam menetapkan masa menunggu bagi wanita yang ditalak suaminya, yaitu tiga kali haid. Dari penjelasan ini diketahui ayat-ayat musytarak termasuk ayat-ayat yang zhanni dalalah. Begitu juga dengan lafal am dan mutlak termasuk ayat-ayat zhanni yang dapat ditakwil dan menjadi lapangan ijtihad para ulama. Perbedaan Antara Ayat Makkiyah dan Madaniyyah Ayat-ayat Alquran tidak turun secara sekaligus, tetapi berangsunr-angsur selama 23 tahun masa kerasulan. Ada yang turun ketika Nabi masih di Makkah dan ada yang turun sesudah Nabi hijrah ke Madinah. Perbedaan waktu turun ini menyebabkan adanya klasifikasi ayat, menjadi; ayat makkiyah dan ayat madaniyyah; ke dalam yang terakhir dimasukkan semua ayat yang turun sesudah hijrah ke Madinah walaupun tidak turun di kota Madinah, seperti ayat-ayat yang turun di Makkah ketika futuh Makkah ataupun ketika Haji Wada, tetap digolongkan sebagai ayat madaniyyah. Dari segi lain, ayat-ayat makkiyyah kebanyakan berhubungan dengan masalah keimanan atau aqidah. Hampir tidak ada ayat-ayat yang berhubungan dengan fiqih. Ayat-ayat yang berhubungan dengan fiqih, hampir seluruhnya merupakan ayat madaniyyah. Penggolongan seperti ini menyebabkan sebagian ulama tidak mau menggunakan ayat-ayat makkiyah sebagai dalil untuk sesuatu ketentuan fiqih. Sebab Turunnya Ayat (Asbab al-Nuzul) Ayat-ayat Alquran yang turun secara bertahap tersebut, ada yang turun tanpa sebab. Dengan kata lain, Allah menurunkan ayat tersebut tanpa pendahuluan, atau peristiwa yang memerlukannya. Misalnya, Allah mewahyukan kewajiban shalat, mewahyukan hukuman potong tangan untuk pencurian, menetapkan mahar untuk perkawinan, adalah “murni” sebagai perintah yang tidak didahului oleh sesuatu peristiwa atau pertanyaan sahabat kepada Rasul. Akan tetapi, banyak juga ayat-ayat yang diwahyukan Allah guna menjawab persoalan konkret yang dihadapi Rasul atau umat. Misalnya, dalam peperangan Uhud (tahun ke-3 H), seorang sahabat (Sad Ibn al-Rabi’) syahid meninggalkan seorang isteri dan dua orang anak perempuan serta sejumlah harta. Beberapa waktu setelah itu saudara laki-laki Sad datang mengambil semua kekayaan Sad, sesuai dengan adat Arab Jahiliyah. Dia tidak menyisakan sedikit pun untuk anak perempuan Sad dan isterinya. Isteri Sad tidak puas dengan perlakuan ini. Dia datang memberitakan perlakuan paman anak-anaknya (saudara bekas suaminya) tersebut, serta kesulitan yang bakal dia hadapi karena ketiadaan harta. Rasul berkata, “tunggu Allah akan menurunkan wahyu untuk menyelesaikan persoalan Anda”. Setelah itu turun surat al-Nisa’ ayat 11 dan 12 yang menjelaskan hak anak, orang tua, suami dan isteri dalam masalah kewarisan. Pengetahuan tengan Asbab al-Nuzul akan membantu sesorang memahami konteks diturunkannya sebuah ayat suci. Konteks itu akan memberi penjelasan tentang implikasi sebuah firman, dan selanjutnya memberi bahan melakukan penafsiran dan pemikiran tentang bagaimana memahami sebuat ayat itu dalam situasi yang berbeda. Ahmad von Denfffer memberi rincian arti penting tentang asbab al-nuzul, khususnya mengenai ayat-ayat hukum, sebagai berikut: Makna dan implikasi langsung dan segera terpahami (muhabir; immediate)dari sebuah firman, sebagaimana hal tersebut dapat dilihat dari konteks aslinya.Alasan mula pertama yang mendasari suatu kepentingan hukum.Maksud asal sebuah ayat.Menentukan apakah makna sebuah ayat mengandung terapan yang bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau demikian, dalam keadaan bagaimana itu dapat dan harus diterapkan.Situasi histories pada zaman Nabi dan perkembangan komunitas muslim. Sebagai contoh ialah firman allah, “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke manapun kamu menghadapkan wajahmu, di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Meliputi dan Maha Tahu”. (Q.S. Albaqarah/2: 115). Firman ini diturunkan kepada Nabi berkaitan dengan adanya peristiwa yang dialami sekelompok orang yang beriman yang mengadakan perjalanan di malam hari yang gelap gulita. Pagi harinya mereka baru menyadari bahwa semalam mereka shalat dengan menghadap ke arah yang salah, tidak ke kiblat. Kemudian mereka bertanya kepada Nabi berkenaan dengan apa yang mereka alami itu. Turunlah ayat suci itu, yang menegaskan bahwa ke mana pun sesorang menghadapkan wajahnya, ia sebenarnya juga menghadap Tuhan, karena Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu, sehingga “Tuhan pun ada di mana-mana, timur ataupun barat”. Akan tetapi, karena konteks turunnya firman itu bersangkutan dengan peristiwa tertentu di atas, tidaklah berarti seorang Muslim dapat menghadap kemana-mana pun ia suka. Ia harus menghadap ke kiblat yang sah, yaitu arah al-Masjid al-Haram di Makkah. Ia dibenarkan menghadap mana saja dalam salat jika ia tidak tahu arah yang benar, atau kalau karena kondisi tertentu tidak mungkin baginya menghadap ke arah yang benar.[28] Adanya ayat-ayat yang turun guna menyelesaikan persoalan konkrit, menyebabkan para ulama perlu mengetahui situasi yang melatarbelakangi sesuatu ayat guna memperoleh tafsiran yang lebih tepat. Peristiwa yang berhubungan dengan pewahyuan sesuatu ayat ini di kalangan ulama popular dengan sebutan Asbab al-Nuzul. Lebih dari itu, sebagian ulama terutama yang kontemporer, ingin meletakkan Alquran dalam setting yang lebih luas, yaitu adat istiadat dan kehidupan sosial masyarakat Arab di zaman Nabi saw. Bahwa langsung atau tidak, ayat-ayat Alquran, pertama diturunkan tentu harus menghadapi kehidupan, jalan pikiran dan budaya konkret masyarakat pada waktu itu, yaitu masyarakat Arab Jahiliyah. Menurut jalan pikiran ini, dengan memperhatikan latar belakang sosial atau budaya masyarakat Arab tersebut, para ulama akan lebih mampu memperhatikan ‘illat (tambatan) atau hikmah yang tersirat atau yang harus diungkap dari sesuatu ayat, serta akan lebih berani merubah aturan “formal” (norma yang diperoleh dari sesuatu ayat) sekiranya dirasakan bahwa aturan tersebut tidak sesuai lagi dengan illat atau hikmah yang ingin dicapainya. F. Nasakh Mansukh Adanya perbedaan waktu turun, menyebabkan perlu mengetahui mana ayat yang pertama turun dan mana ayat yang turun lebih belakangan. Mana ayat yang diterangkan (yang pertama turun) dan mana ayat yang menerangkan (yang turun lebih belakangan). Lebih jauh dari itu sebagaian ulama berpendapat bahwa ayat yang turun belakangan ada yang membatalkan (me-nasakh) ayat yang turun lebih awal.[29] Menurut sebagian ulama pengetahuan tentang pe-nasakh-kan (pembatalan) antara sesama ayat ini penting sekali, agar tidak keliru dalam mengidentifikasi persoalan. Contoh klasik yang biasa dikutip untuk hal ini adalah ayat-ayat yang mengatur minuman keras. Dalam ayat pertama yang menyinggung masalah ini dinyatakan bahwa dalam minuman keras ada manfaat, tetapi mudharat yang dikandungnya jauh lebih besar. Ayat yang kedua menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh melakukan shalat apabila sedang dalam keadaan mabuk. Lalu, dalam ayat ketiga, Allah menyatakan minuman keras dan beberapa jenis perbuatan lain sebagai perbuatan setan dan harus dijauhi. Menurut ulama, dua ayat sebelumnya, yang masih mengizinkan meminum minuman keras (sekurang-kurangnya dalam keadaan tertentu), sudah dianggap mansukh, dan karena itu tidak perlu digunakan sebagai dalil dalam mengistinbathkan hukum. Dengan kata lain, keberadaannya di dalam Alquran hanya sekedar merupakan data sejarah, bukan lagi sebagai dalil fiqih. Berbeda dengan pendapat umum ini, sebagian ulama terutama di zaman modern, cenderung berpendapat tidak ada ayat yang mansukh di dalam Alquran. Pengetahuan tentang tertib turun ayat ini diperlukan untuk mengetahui mana ayat yang diterangkan dan mana ayat yang menerangkan serta apa dan bagaimana situasi yang terjadi ketika ayat tersebut turun. G. Mengapresiasi Pembacaan Ulang Alquran Pembacaan ulang Muhammad Syahrur terhadap Alquran – telah menghasilkan pemahaman dan kesan yang begitu mendalam tentang akurasi istilah-istilah yang digunakan dalam alkitab[30] bila ditinjau dari segi ilmiah baik masa dulu, kini maupun masa yang akan datang. Isi al-Kitab secara garis besar dibedakan menjadi dua, yakni ayat-ayat kenabian (nubuwwah) dan ayat-ayat kerasulan (risalah). Keduanya, dengan sifatnya masing-masing sama-sama cocok untuk setiap waktu dan tempat. Muhammad saw adalah penutup para nabi dan rasul, dan Islam merupakan agama fitrah (al-tabi’ah natural) yang sejalan dengan hukum-hukum alam yang selalu bergerak dinamis, dan hal ini merupakan konsekuensi logis dari kenyataan bahwa Allah yang mewahyukan agama ini juga merupakan pencipta alam semesta. Oleh karena itu, risalah Muhammad (Islam) bersfat rahmatan li al-‘alamin dan global (cocok untuk setiap penduduk bumi). Metode yang diusulkan untuk mengkaji al-Kitab (Alquran) adalah metode ilmiah (science). Di samping itu, terungkap pula baginya perbedaan asasi antara al-Kitab, Alquran,[31] al-zikr, al-furqan, dan al-imam al-masani, umm al-kitab, tafsil al-Kitab, al-lawh al-mahfuz, dan al-imam al-mubin.[32] Anggapan selama berabad-abad terhadap lafaz-lafaz atau istilah-istilah tertentu sebagai sinonim (al-taraduf), menurut Syahrur, sesungguhnya tidaklah demikian. Jelas pula terungkap baginya perbedaan antara aspek kenabian (nubuwwah) dan kerasulan (risalah) Muhammad saw dan juga para rasul sebelumnya. Atas dasar pemahaman seperti ini ia pun membuat kaidah-kaidah ta’wil. Kajiannya terhadap tiga tema besar terangkum dalam kenabian dan kerasulan Muhammad saw yakni Allah, alam, dan manusia – telah menghasilkan beberapa pandangan (teori), yakni teori tentang ihwal keberadaan Tuhan dan alam semesta, teori tentang pengetahuan manusia, teori tentang tasyri’ (umm al-Kitab) yang terdapat di dalamnya teori batas (nazariyyah al-hudud), teori akhlak, teori ekonomi teori estetika (kendahan) dan teori (hukum) perjalanan sejarah. Adapun kerangka teori yang menjadi acuan Syahrur dalam memformulasikan ide-idenya adalah penilaian ajaran Islam (Quran dan Sunnah) antara yang berdimensi nubuwwah dan yang berdimensi risalah. Dalam melontarkan ide-ide pembaharuannya ia banyak sekali mendasarkan pada pemilihan atas kedua hal tersebut. Oleh karena itu, menurutnya, al-Kitab (Quran) isinya secara garis besar dapat dibedakan atas nubuwwah dan risalah. Nubuwwah merupakan kumpulan informasi (pengetahuan) kealaman dan kesejarahan yang dengan itu dapat dibedakan antara benar dan salah yang terdapat di alam wujud (realitas empiris). Sedangkan risalah adalah kumpulan ajaran yang wajib dipatuhi oleh manusia yang berupa ibadat, muamalat, akhlak, dan hukum halal dan haram, dan ini semua merupakan taklif yang dibebankan kepadanya. Jadi nubuwwah bersifat obyektif (mawdu’i) dalam arti ia berisi kumpulan aturan hukum yang berlaku di alam semesta dan berada di luar, kesadaran manusia, sedangkan risalah bersifat subyektif (al-zati) yang berarti kumpulan aturan hukum yang harus dijadikan sebagai bagian dari kesadaran dalam diri manusia di dalam berprilaku. Dalam al-Kitab, Alquran merupakan dimensi nubuwwah sedangkan umm al-Kitab merupakan dimensi risalah.[33] Dengan demikian, risalah (umm al-Kitab) merupakan aspek dinamis dari ajaran Islam karena ia berhubungan dengan aturan perikehidupan manusia yang juga bersifat dinamis (selalu berubah menurut waktu dan tempat). Doktrin yang mengatakan bahwa Islam cocok untuk setiap zaman dan tempat juga menjadi landasan yang kuat bagi pemikiran Syahrur.[34] Oleh karena itu ia menentang keras pemahaman hukum (ajaran) Islam yang kaku selama ini yang menganggap bahwa ketentuan-ketentuan Syar’i (dalam Quran maupun sunnah) yang berekenaan dengan hukum atau cara tertentu harus dijalankan sebagaimana apa adanya. Anggapan seperti itu, menurutnya bertentangan dengan sifat dasar manusia yang selalu berubah dari masa kemasa dan dari satu tempat ke tempat lain, juga bertentangan dengan hukum alam yang mana tidak ada benda (materi) di alam raya ini yang geraknya lurus terus. Dalam konteks seperti inilah kemudian dimunculkan teori batas (Nazariyyah al-Hudud). Di samping itu, sesuai dengan spesial keilmuannya, ilmu eksakta-terutama matematika dan fisika[35]- juga sangat berpengaruh terhadap kerangka teori yang dibangun. Beberapa kali ia menyebut-nyebut nama Isaac Newton sebagai rujukan bagi model mathematical analysis yang digunakannya. Dalil-dalil fisika juga cukup banyak disebut. Ini semua dilakukannya untuk menunjukkan tidak adanya pertentangan antara wahyu dan realita (hukum alam) yang juga menjadi landasan berpikirnya yang cukup kuat.[36] Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan oleh pandangan dan pemikiran Syahrur, yang jelas Syahrur cukup berani dan kritis melakukan pengkajian terhadap ayat-ayat Alquran. Sebenarnya, jargon “qira’ah mu’ashirah” yang dilontarkan Syahrur bertujuan melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat Alquran sesuai dengan perkembangan sejarah interaksi antargenerasi, sehingga diharapkan akan menegaskan eksistensi dan signifikansinya dalam kehidupan yang terus berubah. H. Penutup Alquran adalah kitab suci umat Islam yang merupakan kumpulan firman-firman Allah (Kalam-Allah) yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. di antara tujuan utama diturunkannya Alquran adalah untuk menjadi pedoman manusia dalam menata kehidupan mereka supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia, maka Alquran datang dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan dan konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun yang terinci, yang tersurat maupun yang tersirat dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan. Alquran sendiri menyatakan dirinya sebagai al-Kitab (kitab, buku), hudan (petunjuk) bagi manusia pada umumnya, dan orang-orang bertakwa pada khususnya, al-furqan (pembeda antara yang baik dan yang buruk, antara yang nyata dan yang khayal); rahmat (rahmat), syifa (obat penawar khususnya untuk hati yang resah dan gelisah), thibyan li kulli syai (penjelasan bagi sesuatu) dan beberapa atribut lainnya. Nama-nama dan berbagai julukan ini secara tersurat memberi bukti bahwa Alquran adalah kitab suci yang berdimensi banyak dan berwawasan luas. Kendatipun Alquran mengandung berbagai ragam masalah ternyata pembicaraannya tentang suatu masalah tidak selalu tersusun secara sistematis seperti halnya buku ilmu pengetahuan yang dikarang oleh manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa Alquran kitab yang tidak sistematis bila dilihat dari sudut metodologi ilmiah. Di samping tidak sistematis, Alquran juga sangat jarang menyajikan sesuatu masalah secara terinci dan detail. Pembicaraan Alquran pada umumnya bersifat umum dan sering menampilkan suatu masalah dalam prinsip-prinsip pokoknya saja. Keadaan Alquran sebagaimana disebut di atas pada dasarnya tidak mengurangi nilai Alquran. Sebaliknya, pada letak keunikan sekaligus keistimewaan Alquran. Sebab dengan keadaan seperti itu, Alquran akan menjadi objek kajian yang tidak kering-keringnya oleh para cendikiawan, sehingga ia akan tetap aktual sepanjang masa. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin, H.M. at. al, Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002). Al-Qardhawi, Yusuf, al-Ijtihad wa al-Tajdid bayn al-Dhawabith al-Syar’iyah wa al-Hayah al-Mu’ashirah, terj. Muhammad Hussein dalam Dasar Pemikiran Hukum Islam: Taklid vs Ijtihad, (Jakarta: Pustaka Firdaus, t.t) Al-Shawkani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad, Irshad al-Fuhul, (Mesir: Mathba’ah al-Madani, 1992) Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th.) Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001) Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Alquran, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005) Anwar, Syamsul, “Islamic Jurisprudence of Christian-Muslim Relations: Toward a Reinterpretation,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, No. 60, Th. 1997 Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Cakrawala, 2006) Anwar, Syamsul, Diktat Kuliah Metodologi Hukum Islam. Arkoun, Mohammed, Berbagai Pembacaan Alquran, terj. Machasin, (Jakarta: INIS, 1997) Denver, Ahmad Von, ‘Ulum Alquran, an Introduction to Sciences of the Qur’an, (London: The Islamic Foundation, 1985) Graham, William A., “Qur’an as Spoken Word: an Islamic Contribution to the Understanding of Scripture”, dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Arizona: The University of Arizona Press, 1985). Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni Ushul Fiqh, Cet. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1997) Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kuwaitiyah, 1978) Martin, Richard C. (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Arizona: The University of Arizona Press, 1985) Nasr, Seyyed Hossein, terj. Nur Asiah Fakih S. Harahap, the heart of islam Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2003) Nurdin, Ali, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Alquran, (Jakarta: Erlangga, 2006). Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Unisba, 1995) Rahman, Fazlur, Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982) Rahman, Fazlur, terj. Ahsin Mohammad, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984) Shihab, Quraish, M, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 1992) Syahrur, Muhammad, al-Kitab Wa Alquran: Qira’ah Mu’ahirah, Cetakan 2, (Damaskus: Dar al-Ahali, 1990) Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos, 1997) Thowilah, Abd al-Wahhab al-Salam, Atsar al-Lughah fi Ikhtilaf al-Mujtahidin, (Kairo: Dar al-Salam t.t.) Watt, W.M., Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1970 Yafie, Ali, KH., “Nasikh-Mansukh dalam Alquran”, dalam Budhy Munawwar-Rachman (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994) Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, (t.k. : Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.) Zaid, Nasr Hamid, terj. Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas Alquran Kritik terhadap Ulmul Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2002) [1] Pemahaman yang lebih tepat dan berguna terhadap kitab suci adalah pemahaman yang disertai kesadaran bahwasanya kitab suci itu tidak hanya sekadar teks, tetapi selalu merupakan satu teks yang berhubungan dengan satu tradisi yang sedang berjalan, yakni berhubungan dengan pribadi-pribadi atau masyarakat-masyarakat yang menganggapnya sakral dan normatif. William A. Graham, “Quran as Spoken Word: an Islamic Contribution to the Understanding of Scripture”, dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Arizona: The University of Arizona Press, 1985), hlm. 27. [2] Peradaban dan kebudayaan dibangun oleh dialektika manusia dengan realitas di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain. Peradaban dibentuk oleh interaksi dan dialektika manusia dengan realitas – dengan segala struktur yang membentuknya: ekonomi, sosial, politik dan budaya. [3] Ketika teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan maka dapat dipastikan tafsir dan interpretasi akan beragam, dan keragaman interpretasi ini terjadi karena berbagai faktor. Faktor terpenting, umpamanya, adalah sifat atau watak ilmu yang disentuh oleh teks, maksudnya, disiplin tertentu menentukan tujuan interpretasi dan pendekatannya. Faktor kedua, adalah horizon epistemologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuan dalam menangani teks. Melalui horizon tersebut ia berusaha memahami teks, atau mengusahakan teks mengungkapkan dirinya. Faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri, dalam pengertian satu faktor paling dominan dalam peroses interaksi. Faktor-faktor ini bergerak secara interaktif dan dinamik dalam proses interpretasi apa pun. Nasr Hamid Abu Zaid, terj. Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas Alquran Kritik terhadap Ulmul Quran, (Yogyakarta: LkiS, 2002), hlm. 1-2. [4] Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memlihara berbagai harapan, dan memperkukuh identitas kolektif. Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Alquran, terj. Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), hlm. 9. Alquran juga digunakan dalam kebaktian-kebaktian publik dan pribadi kaum Muslimin, serta dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga. Pembacaannya dipandang sebagai tindak kesalehan dan pelaksanaan ajarannya merupakan kewajiban setiap Muslim. W.M. Watt, Bell’s Introduction to the Qurqan, (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1970), hlm. Xi. [5] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Alquran, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), hlm 1-2. [6] Alquran memiliki banyak nama, setiap nama tersebut menyampaikan aspek Alquran dalam kenyataan. Pertama, Alquran, yang berarti bacaan, atau bisa juga bermakna kumpulan atau pemusatan pikiran. Ia juga disebut Alfurqan, yang artinya pembeda atau penjelas karena Alquran memberikan kriteria untuk menilai salah dan benar, kebaikan dan kejahatan, dan yang indah dan buruk. Disebut Umm Alkitab, maksudnya sebagai arketipe atau induk seluruh kitab, yang mengandung akar atau ide dari segala pengetahuan. Alquran juga disebut Alhuda karena merupakan petunjuk dalam perjalanan manusia, laki-laki dan perempuan, untuk menuju Tuhan. Bagi umat Islam, Alquran adalah sumber segala pengetahuan fisik maupun metafisik, dasar hukum, tuntunan tertinggi bagi perilaku etika, dan menjadi jaring, yaitu alat bagi seorang nelayan Tuhan dalam menjerat jiwa manusia dan membawanya kembali kepada Yang Tunggal. Seyyed Hossein Nasr, terj. Nur Asiah Fakih S. Harahap, the heart of islam Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 31. [7] Inilah yang dimaksud Allah Swt dalam firman-Nya surat al-Hijr/15: 9: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa seluruh ayat Alquran dari segi lafaz dan wurudnya adalah qathi (meyakinkan) serta tidak ada keraguan di dalamnya. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 48-49. [8] Alquran juga membahas aturan-aturan bagi individu dan masyarakat dan merupakan sumber paling utama hukum Islam atau syariat. Selanjutnya, Alquran secara terus-menerus mengulang-ulang pesan-pesan etika, baik dan buruk, dan pentingnya menjalani kehidupan yang bermoral dan terhormat. Terakhir, Alquran juga berbicara–dengan memakai bahasa yang menyentuh dan dapat dilihat pada surah-surah terakhir–tentang peristiwa hari kiamat, tentang akhir alam dunia, tentang Hari Pembalasan, surga, kehidupan hari akhirat dan neraka. S. H. Nasr, , the heart of Islam… hlm. 31-32. [9] Syariah diartikan sebagai jalan menuju sumber air, dapat pula diartikan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), hlm. 140. Menurut istilah, Alyathibi menyatakan, “Sesungguhnya syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Alsyathibi, Almuwafaqat fi Ushul Alsyariah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th), jilid 2, hlm. 374. [10] Syamsul Anwar, Diktat Kuliah Metodologi Hukum Islam, hlm. 35. [11] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Unisba, 1995), hlm. 10. [12] Syamsul Anwar, “Islamic Jurisprudence of Christian-Muslim Relations: Toward a Reinterpretation,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, No. 60, Th. 1997, hlm. 131. [13] Sumber hukum dalam Islam dapat disimplifikasi menjadi hanya tiga, yaitu: Alquran, Al-Hadis dan Ijtihad. Sumber-sumber lain semisal al-Istihsan, al-Istishab, Maslahah al-Mursalah dan lain-lain sesungguhnya dapat diposisikan sebagai pengejewantahan dari ijtihad. Perdefinisi, ijtihad merupakan aktivitas istinbath hukum (penggalian hukum) dari sumber-sumbernya dengan menggunakan perangkat metodologi ‘aqliyah, ushul fiqih. Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Shawkani, Irshad al-Fuhul, (Mesir: Mathba’ah al-Madani, 1992), hlm. 250. [14] Perintah-perintah Alquran, bagaimanapun, tidak akan dapat dimengerti secara sempurna tanpa bantuan Sunnah dan Hadis Nabi, yang berfungsi sebagai penjelas (tafsir) pertama Alquran. Alquran memerintahkan shalat kepada setiap Muslim, tetapi bagaimana tata cara shalat dipelajari dari contoh yang dipraktikkan Nabi. Oleh karena itu, setelah Alquran, Sunnah dan Hadis adalah sumber paling penting kedua bagi syari’at. Semua mazhab hukum Islam, baik Sunni ataupun Syi’ah, menerima kedua sumber ini sebagai sumber yang mutlak bagi hukum Islam S.H. Nasr, the heart of islam……, hlm. 143-144. [15] Yusuf al-Qardhawi, pemikir Islam kontemporer asal Mesir, membuat postulat 1 banding 9. Artinya, hanya 10 persen teks ajaran suci (Alquran maupun al-Hadis) yang tidak dapat diganggu gugat karena berupa dictum-diktum aturan qath’i yang konstan dan immutable. Segmen ini harus diterima apa adanya tanpa harus adaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada di sekitar. Apa yang termasuk dalam segmen ini ialah persoalan-persoalan dasar menyangkut sendi-sendi ajaran agama yang mempunyai nilai strategis, seperti persoalan keimanan: tauhid, akhlak dan sejenisnya, bentuk-bentuk ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain. Sementara selebihnya (90 persen teks ajaran) berupa aturan-aturan operasional yang bersifat zhanni dan adaptable. Segmen kedua ini mempunyai nilai taktis-operasional yang langsung bersentuhan dengan fenomena sosial dan kemanusiaan. Karena wataknya yang taktis, segmen ini menerima akses perubahan pada tataran operasionalnya sepanjang tetap mengacu pada pesan dan tujuan moral yang terkandung dalam Alquran secara global dan tersirat. Yusuf al-Qarhawi, al-Ijtihad wa al-Tajdid bayn al-Dhawabith al-Alquran wa al-Hayah al-Mu’ashirah, terj. Muhammad Hussein dalam Dasar Pemikiran Hukum Islam: Taklid vs Ijtihad, (Jakarta: Pustaka Firdaus, t.t), hlm. 75. [16] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 63. [17] M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 31. [18] Shihab, Membumikan…., hlm. 29-30. [19] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kuwaitiyah, 1978), hlm. 32. [20] Khallaf, Ilmu Ushul….., hlm. 32 [21] Khallaf, Ilmu Ushul…., hl, 32-33. [22] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (t.k. : Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hlm. 94-95. [23] Dalam Alquran dijelaskan tiga macam kaffarat;1) Kaffarat Zihar, yaitu suatu denda yang diberikan kepada suami karena perkataan yang diucapkan kepada isteri, semisal’ “engkau bagiku bagaikan punggung ibuku”. Semenjak terjadinya zihar suami tidak boleh menggali isterinya hingga ia membayar kaffarat zihar (Q.S. Almujadilah/58: 3-4) Berdasarkan ayat ini, kaffarat bagi suami yang menzihar isterinya adalah memerdekakan hamba sahaya, jika tidak mendapatinya ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut. Apabila ia masih tidak mampu melakukan, maka ia wajib memberi makan 60 orang miskin. 2) Kaffarat sumpah, yaitu suatu denda yang dikenakan kepada seseorang karena melanggar sumpah. Denda tersebut berupa pemberian makan 10 orang miskin atau pakaian mereka, atau memerdekakan hamba sahaya (QS. Al-Maidah/5: 89). 3) Kaffarat karena membunuh orang mukmin secara tersalah. Orang yang melakukan pembunuhan bentuk ini diwajibkan membayar diyat (denda) dan kaffarat dengan memerdekakan seorang hamba sahaya, dan jika tidak didapati, maka puasa dua bulan berturut-turut (QS. Al-Nisa’/4: 92). [24] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), Jilid 1, Cet. Ke-2, hal. 441 [25] Abd al-Wahhab al-Salam Thowilah, Atsar al-Lughah fi Ikhtilaf al-Mujtahidin, (Kairo: Dar al-Salam t.t.), hal. 42 [26] Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t,t), hlm. 3-23. [27] Khallaf, Ilmu Ushul…., hal. 35 [28] Ahmad Von Denffer, ‘Ulum Alquran, an Introduction to Sciences of the Qur’an, (London: The Islamic Foundation, 1985), hlm. 92-93. [29] Ulama mutaqaddimin memberi batasan nasakh sebagai dalil syar’i yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut dinyatakan tidak berlaku terus-menerus, tetapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid), bagi suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (mukhasshish) terhadap suatu pengertian umum. Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna). Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan mukhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian nasakh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang dating kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. KH. Ali Yafie, “Nasikh-Mansukh dalam Alquran”, dalam Budhy Munawwar-Rachman (Ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 44. [30] Istilah al-Kitab, menurut Syahrur, lebih tepat dipergunakan untuk sebuah kitab suci yang selama ini dikenal dengan nama al-Quran. Berdasarkan hasil kajiannya, istilah al-Quran sesungguhnya menunjuk kepada sebagian isi dari al-Kitab. Lihat Muhammad Syahrur, al-Kitab Wa al-Quran: Qira’ah Mu’ahirah, Cetakan 2, (Damaskus: Dar al-Ahali, 1990), hal. 17. [31] Perhatikan al-Quran dengan huruf kecil; ini untuk membedakannya dengan al-Quran (dengan huruf besar) sebagaimana persepsi umumnya kaum muslimin. Karena al-Quran menurut Syahrur berbeda dengan al-Quran menurut mereka. Fazlur Rahman, Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1982, hal. 27 [32] Istilah-istilah ini dapat dipandang sebagai istilah kunci yang diuraikan secara panjang lebar oleh Syarur dalam bukunya. Pendapat-pendapatnya yang controversial banyak didasari oleh pemahamannya yang baru sama sekali terhadap istilah-istilah tersebut dalam al-Quran. Untuk penjelasan istilah-istilah tersebut. Fazlur Rahman, Islam dan Modernity…, hal. 49-68 [33] Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Quran, hal. 54, 90, dan 103. Wael B. Hallaq dalam hal ini kemudian menyimpulkan bahwa fungsi kenabian adalah untuk keagamaan (religions) sementara risalah merupakan hukum. Lihat Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni Ushul Fiqh, Cet. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 247 [34] Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Quran, hal. 44; al-Munjid, Munaqasyat, hal. 170 [35] Hallaq, A History…, hal. 246 [36] Muhammad Syahrur, al-Kitab…., hal. 45


Copyrights © 2008