Hak asasi manakah yang sering tidak diperhatikan dalam Gereja

Hak asasi manakah yang sering tidak diperhatikan dalam Gereja
Para narasumber HAM dalam Sidang Sinodal KWI 2018. (M. Bramantyo/Dokpen KWI).

Bandung, dokpenkwi.org – Sidang KWI 2018 ini mengambil tema tentang hak asasi manusia (HAM). Tema ini diangkat sebagai tema sidang para uskup Indonesia karena, menurut Ketua KWI, di dalam Nota Pastoral KWI 2018 “Panggilan Gereja dalam Hidup Berbangsa – Menjadi Gereja yang Relevan dan Signifikan” yang diluncurkan pada bulan Mei lalu tema ini luput dari perhatian. Padahal, pada saat ini ada berbagai macam peristiwa dan kasus di negara kita maupun dunia yang berujung pada persoalan hak asasi manusia. Bahkan, beberapa pengamat masalah sosial menyebutkan bahwa persoalan yang belum terselesaikan hingga saat ini adalah pelanggaran-pelanggaran berat yang menyangkut HAM.

Untuk itu, Sidang KWI menghadirkan tiga narasumber yang kompeten di bidang hak asasi manusia. Ketiga narasumber tersebut adalah: Ketua Komnas HAM (Ahmad Taufik Damanik), Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua (Frits B. Ramandey, serta Dosen Moral Kristiani STF Driyarkara sekaligus Ketua JPIC OFM (RP. Peter Amman OFM). Pada Senin (5/11/2018) sesudah acara Pembukaan, ketiga narasumber telah membawakan materi masing-masing di hadapan para uskup dan tamu undangan yang lain.

Berikut disampaikan rangkuman pembahasan dari ketiga narasumber tersebut di atas.

 Ahmad Taufik Damanik: Ketua Komnas HAM

Hak asasi manakah yang sering tidak diperhatikan dalam Gereja
Ahmad Taufik Damanik, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). (M. Bramantyo/Dokpen KWI).
  • Proklamasi kemerdekaan dimaknai sebagai komitmen bangsa ini untuk  menghargai  hak individu seperti hak untuk beragama/berkeyakinan dan berekspresi. Tetapi situasi ini terhenti oleh konflik ideologi politik yang memuncak pada tahun 1965-1966  di mana jutaan orang terbunuh, ditahan semena-mena, disiksa dan mengalami berbagai kekejaman lainnya.
  • Oleh karena itu, dalam rangka melindungi HAM, pada tahun 1993 dibentuklah Komnas HAM dan posisinya diperkuat dengan UU No. 39/1999 tentang HAM.  Lewat UU No.26/2000 Komnas HAM diberi wewenang untuk  melakukan penyelidikan pelanggaran HAM berat.
  • Terkait dengan pelanggaran HAM berat, Komnas HAM telah membawa kasus Timor-Timur, Tanjung Priok,  dan Abepura ke Pengadilan HAM. Namun upaya  itu belum berhasil karena terbentur pada kondisi politik dan kurangnya keinginan politik (political will) dari pemerintah untuk secara serius menuntaskan masalah-masalah tersebut.
  • Saat ini ada 4 isu strategis HAM yang sedang berkembang yaitu: pelanggaran HAM berat, konflik agraria, intoleransi-radikalisme dan penguatan kelembagaan.
  • Konflik agraria yang sudah sering terjadi ini menyangkut masyarakat yang tidak berdaya menghadapi perusahaan infrastruktur, produksi,  ekstraksi dan konservasi. Kebanyakan konflik agraria ini bersumber dari hasil perizinan yang dikeluarkan oleh pejabat publik  seperti Kementerian LH dan Pemda ( gubernur, bupati).
  • Komnas HAM meyakini bahwa masalah HAM bisa diatasi dengan:
    • Melakukan reformasi hukum seperti Revisi UU KUHP, UU Terorisme dan UU no. 39/199 tentang HAM
    • Meningkatkan pendekatan dan kerja sama dengan lembaga-lembaga negara lainnya seperti  kepolisian, TNI, dan Kejaksaan Agung.
    • Membangun kerja sama dengan para tokoh agama karena masyarakat juga sering mengadu kepada mereka.
    • Pada tahun 2017 yang lalu Komnas HAM menerima 5. 387 pengaduan dan kepolisian masih berada di urutan nomor 1 sebagai pihak yang diadukan, tetapi tidak lagi sebagai pelaku pelanggar HAM namun sebagai pihak yang  paling lamban dalam merespons.

Simak juga: Membangun Peradaban Bangsa Melalui Hak Asasi Manusia

Frits B. Ramandey: Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua

Hak asasi manakah yang sering tidak diperhatikan dalam Gereja
Frits B. Ramandey Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua. (M. Bramantyo/Dokpen KWI).
  • Tahun 2015-2018 ada 328 pengaduan dan ditindaklanjuti oleh Komnas HAM Perwakilan Papua  sebanyak 221.
  • Tahun 2016-2018 ada 64 kasus penembakan dan memakan korban jiwa 15 masyarakat sipil, 9 Polri, dan 6 TNI.
  • Persoalan HAM di Papua saat ini:
    • Kekerasan bersenjata dan konflik sosial ( 100 senjata mesin dan 150 senjata rakitan yang dipegang oleh kelompok sipil bersenjata)
    • Pembatasan penyampaian pendapat di depan umum (Komite  Nasional Papua Barat tidak pernah mendapat izin untuk demo)
    • Intoleransi (Pembakaran puluhan Alkitab oleh oknum TNI, penolakan pembangunan masjid dan mushola di Jayapura, penolakan terhadap Ponpes milik Jafar Umar Talib)
    • Hilangnya hak untuk ikut dalam pemerintahan (hilangnya hak suara dalam pilkada, intimidasi oleh tim sukses, pengangkatan birokrat yang tidak procedural)
  • Pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan sampai hari ini, yaitu kasus Wasior (2001), Wamena (2003) dan Paniai (2014).
  • Disamping itu, masih ada pelanggaran HAM  terkait dengan ekonomi, sosial, dan budaya seperti pendirian banyak supermarket  di atas tanah masyarakat Papua. Dampak dari hal ini adalah:
    • Ketegangan di kalangan masyarakat akan kembali muncul
    • Menguatnya  kembali semangat kedaerahan, misalnya kepala daerah hanya boleh berasal dari fam atau marga yang berasal dari daerah tersebut. Marga dari daerah lain tidak  boleh.
  • Cara-cara untuk mengatasi persoalan HAM di Papua itu adalah:
    • Pembangunan berbasis HAM yaitu pembangunan yang bersifat  partisipatif, pemberdayaan masyarakat dan akuntabilitas
    • Komnas HAM Perwakilan Papua merumuskan draf Peraturan Gubernur Papua untuk memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM berat di bidang pendidikan, kesehatan dan perekonomian.
    • Adanya dukungan dari Gereja Katolik untuk menyebarkan pesan damai dan HAM bagi seluruh umat di tanah Papua.
    • Gereja Katolik bersama dengan tokoh agama lain lewat FKUB tetap menyuarakan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat.

Rm. Peter Amman OFM: Dosen Moral Kristiani STF Driyarkara, Ketua JPIC OFM

Hak asasi manakah yang sering tidak diperhatikan dalam Gereja
Rm. Peter Amman OFM Dosen Moral Kristiani STF Driyarkara dan Ketua JPIC OFM. (M. Bramantyo/Dokpen KWI).
  • Inti Ajaran Sosial Gereja (ASG) seperti martabat manusia, akal budi, suara hati, hak asasi, hak berserikat, hak atas upah yang adil masuk dalam DUHAM (Deklarasi Umum HAM) pada tahun 1948.
  • Selama perang dingin deklarasi HAM itu tidak diperhatikan lagi,  tetapi pada saat itu juga negara-negara jajahan banyak yang merdeka dan menggunakan DUHAM sebagai inspirasi untuk menyusun konstitusi.
  • Pada masa ini juga Yohanes Paulus II lewat ensiklik Laborem Exercens, Sollicitudo Rei Socialis dan Centesimus Annus mampu mengguncangkan sistem  dan ideologi bangsa-bangsa  yang  tidak ramah dengan HAM
  • Paus Benediktus XVI mengungkapkan adanya 9 tantangan seputar HAM:
    • Budaya relativisme (universalitas HAM  tidak berlaku dalam budaya  yang berbeda-beda)
    • Positivisme hukum (bila HAM hanya dimengerti  secara hukum, maka keadilan bisa diabaikan)
    • Filasafat Relativisme (mengapa nilai harus dipertahankan dan tindakan  harus dikutuk, jika semunya itu adalah pilihan)
    • Utilitarianisme ( kebaikan terbesar untuk sebanyak mungkin orang dapat merugikan mereka yang kecil dan lemah)
    • Selektif (orang memilah-milah dalam menerapkan HAM, mana yang cocok dipakai yang tidak cocok dibuang)
    • HAM  Baru (upaya memperluas jangkauan HAM agar mencakup  “hak-hak” yang diklaim sebagai hak asasi, padahal itu  hanya sebagai legitimitasi untuk kebutuhan tertentu)
    • Individualisme berlebihan (Perjuangan adanya hak-hak baru merupakan wujud individualisme yang berlebihan)
    • Tanggung jawab (apakah hak-hak baru itu  berhubungan timbal balik dengan kewajiban, sebagai bentuk tanggung jawab?)
    • Sekularisme ( upaya penyingkiran agama  dari  ruang pubik)
  • Paus Fransiskus mengajak untuk mempelajari  kembali ASG dan mengangkat HAM dalam konteks kaum migran/pengungsi, seperti saat beliau berkunjung  ke Lampedusa dan Meksiko. HAM dihayati dan dihidupi sebagai bentuk solidaritas terhadap  mereka yang  miskin dan menderita, yang tidak bisa dilepaskan dengan pembelaan terhadap keutuhan ciptaan dan perawatan lingkungan hidup.

(Sumber : Panitia Sidang Sinodal KWI 2018)