Apakah kebijakan industri substitusi impor pernah diterapkan di Indonesia

Indonesia pada tahun 1970-an sampai awal 1980-an telah menerapkan kebijakan substitusi impor di sektor manufaktur, pertama di barang konsumsi dan kedua di barang setengah jadi (Pangestu et al., 2015).

Mengapa kebijakan substitusi impor yang dilaksanakan di Indonesia selama ini dipandang kurang berhasil?

Selama ini, menurut pengamatan Kadin, substitusi impor masih sulit dijalankan di Indonesia karena pemerintah lebih mendukung kepentingan para penjual daripada kepentingan industri.

Bagaimana yang dimaksud strategi substitusi impor dan promosi ekspor?

Strategi subtitusi impor adalah industri domestik yang membuat barang-barang menggantikan impor. Sedangkan strategi promosi ekspor lebih menekankan pada orientasi ke pasar internasional dalam usaha untuk mengembangkan industri di dalam negeri.

Mengapa muncul industri substitusi impor?

Kedua, substitusi impor sering muncul jika pemerintah suatu negara berkembang berusaha memperbaiki neraca pembayarannya, baik dengan cara pembatasan impor (kuota) maupun tarif. Hal itu menyebabkan berkurangnya barang impor, sedangkan permintaan di dalam negeri masih tetap besar.

Mengapa negara-negara berkembang pada umumnya lebih memilih kebijakan industri substitusi impor?

Kebijakan industrialisasi yang diambil oleh pemerintah negara-negara yang sedang berkembang dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, negara-negara yang sedang berkembang biasanya selalu mengalami kesulitan dalam neraca pembayarannya, maka substitusi impor dimaksudkan untuk mengurangi atau menghemat devisa.

Mengapa pada tahun 1950 an hingga tahun 1960 an sektor industri di Indonesia tidak berkembang dan bahkan mengalami stagnasi?

Di Indonesia produksi listrik perkapita sangat rendah, dan dari tingkat yang rendah ini hanya sebagian kecil yang digunakan oleh konsumen industri. Keadaan sektor industri selama tahun 1950-an dan 1960-an pada umumnya tidak menggembirakan karena iklim politik pada waktu itu yang tidak menentu.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menetapkan kebijakan substitusi impor 35 persen di 2022. Langkah ini dijalankan untuk mendorong kontribusi sektor manufaktur terhadap ekonomi nasional dan juga mendorong ekspor.

"Digulirkan oleh Kemenperin dengan dengan prioritas pada industri-industri dengan nilai impor yang besar pada 2019," ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang, dalam diskusi online Berita Satu, Jakarta, Selasa (23/11/2021).

Di dunia ekonomi, industri orientasi ekspor dan substitusi impor sesungguhnya merupakan dua konsep yang berbeda. "Tetapi saya lihat keduanya memiliki korelasi positif yang kuat," kata Agus.

Agar bisa berorientasi pada ekspor, industri harus tumbuh dengan baik dan berkembang dalam lingkungan ekonomi yang sehat. Lingkungan sehat bagi industri unuk tumbuh tidak dapat tercipta di tengah gempuran impor yang tak terkendali.

Kebijakan substitusi impor merupakan salah satu instrumen pengendalian impor sehingga memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk tumbuh berkembang dan meningkatkan daya saing sampai mereka mapan dan mampu bertarung di persaingan global.

Substitusi impor juga mendorong peningkatan utilitas industri domestik, peningkatan investasi, dan utamanya akselerasi program hilirisasi. "Dalam struktur impor kita, nilai impor produk-produk hilir sangat besar," kata Agus.

Kebijakan susbstitusi impor secara perlahan mengurangi ketergantungan tersebut dan membuka ruang bagi adanya hilirisasi yang menghasilkan produk-produk hilir substitusi impor. Selama beberapa tahun terakhir ini, pemerintah berupaya memperkuat tatanan sektor manufaktur nasional.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Muhammad Khayam.

Jakarta, Beritasatu.com - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menginisiasi kebijakan substitusi impor sebesar 35 persen pada tahun 2022.

Kebijakan ini bertujuan untuk memperbaiki neraca perdagangan nasional, terutama bagi bahan baku dan bahan penolong yang menjadi tulang punggung industri pengolahan nasional.

“Substitusi impor juga mendorong peningkatan utilitas industri domestik, peningkatan investasi, dan akselerasi program hilirisasi untuk memperkuat tatanan sektor manufaktur nasional,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT), Muhammad Khayam, di Jakarta, Minggu (12/12/2021).

Menurut Dirjen IKFT, kebijakan substitusi impor memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk tumbuh berkembang dan meningkatkan daya saing.

Pendekatan yang dilakukan dalam kebijakan substitusi impor dari sisi supply meliputi perluasan industri untuk peningkatan produksi bahan baku dan bahan penolong untuk industri existing, peningkatan investasi baru, serta peningkatan utilisasi industri.

“Sektor IKFT diharapkan mampu memberikan kontribusi besar terhadap kebijakan substitusi impor tersebut,” ujarnya.

Potensi ini salah satunya ditunjukkan dari kinerja industri farmasi, obat kimia dan obat tradisional serta industri bahan kimia dan barang kimia yang tumbuh positif sebesar 9,71% (y-o-y) pada kuartal III tahun 2021.

Khayam menyampaikan, saat ini terdapat 223 perusahaan farmasi formulasi/produk jadi, terdiri dari empat perusahaan BUMN, yaitu PT Bio Farma Tbk (sebagai holding), PT Kimia Farma Tbk, PT Indofarma Tbk, dan PT Phapros Tbk. Berikutnya, sebanyak 195 industri swasta nasional, serta 24 multinational company (MNC).

“Pasar farmasi Indonesia tahun 2019 sekitar Rp 88,3 triliun, tumbuh 2,93% dibanding tahun sebelumnya. Selain itu, 76-80% kebutuhan produk obat nasional sudah mampu dipenuhi oleh industri farmasi dalam negeri,” sebutnya.

Khayam menjelaskan, bahan baku pembuatan obat terdiri dari dua bagian, yaitu bahan baku aktif atau active pharmaceutical ingredients (API) dan bahan baku tambahan atau eksipien.

“Saat ini, kami bekerja keras untuk memacu investasi dan produksi dalam negeri guna menekan impor bahan baku obat,” tegasnya.

Hal tersebut menciptakan peluang besar untuk pendalaman struktur dan pengembangan industri bahan baku dan bahan tambahan bagi industri farmasi.

“Selain untuk memperkuat ketahanan industri farmasi nasional, sekaligus berkontribusi terhadap kebijakan substitusi impor,” imbuhnya.

Oleh karena itu, Kemenperin berkomitmen untuk mendorong kemandirian industri farmasi sebagai sektor penting dalam menopang pembangunan kesehatan nasional melalui pengembangan industri bahan baku obat (BBO).

Selain itu, ditopang melalui implementasi program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dalam rangka substitusi impor.

“Upaya substitusi impor diyakini dapat membantu menurunkan defisit neraca perdagangan Indonesia khususnya di sektor farmasi,” ujar Khayam.

Namun demikian, upaya mewujudkan kemandirian industri farmasi nasional melalui kemandirian industri BBO, membutuhkan kesamaan perspektif dari berbagai stakeholder terkait, antara perspektif ketahanan nasional dan perspektif ekonomi serta konsistensi kebijakan.

“Kebijakan yang komprehensif untuk mencapai fairness of level playing field dibutuhkan dalam menghadapi kompetitor dari produsen utama BBO di dunia. Diharapkan kebijakan pemerintah dapat meningkatkan feasibility ekonomi pada jangka pendek, dan kemudian peningkatan daya saing dalam jangka menengah panjang,” tandasnya.

Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini

Sumber: BeritaSatu.com


INDUSRI  pengolahan Indonesia sangat bergantung pada kebutuhan bahan baku, bahan penolong dan barang modal impor.

Hampir 90% dari nilai importasi Indonesia dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada satu sisi hal ini dapat dipandang positif karena menunjukkan bahwa mayoritas importasi Indonesia digunakan untuk keperluan produktif dan bukan konusmtif.

Akan tetapi pada sisi lain hal ini menyebabkan perekonomian sulit tumbuh cepat, industri pengolahan rawan terhadap gejolak rantai pasok global, dan tekanan pada neraca perdagangan, neraca pembayaran dan nilai tukar rupiah.

"Kondisi ini cukup tergambar pada awal masa pandemi Covid-19 Maret-Juni 2020 lalu di mana guncangan pada rantai produksi global ikut menghambat sebagian industri domestik yang bergantung pada bahan baku impor, selain tentunya guncangan dari sisi permintaan," kata peneliti Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM FEB UI Mohamad D Revindo, melalui keterangan yang diterima, Senin (22/2).

PDB Indonesia sempat terkontraksi hingga 4,19% secara q-to-q pada triwulan II 2020. Pada triwulan III dan IV walaupun pertumbuhan sudah terjadi, secara qtq, dan yoy PDB masih minus 3,49% dan minus 2,19%.

Kinerja industri pengolahan juga tidak optimal karena masih berjalan dengan tingkat utilisasi di bawah biasanya. Menurut Menteri Perindustrian, dalam situasi normal sebelum pandemi rata-rata utilisasi industri nasional mencapai 75%.

Angka tersebut jatuh pada periode awal pandemi hingga 30-40%. Per awal September 2020, utilisasi sektor manufaktur secara nasional sudah mulai meningkat tetapi masih pada kisaran 55,3%.

"Disrupsi rantai pasok global ini justru dipandang sebagai momentum oleh pemerintah untuk meningkatkan rantai produksi domestik dan daya saing industri dalam negeri," kata Revindo.

Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian mencanangkan substitusi impor bahan input. Pada akhir 2022, ditargetkan 35% barang input yang selama ini diimpor dapat disubstitusi dengan barang produksi dalam negeri.

Target tersebut diupayakan tercapai secara bertahap dengan 15% substitusi impor dicanangkan tercapai di akhir tahun 2021 ini.

Substitusi diarahkan untuk barang input demi mendorong penambahan nilai di sepanjang rantai produksi dari barang setengah jadi menjadi barang jadi. Untuk mencapai target ini diperkirakan terdapat total kebutuhan investasi sebesar Rp 197 triliun.

Dari total impor barang input Indonesia, porsi terbesar adalah untuk kebutuhan input industri peralatan listrik (19%), makanan (9%), komputer, barang elektronik dan optik (9%), tekstil (9%), kimia dan barang dari kimia (8%), karet dan plastik (7%) serta kendaraan bermotor (7%).

"Pada titik ini tentunya niat pemerintah meningkatkan nilai tambah domestik pada industri hulu tentunya layak diapresiasi. Meskipun demikian yang dapat diperdebatkan adalah strategi dan cara untuk mencapai target substitusi impor tersebut," kata Revindo.

Dia katakan ada dua pandangan besar tentang cara meningkatkan nilai tambah domestik. Pandangan pertama adalah dengan melakukan proteksi produsen dalam negeri terhadap barang impor, melalui kebijakan perdagangan baik hambatan tarif maupun non-tarif.

Pandangan kedua sebaliknya justru berargumen bahwa peningkatan nilai tambah domestik akan terjadi dengan perbaikan iklim investasi, yang salah satu komponennya adalah kemudahan ekspor dan impor.

"Dalam jangka pendek hingga 2022 tampaknya pemerintah Indonesia menempuh strategi yang pertama," kata Revindo. 

Untuk melakukan proteksi, studi Kementerian Perindustrian melaporkan bahwa instrumen kebijakan akan bergantung pada opsi non-tariff measures seperti persetujuan, perizinan, dan lartas (larangan dan batasan) impor.

Terdapat empat program utama yang direncanakan untuk mengakselerasi susbtitusi impor, yaitu Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), kebijakan harga gas, program hilirisasi mineral, dan program Bangga Buatan Indonesia. (Try/E-1)