Seorang laki-laki yang sudah sangat tua bermakmum kepada perempuan maka shalatnya adalah

tirto.id - MUI menerbitkan fatwa mengenai ketentuan beribadah selama pandemi COVID-19 pada Maret 2020. Salah satu isinya adalah imbauan boleh tidak salat lima waktu di masjid, bahkan salat Jumat juga, dengan menggantinya menjadi salat Zuhur di rumah. Hal ini dikhawatirkan bahwa kerumunan di tempat ibadah dapat menyebarkan virus corona SARS-CoV-2.

Wabah COVID-19 ini dianalogikan dengan 'wabah taun' yang disabdakan Nabi Muhammad SAW:

"Wabah taun adalah suatu ayat, tanda kekuasaan Allah SWT yang sangat menyakitkan, yang ditimpakan kepada orang-orang dari hambaNya. Jika kalian mendengar berita dengan adanya wabah taun, maka jangan sekali-kali memasuki daerahnya, jika taun telah terjadi pada suatu daerah dan kalian disana, maka janganlah kalian keluar darinya," (H.R. Muslim).

Di riwayat lain, Rasulullah SAW juga bersabda: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (H.R. Bukhari).

Menurut imbauan MUI, umat Islam diharapkan tidak membuat kerumunan selama beribadah, termasuk salat berjamaah di masjid, jika keadaannya membahayakan kesehatan masyarakat luas.

Salat wajib lima waktu berjamaah di masjid dapat diganti dengan salat di rumah bersama keluarga. Dalam keadaan ini, jumlah jamaah salat biasanya tidak sebanyak ketika berada di masjid.

Baca juga: Isi Lengkap Fatwa MUI tentang Sholat Jumat Saat Pandemi COVID-19

Terdapat beberapa posisi salat berjamaah yang lazim dipraktikkan di rumah, yaitu:

1. Imam dengan jumlah makmum dua orang atau lebih

Jika makmum dalam salat berjamaah jumlahnya lebih dari dua orang, maka makmum membentuk barisan.

Posisi ini paling mudah dilakukan karena persis seperti kondisi salat berjamaah di masjid sebelum wabah COVID-19.

2. Imam dengan satu orang makmum laki-laki

Jika makmum sendirian saja bersama imam, maka posisinya berdiri sejajar dengan imam. Imam berada di sebelah kanan dan makmum di sebelah kiri.

Dalilnya bersandar pada riwayat Abdullah bin ‘Abbas RA, ia berkata:

“Saya pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah binti Al-Harits (istri Rasulullah SAW). Aku melihat Rasulullah SAW salat Isya (di masjid), kemudian beliau pulang, dan salat empat rakaat. Lalu beliau tidur. Kemudian, beliau bangun malam. Aku pun datang dan berdiri di sebelah kiri beliau. Lalu beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Beliau salat lima rakaat, kemudian salat dua rakaat, lalu tidur kembali," (H.R. Bukhari).

3. Makmum berjenis kelamin perempuan

Jika seseorang mengimami makmum berjenis kelamin perempuan, baik itu jumlahnya satu atau lebih dari seorang, maka posisi makmum di belakang imam.

Rujukannya adalah riwayat dari Anas bin Malik RA, ia berkata: “Aku salat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi SAW, dan ibuku, Ummu Sulaim di belakang kami," (H.R. Bukhari dan Muslim).

4. Perempuan mengimami makmum perempuan

Jika tak ada laki-laki di waktu salat, maka perempuan boleh menjadi imam. Kalau jumlahnya dua orang, maka posisinya sama dengan posisi laki-laki berdua di atas.

Namun, jika jumlah perempuannya lebih dari dua orang, maka imam perempuan posisinya berada di tengah jamaah.

Hal ini dirujuk dari Rabthah al-Hanafiyah, ia berkata : "Aisyah RA pernah mengimami para wanita dan ia berdiri di antara mereka dalam salat wajib," (H.R. Abdurrazaq dan Baihaqi).

5. Salat di ruangan sempit

Jika kondisi ruangan salat berada di tempat sempit sehingga posisi imam tidak dapat berada di tempat ideal, maka posisinya sebaiknya menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan.

Rujukannya adalah riwayat dari Al-Aswad bin Yazid, ia berkata:

“Aku bersama Alqamah masuk ke rumah Ibnu Mas’ud. Lalu beliau berkata kepada kami: 'Apakah kalian sudah salat?' Kami berkata: 'belum.' Beliau mengatakan: 'Kalau begitu bangunlah dan salat!'

Maka kami pergi untuk salat bermakmum kepada beliau. Beliau memposisikan salah satu dari kami di sebelah kanan beliau dan yang lain di kiri beliau … beliau lalu berkata: 'Demikianlah yang aku lihat dari perbuatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam" (HR. Muslim dan Nasa'i).

Baca juga: Niat Sholat Idul Adha & Panduan Salat Hari Raya Kurban Saat Corona

Secara umum, sebagaimana dilansir NU Online, posisi makmum laki-laki yang sudah balig berada di saf atau barisan paling depan, lalu ketika saf awal tidak cukup, dilanjutkan pada saf selanjutnya, lalu di belakang barisan laki-laki dewasa ditempati oleh anak kecil laki-laki yang belum baligh, lalu saf selanjutnya ditempati oleh khuntsa (orang berkelamin ganda), lalu saf selanjutnya ditempati oleh para makmum perempuan.

Sebaiknya anak kecil tidak menempati saf-saf depan selama masih ada laki-laki dewasa yang akan menempatinya, karena posisi ideal bagi anak kecil adalah di belakang laki-laki dewasa.

Akan tetapi, ketika saf awal tidak penuh, anak kecil barulah boleh menempati saf-saf depan yang sejajar dengan laki-laki balig. Tujuannya untuk menyempurnakan saf. Hal ini dikecualikan jika anak kecil itu memang datang lebih awal dibandingkan dengan orang-orang yang telah balig, maka ia boleh menempati saf depan.

Baca juga: Amalan & Keutamaan Bulan Dzulhijjah: Puasa, Kurban, Salat Iduladha

Baca juga artikel terkait SALAT atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/ylk)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Yulaika Ramadhani
Kontributor: Abdul Hadi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Jakarta -

Sholat berjamaah merupakan salat yang dikerjakan dua orang atau lebih dengan salah seorang darinya menjadi imam dan lainnya makmum. Dalam hal ini, bolehkah seorang laki-laki bermakmum kepada perempuan?

Pelaksanaan sholat berjamaah memiliki sejumlah keutamaan. Salah satunya seperti disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Artinya: "Salat berjamaah lebih utama dibandingkan salat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat." (HR Bukhari dan Muslim).

Ketentuan mengenai tata cara sholat berjamaah umumnya dijelaskan dalam aturan fikih salat. Disebutkan dalam buku Kitab Lengkap Shalat, Shalawat, Zikir, dan Doa karya Ibnu Watiniyah, imam sholat merupakan seorang laki-laki kecuali apabila dikerjakan perempuan saja. Maka, dalam hal ini perempuan boleh menjadi imam.

Lantas, bolehkah seorang laki-laki bermakmum kepada perempuan? Mengutip buku Fikih Jumhur: Masalah-masalah Fikih yang Disepakati Mayoritas Ulama karya Muhammad Na'im Muhammad Hani Sa'i, jumhur ulama berpendapat tidak sah bagi kaum laki-laki bermakmum kepada perempuan, baik dalam sholat fardhu maupun sunnah.

Pendapat tersebut mengacu pada tujuh mazhab fuqaha Madinah dari kalangan tabi'in, Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi'i Ahmad, dan Dawud. KH Imaduddin Utsman al-Batanie dalam Buku Induk Fikih Islam Nusantara juga menjelaskan, perempuan dilarang menjadi imam sholat bagi laki-laki walaupun pandai mengaji.

Pendapat mengenai ketidakbolehan seorang laki-laki bermakmum kepada perempuan ini bersandar pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, yang berbunyi: "Perempuan janganlah dijadikan imam sedangkan makmumnya laki-laki."

Imam Asy-Syafi'i dalam Al-Umm (Kitab Induk) menjelaskan penyebab laki-laki bermakmum pada perempuan saat sholat. Menurutnya, Allah SWT telah menjadikan pria sebagai pemimpin. Allah SWT juga tidak menunjuk perempuan sebagai seorang wali, layaknya tugas laki-laki.

"Allah 'Azza wa Jalla menjadikan kaum lelaki itu pemimpin atas kaum wanita. Dan Ia menyingkatkan kaum wanita daripada menjadi wali dan yang lain dari yang demikian," tulis Imam Asy-Syafi'i.

Penjelasan Allah SWT tentang tugas laki-laki sebagai imam terdapat dalam QS An-Nisa ayat 34

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Arab latin: Ar-rijālu qawwāmụna 'alan-nisā`i bimā faḍḍalallāhu ba'ḍahum 'alā ba'ḍiw wa bimā anfaqụ min amwālihim, faṣ-ṣāliḥātu qānitātun ḥāfiẓātul lil-gaibi bimā ḥafiẓallāh, wallātī takhāfụna nusyụzahunna fa'iẓụhunna wahjurụhunna fil-maḍāji'i waḍribụhunn, fa in aṭa'nakum fa lā tabgụ 'alaihinna sabīlā, innallāha kāna 'aliyyang kabīrā

Artinya: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."

Hukum Wanita Menjadi Imam Sholat

Merujuk pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ditetapkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII pada 26-29 Juli 2005 silam, ada dua hukum mengenai wanita menjadi imam dalam sholat, sebagai berikut:

1. Wanita menjadi imam sholat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah.

2. Wanita menjadi imam sholat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.

Syarat Menjadi Imam Sholat Berjamaah

Berikut syarat yang harus dipenuhi terkait siapa orang yang boleh menjadi imam dalam sholat berjamaah:

1. Laki-laki bermakmum kepada laki-laki2. Perempuan bermakmum kepada laki-laki3. Perempuan bermakmum kepada perempuan4. Khun-tsa musykil bermakmum kepada laki-laki

5. Perempuan bermakmum kepada khun-tsa musykil

Khun-tsa musykil pada ketentuan imam sholat berjamaah adalah seseorang yang sulit diketahui identitasnya. Saat khuntsa sholat bersama wanita, maka dia tidak boleh menjadi makmum.

Simak Video "2 Pria Geber Knalpot Bising dan Ugal-ugalan Saat Warga Salat Id di Cianjur"



(kri/row)