08 Dec 2021, 10:16 WIB - Oleh: Show
Munir Bisnis.com, SOLO - Tepat pada 8 Desember 1965 lalu, seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib dilahirkan. Munir sapaan akrabnya itu lahir di Kabupaten Batu, Jawa Timur. Ia merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara dari pasangan Said Thalib dan Jamilah. Munir diketahui sudah aktif terlibat dalam berbagai organisasi sejak usianya masih muda. Saat kuliah di Universitas Brawijaya Malang, Munir tercatat aktif di Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia, Forum Studi Mahasiswa untuk pengembangan berpikir, serta sebagai aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Setelah menyelesaikan kuliahnya pada 1989, Munir memulai karirnya sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) cabang Surabaya. Selama aktif di LBH tersebut, Munir kerap bersinggungan dengan pihak aparat keamanan karena melakukan advokasi terhadap kasus yang dialami masyarakat miskin. Pada tahun 1998, Munir ikut mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan pernah menjabat sebagai direktur Imparsial, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus mengawasi penegakan dan penghormatan atas HAM di Indonesia. Saat rezim orde baru masih berkuasa, ia tak gentar untuk menyuarakan nasib kaum buruh, mahasiswa dan pemuda serta kelompok masyarakat lain yang mengalami penindasan. Dibunuh dalam pesawatPada 7 September 2004, nasib malang dialami Munir saat sedang melakukan penerbangan menggunakan pesawat Garuda Indonesia ke Amsterdam. Pasalnya, dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam pukul 08.10 waktu setempat, ia tewas karena racun arsenik. Informasi itu didapat dari hasil otopsi kepolisian Belanda dan Indonesia. Dari hasil penyelidikan itu, Pollycarpus Budihari Priyanto yang merupakan pilot Garuda Indonesia ditetapkan sebagai tersangka. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus ia bersalah dan menghukumnya 14 tahun penjara pada 12 Desember 2005. Motif pembunuhan masih misteriTerkait dengan motif sebenarnya kasus pembunuhan terhadap Munir hingga saat ini masih menjadi misteri. Dikutip dari Tempo, ada dugaan Munir tewas dibunuh karena membawa dokumen penting seputar pelanggaran HAM seperti kasus Talangsari, penculikan aktivis 1998, hingga kampanye hitam pada Pilpres 2004. Informasi tersebut disampaikan Kolonel Budi Santoso, Deputi Perencanaan dan Pengendalian Operasi Badan Intelijen Negara yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan Munir. Dalam kesaksiannya kepada penyidik di Kuala Lumpur pada Mei 2008 itu, Budi mengaku pernah ada rapat internal lembaganya bahwa ada informasi Munir akan menjual data penting ke Belanda untuk studi hukum. Namun demikian, AM Hendropriyono tidak berkenan dan minta untuk dicegah. A.M Hendropriyono, Kepala BIN 2001-2004, juga sudah menyangkal lembaga yang dipimpinnya mengincar Munir. “Munir bukan orang yang membahayakan,” katanya. Hendro mengatakan tahun 2004 bahkan Munir sudah merapat ke kubu PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri, presiden yang dekat dengannya. Simak Video Pilihan di Bawah Ini :
Editor: Setyo Puji Santoso
INDOZONE.ID - Sudah 17 tahun berlalu semenjak aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib tewas akibat diracun saat menumpang pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam, Belanda. Namun sampai saat ini, kasus tersebut masih menemui titik terang kendati seorang pilot Pollycarpus sudah dihukum dan dipenjara. Bahkan sampai saat ini, kronologi kejadian masih simpang siur, termasuk apakah benar Pollycarpus bersalah. Seperti yang diungkap pakar forensik terkemuka Indonesia, mendiang dr. Abdul Mun'im Idries, Sp.F dalam bab "30 Menit Kematian Menjemput Munir" di bukunya "Indonesia X-Files." Dalam buku tersebut, kasus tersebut ditutup dengan cara yang tidak mengenakkan pasca sang pilot dijadikan tersangka. Hari kejadian.6 September 2004, Munir Said Thalib yang akan melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda menaiki pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA-974 tujuan Amsterdam pada pukul 21.30 WIB. Saat akan memasuki pintu pesawat, Munir bertemu Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang biasa dipanggil Polly. Status Polly dalam penerbangan ini adalah extra crew, yaitu kru yang terbang sebagai penumpang dan akan bekerja untuk tugas lain. Mereka bertemu di dekat pintu masuk kelas bisnis. Sebagai penumpang kelas ekonomi, Munir sebenarnya akan lebih dekat dengan tempat duduknya bila masuk melalui pintu belakang. Diawali percakapan dengan Polly, Munir berakhir di tempat duduk kelas bisnis, nomor 3K. Kursi 3K adalah tempat duduk Polly, sementara milik Munir adalah 40G. Dua kesaksian perpindahan kursi.Ada dua cerita tentang kepindahan Munir ke kelas bisnis itu, yaitu menurut kisah Polly dan seorang purser bernama Brahmanie yang mempersilahkan Polly duduk di kelas premium karena kosong. Dalam sidang PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Pusat, Brahmanie bersaksi.
Sementara itu, dalam wawancara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Polly bercerita,
Baca Juga: Heboh Video Pasangan Gancet, Sang Wanita Teriak Lirih Minta Tolong Sampai Didoakan Ustadz Jus jeruk dan mie goreng.Sebelum pesawat tinggal landas, di kelas bisnis, Yeti Susmiarti menyajikan welcome drink. Penumpang diminta mengambil gelas berisi sampanye, jus jeruk, atau jus apel, lalu Munir memilih jus jeruk. Selesai minuman pembuka, pramugari senior itu membagikan sauna towel (handuk panas), yang biasa digunakan untuk mengelap tangan, lalu memberikan surat kabar kepada penumpang yang ingin membacanya. Semua layanan itu disajikan Yeti sendiri, dengan bantuan Oedi Irianto, pramugara senior, yang menyiapkan segala keperluannya di pantry. Pukul 22.02 WIB pesawat yang dikendalikan Kapten Pilot Sabur Muhammad Taufik itu tinggal landas. Sekitar 15 menit setelah tinggal landas, pramugari menawarkan beberapa pilihan makanan dalam kemasan yang masih panas di atas nampan. Di kursi 3K, Munir memilih mi goreng. Selesai mi, Yeti kembali memberi tawaran minuman, kali ini lebih banyak pilihan daripada welcome drink. Munir kembali memilih jus jeruk. Coffee Bean bandara Changi.Setelah mengarungi langit pulau Jawa, Sumatera, dan laut di sekitarnya selama 1 jam 38 menit, pesawat GA 974 mendarat di Bandara Changi, Singapura pukul 00.40 waktu setempat. Zona waktu Singapura satu jam lebih awal ketimbang WIB. Awak kabin memberi penumpang waktu untuk jalan-jalan atau kegiatan apa saja di Bandara Changi selama 45 menit. Karena keluar dari pintu bisnis, Munir pun lebih cepat mencapai Coffee Bean dibanding jika keluar dari pintu ekonomi. Usai singgah di kedai itu, dia kembali menuju ke pesawat melaui gerbang D 42. Di perjalanan menuju pintu Garuda, dia disapa oleh seorang laki-laki bernama dr. Tarmizi dari Rumah Sakit Harapan Kita. Karena Polly hanya sampai Singapura, Munir pun kembali ke tempat duduk aslinya untuk penerbangan Singapura-Amsterdam. Total waktu transit di Changi (antara block on dan block off) adalah 1 jam 13 menit, jumlah waktu yang digunakan pesawat untuk pengisian bahan bakar, penggantian seluruh awak kokpit dan kabin, serta penambahan penumpang dari Singapura. Munir mengeluh sakit perut.Sebelum pesawat mengangkasa, pramugari Tia mengecek kesiapan penumpang untuk tinggal landas. Saat melakukan kewajibannya, dia dipanggil oleh Munir yang meminta obat Promag, namun tidak memiliki obat. Munir lalu meminta teh hangat. Tia pun menyajikan teh panas yang dituangkan dari teko ke gelas di atas troli. Ketika Tia melanjutkan melayani penumpang lain, Munir melewatinya di gang menuju toilet. Ini kali pertama Munir pergi ke toilet, sekitar 30 menit setelah tinggal landas dan itu terjadi terus menerus, bahkan sampai muntaber. Munir pun meminta seorang petugas mencarikan dr. Tarmizi. Kepadanya, munir mengeluh kesakitan dan mulai batuk-batuk. Munir sempat masuk ke kamar mandi selama sepuluh menit dan terlihat lemas. Madjib membuka pintu lebih lebar dan melihat laki-laki 38 tahun itu sedang bersandar lemas di dinding toilet. Setelah di bawa ke ruang duduknya, Munir pun tertidur. Dua jam sebelum mendarat.Sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat, jam 05.10 GMT atau 12.10 WIB, ketika sarapan masih berlangsung dan lampu kabin masih menyala, Madjib kembali melangkahkan kaki mengunjungi “tempat tidur” Munir. Di depan kursi 4D-E, dia melihat tubuh Munir dalam posisi miring menghadap kursi, mulutnya mengeluarkan air liur tidak berbusa, dan telapak tangannya membiru. Dia memegang tangan Munir dan mendapati rasa dingin. Madjib yang kaget bergegas menuju kursi sang dokter. Dokter memegang pergelangan tangan Munir sambil dengan tangan satunya menepuk-nepuk punggung. Dia berulang-ulang berujar, “Pak Munir… Pak Munir….“ Akhirnya, memandang purser Madjib, dr. Tarmizi berkata pelan, “Purser, Pak Munir meninggal. Arsenik dan persidangan Pollycarpus.Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya. Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik. Salah satu yang membuat Pollycarpus didakwa juga berasal dari dr. Forensik yang memperkirakan dimanakah racun itu dimasukkan. Apakah saat makan di pesawat atau saat transit di Changi. Pelanggaran HAM Berat.Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana berharap agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menetapkan pembunuhan tersebut sebagai kasus pelanggaran HAM berat agar tetap bisa diusut meski sudah masuki kadaluwarsa.
Artikel Menarik Lainnya: |