Salah satu aktivis HAM yang diracun di pesawat ketika akan menuju ke Belanda adalah

Oleh:

Antara Munir

Bisnis.com, SOLO - Tepat pada 8 Desember 1965 lalu, seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib dilahirkan.

Munir sapaan akrabnya itu lahir di Kabupaten Batu, Jawa Timur.

Ia merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara dari pasangan Said Thalib dan Jamilah.

Munir diketahui sudah aktif terlibat dalam berbagai organisasi sejak usianya masih muda.

Saat kuliah di Universitas Brawijaya Malang, Munir tercatat aktif di Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia, Forum Studi Mahasiswa untuk pengembangan berpikir, serta sebagai aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Setelah menyelesaikan kuliahnya pada 1989, Munir memulai karirnya sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) cabang Surabaya.

Selama aktif di LBH tersebut, Munir kerap bersinggungan dengan pihak aparat keamanan karena melakukan advokasi terhadap kasus yang dialami masyarakat miskin.

Pada tahun 1998, Munir ikut mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan pernah menjabat sebagai direktur Imparsial, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus mengawasi penegakan dan penghormatan atas HAM di Indonesia.

Saat rezim orde baru masih berkuasa, ia tak gentar untuk menyuarakan nasib kaum buruh, mahasiswa dan pemuda serta kelompok masyarakat lain yang mengalami penindasan.

Dibunuh dalam pesawat

Pada 7 September 2004, nasib malang dialami Munir saat sedang melakukan penerbangan menggunakan pesawat Garuda Indonesia ke Amsterdam.

Pasalnya, dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam pukul 08.10 waktu setempat, ia tewas karena racun arsenik.

Informasi itu didapat dari hasil otopsi kepolisian Belanda dan Indonesia.

Dari hasil penyelidikan itu, Pollycarpus Budihari Priyanto yang merupakan pilot Garuda Indonesia ditetapkan sebagai tersangka.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus ia bersalah dan menghukumnya 14 tahun penjara pada 12 Desember 2005.

Motif pembunuhan masih misteri

Terkait dengan motif sebenarnya kasus pembunuhan terhadap Munir hingga saat ini masih menjadi misteri.

Dikutip dari Tempo, ada dugaan Munir tewas dibunuh karena membawa dokumen penting seputar pelanggaran HAM seperti kasus Talangsari, penculikan aktivis 1998, hingga kampanye hitam pada Pilpres 2004.

Informasi tersebut disampaikan Kolonel Budi Santoso, Deputi Perencanaan dan Pengendalian Operasi Badan Intelijen Negara yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhan Munir.

Dalam kesaksiannya kepada penyidik di Kuala Lumpur pada Mei 2008 itu, Budi mengaku pernah ada rapat internal lembaganya bahwa ada informasi Munir akan menjual data penting ke Belanda untuk studi hukum. Namun demikian, AM Hendropriyono tidak berkenan dan minta untuk dicegah.

A.M Hendropriyono, Kepala BIN 2001-2004, juga sudah menyangkal lembaga yang dipimpinnya mengincar Munir.

“Munir bukan orang yang membahayakan,” katanya.

Hendro mengatakan tahun 2004 bahkan Munir sudah merapat ke kubu PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri, presiden yang dekat dengannya.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Editor: Setyo Puji Santoso

INDOZONE.ID - Sudah 17 tahun berlalu semenjak aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib tewas akibat diracun saat menumpang pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam, Belanda. Namun sampai saat ini, kasus tersebut masih menemui titik terang kendati seorang pilot Pollycarpus sudah dihukum dan dipenjara. 

Bahkan sampai saat ini, kronologi kejadian masih simpang siur, termasuk apakah benar Pollycarpus bersalah. 

Seperti yang diungkap pakar forensik terkemuka Indonesia, mendiang dr. Abdul Mun'im Idries, Sp.F dalam bab "30 Menit Kematian Menjemput Munir" di bukunya "Indonesia X-Files." Dalam buku tersebut, kasus tersebut ditutup dengan cara yang tidak mengenakkan pasca sang pilot dijadikan tersangka. 

Hari kejadian.

6 September 2004, Munir Said Thalib yang akan melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda menaiki pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA-974 tujuan Amsterdam pada pukul 21.30 WIB.

Saat akan memasuki pintu pesawat, Munir bertemu Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang biasa dipanggil Polly. Status Polly dalam penerbangan ini adalah extra crew, yaitu kru yang  terbang sebagai penumpang dan akan bekerja untuk tugas lain. 

Mereka  bertemu di dekat pintu masuk kelas bisnis. Sebagai penumpang kelas ekonomi, Munir sebenarnya akan lebih dekat dengan tempat duduknya bila masuk melalui pintu belakang. 

Diawali percakapan dengan Polly, Munir  berakhir di tempat duduk kelas bisnis, nomor 3K. Kursi 3K adalah tempat duduk Polly, sementara milik Munir adalah 40G. 

Dua kesaksian perpindahan kursi. 

Ada dua cerita tentang kepindahan Munir ke kelas bisnis itu, yaitu menurut kisah Polly dan seorang purser bernama Brahmanie yang mempersilahkan Polly duduk di kelas premium karena kosong. Dalam sidang PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Pusat, Brahmanie bersaksi.

“Saat sedang di depan toilet bisnis, saya berpapasan dengan Saudara Polly. Lalu, Saudara Polly, sambil  memegang boarding pass warna hijau, bertanya dalam bahasa Jawa, ‘Mbak,  nomer 40G nang endi? Mbak, aku ijolan karo kancaku,’ (Mbak, nomor 40G di  mana? Mbak, saya bertukar tempat dengan teman saya.) tanpa menyebutkan  nama temannya. Karena nama temannya tidak disebutkan, saya ingin tahu  siapa teman Saudara Polly. Lalu, saya datangi nomor 3K, dan ternyata  yang duduk di sana Saudara Munir, yang lalu saya salami. Saudara Polly  tidak duduk di 40G, tapi di premium class nomor 11B atas anjuran saya  karena banyak tempat duduk yang kosong.” 

Sementara itu, dalam wawancara  di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Polly bercerita, 

“Saya ketemu  Munir di pintu pesawat Garuda Indonesia, di bandara Jakarta. Dia tanya  di pintu bisnis, ‘Tempat duduk ini di mana?’ Saya bilang, ‘Wah Bapak ini  di ekonomi, cuma tempat duduknya yang mana saya tidak hafal.’ Kemudian,  itu kan antre, ada banyak penumpang lain mau masuk, saya persilakan  duluan. Saya sebagai kru lebih baik ngalah, toh sama-sama naik pesawat,  nggak mungkin ditinggal. Setelah itu, karena saya mau masuk ke ruang  bisnis, mau melangkah ke dalam pesawat, saya bilang kepada Munir, ‘Saya  duduk di bisnis, kalau Bapak mau di sini, ya Bapak tanya dulu sama  pimpinan kabin, kalau diizinkan ya silakan, bila tidak ya mohon maaf.’  Bahasa saya seperti itu. Sudah, itu saja.”

Salah satu aktivis HAM yang diracun di pesawat ketika akan menuju ke Belanda adalah
Munir Said Thalib. (Instagram/@parlemen.mahasiswa)

Baca Juga: Heboh Video Pasangan Gancet, Sang Wanita Teriak Lirih Minta Tolong Sampai Didoakan Ustadz

Jus jeruk dan mie goreng.

Sebelum pesawat tinggal landas, di kelas bisnis, Yeti Susmiarti menyajikan welcome drink.  Penumpang diminta mengambil gelas berisi sampanye, jus jeruk, atau jus  apel, lalu Munir memilih jus jeruk. Selesai minuman pembuka, pramugari senior  itu membagikan sauna towel (handuk panas), yang biasa digunakan untuk  mengelap tangan, lalu memberikan surat kabar kepada penumpang yang ingin membacanya. 

Semua layanan itu disajikan Yeti sendiri, dengan bantuan  Oedi Irianto, pramugara senior, yang menyiapkan segala keperluannya di  pantry. Pukul 22.02 WIB pesawat yang dikendalikan Kapten Pilot Sabur  Muhammad Taufik itu tinggal landas.

Sekitar 15 menit setelah tinggal landas, pramugari menawarkan  beberapa pilihan makanan dalam kemasan yang masih panas di atas nampan.  Di kursi 3K, Munir memilih mi goreng. Selesai mi, Yeti kembali memberi  tawaran minuman, kali ini lebih banyak pilihan daripada welcome drink. Munir kembali  memilih jus jeruk.

Coffee Bean bandara Changi.

 Setelah mengarungi langit pulau Jawa, Sumatera, dan  laut di sekitarnya selama 1 jam 38 menit, pesawat GA 974 mendarat di  Bandara Changi, Singapura pukul 00.40 waktu setempat. Zona waktu Singapura satu jam lebih awal ketimbang WIB. Awak kabin memberi  penumpang waktu untuk jalan-jalan atau kegiatan apa saja di Bandara Changi selama 45 menit.

Karena keluar dari pintu bisnis, Munir pun lebih cepat mencapai  Coffee Bean dibanding jika keluar dari pintu ekonomi. Usai singgah di  kedai itu, dia kembali menuju ke pesawat melaui gerbang D 42. Di perjalanan menuju pintu Garuda, dia disapa oleh seorang laki-laki bernama dr. Tarmizi dari Rumah Sakit Harapan Kita.

Karena Polly hanya sampai Singapura,  Munir pun kembali ke tempat duduk aslinya untuk penerbangan  Singapura-Amsterdam. Total waktu transit di Changi (antara block on dan  block off) adalah 1 jam 13 menit, jumlah waktu yang digunakan pesawat  untuk pengisian bahan bakar, penggantian seluruh awak kokpit dan kabin,  serta penambahan penumpang dari Singapura.

Munir mengeluh sakit perut.

Sebelum pesawat mengangkasa, pramugari Tia mengecek kesiapan  penumpang untuk tinggal landas. Saat melakukan kewajibannya, dia dipanggil oleh Munir yang meminta obat Promag, namun tidak memiliki obat. Munir lalu meminta teh hangat. Tia pun menyajikan teh panas yang dituangkan dari teko ke gelas di atas troli. 

Ketika Tia  melanjutkan melayani penumpang lain, Munir melewatinya di gang menuju  toilet. Ini kali pertama Munir pergi ke toilet, sekitar 30 menit setelah  tinggal landas dan itu terjadi terus menerus, bahkan sampai muntaber.

Munir pun meminta seorang petugas mencarikan dr. Tarmizi. Kepadanya, munir mengeluh kesakitan dan mulai batuk-batuk. Munir sempat masuk ke kamar mandi selama sepuluh menit dan terlihat lemas. Madjib membuka pintu lebih lebar dan melihat laki-laki 38  tahun itu sedang bersandar lemas di dinding toilet. Setelah di bawa ke ruang duduknya, Munir pun tertidur. 

Dua jam sebelum mendarat.

Sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat, jam 05.10 GMT atau 12.10  WIB, ketika sarapan masih berlangsung dan lampu kabin masih menyala,  Madjib kembali melangkahkan kaki mengunjungi “tempat tidur” Munir. Di  depan kursi 4D-E, dia melihat tubuh Munir dalam posisi miring menghadap  kursi, mulutnya mengeluarkan air liur tidak berbusa, dan telapak  tangannya membiru. Dia memegang tangan Munir dan mendapati rasa dingin.  

Madjib yang kaget bergegas menuju kursi sang dokter. Dokter memegang pergelangan tangan Munir sambil dengan tangan satunya menepuk-nepuk punggung. Dia berulang-ulang berujar, “Pak Munir… Pak Munir….“ Akhirnya, memandang purser Madjib, dr. Tarmizi berkata pelan, “Purser, Pak Munir meninggal. 

Arsenik dan persidangan Pollycarpus.

Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum  diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.

Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14  tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. 

Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum  pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah  telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak  menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Salah satu yang membuat Pollycarpus didakwa juga berasal dari dr. Forensik yang memperkirakan dimanakah racun itu dimasukkan. Apakah saat makan di pesawat atau saat transit di Changi. 

Pelanggaran HAM Berat.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana berharap agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menetapkan pembunuhan tersebut sebagai kasus pelanggaran HAM berat agar tetap bisa diusut meski sudah masuki kadaluwarsa.

“Kami sangat berharap Komnas HAM segera bekerja untuk menetapkan kasus ini sebagai kasus HAM berat,” kata Arif dalam audiensi publik bertajuk “Penuntasan Kasus Munir” yang diselenggarakan oleh Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) dan disiarkan secara langsung di kanal YouTube Jakartanicus, Senin (6/9/2021).

Artikel Menarik Lainnya:

Salah satu aktivis HAM yang diracun di pesawat ketika akan menuju ke Belanda adalah