Memuliakan Allah Swt. dengan cara benar yaitu

Diriwayatkan dari Abu Syaraih bahwa ia dulu diberi kunyah (sebutan, nama panggilan) “Abul Hakam”, Maka Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepadanya :

“إن الله هو الحكم، وإليه الحكم، فقال : إن قومي إذا اختلفوا في شيء أتوني فحكمت بينهم، فرضي كلا الفريقين، فقال : ما أحسن هذا، فما لك من الولد ؟ قلت : شريح، ومسلم، وعبد الله، قال : فمن أكبرهم ؟ قلت : شريح، قال : فأنت أبو شريح” رواه أبو داود وغيره.

“Allah Subhanahu wata’ala adalah Al Hakam, dan hanya kepadaNya segala permasalahan dimintakan keputusan hukumnya”, kemudian ia berkata kepada Nabi Shallallahu’alaihi wasallam : “Sesungguhnya kaumku apabila berselisih pendapat dalam suatu masalah mereka mendatangiku, lalu aku memberikan keputusan hukum di antara mereka, dan kedua belah pihak pun sama-sama menerimanya”, maka Nabi bersabda : “Alangkah baiknya hal ini, apakah kamu punya anak ?” aku menjawab : “Syuraih, Muslim dan Abdullah”, Nabi bertanya : “siapa yang tertua diantara mereka ? “Syuraih” jawabku, Nabi bersabda : “kalau demikian kamu Abu Syuraih”. (HR. Abu Daud dan ahli hadits  lainnya).

Kandungan  bab ini :

  1. Wajib memuliakan Nama dan Sifat Allah (dan dilarang menggunakan nama atau kunyah yang maknanya sejajar dengan nama Allah) walaupun tidak bermaksud demikian.
  2. Dianjurkan mengganti nama yang kurang baik untuk memuliakan Nama Allah.
  3. Memilih nama anak yang tertua untuk kunyah (nama panggilan).

3.585242 98.675598

Ketiga hal tersebut sangat istimewa apabila didapatkan oleh seorang hamba.

Pixabay

Tiga Cara Bagi Allah Memuliakan Hamba-Nya

Rep: Imas Damayanti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibnu Athaillah dalam kitab Al-Hikam merangkum tiga hal tentang tiga cara bagi Allah memuliakan hamba-Nya. Ketiga hal tersebut sangat istimewa apabila didapatkan oleh seorang hamba.

Baca Juga

Ibnu Athaillah berkata: “Ashadaka min qabli an yasytahidaka, fanathaqat bi-uluhiyyatihi az-zhawaahiru wa tahaqqaqat bi-ahadiyyatihi al-qulubu wa as-saraa-iru. Akramaka bikaraamati tsalatsin; ja’alaka dzakran lahu, walaw la fadhluhu lam takun ahlan lijaryaani dzikrihi alaika, wa ja’alaka madzkuran bihi idz haqqaqa nisbatahu ladaika, wa ja’alaka madzkuran indahu fatammama ni’matahu alaika,”.

Yang artinya: “Allah membuatmu dapat menyaksikan-Nya sebelum memintamu untuk berusaha menyaksikan-Nya. Itulah penyebab seluruh anggota tubuh mengakui sisi ketuhanan-Nya, dan segenap hati dan relung batin mengakui keesaan-Nya.

Allah memuliakanmu dengan tiga cara. Pertama, menjadikanmu berdzikir kepada-Nya.

Andai saja bukan karena karunia-Nya, tentu engkau tidak layak berdzikir kepada-Nya. Kedua, menjadikanmu dikenal orang sebab Dia menisbatkan dzikir tadi itu kepadamu. Ketiga, membuatmu disebut-sebut di sisi-Nya sehingga nikmat yang Dia berikan padamu menjadi sempurna.

Ibnu Athaillah menjelaskan pada dasarnya Allah telah menampakkan keesaan-Nya di alam arwah sebelum meminta hamba-Nya untuk menyaksikan-Nya dengan jasadnya sendiri. Allah meminta seorang hamba bersaksi setelah menempatkan keesaan-Nya di dalam jasad sehingga jasad berbicara tentang ketuhanan-Nya dengan lisan dan ucapan.

  • allah
  • allah memuliakan hamba

Memuliakan Allah Swt. dengan cara benar yaitu

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Kita akan membahas tentang apa arti memuliakan Allah. Di dalam rumusan Katekismus Westminster, pertanyaan yang pertama yang diajukan: Apakah tujuan utama hidup manusia? Di situ jawabannya adalah: untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya. Apa arti memuliakan Allah?

Alkitab mengajarkan 6 (enam) cara bagaimana memuliakan Allah.

Pertama, memuliakan Allah berarti puas dengan Dia, menikmati Dia. 

Bukan kebetulan kalau perumus Katekismus Wesminster menghubungkan memuliakan Allah dengan menikmati Allah. Orang-orang yang menikmati Allah adalah orang-orang yang memuliakan Allah. Orang yang memuliakan Allah, juga akan menikmati Dia.Dalam Mazmur 73:25, Asaf mengatakan, “Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.” Lalu di ayat 26 Asaf menegaskan, “Sekalipun hatiku dan dagingku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” Ketika Asaf merasa puas bersama dengan Allah, dan dengan memiliki Allah (bukan terutama karena berkat-berkat-Nya), maka Asaf telah memuliakan Allah.Mazmur Asaf ini menunjukkan pengakuan Asaf bahwa Allah lebih mulia daripada yang lain. Asaf mengakui bahwa Allah lebih berharga dan lebih bernilai dari apapun juga yang ada di dalam dunia ini, bahkan lebih bernilai daripada dirinya sendiri. Itu sebabnya dia berkata, “Sekalipun hatiku dan dagingku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” Orang-orang yang puas dengan Allah, mereka memuliakan Allah. Mereka seolah-olah ingin memberitahu orang lain bahwa Allah sajalah yang paling berharga di dalam hidupnya. Dengan demikian mereka telah memberi kemuliaan kepada Allah.

Kedua, memuliakan Allah berarti mengucap syukur kepada Allah. 

Di dalam Roma 1:21 Paulus menyinggung tentang orang-orang berdosa, yang menyembah berhala, dan hidup di dalam dosa. Di sana Paulus mengatakan bahwa mereka tidak memuliakan Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Jadi Paulus mengaitkan antara memuliakan Allah dengan mengucap syukur kepada Allah.Hal yang sama juga bisa kita lihat di dalam Lukas 17 pada saat Tuhan Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta. Tuhan Yesus menyuruh mereka memperlihatkan diri kepada imam, dan di tengah perjalanan itu mereka semua telah sembuh. Namun dari antara sepuluh orang tersebut, hanya satu orang yang kembali kepada Tuhan Yesus dan mengucap syukur. Ketika orang ini mengucap syukur kepada-Nya, Tuhan Yesus berkata, “Di mana yang lain? Apakah hanya orang ini saja yang memuliakan Allah?” Hal ini menunjukkan bahwa mengucap syukur identik dengan memuliakan Allah.Jika kita ingin memuliakan Allah, mengucap syukurlah kepada-Nya. Ibrani 13:15 berkata, “Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya.” Ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya adalah ucapan syukur kita kepada Allah. Mengucap syukur kepada Allah adalah cara kita untuk memuliakan Dia. Apakah kita sudah bersyukur kepada Tuhan untuk apapun keadaan kita, terutama karena kita sudah memiliki Allah? Atau masihkah hidup kita dipenuhi dengan keluhan?

Ketiga, dengan cara beribadah kepada Allah. 

Kata “worship” atau “ibadah”, sebetulnya berasal dari kata Inggris kuno “worthship”. Kata “worth”, berarti kelayakan atau kepantasan. Kata “worth” ini kemudian diberikan imbuhan “ship” yang merujuk kepada kata benda. Artinya, pada waktu kita beribadah kepada Allah, esensinya adalah kita mengakui bahwa Allah memang layak menerima pujian kita, Dia layak diagungkan di tengah ibadah kita.Hal itulah yang dilakukan oleh penghuni di sorga di dalam Wahyu 4:11 yang berkata, “Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan.” Lebih lanjut kemudian di Wahyu 5:11 juga dikatakan: “Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian.” Ibadah tidak bisa dipisahkan dengan satu kata, yaitu “kelayakan” – kelayakan Allah untuk dipuji dan diagungkan. Beribadah kepada Allah adalah salah satu cara kita untuk memuliakan Dia.

Keempat, dengan cara menyelesaikan rencana Allah dalam hidup kita. 

Menyelesaikan rencana Allah yang spesifik dalam hidup kita adalah salah satu cara kita memuliakan Dia. Di dalam Yohanes 17:4 Tuhan Yesus berkata di dalam doa-Nya kepada Bapa, “Aku telah memuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya.” Bagi Tuhan Yesus, memuliakan Allah berarti menyelesaikan semua pekerjaan-pekerjaan yang Bapa berikan kepada-Nya. Demikian juga halnya dengan kita, ketika kita terus berjuang dengan setia mengerjakan pekerjaan Dia yang diberikan kepada kita secara spesifik, maka dengan cara demikian kita memuliakan Allah.

Kelima, dengan cara menggunakan apa yang kita miliki untuk kepentingan (kemuliaan) Allah. 

Paulus di dalam Filipi 1:20-21 mengatakan: “Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku. Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” 

Bagi Paulus, yang penting adalah Kristus dimuliakan. Paulus sangat memahami bahwa memuliakan Allah bukan masalah kita hidup atau kita mati, bukan masalah kita memiliki sesuatu atau tidak memiliki sesuatu. Bagi Paulus, bahkan ketika kita mati kita bisa memuliakan Allah; maka ketika hidup pun, kita harus memuliakan Allah. Ketika kita memiliki sesuatu, kita bisa memakai itu untuk muliakan Allah; dan ketika kita tidak memiliki sesuatu pun, kita masih tetap dapat memuliakan Allah. Apa pun yang ada pada kita, kita harus pakai untuk memuliakan Allah.

Baca Juga: Segala Kemulian Hanya Bagi Allah

Itu sebabnya di dalam 1Korintus 6:20 Paulus berkata, “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu.” Allah sudah memberi kita tubuh dan sudah menebus tubuh kita dengan darah yang mahal, yaitu darah Tuhan Yesus Kristus; maka kita harus memakainya untuk memuliakan Dia. Amsal 3:9 juga mengajarkan, “Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu.” Berarti apa pun yang kita miliki, bagaimana pun keadaan kita, kita harus memuliakan Allah. Ini adalah cara kita memuliakan Dia, yaitu menggunakan apa yang kita miliki untuk kepentingan atau kemuliaan Allah.

Keenam, dengan cara menaati perintah-perintah Allah. 

Paulus menasihati para hamba di dalam Titus 2:10 “jangan curang, tetapi hendaklah selalu tulus dan setia, supaya dengan demikian mereka dalam segala hal memuliakan ajaran Allah, Juruselamat kita.” Ketika kita hidup berintegritas, maka kita memuliakan Allah; dan orang lain juga di dorong untuk memuliakan Allah. Di dalam Matius 5:16 ketika Tuhan Yesus mengingatkan para murid-Nya sebagai terang dunia, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” 

Demikian juga di dalam 2Korintus 9:13, Paulus menasihati jemaat Korintus supaya melalui ketaatan mereka terhadap ajaran Injil, mereka memuliakan Allah. Tentang dirinya sendiri, Paulus berkata: “Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan . . . Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku.” (Filipi 1:20). Tak kalah pentingnya, Amsal 14:31 mengingatkan kita: Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia. Sudahkah hidup kita memuliakan Allah? -Pdt. Yakub Tri Handoko

Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :

https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMIvAsAswmNvHAw?ceid=ID:en&oc=3