Makalah tentang adat basandi Syarak, syarak basandi Kitabullah

Makalah tentang adat basandi Syarak, syarak basandi Kitabullah


1874/DB/2003080My Library (REFERENCE)Tersedia

Judul Seri

-

No. Panggil

080

Penerbit PPIM SUMBAR : Padang., 2003
Deskripsi Fisik

21 cm 395 hlm

Bahasa

Indonesia

ISBN/ISSN

9799740711

Klasifikasi

080

Tipe Isi

-

Tipe Media

-

Tipe Pembawa

-

Edisi

-

Subjek
Info Detail Spesifik

-

Pernyataan Tanggungjawab

-

Tidak tersedia versi lain




DETAIL CANTUMANKembali ke sebelumnyaDetail XMLKutip ini


You're Reading a Free Preview
Pages 6 to 10 are not shown in this preview.


Oleh: Nadya

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis bisa mencurahkan ide dalam menyelesaikan makalah ini. Salawat dan salam juga penulis hadiahkan buat junjungan besar yakni nabi Muhammad SAW.

Kita mengetahui bahwa Minangkabau adalah salah satu adat budaya yang ada di Indonesia yang memiliki tatanan norma dalam mengatur kehidupan berbudaya dalam bermasyarakatnya. Yaitu dengan filosofi “ adat basandi syara’ , syara’ basandi kitabullah “.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah bekerjasama dalam pembuatan makalah ini, serta kepada kakak- kakak yang telah memberikan dukungan demi selesainya makalah ini.

Semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Minangkabau merupakan suku bangsa yang memiliki wilayah yang luas, karena memiliki wilayah yang luas itu tentulah mempunyai peraturan untuk mengatur kehidupan bermasyarakatnya. Seperti dalam pepatah “ Adat Basandi Syara’ , Syara’ Basandi Kitabullah “. Namun tatanan norma itu sudah tidak menjadi tolak ukur lagi bagi masyarakat Minang dalam kehidupan sehari-hari khususnya remaja. Mereka hanya menganggap Minangkabau itu sebagai suku yang mereka bawa secara turun temurun tanpa mengetahui apa saja hal yang di perbolehkan serta hal yang dilarang dalam menjalani kesehariannya sebagai keturunan Minang.

Seperti yang terlihat dalam keseharian, banyak yang tidak mengerti apa maksud dari filosofi “ Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah “. Adapun dalam keseharian ada yang berperilaku sesuai dengan adat tetapi mengabaikan syara’ maupun sebaliknya. Hal tersebut tentulah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dating dari luar individu maupun dari dalam individu itu sendiri.

Maka bertolak dengan hal tersebut diatas, penulis bermaksud mengangkat judul “IMPLEMENTASI ADAT BASANDI SYARA’ , SYARA’ BASANDI KITABULLAH DALAM PERKEMBANGAN REMAJA MINANGKABAU“

B. Rumusan Masalah

1. Apakah filosofi tersebut benar-benar menjadi landasan dalam keseharian? 2. Adakah mereka konsisten terhadap syarak mangato adat mamakai? 3.Sejauh mana pemahaman terhadap filosofi minang tersebut, serta apa kenyataannya dalam mengaktualisasikan hal tersebut ?

4. Apa yang menyebabkan lunturnya pemahaman terhadap hal itu ?

C. Batasan Masalah

Dalam penyusunan makalah ini penulis hanya membatasi pembahasan terhadap aspek kehidupan remaja Minangkabau yang sekarang telah banyak di pengaruhi budaya luar.

D. Tujuan

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan informasi serta untuk memaparkan bagaimana keterkaitan filosofi Minangkabau “ adat basandi syara’ , syara’ basandi kitabullah “ didalam kehidupan khususnya dalam perkembangan kehidupan terhadap remaja Minangkabau. Serta memaparkan apa saja penyebab lunturnya filosofi Minangkabau tersebut. Selain itu tujuan penulis mengadakan makalah ini adalah untuk melengkapi syarat menjadi anggota baru asrama Bundo Kanduang.

E. Metode

Dalam menyelesaikan makalah ini penulis memperoleh sumber melalui artikel-artikel dari internet.

BAB II ISI

A. Awal

Globalisasi telah menciptakan sebuah kenyataan di mana kebutuhan manusia akan kemudahan semakin meningkat. Hal tersebut semakin diperkuat ketika media yang dijadikan sebagai wadah penyaluran kebutuhan tersebut memiliki akses yang cukup menjanjikan sebagai ajang aktualisasi diri. Wadah ini terlihat nyata di dalam perubahan arus pengetahuan dan teknologi. Pada dasarnya, kita mungkin tidak dapat memungkiri pentingnya arti teknologi bagi kehidupuan masyarakat mengingat kebutuhan manusia yang semakin tak terbatas. Dengan kemudahan yang dihasilkan dari teknologi, maka jarak dan waktu hanya akan menjadi ‘lagu lama’ dalam dunia yang semakin mengecil di bawah kemudahan akses informasi dan telekomunikasi tersebut.

Kemudahan, efektivitas dan efisiensi adalah aspek positif dari kemajuan yang ada tersebut. Secara kumulatif, apa yang diwujudkan manusia dalam media-media informasi dan komunikasi sebagai bagian dari kemajuan teknologi itu sendiri mendorong terciptanya suatu karya besar (masterpiece) yang lain dan spektakuler.

Di Indonesia, jika kita coba memandang secara ideal, kemudahan teknologi seharusnya mampu menjadi media sosialisasi yang prospektif untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa negara kita merupakan negara yang memiliki keaneka-ragaman budaya yang sarat akan nilai-nilai. Minimal, sosialisasi budaya tersebut kita sebar dan semaikan di dalam negara kita sendiri. Karena Indonesia memiliki cukup banyak nilai-nilai budaya yang pantas dijadikan komoditas untuk go international !

Namun, kenyataan yang terjadi, di balik kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi informasi dan komunikasi, bangsa kita tidak cukup tanggap terhadap tekanan budaya yang datang dari luar. Proses pem-barat-an (westernization) yang begitu gencar menjadi sesuatu yang fenomenal dewasa ini. Westernisasi mengusung kapitalisme dengan nilai-nilai yang perlahan namun pasti mengikis ‘mahal’nya nilai-nilai budaya alami bangsa kita. Ironisnya, budaya populer ini justru disambut antusias oleh masyarakat Timur yang relatif ‘beradat’ dibanding masyarakat Barat yang cenderung liberal sebagai sumber budaya populer itu sendiri.

Penjelasan penulis di atas jelas terlihat bahwa pada saat sekarang ini memang banyak kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dari perkembangan teknologi, tetapi kemudahan tersebut memiliki dampak lain seperti yang terjadi pada urang mudo di Ranah Minang. Karena dengan kemudahan tersebut remaja Minang khususnya dapat mengetahui budaya luar terutama gaya hidup yang mungkin tidak sesuai dengan syarak mangato adat mamakai.

B. Budaya Populer yang mulai timbul di Minangkabau

Budaya populer atau yang lebih dikenal sebagai budaya massa merupakan produk kebudayaan manusia yang akhir-akhir ini terasa begitu besar intervensinya dalam mempengaruhi gaya hidup modern.
Kita bisa dengan mudah menemukan budaya populer ini yang sering diasosiasikan ke dalam suatu bentuk budaya yang miskin nilai (low values), instan, mudah datang dan lenyap, kurang memiliki fungsi dalam arti positif, serta cenderung menyimpang. Dilihat dari asalnya, budaya populer bersumber dari negara-negara Barat. Amerika Serikat ‘dituding’ sebagai sumber kelahiran budaya populer. Seperti yang pernah dinyatakan oleh Richard Maltzy dalam Dreams for Sale: Popular Culture in the 20th Century, bahwa: “jika kita hendak menemukan budaya dalam bentuk baru…, lihatlah kota-kota besar Amerika Serikat, terutama New York” atau seperti yang pernah diungkapkan oleh Andrew Ross dalam No Respect: Intellectuals and Popular Culture bahwa “budaya populer secara sosial dan institusional telah berpusat di Amerika Serikat…” (Storey, 2003 : 16). Wujud budaya populer tersebut bisa dilihat dari cara berfikir, cara berperilaku dan wujud-wujud materi yang belum pernah ada sebelumnya.

Bias kehadiran budaya populer di Indonesia menjalar hingga ke Ranah Minang dengan tak sedikit generasi muda Minangkabau yang menjadi ‘korban’nya. Budaya sikap ‘cuek’ dan serba ‘dibikin enak aja’ (take it easy) terlanjur dijadikan sebagai lambang pergaulan. Gaya hidup yang memberhalakan materi sedikit demi sedikit dan tanpa disadari telah bergeser dan mempersempit identitas Minangkabau menjadi identitas biologis belaka, di mana sesungguhnya identitas Minangkabau secara psikologis dan kultural adalah jauh lebih penting. Betapa pada saat ini, hanya segelintir pemuda Minangkabau yang mampu menghayati prinsip adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Hanya segelintir dari mereka yang betul-betul tahu azas raso jo pareso, serta hanya secuil saja yang tahu dengan kato nan ampek (kato mandaki, kato mandata, kato manurun dan kato malereng). Kita bisa menghitung dengan jari betapa langkanya pemuda-pemudi di Minangkabau yang lebih memilih memperbincangkan kecerdasan dari tokoh-tokoh Minang, seperti buya Hamka yang memiliki banyak talenta yang bisa kita banggakan, ketimbang mereka yang dengan menggebu-gebu berciloteh tentang ponsel keluaran terbaru, musik dan pakaian (fashion) terkini dan film-film produksi Hollywood di setiap sudut. Daya tarik materi sedikit-banyak telah menumpulkan kecerdasan intelektual dan menghambat proses ketajaman berfikir. Ironis, budaya seperti itu ternyata semakin diminati dan dinikmati. Sehingga identitas Minangkabau menjadi terabrasi oleh gaya hidup Barat, yang hanya menyisakan sepotong identitas biologis tanpa nilai-nilai Minangkabau itu sendiri.

Dalam konsep antropologi, idealnya suatu proses kebudayaan yang menyatu dengan kebudayaan lain (akulturasi) mampu menciptakan suatu bentuk ‘baru’ yang lebih modifikatif dan berkualitas dengan asumsi individu yang terlibat di dalamnya memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk menyesuaikan nilai-nilai kebudayaan sendiri dengan nilai-nilai kebudayaan lain. Jika tidak, maka apa yang disebut dengan cultural lag (ketimpangan budaya) akan muncul sebagai patologi (penyakit) dalam masyarakat itu sendiri. Apa lagi khususnya di Minangkabau, dengan gencarnya arus teknologi informasi dan komunikasi seiring proses modernisasi, maka sangat membuka kemungkinan pudarnya identitas kebudayaan tinggi Minangkabau itu sendiri yang kemudian ‘dikalahkan’ oleh nilai-nilai murahan dari kebudayaan populer yang terwujud dalam bentuk perilaku konsumtif, kapitalis dan modernisme. Kurangnya wawasan pemuda-pemudi Minangkabau tentang budaya Minangkabau itu sendiri secara tidak langsung menyebabkan tidak seimbangnya pengetahuan mereka dengan kemajuan teknologi, sehingga setiap kebudayaan dari luar yang masuk ke dalam zona budaya Minangkabau diterima secara mentah-mentah (taken for granted). Di sinilah sebenarnya terbukti keberhasilan Barat dalam melancarkan invasi pemikiran untuk mencuci otak generasi muda. Dalam konsep Islam, akrab disebut sebagai fenomena ghazwul fikr (serangan pemikiran).

Dengan bangga, kita mengakui apa yang pernah dikatakan oleh Mochtar Naim, bahwa sebenarnya kebudayaan dan sistem politik Indonesia hanya terbentuk dari dua kutub kebudayaan, yaitu budaya Jawa dan Minangkabau. Maka dengan pernyataan tersebut, sebenarnya kita bisa menyimpulkan betapa kebudayaan Minangkabau memiliki nilai lebih dan memiliki pengaruh yang luar biasa dalam pembentukan karakter nasional. Namun, rasa bangga dan kagum terhadap budaya tersebut tidak tercermin dalam kehidupan.

Sebenarnya faktor terkikisnya identitas Minangkabau oleh budaya populer bisa datang dari luar dan dari dalam. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyikapi ancaman pengikisan nilai-nilai budaya Minangkabau tersebut:

Pertama, kurangnya intensitas sosialisasi dan enkulturasi (pewarisan nilai-nilai budaya) dari orangtua kepada anak-anaknya telah menyebabkan pemuda-pemudi di Minangkabau menjadi buta akan budaya etnis-nya sendiri. Sehingga secara psikologis, tidak ada rasa kebanggaan sebagai orang Minangkabau. Hal ini semakin diperkuat ketika tak satu pun tokoh pendahulu Minangkabau yang mereka kenal dengan baik. Pengenalan figur dan tokoh Minangkabau sangat penting bagi generasi muda Minangkabau di mana peran orangtua dalam pengenalan itu sebenarnya sangat dibutuhkan. Ini terlepas dari konteks primordialisme akan menimbulkan kecintaan pemuda-pemudi Minangkabau itu sendiri kepada budaya etnis-nya.

Kedua, lunturnya fungsi budaya Minangkabau disebabkan sikap tidak konsisten dari orang-orang Minangkabau itu sendiri. Betapa sering kita mendengar wacana di kalangan masyarakat tentang hilangnya fungsi Ninik Mamak salah satu dari Tungku Tigo Sajarangan sebagai pemangku anak, pembimbing kemenakan dan penenggang orang kampung. Tentang bagaimana menipisnya rasa malu di kalangan urang mudo Minangkabau sendiri karena tidak lagi mengenal prinsip raso jo pareso, hereng jo gendeng, tantu kecek nan baujuang atau prinsip alun takilek ikan di aia, lah tantu jantan-batinonyo. Semua prinsip itu sebenarnya memiliki substansi nilai-nilai adat Minangkabau yang mengajarkan tentang nilai kesopanan, tenggang rasa dan apa yang disebut orang Jawa sebagai tepo seliro. Dan yang paling menjadi ajang pro-kontra dewasa ini adalah tentang filosofi adat orang Minangkabau, yakni adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

C. Introspeksi dan Mawas Diri

Kerentanan budaya Minangkabau terhadap serangan budaya populer yang membawa misi kapitalis Barat, di satu sisi berawal dari ketidak-kokohan landasan budaya itu sendiri. Ini bukan berarti kebudayaan Minangkabau sangat lemah dan miskin nilai. Namun, ini tergantung pada konsistensi dan komitmen pelaku budaya itu sendiri dalam menjunjung tinggi nilai-nilai budayanya. Sebab, seperti yang diungkapkan oleh Usman Pelly (1994 : 1), dalam proses pembauran kebudayaan Minangkabau dengan kebudayaan lain, hendaknya membawa misi budaya (cultural mission). Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan eksistensi kebudayaan sehingga tidak rentan terhadap pengikisan nilai oleh kebudayaan lain, terutama budaya populer yang cenderung liberal, Americanized (kebarat-baratan) dan miskin nilai. Fungsi pendidikan dan sosialisasi dalam hal ini sangat dibutuhkan. Seorang antropolog, Bronislaw Malinowski, sangat menekankan pentingnya fungsi kebudayaan dalam rangka eksistensi kebudayaan itu sendiri, yaitu fungsi instrumental, seperti hukum dan pendidikan, di samping dua fungsi lain yaitu fungsi biologis, seperti kebutuhan pangan dan nafkah dan fungsi integratif, seperti agama dan kesenian (Haviland, 1999 : 344).

Sepintas, perilaku budaya pop terlihat sangat praktis, mudah diterima (acceptable), banyak peminat dan sangat menggiurkan. Namun, tanpa disadari sebenarnya di balik kelezatan budaya populer itulah tersimpan ancaman pengikisan nilai budaya tinggi yang menyeret generasi muda Minangkabau ke dalam arus krisis orientasi dan identitas. Cita rasa budaya populer memang lezat, namun di balik kelezatan itu tersimpan racun yang mematikan. Oleh sebab itu tidak alasan untuk tidak waspada!

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Bahwa dalam kseharian, kebanyakan remaja Minangkabau tidak mengetahui maksud mendalam terhadap apa yang di maksudkan “ ADAT BASANDI SYARAK. SYARAK BASANDI KITABULLAH “ apalagi menjadikan hal itu sebagai pedoman dalam pergaulan. Minangkabau yang dianutnya hanyalah secara biologis atau symbol belaka. Hal ini karena pengaruh budaya barat yang kebanyakan di terima mentah-mentah oleh remaja Minangkabau, tanpa mereka sadari apa yang mereka anggap lifestyle modern itu telah menjadikan mereka kelihatan miskin dalam beradat dan menyebabkan lunturnya filosofi yang telah menjadi kebanggan sebagai masyarakat Minangkabau.

B. Saran

Makalah yang penulis susun ini tentu masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan kepada pembaca demi kesempurnaan makalah dalam masa yang mendatang.