Ketika imam melakukan kesalahan dalam gerakan shalat maka bagi makmum laki-laki mengucapkan kalimat

Jika imam lupa gerakan, maka makmum laki-laki bertasbish, makmum perempuan bertepuk tangan. lalu imam menoleh ke makmum, Makmum memberi isyarah pada imam. jika imam lupa bacaan al-Qur'an makmum mendiktenya.

Oase.id - Dalam salat berjamaah sudah seharusnya makmum memperhatikan imam. Serta mengikuti setiap tata cara salat yang diajarkan Rasulullah ﷺ.

Tapi dalam salat berjamaah, terkadang imam juga melakukan kekeliruan dan jamaah menyadari kesalahan tersebut. Namun, tak jarang juga para jamaah mengabaikan kewajibannya sebagai makmum. Padahal sebagai makmum memiliki kewajiban untuk mengingatkan imam yang keliru dalam salat.

BACA: Ancaman bagi Makmum yang Mendahului Imam dalam Salat Berjamaah

Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda:

 مَنْ نَابَهُ شَيئٌ فِي صلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإنَّهُ إذَا سَبَّح اُلْتُفِتَ إلَيْهِ وَإنّمَا التَّصْفِيْقُ للِنِّسَاء 

Artinya: Barangsiapa yang merasa geram akan sesuatu (merasa ada yang salah) maka hendaklah dia membaca Subhanallah, karena bila ia bertasbih maka dia akan diperhatikan, dan sesungguhnya tashfiq (tepuk tangan) itu adalah untuk wanita. 

Dalam hadis di atas diketahui bahwa makmum laki-laki memiliki kewajiban untuk membaca "subhanallah". Sedangkan makmum perempuan melakukan "tashfiq".

Sementara itu, menurut Ibnu Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid menjelaskan, ada perbedaan menurut beberapa ulama. Yang mana menurut Malik dan sebagian ulama, ucapan tasbih itu berlaku untuk jamaah laki-laki dan wanita. Sedangkan menurut Syafii dan sejumlah ulama, tasbih untuk laki-laki dan tepuk tangan khusus untuk wanita.

BACA JUGA: 5 Ayat Al-Quran Tentang Perintah Salat 5 Waktu

Kitab Fathul Qarib juga menjelaskan kewajiban bagi makmum laki-laki dan makmum perempuan, antara lain:

1. Untuk makmum laki-laki

Jika imam keliru, makmum laki-laki mengingatkan dengan cara mengucapkan kalimat tasbih (subhanallah).

2. Untuk makmum perempuan

Sedangkan makmum perempuan dengan cara menepukkan telapak tangan kanan kebagian atas tangan kiri. Yang mana tepukan tangan tersebut cukup menghasilkan suara yang bisa didengarkan oleh si imam salat.

Tapi perlu digarisbawahi bahwa gerakan atau ucapan lain di dalam salat bisa saja membatalkan salat. Oleh sebab itu, membaca tasbih harus diniati zikir (mengingat Allah) dan menepukkan tangan tidak boleh dengan niat bermain-main.

Dari sini pula diperlukan pemahaman yang sinergis antara imam dan makmum sehingga ketika terjadi suatu kesalahan keduanya bisa saling memahami.


(ACF)

Sebagai umat Muslim kita WAJIB melaksanakan sholat karena sholat adalah tiang agama.

Hal ini disebutkan dalam hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Baihaqi “Shalat itu adalah tiang agama (Islam), maka barangsiapa mendirikannya maka sungguh ia telah mendirikan agama; dan barangsiapa meninggalkannya, maka sungguh ia telah merubuhkan agama”

Selain itu shalat juga menjadi tolok ukur amal, yang berarti bahwa kualitas amal seseorang ditentukan oleh shalatnya. Hal ini seperti disebutkan dalam hadist Rasulullan yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirdzi, “hal pertama yang akan dihisab kelak di hari pembalasan adalah Shalat. Apabila baik Shalatnya, maka akan baik pula amal-amal lainnya. Dan apabila Shalatnya rusak, maka akan rusak pula amal-amal lainnya,”

Dan shalat yang terbaik dilaksanakan secara berjamaah karena pahalanya 27 derajat. Rasulullah bersabda,”Shalat seorang laki-laki dalam jamaah melebihi sahlatnya sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat.” (HR. Muslim).

Dalam sholat jamaah ada Imam dan ada makmum.

Adapun syarat menjadi imam adalah sebagaimana hadist yaitu

“Yang berhak menjadi imam shalat untuk suatu kaum adalah yang paling pandai dalam membaca al-Quran.

Jika mereka setara dalam bacaan al-Quran, (yang menjadi imam adalah) yang paling mengerti tentang sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Apabila mereka setingkat dalam pengetahuan tentang sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, (yang menjadi imam adalah) yang paling pertama melakukan hijrah.

Jika mereka sama dalam amalan hijrah, (yang menjadi imam adalah) yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat yang lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat yang lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya. (HR. Muslim no. 673 dari Abu Masud al-Anshari radhiyallahu anhu).

Walopun sudah ada kriteria seperti di atas bukan berarti imam tidak akan melakukan kesalahan atau lupa.

Sebagaimana pepatah bahwa manusia adalah tempat salah dan lupa, maka bisa saja imam melakukan kesalahan atau lupa seperti lupa bacaan atau lupa gerakan sholat.

Kali ini ITSTIME.ID merangkum tentang tata cara bagi makmum untuk membenarkan imam dalam hal bacaan maupun gerakan sholat (Sumber web di bawah artikel)

Berikut ini cara membenarkan imam saat imam lupa gerakan yaitu :

1. Untuk makmum laki-laki

Yang harus dilakukan bagi makmum laki-laki untuk mengingatkan imam yang lupa adalah dengan mengucapkan kalimat tasbih (subhanallah).

Jika seorang imam (jemaah laki-laki) lupa dalam salat, maka makmum cukuplah bertasbih dengan niat zikir.

2. Untuk makmum perempuan

Bagi makmum perempuan, yang harus dilakukan untuk mengingatkan imam yang lupa adalah dengan cara menepukkan telapak tangan kanan kebagian atas tangan kiri. Dengan catatan, tepukan tangan tersebut cukup menghasilkan suara yang bisa didengarkan oleh si imam salat.

Hadist dari kedua hal di atas adalah

إِذَا نَابَكُمْ شَيْءٌ فِي الصَّلَاةِ فَلْيُسَبِّحِ الرِّجَالُ، وَلْيُصَفِّحِ النِّسَاءُ

Artinya: “Jika kalian mengalami sesuatu -dalam shalat- maka hendaknya bagi orang laki-laki untuk bertasbih dan bagi orang perempuan untuk bertepuk tangan. (HR. Abu Dawud no. 941 dan an-Nasa’i no.793.

Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa gerakan atau ucapan lain di dalam salat bisa saja membatalkan salat. Oleh sebab itu, membaca tasbih harus diniati zikir (mengingat Allah) dan menepukkan tangan tidak boleh dengan niat bermain-main.

Membenarkan keluputan imam disyariatkan secara mutlak. Hal ini hukumnya wajib apabila berakibat pada sah atau tidaknya shalat. Seperti jika kesalahan terjadi pada surat Al-fatihah. Atau apabila kesalahan tersebut merubah makna sebuah ayat.

Ketika imam terlupa sebuah ayat dalam bacaan Jahriyah maka membenarkannya dengan cara mengingatkan ayat tersebut.

Khusus perkara dalam membenarkan atau mengingatkan bacaan imam yang lupa atau salah harus mengikuti beberapa ketentuan sebagai berikut :

1) Hendaknya seorang yang tepat dibelakang imam adalah orang yang berilmu dan memiliki hafalan alqur’an. Sehingga bisa membenarkan kesalahan imam. Jika tidak, maka yang berhak membenarkan adalah poin no 2

2) Yang berhak membenarkan bacaan imam adalah yang terdekat dengannya.

3) Tidak dibenarkan bagi para makmum untuk rame-rame membenarkan bacaan imam karena hal itu hanya akan menimbulkan kerancauan dan bercampur aduknya suara sehingga tidak terdengar dengan jelas. Akan tetapi cukup satu orang yang terdekat dengan imam.

4) Hendaknya tidak terburu-buru untuk membenarkan bacaan imam. Karena munkin saja imam akan segera membenarkan bacaannya terlebih jika ia adalah seorang hafidz alqur’an.

5) Hendaknya dengan suara yang terdengar, tenang dan jelas.

6) Dan yang paling terpenting hendaknya dengan niat yang ikhlas, bukan karena riya’ atau semisalnya.

Khusus untuk wanita yang membenarkan bacaan imam harus diperhatikan sebelumnya bahwa wanita boleh membenarkan bacaan imam ketika

1. tidak ada makmum laki-laki yang membenarkan

2. dengan suara yang biasa, tidak mendayu-dayu

Sumber :

1. https://akurat.co

2. https://muslimah.or.id/10115-adab-mengoreksi-bacaan-jahr-imam.html

3. https://academic.uii.ac.id

4. https://konsultasisyariah.com/36117-hukum-makmum-perempuan-membenarkan-bacaan-imam-shalat.html

Terkadang, imam shalat tidak mengetahui kesalahan apa yang dilakukan ketika makmum mengingatkannya dengan mengucapkan tasbih (subhaanallah). Misalnya, saat rakaat ke dua shalat isya’, imam hanya sujud sekali, langsung tasyahhud awwal. Makmum pun mengucapkan subhaanallah, dengan maksud mengingatkan imam bahwa masih kurang satu kali sujud. Namun, imam kebingungan, dan menyangka bahwa saat itu adalah rakaat ke tiga, sehingga langsung berdiri menuju rakaat ke empat. Dalam kasus semacam ini, bolehkah makmum mengingatkan imam dengan bahasa yang dipahami imam, misalnya,”Sujudnya kurang sekali lagi” (baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Arab) atau kalimat sejenisnya sehingga jelas bagi imam di manakah letak kesalahannya?

Mengingatkan Imam adalah dengan Mengucapkan Tasbih

Permasalahan semacam ini pernah ditanyakan kepada Syaikh Khalid Muslih berikut ini.

السؤال: إذا سها الإمام في الصلاة، ونبهه المصلون، ولكنه اختلط عليه الأمر، ولم يدر أين الخطأ، فهل يجوز تنبيهه بالكلام، بأن يقول له أحدهم: تنقصك سجدة، ونحو ذلك، مما يحصل به المقصود؟

Pertanyaan:

Jika seorang imam lupa dalam shalatnya, dan diingatkan oleh makmum, akan tetapi imam tersebut menjadi bingung dan tidak tahu apa kesalahannya. Apakah diperbolehkan mengingatkan imam dengan ucapan, misalnya salah satu makmum mengatakan,”Sujudmu kurang” atau kalimat semacam itu sehingga maksud menjadi tersampaikan (imam menjadi tahu kesalahannya, pen.)?

الإجابة: الذي يظهر أنهم يسبحون إلى أن يعقل؛ لما في البخاري (1218) ومسلم (421) عن سهل بن سعد رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من نابه شيء في صلاته فليقل: سبحان الله”، هذا يشمل كل ما يحتاج إلى تنبيه في الصلاة، وبهذا قال جمهور الفقهاء.

Jawaban Syaikh Khalid Mushlih:

Yang tampak bagiku adalah mereka mengucapkan tasbih untuk mengingatkan imam. Hal ini sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 1218) dan Muslim (no. 421) dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin mengingatkan sesuatu dalam shalatnya, hendaklah mengucapkan, ’Subhaanallah’.” Perintah ini mencakup semua hal yang membutuhkan peringatan dalam shalat. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.

وذهب بعض الفقهاء إلى أنه يجوز أن ينبه الإمام بالكلام الذي يعقل به خطأه في صلاته، وهذا منقول عن ربيعة ومالك؛ استنادا لما في البخاري (482) ومسلم (573) من حديث أبي هريرة رضي الله عنه قال: “صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم إحدى صلاتي العشي، فصلى بنا ركعتين ثم سلم فقام إلى خشبة معروضة في المسجد، فاتكأ عليها كأنه غضبان، ووضع يده اليمنى على اليسرى وشبك بين أصابعه، ووضع خده الأيمن على ظهر كفه اليسرى، وخرجت السرعان من أبواب المسجد فقالوا: قصرت الصلاة، وفي القوم أبو بكر وعمر، فهابا أن يكلماه، وفي القوم رجل في يديه طول، يقال له ذو اليدين، قال: يا رسول الله أنسيت أم قصرت الصلاة؟! قال: لم أنس ولم تقصر -في رواية للبخاري أن ذا اليدين قال: بلى قد نسيت- فقال صلى الله عليه وسلم: أكما يقول ذو اليدين؟! فقالوا: نعم، فتقدم فصلى ما ترك ثم سلم، ثم كبر وسجد مثل سجوده أو أطول، ثم رفع رأسه وكبر، ثم كبر وسجد مثل سجوده أو أطول، ثم رفع رأسه وكبر ثم سلم”.

Sebagian ulama berpendapat bolehnya mengingatkan imam dengan ucapan (kalimat) yang menunjukkan kesalahan imam dalam shalatnya. Pendapat ini dinukil dari Rabi’ah dan Imam Malik. Mereka bersandarkan pada hadits yang terdapat dalam Bukhari (482) dan Muslim (573) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama kami, yaitu salah satu shalat di waktu malam. Beliau shalat dua rakaat kemudian salam. Beliau lalu berdiri di tiang kayu yang ditancapkan di masjid. Beliau bersandar di tiang tersebut.  Seakan-akan beliau marah. Beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, dan beliau menjalin jari-jemarinya. Beliau meletakkan pipi kanannya di punggung telapak tangan kirinya. Beliau kemudian keluar dengan cepat dari pintu masjid. Para sahabat berkata,”Apakah shalat telah diqashar (diringkas)?” 

Di tengah-tengah para sahabat ada Abu Bakar dan Umar, namun keduanya enggan membicarakannya. Di tengah kerumunan tersebut juga terdapat seseorang yang tangannya panjang, dipanggil (dijuluki) dengan “dzul yadain.” Dia berkata,”Wahai Rasulullah, apakah Engkau lupa atau Engkau (sengaja) meringkas shalat?” Rasulullah berkata,”Aku tidak lupa dan tidak pula meringkas shalat.” Dalam riwayat Bukhari, dzul yadain berkata,”Bahkan Engkau lupa.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata,”Apakah (benar) sebagaimana perkataan dzul yadain?” Para sahabat menjawab,”Ya.” Rasulullah pun maju dan menyempurnakan (melanjutkan) rakaat shalat yang beliau tinggalkan (maksudya, beliau tidak mengulangi shalat dari awal, pen.), kemudian salam. Kemudian beliau bertakbir, dan sujud sebagaimana sujud yang dilakukannya atau lebih lama, kemudian bangkit dari sujud sambil bertakbir. Setelah itu beliau bertakbir dan sujud kembali sebagaimana sujud yang dilakukannya atau lebih lama, kemudian bangkit dari sujud sambil bertakbir, dan kemudian salam.”

ووجه الدلالة من الحديث إجابة الصحابة رضي الله عنهم النبي صلى الله عليه وسلم لما سألهم أصدق ذو اليدين؟ فقد تبين لهم أنه قد نسي، وأن الصلاة لم تقصر، ولم يكن كلامهم مبطلا لصلاتهم، وهو استدلال فيه قوة، لو لا ما جاء في صحيح مسلم (537) من حديث معاوية بن الحكم السلمي رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس” فكلمة (شيء) نكرة في سياق النفي فتفيد العموم، ولهذا كان الأقرب للصواب ما ذهب إليه الجمهور.

Sisi pendalilan hadits di atas adalah respon atau jawaban para sahabat radhiyallahu ‘anhum atas pertanyaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika Rasulullah bertanya apakah perkataan dzul yadain tersebut memang benar. Para sahabat pun menjelaskan bahwa Rasulullah (memang) lupa dan beliau juga tidak sedang meng-qashar shalat. Ucapan para sahabat ini tidaklah membatalkan shalat mereka. Sisi pendalilan seperti ini kuat, seandainya tidak ada hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya shalat ini, tidaklah layak di dalamnya sesuatu pun berupa ucapan manusia.” Kata “sesuatu” merupakan isim nakirah (kata benda indefinitif) yang berada dalam konteks kalimat nafi (peniadaan), maka mencakup umum (mencakup semua jenis ucapan atau kalimat, pen.) [1]. Oleh karena itu, yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.

ويجاب عن قصة ذي اليدين بأن إجابة النبي صلى الله عليه وسلم واجبة في الصلاة وغيرها؛ لقوله تعالى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ} [الأنفال:24]، أو يقال بأنه يجوز التنبيه بالكلام إذا ظن الإمام أنه قد خرج من الصلاة، أو يقصر الحديث على هذه الحادثة فقط، والله أعلم.

Kisah dzul yadain ini dijawab bahwa menjawab (merespon) pertanyaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hukumnya wajib, baik di dalam atau di luar shalat, berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya),”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul, apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfaal: 24) Atau bisa juga dikatakan, boleh mengingatkan dengan ucapan (selain tasbih, pen.) jika imam disangka akan menyelesaikan shalat. Atau, hadits ini dibatasi hanya dalam kasus seperti itu saja. Wallahu a’lam.  [Selesai fatwa Syaikh Khalid Mushlih.] [2] [Bersambung]

***

Selesai disusun menjelang maghrib, Sint-Jobskade Rotterdam NL, 20 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1] Menurut kaidah dalam ilmu ushul fiqh.

[2] Diterjemahkan dari: http://ar.islamway.net/fatwa/34227/

Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Istri Taat Suami, Barangsiapa Yang Menempuh Jalan Untuk Menuntut Ilmu, Tata Cara Dzikir Yang Benar, Hukum Memelihara Anjing Menurut Islam, Hukum Membuang Kucing Dalam Islam