Berikut tokoh-tokoh ulama yang ikut dalam pertemuan Komite Hijaz kecuali

Pada tahun 1914 Masehi, saat kaum Muslimin mulai merasa kurang dinamis terutama di bidang sosial kemasyarakatan-agama, dan kurang berorganisasi,  maka seorang pemuda Abdul Wahab Hasbullah berusia 26 tahun yang lahir di Tambakberas, Jombang, setelah lama belajar di Makkah pulang ke Indonesia. Kiai Wahab bertempat tinggal di rumah mertuanya, yaitu Haji Musa di kampung Kertopaten, Surabaya, mulai bermasyarakat mendirikan "kursus debat" semacam discussion group yang diberi nama Tashwirul Afkar. Pada mulanya kursus debat ini bertempat di Langgar Haji Musa Kertopaten, kemudian pindah ke Ampel, tepatnya di Lawang Agung Ampel, Surabaya.

Kiai Wahab berkenalan dengan Mas Mansur, yang juga baru pulang belajar dari Mesir, dan berdomisili di kampung Sawahan, Surabaya. Dari perkenalannya, dua tokoh muda ini sepakat membuat organisasi yang tujuannya untuk meningkatkan mutu madrasah-madrasah sebagai sarana pendidikan dan pengajaran Islam. Maka dilahirkanlah organisasi bernama Jam'iyyah Nahdlatul Wathan, yang kemudian mendapatkan legal-formal (rechtspersoon) pada tahun 1916 M. Sesuai dengan asas dan tujuannya, maka Nahdlatul Wathan mendirikan sebuah madrasah "yang memenuhi persyaratan" bertempat di Kawatan Gang IV Surabaya, dan dipimpin oleh Mas Mansur sendiri.

Karena hendak ikut ke dalam Pengurus Pusat Muhammadiyah, pada tahun 1922 M, Mas Mansur mengundurkan diri dari Nahdlatul Wathan. Untuk mengisi kekosongan, diadakanlah pemilihan yang kemudian jatuh pada KH. Abdul Halim Leuwimunding, dengan susunan pengurus Nahdlatul Wathan sebagai berikut, Pemimpin bagian ulama : KH. Abdul Wahab Hasbullah, dan Para Pembantu : Mas KH. Alwi Abdul Aziz, KH. Ridwan, K. Abdullah Ubaid, KH. Nahrawi, KH. Abdul Halim Leuwimunding, KH. Amin Kemayoran, KH. Amin Praban.

Nahdlatul Wathan tetap bergerak untuk peningkatan pendidikan dan pengajaran, meski Kiai Wahab mengambil kebijakan menampung para pemuda dalam kursus secara periodik di Tashwirul Afkar. Mereka dalam kursus diberi materi pelajaran agama terutama tentang wawasan (fikrah) Ahlussunnah wal-Jama'ah dan penting (dlaruriyyat)-nya madzhab. Mereka sebagai peserta kursus menilai materi pelajaran tersebut sangat penting dan dibutuhkan dalam suatu organisasi tempat berkumpul, sekaligus menyeragamkan cara pandang, sikap dan tindakan terutama menyatukan pendapat dan menghilangkan masalah khilafiyah.

Untuk mewadahi para pemuda, dari Nahdlatul Wathan mengusulkan nama Da'watusy Syubban, sedang dari kader Kiai Mas Mansur menghendaki nama Mardisantoso. Kedua kelompok mempertahankan nama masing-masing, sehingga akhirnya gagal. Namun dari Nahdlatul Wathan tetap berusaha membentuk wadah pemuda itu dengan nama Syubbanul Wathan  yang dipelopori oleh KH Abdullah Ubaid.

KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy'ari memiliki hubungan sangat dekat, meski selisih usianya 17 tahun. Selain hubungan guru dan santri, juga dilandasi hubungan keluarga yang tidak jauh. Kiai Wahab dan Kiai Hasyim memiliki datuk yang sama, yaitu KH. Abdussalam (Mbah Shihah) Pendiri Pesantren Tambakberas. Sebagai yang lebih muda, Kiai Wahab sering berkunjung sowan kepada Kiai Hasyim Asy'ari di Tebuireng, Jombang, merupakan khidmah sekaligus pengabdian. Tentu ketajaman rasa berfikir Kiai Wahab telah merekam dinamika kaum Muslimin dan generasi mudanya, guna beliau laporkan kepada Kiai Hasyim. Justru yang aktual beliau laporkan adalah wujud Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan yang berhasil beliau dirikan, di samping melaporkan menajamnya pertentangan dalam masalah khilafiyah.

Bakat sebagai aktivis organisasi mendorong Kiai Wahab mengadakan pertemuan di Langgar Haji Musa Kertopaten, Surabaya, untuk bahas faham Wahabi yang melanda Hijaz. Dalam pertemuan itu hadir para tokoh Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan, juga tokoh sepuh KH. Hasyim Asy'ari --saat itu berusia 55 tahun, kemudian membentuk Komite Hijaz.

Eksponen-eksponen dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan, pada hakekatnya satu arah, satu orientasi baik dalam akidah maupun ibadah, juga satu dalam aspirasi kemasyarakatan berlebur dalam ikatan Komite Hijaz dibawah pimpinan KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Hasyim Asy'ari, KH. Bisri Syansuri, KH. Ridwan (Semarang), KH. R. Asnawi (Kudus), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Nahrawi (Malang) dan KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya), serta beberapa kiai lagi, dibawah pimpinan KH Abdul Wahab Hasbullah berkumpullah di Surabaya pada 16 Rajab 1344 Hijriyah bertepatan 31 Januari 1926.

Dalam pertemuan itu diputuskan, 1) Mengirim delegasi ke Kongres Islam Dunia di Makkah untuk memperjuangkan kepada Raja Ibnu Sa'ud agar hukum Syari'ah berdasarkan madzhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, juga agar mendapat perlindungan dan kebebasan di dalam wilayah Arab Saudi; 2) Membentuk suatu Jam'iyyah bernama Nahdlatul Ulama, Kebangkitan Ulama, yang bertujuan menegakkan berlakunya Syari'at Islam yang berhaluan salah satu dari Madzhab-madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Jam'iyyah ini disusun dengan kepengurusan Syuriyah dan Tanfidziyah. Nama "Nahdlatul Ulama" diusulkan oleh KH Mas Alwi Abdul Aziz.

Delegasi ke Makkah terdiri dari KH Abdul Wahab Hasbullah dan Syaikh Ghanaim, dan pulang ke Indonesia membawa sukses dalam misinya, semua yang diperjuangkan berhasil. Meskipun demikian perlu dicatat, KH. Abdul Wahab Hasbullah berjiwa besar dan berhati mulia, merintis mulai sekitar tahun 1914 M hingga berdirinya NU pada 1926 M, tidak bersedia menduduki jabatan Rois Akbar dalam Nahdlatul Ulama. Sungguh khidmah agung KH. Abdul Wahab Hasbullah menyerahkan jabatan itu kepada KH. Hasyim Asy'ari dan, sedang Presiden Tanfidziyah dipercayakan kepada Haji Hasan Gipo. KH Abdul Wahab Hasbullah sendiri merasa cukup menduduki jabatan Katib 'Aam Syuriyah.

Subhanallah…, KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah teladan yang memiliki kekuatan spirit dan menjadi motor penggerak. Kita sebagai warga NU sepatutnya dengan citra kesederhanaan dan sikap tawadlu' serta berkepribadian khasyyatullah mari bercermin kepada beliau KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam berdedikasi dan khidmah untuk Nahdlatul Ulama

Allahu A'lamu bish-shawab

Dr. H. Sa'dullah Assa'idi, M.Ag.

Rektor Unisnu Jepara

Red:

Komite Hijaz merupakan sebuah kepanitiaan kecil yang dikomandani oleh KH A Wahab Hasbullah. Komite Hijaz dibentuk pada 1924-1925. Pembentukan itu sesungguhnya merupakan respons atas ancaman kebijakan antipluralitas mazhab yang akan digulirkan oleh Ibnu Saud, seorang raja Nejad yang monolitik pandangan bermazhabnya. Di luar pandangan monolitiknya dalam bermazhab, sesungguhnya yang menjadi keresahan utama kala itu adalah ancaman "pemutusan batin" antara umat Islam dan panutannya: Nabi Muhammad SAW. Situs bersejarah, termasuk makam Nabi Muhammad, diancam akan dibongkar. Hal ini menjadi keresahan serta kegelisahan semua umat Islam kala itu. Namun, sejarah mencatat, hanya umat Islam dari Indonesia--melalui Komite Hijaz--yang berani menyampaikan keberatannya terhadap kebijakan Ibnu Saud tersebut. Saya berpendapat bahwa KH Abdul Wahab Hasbullah kala itu sudah memiliki pandangan yang jauh ke depan sekaligus jernih bahwa kelak Arab Saudi, utamanya situs bersejarah di Makkah, akan dikapitalisasi oleh penguasanya. Dan, memang saat ini terbukti, yang terjadi adalah komersialisasi ibadah. Wisata ibadah yang lebih mengedepankan ingar-bingar kapitalisme. Kita bisa menyaksikan hari ini puluhan bangunan megah didirikan bukan dalam rangka membantu memperlancar proses ibadah haji, malah justru sebaliknya. Ia melahirkan sederet masalah, termasuk kelak akan melahirkan banyak bencana, menimbulkan korban jiwa yang tak terhitung jumlahnya. Ali al-Jurjawi dalam Hikmatus Tasyri' wa Falsafatuh mengatakan bahwa esensi ibadah haji adalah menapaktilasi perilaku Nabi Muhammad SAW. Haji berarti menziarahi seluruh momori, kenangan, dan napak tilas perjuangan Muhammad sendiri. Dan, penting untuk dicatat bahwa seluruh perilaku nabi adalah perilaku yang mencerminkan sikap kesederhanaan dan juga ketawadhuan. Sikap tawadhu sesungguhnya juga tecermin secara simbolis dalam pakaian ihram yang dikenakan oleh jamaah haji. Pakaian ihram adalah pakaian yang hanya terdiri atas selembar kain tanpa jahitan sama sekali. Tujuannya tentu saja ingin memberi pelajaran kepada manusia bahwa sesungguhnya ia bukan apa-apa. Ia hanya bagaikan debu yang berterbangan, tak ada nilainya di hadapan kebesaran Tuhan. Persoalannya kemudian, Pemerintah Arab Saudi tampaknya sudah telanjur mengabaikan segala aspek filosofis ibadah haji ini. Kegagalan memahami filosofi ibadah haji adalah pangkal persoalan pertama, yakni kesalahan menata ruang. Celakanya, kegagalan memaknai filosofi ibadah haji yang berujung pada watak kapitalisasi ibadah ini pada gilirannya akan melahirkan apa yang saya maksud dengan kesalahan menata ruang. Saya berani menyimpulkan bahwa pembangunan gedung-gegung bertingkat, termasuk 'Big Ben', yang "copy paste" dari London itu lebih didominasi oleh motif menggenjot devisa negara dalam sektor pariwisata dibandingkan memenuhi hajat kebutuhan untuk melayani kelancaran ibadah haji. Pada tahap inilah benar apa yang pernah diungkapkan oleh Khaled Abu el-Fadl dalam bukunya Conference of the Book. Ia dengan sangat meyakinkan pernah mengatakan bahwa "Wahabisme dan slafisme menjadikan Islam di abad modern ini tampak menjemukan dan suram." Pasca-Gran Mufti Arab Saudi Syekh Abdul Aziz bin Abdullah yang mengatakan bahwa perilaku menyucikan tempat-tempat tertentu adalah perbuatan syirik, wahabisme seolah menemukan stempel dan legalitas untuk melakukan pelbagai macam perusakan dan penghancuran situs sejarah. Di antara penghancuran itu sebut saja, misalnya, penghancuran makam Sayyid Imam Uradhi ibn Ja'far as-Shiddiq pada 2002 yang diledakkan dengan menggunakan dinamit. Rumah Sayyidah Khadijah dijadikan toilet umum dan juga masjid kompleks Hamzah Abdul Muthalib yang dibuldoser pada 1998. Bahkan, menurut Irfan al-Alawi, executive director the Islamic Heritage Research Foundation Arab Saudi, sampai 2011 tercatat kurang lebih 400-an lebih situs bersejarah umat Islam yang dihancurkan. Kita ingat, pada 1924-1925, Arab Saudi juga mengalami hal yang persis sedang dialaminya saat ini. Kala itu, Arab Saudi dipimpin oleh Ibnu Saud, raja Nejad yang beraliran wahabi. Makkah-Madinah sebagai sebuah kawasan sesungguhnya dulu disebut dengan Hijaz. Kala itu, sebagaimana tercatat dalam sejarah, Raja Saud menerapkan sebuah kebijakan yang sangat melukai umat Islam, yakni antipluralitas mazhab dan juga pemusnahan artefak sejarah dan situs-situs peninggalan peradaban Islam. Termasuk, salah satunya adalah rencana pembongkaran makam Nabi Muhammad SAW. Ulama-ulama Indonesia yang dimotori KH Abdul Wahab Hasbullah akhirnya membentuk apa yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz. Komite ini ditugaskan untuk berdiplomasi dengan Raja Saud ihwal dua isu besar di atas, yakni isu pluralitas bermazhab dan juga penghancuran artefak sejarah. Pada gilirannya, Komite Hijaz inilah yang menjadi embrio lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU), selain tentu saja embrio-embrio lain bernama Nahdlatut Tujjar yang terlebih dahulu sudah eksis peranannya. Dengan kenyataan seperti itu, pada hemat saya, penting untuk mengetengahkan kembali kemungkinan membentuk Komite Hijaz II. Dan, PBNU sebagai "pemilik sejarah" Komite Hijaz adalah pewaris sah sejarah yang berarti memiliki kewajiban untuk bukan saja melestarikannya, melainkan juga mengulang dan meneruskannya. Pada hemat saya, langkah membentuk Komite Hijaz II ini memiliki setidaknya dua alasan utama. Pertama, merespons kapitalisasi ibadah haji yang tecermin dalam pembangunan sekitaran area Ka'bah yang cenderung mereduksi nilai-nilai filosofis ketawadhuan ibadah haji. Dan kedua, mendiplomasikan untuk mencegah segala usaha dalam rangka penghancuran artefak sejarah yang ada di Makkah dan Madinah. Dua hal di atas adalah dua hal utama di samping hal-hal lain, semisal, perbaikan tata kelola haji dan juga penataan sistem manajemen ibadah haji. Sederetan alasan di atas sesungguhnya sudah lebih dari cukup untuk dijadikan landasan dan acuan guna membentuk Komite Hijaz II yang dimotori oleh PBNU sebagaimana yang telah dilakukannnya pada 90 tahun yang lalu. Semoga. 

A Helmy Faishal Zani


Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

  • republika
  • koran
  • spirit komite hijaz

Berikut tokoh-tokoh ulama yang ikut dalam pertemuan Komite Hijaz kecuali