Bagaimana peraturan tanam paksa yang dikeluarkan oleh pemerintahan Belanda

Aturan dan Ketentuan Sistem Tanam Paksa - Cuulturstelsel atau yang biasanya diartikan sebagai kebijakan sistem tanam paksa merupakan sebuah peraturan yang dikeluarkan pada masa penjajahan Belanda. Tahun berapa kebijakan tersebut dikeluarkan? siapa yang mengeluarkan kebijakan tersebut? apa saja aturan atau ketentuan sistem tanam paksa? mungkin pertanyaan tersebut sering kita dengar saat di sekolah.

Secara singkat, kebijakan sistem tanam paksa merupakan sebuah peraturan yang dikeluarkan pada tahun 1830. Tokoh yang mengeluarkan kebijakan sistem tanam paksa [cuulturstelsel] adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, yaitu bernama Johannes Van Den Bosch. Lantas, apa saja aturan atau ketentuan dari sistem tanam paksa yang dikeluarkan tersebut? Berikut ini penjelasannya !

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Van Den Bosch ternyata memiliki banyak sekali aturan atau ketentuan-ketentuannya. Aturan dan ketentuan tersebut sangat merugikan masyarakat saat itu, terutama petani maupun yang tidak mempunyai tanah. Banyaknya aturan dan ketentuan yang berlaku membuat rakyat semakin hidup menderita. Berikut ini 8 aturan dan ketentuan sistem tanam paksa yang berlaku di Indonesia.

  1. Masyarakat yang memiliki tanah wajib menanam tanahnya tersebut dengan tanaman wajib yang sudah ditentukan, jumlahnya 1/5 atau 20% dari jumlah luas tanah.
  2. Tanaman wajib yang ditanam jangka waktu menamannya tidak lebih dari tanaman padi.
  3. 1/5 tanah yang ditanami tanaman wajib tidak akan dikenai biaya pajak.
  4. Apabila terjadi gagal panen maka yang bertanggung jawab adalah pemerintah Belanda.
  5. Karena tanam paksa merupakan kebijakan pengganti biaya sewa tanah, maka apabila harga tanaman wajib yang dijual melebihi harga sewa tanah, uang tersebut dikembalikan ke pemilik tanah.
  6. Para petani atau pemilik tanah akan dipimpin oleh penguasa dari pribumi.
  7. Sementara para pegawai eropa maupun Belanda bertugas sebagai P3 [pengangkut, pemungut dan pengawas].
  8. Masyarakat/penduduk yang tidak memiliki tanah diwajibkan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda selama kurang lebih 20% dalam setahun atau kira-kira 60 hari.

Apakah aturan dan ketentuan sistem tanam paksa yang dikeluarkan oleh Belanda dilaksanakan tanpa adanya penyelewengan? Tentu saja ada ! Banyak sekali aturan dan ketentuan yang menyimpang dari ketentuan yang sudah berlaku. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca beberapa artikel dibawah ini.

Artikel terkait Sistem Tanam Paksa :

Share ke teman kamu:

Tags : Masa Penjajahan

Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch [1830-1833]. Pemberlakuan tanam paksa menjadi salah satu periode kelam dalam sejarah Indonesia dan menuai kritik keras dari sejumlah kalangan. Kebijakan Sistem Tanam Paksa ini dicetuskan pada 1830 atau ketika van Den Bosch mulai menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ketentuannya, setiap desa wajib menyisihkan 20 persen tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor yang ditentukan pemerintah kolonial, seperti kopi teh, tebu, dan nila. Pada dasarnya, sistem ini adalah cara baru yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial untuk dapat mengeksploitasi sumber daya alam Hindia Belanda [Indonesia] demi kepentingan penjajah atau Kerajaan Belanda. Cultuurstelsel dikeluarkan karena kebijakan sistem sewa tanah [landrente] yang diberlakukan pada masa Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles [1811-1816] gagal memenuhi kebutuhan ekspor. Secara garis besar, tujuan dari Cultuurstelsel ialah untuk mengatasi krisis keuangan Belanda.

Adapun beberapa aturan atau ketentuan dari Sistem Tanam Paksa ini diantaranya:

  • melalui persetujuan, penduduk menyediakan sebagian tanahnya untuk penanaman tanaman perdagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa,
  • tanah yang disediakan untuk penanaman perdagangan tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa,
  • pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman perdagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang dibutuhkan untuk menanam padi,
  • bagi tanah yang ditanami tanaman perdagangan dibebaskan dari pajak tanah,
  • apabila nilai hasil tanaman perdagangan melebihi pajak tanah yang harus dibayar, maka selisih positifnya harus diberikan kepada rakyat,
  • kegagalan panen menjadi tanggung jawab pemerintah, dan
  • penduduk desa mengerjakan tanah mereka dengan pengawasan kepala-kepala yang telah ditugaskan.

Dengan demikian, ketentuan tanam paksa sendiri sudah mengatur mulai dari luas tanah, komoditas yang ditentukan, waktu kerja, pajak tanah, kegagalan panen hingga sistem bagi hasil. 

Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. Mohon bantu kami mengembangkan artikel ini dengan cara menambahkan rujukan ke sumber tepercaya. Pernyataan tak bersumber bisa saja dipertentangkan dan dihapus.
Cari sumber: "Cultuurstelsel" – berita · surat kabar · buku · cendekiawan · JSTOR
[Pelajari cara dan kapan saatnya untuk menghapus pesan templat ini]

Cultuurstelsel [secara harfiah berarti Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budi Daya] yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya [20%] untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya teh, kopi, dan kakao. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun [20%] pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.

Graaf Johannes van den Bosch, pelopor kebijakan Cultuurstelsel.

Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.

Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditas tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada 1835 hingga 1940.

Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.

Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.

Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa:

  • Tuntutan kepada setiap rakyat Pribumi agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
  • Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
  • Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
  • Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 [tiga] bulan
  • Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
  • Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
  • Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa
Wolter Robert baron van Hoëvell, pejuang Politk Etis

Menurut sebuah catatan seorang Eropa yang jadi inspektur Tanam Paksa, yaitu L. Vitalis menyebut laporan dari awal 1835, di Priangan. Mayat para petani bergelimpangan karena keletihan dan kelaparan, di sepanjang Tasikmalaya dan Garut. Manakala mereka dibiarkan saja, tak dikubur, itu karena alasan Bupati yang seolah tak peduli: "Di waktu malam harimau akan menyeret mereka."[1] Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan, Demak, Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari bidang sastra muncul Multatuli [Eduard Douwes Dekker], di lapangan jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.

Kritik kaum liberal

Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.

Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.

UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum [nila], atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.

Kritik kaum humanis

Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar [1860]. Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.

Seorang anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya mengimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.

Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditas pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkih. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditas pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.

Dalam bidang sosial

Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.

Dalam bidang ekonomi

Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotong royong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.

Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.

  1. ^ Mohamad, Goenawan [2006, cet.6]. Catatan Pinggir. 1:430 – 431. Jakarta: Grafiti Pers. ISBN 979-96724-3-0.

  • [Indonesia] Secara Ekonomi, Tanam Paksa Gagal[pranala nonaktif permanen]

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Cultuurstelsel&oldid=20883234"

Video yang berhubungan