Allah lebih menyukai orang-orang yang giat bekerja daripada orang yang

Disarikan dari buku KH.Toto Tasmara

Akhir-akhir ini saya mendengar keluh kesah rekan kerja baik di dunia maya maupun disampaikan langsung kepada saya. Tentang pekerjaan yang tidak berbalaskan penghargaan dari rekan kerja atau atasan, baik berupa pujian atau hanya sekedar materi semata. Saya kira itu hal yang manusiawi bahwa hidup ini butuh sebuah pengakuan dan penghargaan. Rekan/pimimpinan yang bijak semestinya menunaikan hak atas pencapaian anggotanya. Masalahnya, setiap pemimpin mempunyai karakter yang berbeda dalam memperlakukan anggotanya. Dalam sejarah islam kita mengenal 4 khalifah Abubakar Ash siddiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abitalib. Ke empat khalifah ini memiliki karakter berbeda sehingga pada masanya mereka pun mendapatkan penerimaan  dan penolakan, padahal kita tau betapa mulianya ke empat sahabat Rasul ini di hadapan Allah Swt. Apalah lagi kepemimpinan manusia akhir zaman sudah pasti kita menemukan banyak kekurangan, namun tugas seorang pimpinan seharusnya berupaya seoptimal mungkin menciptakan gaya kepemimpinan berdasarkan nilai-nilai islam dan meneladani Rasul dan para sahabat. 

Lalu, bagaimana seorang bawahan/anggota/staff mengahadapi gaya kepemimpinan yang tidak sejalannya dengan nya atau miskin penghargaan walau hanya sekedar ucapan terimakasih?, saya mengulang kembali buku bacaan 5 tahun yang lalu dengan judul “MEMBUDAYAKAN ETOS KERJA ISLAMI
“ tulisan KH, Toto Tasmara. 

Ada beberapa prinsip etos kerja bagi seorang muslim. Hal ini berdasarkan informasi Qur’ani dan hadits Rasulullah. “ Dan Katakanlah, bekerjalah kamu maka Allah, rasul dan orang-orang mu’min akan melihat pekerjaan itu, dan kamu akan di kembalikan kepada Allah yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata , lalu diberitakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (At-taubah :105). 

“bekerjalah untuk duniamu seolah-olah akan hidup selamanya dan beribadahlah untuk akheratmu seakan-akan kamu akan mati besok”

Rasul Bersabda, “ Tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah, memikul kayu bakar lebih mulia daripada mengemis, mukmin yang kuat labih Allah cintai daripada muslim yang lemah, Allah lebih menyukai mukmin yang bekerja”

Dari beberapa prinsip diatas, jelas bahwa pekerjaan kita seharusnya di persembahkan hanya untuk Allah saja, terlepas ia akan peroleh penghargaan dan materi itulah hadiah yang Allah berikan kepada kita sebagai Down Payment (DP) di dunia ini yang kemudian balasan yang hakiki adalah ridha Allah Swt. Dengan demikian. Etos kerja seorang muslim adalah mereka yang selalu obsesif atau orang yang ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat (Shalih) dan karenanya cara pandang kita dalam melaksanakan suatu pekerjaan didasarkan pada 3 dimensi kesadaran, yaitu AKU TAHU, AKU BERHARAP dan AKU BERBUAT.

“Ada seorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW, orang itu sedang bekerja dengan giat dan tangkas, para sahabat lalu berkata, Ya Rasulullah andaikata bekerja semacam orang itu dapat di golongkan fii Sabilillah alangkah baiknya,’bersabda Rasulullah. Kalau ia bekerja hendak menghidupi anak-anaknya yang masih kecil , itu adalah fii sabilillah, kalau ia bekerja untuk membela kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fii sabilillah, kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar ia tidak meminta-minta, itu adalah fii sabilillah” (Hadits Riwatat Ath-Tabrani)

Ciri seorang muslim memiliki budaya etos kerja yang baik adalah mereka yang memilki “KECANDUAN BERAMAL SHALIH”, ia tidak pernah bertanya upah apa yang ia terima jika mendapatkan perintah pekerjaan dari pimpinannya, selama tidak dalam berbuat kemaksiatan atau dosa. Ia memiliki sifat berkhitmad dan melayani. Oleh karena itu KH, Toto Tasmara menyebutkan beberapa ciri budaya etos kerja islami yaitu mereka memiliki moratilas yang bersih (ikhlas), mereka kecanduan kejujuran, mereka disiplin, mereka siap menghadapi tantangan, mereka kreatif, mereka haus akan pembelajaran/haus akan ilmu sehingga setiap waktu ia pergunakan untuk belajar, mereka yang berorientasi pada produktivitas, dan mereka memilki sprite of change (semangat perubahan).

Ada “penyakit” kerja yang harus kita hindari yaitu tantang rasa bimbang, tentang rasa terhina, tentang rasa kemalasan, tantang sifat bakhil, dan tentang jiwa pengecut. Penyakit kerja ini sering di derita oleh kita kebanyakan karena kita tidak tau cara pandang kita terhadap sebuah pekerjaan.

Mereka yang beretos kerja memilki semacam semangat untuk memberikan pengaruh positif kepada lingkungannya. Keberadaan dirinya diukur dari sejauh mana potensi yang dimilikinya dalam memberikan makna dan pengaruh kepada oranglain. AKU ada karena AKU memberikan pengaruh,  AKU ada karena AKU memberikan makna kehidupan, SIKAP POSITIF akan mengantarkan kita menjadi seorang PEMENANG sedangkan SIKAP NEGATIF hanya akan melahirkan calon-calon PECUNDANG.

Suatu hari, seorang pemuda berjabbat tangan dengan Rasulullah, tiba-tiba Rasulullah emncium tangan pemuda itu sambil bersabda, ”Inilah tangan yang dicintai Alla,” (HR. Jamaah) padahal si pemuda itu ialah seorang epkerja kasar yang tangannya begitu keras dan kasar. Rupanya Allah dan Rasulullha sangat membanggakan dan mencintai seseorang yang bekerja keras.

Islam merupkan agama yang mengajarkan penganutnya untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhiratnya. Seluruh alam semesta ini diciptakan Allah selain sebagai sarana beribadah kepada Allah, juga diciptakan sebagai arena mencari rezeki yang Allah jaminkan padanya. Allah tidak melarang hambanya bekerja keras memenuhi kebutuhan hidupnya dan Allah pun tak melarang hambanya menjadi orang yang kaya raya, malah Allah menyuruh demikian seperti yang terdapat dalam firman dalam surah Al-Jumuah ayat 10 yang artinya, ”Apabila solat telah dilaksanakan, maka menyebarlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah.”

Dalam ayat tersebut, ada dua hal yang menarik utnuk diperhatikan, yakni solat dan bekerja. Dua pekerjaan ini sangat berkaitan dan satu sama lain saling mempengaruhi. Solat hakikatnya adalah memanjatkan doa-doa kepada Allah; meminta kebaikan-kebaikan untuk dunia (bisa berupa kekayaan, kehormatan, ilmu yang bermanfaat, dan lain sebagainya) dan akhiratnya (menjadi ahli surga). Lalu bekerja merupakan tindak lanjut dari doa-doa yang telah dia mohonkan kepada Allah. Ia bekerja dengan keyakian bahwa Allah akan mengabulkan doa-doanya lewat apa yang akan dia kerjakan. Tentu kita sering mendengar ungkapan bahwa, ”Berdoa tanpa usaha itu bohong dan berusaha tanpa doa itu sombong”, bukan? Nah, inilah jawaban dari ungkapan tersebut. Betapa manusia memang diwajibkan untuk memasrahkan diri kepada Allah setelah ia berusaha terlebih dahulu. Biarkan hasil akhir Allah saja yang menentukan.

Mengapa Allah mencintai mereka yang giat mencari rezeki halal?

Mencari nafkah bukanlah sebuah beban yang ringan, tetapi di pundaknya ia membawa masa depan keluarga yang ia nafkahi. Ia harus membuang ego dan dan menepikan rasa letih di tubuhnya saat bekerja. Ia sadar, mencari nafkah tidak hanya tentang mencari uang untuk bisa makan, tetapi pertaruhan harga diri dan nama baik keluarganya. Ya, pekerjaan adalah harga diri yang harus terus dibela. Bekerja juga sebuah pembuktian bahwa ia taat pada perintah Allah agar menghidupi diri dan keluarganya dengan perkara yang halal.

Allah lebih menyukai orang-orang yang giat bekerja daripada orang yang
Dengan bekerja juga, ia akan memudahkan perjalanannya di akhirat nanti seperti yang tertera dalam hadits Rasulullah yang berbunyi, ”Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak dari hari kiamat hingga ia ditanya mengenai (1) umurnya di manakah ia dihabiskan, (2) ilmunya dimanakah ia amalkan? (3) hartanya bagaimana ia peroleh? (4) di mana ia menginfakkan? dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi). Bagi mereka yang gemar belajar, bersedekah, dan bekerja tentunya akan mudah saja melalui tahap ini. Selama hidup di dunia, mereka terbiasa melakukan apapun di atas jalan Allah. Mereka enggan mengkhianati Allah dengan berpaling daripadaNya.

Bekerja merupakan ibadah kepada Allah. Tentu Allah akan mengganjarnya tidak hanya dengan harta, tetapi juga dengan pahala. Pahala yang diberikan pun tidak main-main, yaitu pahala jihad. Rasulullah menerangkannya dalam hadits yang artinya, ”Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (profesional atau ahli). Barangsiapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah.” (HR. Ahmad).

Dalam hadits ini, kita tahu bahwa jidah ternyata tidak hanya dilakukan dengan berperang saja, tetapi bekerja juga masuk kategori berjihad. Apapun yang kita sedang lakukan di jalan Allah, itu termasuk jihad. Perkara tersebut Rasulullah sebutkan dalam hadits berikut ini, “Suatu ketika Rasulullah dan para sahabat melihat ada seorang laki-laki yang sangat rajin dan ulet dalam bekerja, seorang sahabat berkomentar, ’Wahai Rasulullah, andai saja keuletannya itu dipergunakannya di jalan Allah.’ Rasululah menjawab, ’Apabila dia keluar mencari rezeki karena anaknya yang masih kecil, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rezeki karena kedua orangtuanya yang sudah renta, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rezeki karena dirinya sendiri supaya terjaga harga dirinya, maka dia di jalan Allah. Apabila dia keluar mencari rezeki karena riya’ dan kesombongan, maka dia di jalan syaitan.”

Saking cintanya Allah kepada hambaNya yang giat bekerja dengan cara yang halal, setiap hari Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya. Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya keterampilan kedua tangannya pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah.” (HR. Ahmad)

Sahabat, dewasa ini banyak juga kaum hawa ikut ambil bagian dalam mencari nafkah. Ada yang karena memang tuntutan keadaan, ada pula yang memang mereka berkomitmen untuk terus mengembangkan karier sekalipun sudah berkeluarga. Semuanya sah-sah saja dilakukan, tapi hendaknya mereka tetap tidak melupakan kodratnya sebagai wanita yang menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya dan juga sebagai ratu dalam rumah tangganya. Kaum hawa yang juga turut bekerja mencari nafkah pun Allah berikan ganjarannya karena ia telah membantu meringankan tanggung jawab suami dan juga pahala atas sedekah kepada keluarganya.

Selain mencintai hambaNya yang giat mencari rezeki halal di muka bumi, Allah juga mencintai tujuh macam rasa lelah yang kerap dialami oleh hambaNya. Lelah dalam berdakwah, lelah dalam beribadah dan beramal Sholeh, lelah ketika mengandung, menyusui, dan merawat anak agar menjadi Sholeh/Sholehah, lelah mengurus keluarga, lelah menuntut ilmu, dan lelah dalam kesusahan dan kesakitan. Lelah yang dicintai Allah bukan berarti kita bosan dan enggan lagi untuk menjalaninya. Yang Allah maksud dengan lelah adalah mereka yang merasakan tubuhnya letih setelah seharian mengerjakan ini itu di jalan Allah namun tidak sedikitpun ia menyesal telah melakukannya.

Nah, setelah kita tahu bahwa rasa letih dan lelah dalam bekerja dan beribadah saja sudah Allah sukai, bagaimana kita masih bisa mengeluh? Mengeluh tidak akan bisa mengurangi bebanmu, malah ia akan semakin membuatmu tidak ikhlas dengan apa yang telah menjadi takdirmu. Jika kamu lelah, Allah telah menjadikan malam sebagai istirahatmu dan di malam yang sama saat kau beristirahat, Allah ampuni semua dosamu allunkauterbagun dengan keadaan bersih keesokan harinya. Ma syaaAllah.

Mari, Sahabatku. Kita benahi lagi semangat bekerja kita. Jika letih itu mendera, kita cukup ingat ampunan, pahala jihad, dan wajah penuh senyum dan berterima kasih dari mereka yang kau nafkahi. Bukankah Allah selalu mengatakan bahwa di setiap kesulitan telah Allah sediakan jalan keluarnya? Bukankah mereka yang menghalangimu hanyalah ujian belaka yang pada akhirnya Allah tahu bahwa kau mampu? Semoga lelahmu yang Lillah Allah balas dengan sebaik-baiknya balasan.

Yuk Sedekah Melalui www.maiberbagi.or.id

Penulis,
(DHQ)