Politik devide et impera yang dilakukan oleh VOC di kerajaan Banten dengan cara mengadu domba

Politik devide et impera yang dilakukan oleh VOC di kerajaan Banten dengan cara mengadu domba
Devide et impera adalah cara yang ditempuh Belanda di Indonesia untuk menguasai suatu wilayah. Politik devide et impera diterapkan baik oleh VOC maupun pemerintah kolonial Belanda sendiri. Pada awalnya, VOC datang untuk berdagang. Lama kelamaan muncul jiwa serakah ingin menguasai wilayah tersebut. maka VOC kemudian menuntut penguasa setempat untuk memberikan hak monopoli perdagangan kepada VOC. Keinginan VOC tersebut ditolak oleh penguasa setempat sehingga kemudian VOC berupaya untuk mengganti penguasa tersebut dengan penguasa yang mau bekerjasama dengan VOC.

VOC mampu menguasai Indonesia pada masa itu disebabkan oleh:

  1. VOC adalah organisasi dagang yang tertib dan para pengurusnya bekerja keras sehingga maju dengan pesat,
  2. banyak kerajaan di Indonesia yang mudah dikuasai VOC karena politik adu domba, dan
  3. para pedagang di Nusantara belum memiliki kesatuan dan persatuan yang kuat.

Beberapa politik ada domba di Indonesia antara lain:

Di Kerajaan Banten

Dalam usahanya menduduki Banten, Belanda memanfaatkan konflik internal kerajaan Banten dengan cara politik adu domba. Antara Sultan Haji, Putra Mahkota Banten, sedang berselisih dengan Sultan Ageng Tirtayasa mengenai pergantian kekuasaan kerajaan. Dalam hal ini VOC memberikan bantuan kepada Sultan Haji untuk melengserkan Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah berhasil melengserkan Sultan Ageng Tirtayasa, VOC meminta imbalan berupa perjanjian, yang menyatakan bahwa Banten merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan VOC, dan VOC diijinkan mendirikan benteng. Banten juga harus memutuskan hubungan dengan dengan bangsa-bangsa lain dan memberikan hak monopoli kepada VOC untuk berdagang di Banten. Perjanjian Banten sangat menguntungkan bagi VOC.

Di Kerajaan Gowa-Tallo (Makassar)

Di Kerajaan Gowa-Tallo, VOC melakukan politik adu domba antara Sultan Hasanudin dengan Aru Palaka, raja dari Bone. Bone merupakan salah satu wilayah yang dikuasai oleh Hasanudin. Perlawanan rakyat Bone terhadap Sultan Hasanudin dipimpin oleh Aru Palaka. Aru Palaka kemudian meminta bantuan VOC untuk mengalahkan Sultan Hasanudin. Perang antara kerajaan Makasar dengan kerajaan Bone yang dibantu VOC, berakhir dengan kekalahan kerajaan Makasar. Sultan Hasanudin harus menandatangani Perjanjian Bongaya yang sangat merugikan. Salah satunya adalah VOC berhak melakukan monopoli perdagangan di Sulawesi.

Di Kerajaan Mataram Islam

Kerajaan Mataram Islam dibawah kekuasaan Sultan Agung melakukan perlawanan terhadap VOC. Sultan Agung menganggap bahwa VOC akan menghalangi cita-citanya menguasai tanah Jawa. Oleh karena itu Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC di Batavia sebanyak dua kali akan tetapi mengalami kegagalan. Sepeninggalnya Sultan Agung, pada zaman Amangkurat I, pengaruh VOC kemudian memasuki istana Kerajaan Mataram Islam. Konflik dalam istana Kerajaan Mataram Islam membuat pengaruh VOC semakin kuat. Puncak dari berbagai konflik yang adalah dengan adanya Perjanjian Gianti dan Perjanjian Salatiga yang membuat Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi kerajaan kecil.

Untuk materi lebih lengkap tentang PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT DI INDONESIA silahkan kunjungi link youtube berikut ini. Jikalau bermanfaat jangan lupa subscribe, like dan share.. Terimakasih

Politik devide et impera yang dilakukan oleh VOC di kerajaan Banten dengan cara mengadu domba

Mari berlomba lomba dalam kebaikan. Semoga isi dari blog ini membawa manfaat bagi para pengunjung blog. Terimakasih

KOMPAS.com - Secara harfiah, devide et impera dapat diartikan sebagai "pecah dan berkuasa".

Strategi ini dipopulerkan oleh Julius Cesar dalam upayanya membangun kekaisaran Romawi.

Caranya adalah dengan menimbulkan perpecahan di suatu wilayah sehingga mudah untuk dikuasai.

Dalam konteks lain, devide et impera juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.

Seiring waktu, devide et impera juga dikenal sebagai politik pecah belah atau politik adu domba.

Baca juga: Kebijakan-Kebijakan VOC di Bidang Politik

Politik devide et impera di nusantara

Devide et impera perama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Belanda melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

Selain monopoli, salah satu siasat yang digunakan oleh VOC untuk menguasai nusantara adalah devide et impera.

Politik adu domba bahkan dijadikan kebiasaan oleh VOC dalam hal politik, militer, dan ekonomi untuk melestarikan penjajahannya di Indonesia.

Orientasinya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menaklukkan raja-raja di nusantara.

Strategi Belanda yang paling ampuh menghadapi perlawanan dari penguasa lokal adalah dengan meakukan politik adu domba.

VOC pun mampu menaklukkan kerajaan-kerajaan besar di nusantara dengan memanfaatkan perang saudara ataupun permusuhan antarkerajaan.

Baca juga: Kebijakan-kebijakan VOC di Bidang Ekonomi

Berikut beberapa contoh keberhasilan VOC dalam melaksanakan devide et impera di nusantara:

1. Perang Makassar

Dalam perang ini, VOC berhasil menaklukkan Kesultanan Gowa dan Kota Makassar pada 1669 karena dibantu oleh Raja Bone dan Arung Palakka yang tengah berseteru dengan Sultan Hasanudin.

2. Konflik Kerajaan Mataram

Konflik ini membuat posisi VOC sangat diuntungkan, sedangkan posisi Kerajaan Mataram semakin melemah karena terbagi menjadi empat kerajaan.

Selain itu, Belanda juga berupaya melakukan siasat devide et impera pada Perang Saparua, Perang Padri, Perang Diponegoro atau Perang Jawa, Perang Aceh, Perang Banjar, dan Perang Jagaraga.

Penggunaan politik adu domba sukses membuat bangsa Indonesia berkonflik dan berebutt kekuasaan.

Efektivitas devide et impera pun mendapat perhatian khusus oleh pemerintah Kerajaan Belanda.

Baca juga: Perlawanan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi Terhadap VOC

Strategi Belanda di Nusantara

Berikut strategi yang dilakukan Belanda saat menerapkan politik devide et impera:

Pada langkah ini, Belanda akan berusaha menjadi teman dan menciptakan musuh bersama.

Apabila sudah berteman, maka negosiasi dan diplomasi akan berjalan lebih mudah.

Sementara common enemy yang dimaksud adalah pihak lain yang menjadi saingan bisnis VOC.

Manajemen isu

Pola ini dilakukan dengan menebar selentingan kabar dan desas-desus, baik di lingkungan politik maupun sosial. Bentuk lain dari manajemen isu adalah propaganda.

Bermain di dua sisi

Belanda biasanya akan berpihak pada dua kubu yang saling bertentangan seolah berada posisi netral.

Merekrut pemimpin lokal

Belanda biasanya akan merekrut pemimpin lokal sebagai bagian dari rantai manajemen terbawah.

Trik ini dilakukan dengan memberi pengakuan yang mengatasnamakan kerajaan Belanda terhadap entitas politik di suatu daerah.

Seperti yang terjadi pada Perang Diponegoro dan Kesultanan Melayu.

Baca juga: Penjelajahan Samudra oleh Portugis: Latar Belakang dan Kronologi

Mengatur terjadinya perang saudara

Cara ini dilakukan dengan menggunakan pribumi sebagai kekuatan militan untuk melawan bangsanya sendiri.

Pola ini terlihat di Sumatera Barat pada 1821-1837, saat Belanda berhasil memprovokasi Kaum Adat untuk berperang melawan Kaum Paderi.

Devide et impera pasca proklamasi kemerdekaan RI

Pasca proklamasi kemerdekaan, Belanda kembali mencoba menerapkan politik devide et impera untuk memecah belah persatuan Indonesia.

Upayanya pun berhasil memecah Indonesia menjadi negara-negara bagian, yaitu Negara Indonesia Timur (sekarang Papua), Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur.

Referensi:

  • Putra, Dharma Kelana. (2014). Devide Et Impera: Mengenal Taktik Dan Strategi Orang Belanda. Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Politik devide et impera yang dilakukan oleh VOC di kerajaan Banten dengan cara mengadu domba

C.Sultan Haji

Persaingan kemudian berubah menjadi pertentangan politik, sehingga Sultan Ageng Tirtayasa sangat anti kepada VOC. Dalam rangka menghadapi Belanda/VOC, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan melakukan perang gerilya dan perampokan terhadap Belanda di Batavia. Akibat tindakan tersebut, maka Belanda menjadi kewalahan menghadapi Banten. Untuk menghadapi tindakan Sultan Ageng Tirtayasa tersebut, maka Belanda melakukan politik adu-domba (Devide et Impera) antara Sultan Ageng dengan putranya yaitu Sultan Haji