Pemuka agama dan tokoh masyarakat adalah fitur yang dapat diteladani dan dapat

Maraknya aksi atau tindakan intoleransi dan radikalisme yang mengatasnamakan agama atau ras, yang dilakukan sekelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain yang berbeda memicu keprihatinan banyak pihak akhir-akhir ini.

Wakil Sekretaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur, Ahrori, mengatakan, persoalan disintegrasi bangsa yang dilandasi kepentingan politik dan kekuasaan harus diatasi dengan keterlibatan para tokoh agama dan pemuka masyarakat. Menurut Ahori, mereka harus bisa untuk memberi pemahaman mengenai hakekat Pilkada yang lebih menekankan bagaimana membangun bangsa.

“Para tokoh harus bersinergi, segenap elemen masyarakat harus memahami, terutama para tokoh-tokoh agama harus memberi pemahaman bahwa Pilkada ini bukan ajang memilih semacam organisasi biasa, tetapi bagaimana membangun masyarakat. Membangun masyarakat bukan hanya segi peribadatan saja, tetapi bagaimana ekonomi, sosial harus dibangun secara lengkap. Artinya tidak serta merta kalau yang Muslim, bukan hanya pemilihan takmir masjid ini, yang beragama bukan Muslim mungkin bukan pemilihan Ketua Gereja ini, bukan. Tetapi ini membangun bangsa bagaimana berjalan dengan baik,” kata Ahrori, Wakil Sekretaris PCNU Bangkalan.

Warga Nusa Tenggara Timur, Kristin mengungkapkan, membangun Indonesia yang memiliki keberagaman harus diawali dari keluarga, agar setiap individu yang nantinya menjadi bagian dari masyarakat, dan menjadi pemimpin, dapat menampilkan wajah Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, yakni yang menghargai perbedaan.

Masyarakat, Tokoh Agama Bertanggungjawab Rawat dan Jaga Keberagaman Indonesia

“Keberagaman itu harus ditanamkan mulai dari keluarga, dari anak-anak. jadi, kita harus mengajarkan konsep Indonesia yang beragam itu dimulai dari anak-anak kita, dari keluarga kita. Sehingga ketika itu tidak dibangun di setiap keluarga-keluarga di Indonesia sangat mungkin akan terjadi yang namanya intoleransil,” kata Kristin, warga Nusa Tenggara Timur.

Aktivis keberagaman, Wimar Witoelar mengatakan, keberagaman atau kebhinnekaan yang dimiliki Indonesia merupakan kekayaan yang tinggi nilainya, dan dapat lenyap bila masyarakatnya tidak ikut memeliharanya.

“Pertama keyakinan bahwa ini memang adalah milik kita yang sangat penting dan juga bisa hilang, tidak otomatis. Jadi kesadaran yang pertama, kesadaran kemudian dikomunikasikan dan mencari teman yang sependapat. Saya tidak menganut pengertian harus ada aksi yang agresif atau yang konkrit melawan orang-orang yang merusak keragaman, tapi lebih pada memperkuat kemampuan kita. Sebab kalau semua itu yakin pada dirinya sendiri dan ingin bersuara, itu dengan sendirinya akan hilang gangguan itu, karena gangguan itu sementara kok, mereka kan punya motif politik, kalau tidak berhasil ya akan berhenti,” kata Wimar Witoelar, aktivis keberagaman.

Wimar menegaskan pentingnya memberi pemahaman bahwa semua warga negara berperan penting dalam membangun bangsa, termasuk mereka yang selama ini banyak diam dan membiarkan intoleransi serta radikalisme berkembang di tengah masyarakat.

“Perlu tapi jangan dipaksa, tapi lebih dirangkul, karena yang diam itu sebenarnya tidak tahu saja bahwa dia itu sangat penting,” lanjut Wimar Witoelar.

Jawa Timur mencatat sejumlah aksi intoleransi. Selain yang terkait politik, seperti pilkada, juga ada yang terkait budaya, seperti protes menentang pemajangan patung di sebuah klenteng di Tuban dan patung penari balet di Surabaya. [pr/ab]

Sorong (30/11) -- Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa Indonesia. Semboyan tersebut memiliki makna 'berbeda-beda tetapi tetap satu jua', yang artinya adalah bangsa Indonesia harus tetap satu di tengah ragamnya perbedaan. Termasuk dalam hal perbedaan keyakinan, bangsa Indonesia harus saling menghormati dan menghargai.

Moderasi beragama merupakan salah satu langkah untuk menghargai perbedaan keyakinan di tengah masyarakat. Dengan selalu bertindak adil, seimbang, dan tidak ekstrem dalam praktik beragama, akan membawa keharmonisan dan kerukunan dalam kehidupan beragama antar umat.

Asisten Deputi Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Thomas Ardian Siregar menjelaskan bahwa untuk menguatkan moderasi beragama, pemerintah melakukan berbagai langkah strategis. Diantaranya meningkatan kualitas pemahaman moderasi beragama pada masyarakat, khususnya pada penyuluh agama yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Hal itu disampaikan Thomas saat mengisi kegiatan diskusi panel dengan tema 'Kebijakan Pemerintah dalam Menguatkan Moderasi Beragama di Indonesia' dalam kegiatan Dialog Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat/Adat bersama Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag RI, di Sorong, Papua, pada Senin (30/11).

"Berbagai upaya pemerintah untuk membangun ekosistem moderasi beragama melalui penguatan 3 dimensi yakni Dimensi Perencanaan, Dimensi Kelembagaan dan Dimensi Regulasi," tutur dia.

Lebih lanjut, Asdep Thomas mengatakan, prinsip dasar moderasi beragama adalah untuk menjaga keseimbangan antara akal dan wahyu, jasmani dan rohani, hak dan kewajiban. Menurutnya, perlu agen-agen dari masyarakat untuk menjaga keseimbangan tersebut, serta keseimbangan antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal.

"Karena itu, pemerintah juga terus memperkuat peran dan kapasitas lembaga-lembaga agama, organisasi sosial keagamaan, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat sebagai agen moderasi beragama," tukasnya.

Dalam kesempatan itu pula, Wakil Menteri Agama RI Zainut Tauhid menekankan pentingnya untuk selalu merawat kerukunan dan mengelola keberagaman Indonesia yang merupakan anugerah Tuhan YME dan merupakan aset bangsa Indonesia. 

Turut hadir dalam kegiatan dialog peserta perwakilan perwakilan FKUB dan Kanwil Kemenag, tokoh agama, tokoh masyarakat/adat di seluruh Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. (*)

Pemuka agama dan tokoh masyarakat adalah fitur yang dapat diteladani dan dapat

Larantuka (Inmas) - Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Flores Timur, Drs. Karolus Sara Buang Lera menegaskan bahwa, para tokoh agama/pemimpin agama mempunyai posisi yang sangat strategis dalam memberikan pemahaman tentang kerukunan umat beragama bagi setiap umat beragama. Hal tersebut disampaikannya ketika membuka kegiatan Rapat Koordinasi Pimpinan Gereja Kristen se Kabupaten Flores Timur, di Aula Kantor Kementerian Agama Kabupaten Flores Timur, Senin (19/12/2016).

Menurut Karolus Sara Buang Lera, berbagai persoalan yang masih saja terus menjadi ancaman kerukunan di negara kita seperti perbedaan keyakinan dan aqidah, pendirian rumah ibadah, masalah penyiaran agama, dan penggunaan simbo-simbol agama. Untuk itu beliau berharap peran para tokoh atau pemuka agama untuk selalu memberikan pemahaman yang baik kepada umatnya sehingga lebih mengedepankan rasa persaudaraan sejati dan saling menghormati antar pemeluk agama.

"Para pemimpin agama sebagai orang yang diteladani oleh umatnya harus mampu memberikan pemahaman yang baik dan benar tentang toleransi antar umat beragama". Jelasnya.

Para pemimpim agama menurutnya, harus tampil sebagai fasilitator  dalam meminimalisir segala konflik yang terjadi. Selain itu para pemimpin agama juga harus bisa menciptaka kegiatan bersama yang melibatkan umat beragama dalam rangka meningkatkan persatuan dan kesatuan diantara para pemeluk agama.

Hadir dan mengikuti kegiatan pembukaan Rakor Pimpinan Gereja Kristen adalah Kasubbag Tata Usaha, Laurentius Ola Kaya, S.Ag, Penyelenggara Kristen, Pasti B.A.l.K Nabuasa bersama para Kepala Sekis/gara dan para pemimpin denominasi kristen yang ada di Kabupaten Flores Timur yang berjumlah 15 peserta. ***(peter/prily)