Mengapa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dilarang di Indonesia?

Undang-Undang No. 5 Tahun  1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”) yang diterbitkan di tengah-tengah krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia, diharapkan dapat mengubah kondisi perekonomian Indonesia menjadi ekonomi yang bersifat terbuka dengan mendorong iklim usaha yang sehat, efisien dan kompetitif sehingga tercipta kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses produksi, pemasaran barang dan jasa.  Meskipun telah berjalan dengan cukup baik, namun terdapat kekurangan dari UU 5/1999 sehingga terdapat dorongan untuk melakukan revisi atas UU 5/1999. 

Oleh karena itu, Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) beserta PP No. 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, merubah beberapa ketentuan dalam UU 5/1999 (“PP 44/2021”), antara lain:

Kompetensi Pengadilan Niaga

UU 5/1999 memungkinkan bagi pelaku usaha untuk mengajukan keberatan terhadap Putusan KPPU ke Pengadilan Negeri di kedudukan hukum pelaku usaha selambat-lambatnya 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan KPPU. UU Cipta Kerja kemudian mengubah ketentuan tersebut sehingga keberatan tersebut haruslah diajukan kepada Pengadilan Niaga. 

Atas perubahaan tersebut, Mahkamah Agung kemudian Mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2021 tentang Peralihan Pemeriksaan Keberatan Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha kepada Pengadilan Niaga yang menyatakan sejak tanggal 2 Februari 2021, maka perkara keberatan harus diajukan kepada Pengadilan Niaga.

Saat ini, di Indonesia hanya terdapat lima Pengadilan Niaga di Indonesia yang wilayah kekuasaannya meliputi beberapa Provinsi di Indonesia, yaitu:

  1. kekuasaan Pengadilan Niaga Makassar meliputi pemeriksaan perkara-perkara kepailitan yang berlaku di wilayah provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat, Papua Timur dan Papua Tengah;
  2. Pengadilan Niaga Medan yaitu menerima, memeriksa dan memutus perkara-perkara kepailitan yang terjadi di wilayah provinsi Sumatera Utara, Riau, Riau Kepulauan, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi dan Daerah Istimewa Aceh;
  3. Pengadilan Niaga Semarang mempunyai kewenangan menerima, memeriksa dan memutus perkara-perkara kepailitan yang berlaku di wilayah propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta;
  4. Pengadilan Niaga Surabaya menerima, memeriksa dan memutus perkara-perkara kepailitan yang terjadi di wilayah provinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur; dan
  5. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat meliputi wilayah propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung dan Kalimantan Barat.

Sanksi Tindakan Administratif

Salah satu kewenangan KPPU dalam Pasal 47 UU 5/1999 adalah mengenakan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan terkait anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 

Dalam perubahaan tersebut, pemerintah telah menghapuskan sanksi denda maksimal Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dengan menggantinya menggunakan metode penghitungan berdasarkan perhitungan keuntungan bersih atau total penjualan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 PP No. 44/2021:

Tindakan administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf g merupakan denda dasar, dan pengenaan tindakan administratif berupa denda oleh Komisi dilakukan berdasarkan ketentuan sebagai berikut:

  1. Paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari keuntungan bersih yang diperoleh Pelaku Usaha pada Pasar Bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang; atau
  2. Paling banyak sebesar 10% (sepuluh persen) dari total penjualan pada Pasar Bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang.

Berdasarkan pasal di atas, maka denda dasar saat ini dihitung seragam, yaitu sebesar Rp1.000.000.000,- (satu miliar Rupiah) (Pasal 47 UU 5/1999 sebagaimana diubah oleh UU Cipta Kerja). Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya di mana justru perhitungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 ayat (1) PP 44/2021 merupakan perhitungan denda dasar (Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 4 Tahun 2009 tentang Pedoman Tindakan Administratif Sesuai Ketentuan Pasal 47). Dalam perhitungan sebelum UU Cipta Kerja  KPPU setelah menghitung denda dasar kemudian dapat pula menambahkan denda berdasarkan hal yang memberatkan, penjera dan perhitungan lainnya. 

Ketentuan Pidana

Selain membatasi jumlah denda, UU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan pidana yang sebelumnya diatur dalam UU No. 5/1999. Dalam ketentuan sebelumnya, perbuatan seperti penyalahgunaan posisi dominan, pemilikan saham, dan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan merupakan delik pidana sebagaimana  diatur dalam Pasal 48 sebelum perubahan. Namun, UU Cipta Kerja mengatur hanya pelanggaran atas pasal 41 (kewajiban terkait pemeriksaan) yang merupakan delik pidana.

Perubahan-perubahan yang diperkenalkan melalui UU Cipta Kerja beserta Peraturan Pelaksananya jelas lebih memberikan kepastian pada para pelaku usaha mengenai besaran denda maksimal yang perlu dibayar apabila melanggar ketentuan dalam UU No. 5/1999. Perubahan ini juga memberikan kepastian dengan mendekriminalisasi beberapa perbuatan yang sebelumnya termasuk dalam delik pidana.

*******

Mengapa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dilarang di Indonesia?
Photo by Anete Lusina on Pexels.com

By: Rendra Topan

Untuk menjaga kepentingan umum dan dalam rangka perlindungan konsumen, serta menjaga keseimbangan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen, pemerintah telah mengaturnya dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam uraian ini disampaikan mengenai:

Pengertian Monopoli

Apa itu monopoli?

Istilah monopoli sering kita dengar dan ketahui melalui berbagai media pada saat membahas tentang hal-hal yang berkenaan dengan perekonomian. Untuk menyegarkan ingatan kita semua, telah disebutkan pengertian monopoli dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah penguasaan atas produksi  dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha.

Pengertian monopoli sebagaimana tersebut diatas masih merupakan pengertian menurut istilah atau bahasa. Pengertian menurut istilah atau bahasa tersebut apabila dijalankan, maka disebut dengan praktek monopoli. 

Apa itu praktik monopoli?

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga disebutkan bahwa yang dimaksud dengan praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Apa itu pemusatan kekuatan ekonomi?

Praktek monopoli yang berarti pemusatan kekuatan ekonomi, maksud istilah pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan pasar, demikian disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dengan demikan berarti monopoli menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat sehingga merugikan kepentingan masyarakat atau konsumen.

Pengertian Persaingan Usaha

Dalam hal berusaha tentunya kita melakukan dengan banyak cara dengan maksud agar usaha menjadi lancar dan sukses.

Persaingan usaha merupakan salah satu indikator agar pelaku usaha giat dan rajin menjalankan usaha dalam rangka mendapatkan keuntungan, namun begitu yang namanya persaingan usaha ada yang dilakukan secara sehat dan ada yang dilakukan secara tidak sehat.

Melalui tulisan ini diuraikan mengenai persaingan usaha tidak sehat, karena kalau persaingan usaha yang sehat sudah pasti berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga tidak merugikan konsumen atau pelaku usaha lainnya.

Apa itu persaingan usaha tidak sehat?

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha (Pasal 1 angka 6 UU No. 5/1999).

Kegiatan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini tidak sesuai dengan asas yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu; bahwa pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan kesimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Berdasarkan asas demokrasi ekonomi sebagaimana tersebut di atas, pemerintah telah merumuskan tujuan dilarangnya kegiatan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Tujuan Dilarangnya Kegiatan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Tujuan dilarangnya kegiatan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat disebutkan dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah sebagai berikut:

  1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang samabagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.
  3. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
  4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Untuk mencapai tujuan tersebut, kemudian pemerintah mengatur lebih lanjut tentang perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, sampai ke pembentukan komisi pengawas persaingan usaha.

Mengenai kelanjutan dari uraian tersebut di atas berkenaan dengan perjanjian yang dilarang bagi pelaku usaha, kegiatan yang dilarang bagi pelaku usaha, dan kelanjutan hal lainnya diuraikan dalam pokok bahasan tersendiri.(RenTo)(190919)