Mengapa al quran disebut mushaf utsmani

Sering kali kita terbiasa mendengar tentang mushaf, tidak heran karena Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya menjadi pemeluk agama Islam sehingga mendengar istilah yang terdengar islami bukan lagi hal yang asing. Sebenarnya al quran dan mushaf merupakan dua hal yang berbeda. Namun adanya ketidak sempurnaan penyerapan kata bahasa arab ke dalam bahasa Indonesia menyebabkan terjadinya perbedaan makna juga. Sebenarnya perbedaan keduanya pun sangat tipis, sehingga banyak orang menganggap bahwa al quran dan mushaf merupakan dua hal yang sama.

Banyak ulama yang menyepakati ada berbagai macam definisi tentang alquran namun satu pendapat yang disepakati oleh para ulama dan sudah termuat di dalam kitab Al-Tibyaan yang dibuat oleh al-Shabuni mengartikan bahwa Al quran merupakan kalam Allah yang diturunkan untuk Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan diberikan melalui perantara malaikat jibril yang telah dituliskan dalam mushaf dan pada akhirnya sampai kepada kita melalui jalur yang disebut jalur mutawatir, apabila kita membacanya maka akan dinilai oleh Allah sebagai ibadah. Serta urutan Alquran dimulai dari surat Al Fatihah hingga surat An Nas.

Sedangkan mushaf sendiri diartikan sebagai lembaran yang sudah terjilid yang isinya menghimpun ayat – ayat suci Al quran dan ditulis dalam urutan yang jelas serta keutuhannya yang tetap dijaga. Sedangkan jika anda membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka anda akan menemukan arti bahwa mushaf merupakan bagian dari naskah Al quran yang ditulis tangan. Namun, sebenarnya penamaan mushaf sebagai buku yang merangkum hasil jilidan sudah ada sejak era Islam sudah dimulai. Sebenarnya jika kita tilik lagi, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Al quran merupakan suatu buku yang berbentuk non-material sedangkan materialnya itu adalah mushaf. Secara nyata, Al quran itu tidak mampu kita sentuh, namun mushaf mampu kita sentuh. Jadi, sebenarnya selama ini yang anda baca sebagai Al quran merupakan media berupa mushaf. Walaupun hingga saat ini kesalahan interpretasi ini sudah menjadi pemakluman bagi masyarakat umum. Apabila anda sedang berhadas kecil, sebenarnya anda boleh membaca Al quran namun tidak boleh memegang mushaf dan untuk siapapun yang berhadas besar makan dilarang baik itu membaca al quran maupun menyentuh mushaf.

Mushaf Yang Beredar di Indonesia

Saat ini mushaf al quran yang beredar di Indonesia dan yang umum kita kenal terdapat beberapa format, misalnya format 15 baris, format 16 baris dan format 18 baris. Akan tetapi yang umum kita kenal yakni mushaf yang terdiri atas 13 baris. Mushaf standar Indonesia seperti yang tercantum secara resmi di dalam situs milik Departemen Agama Republik Indonesia terdiri atas 3 jenis:

1. Mushaf Al Quran standar Usmani yang saat ini diperuntukkan bagi khalayak umum

Jika kita berbicara mengenai sejarah dari mushaf utsmani dimana banyak yang menganggap bahwa mushaf al quran banyak ditulis pada masa Khalifah Utsman bin Affan padahal penulisan mushaf sudah dimulai sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Namun setelah Nabi Muhammad SAW wafat maka penulisan ini dilanjutkan di pelepah daun kurma, batu putih yang halus dan tipis. Sehingga hal ini menyebabkan Al quran dibaca dengan berbagai macam dialek yang berbeda. Mungkin hingga saat ini tidak banyak Muslim yang tahu bahwa Al quran yang dibaca hingga saat ini berasal dari ayat – ayat Al Quran yang berserakan. Hingga ayat – ayat tersebut kemudian dikumpulkan dan dibukukan pada jaman Khalifah Utsman bin Affan sehingga saat ini disebut sebagai mushaf usmani. Mushaf usmani mulai ditulis pada tahun 25 Hijriyah atau disebut juga 646 Masehi.

Pada waktu awal penulisannya, mushaf al quran belum memiliki harakat atau disebut juga Al quran gundul karena tidak memiliki harakat serta tidak memiliki tanda baca. Guna menghindari dari kesalahan membaca, maka ahli bahasa yang saat itu bernama Abu Al Aswad Zalim bin Sufyan Ad-Dhu’ali kemudian merumuskan tanda harakat dan titik. Beliau merumuskan ini berdasarkan atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib. Jika dilihat dari aspek rasm, mushaf standar usmani lebih mengacu kepada hasil rumusan rasm usmani yang dikerjakan pada muker 1 pada tahun 1974.

Hasil rumusan pembahasan rasm Usmani didapat dari hasil Rapat kerja dari Lajnah Pentashih Al quran yang dilakukan pada tahun 1972 kemudian hasil pembahasan ini dilanjutkan pada forum yang lebih tinggi pada Muker ulama Al Quran Nasional 1 yang diselenggarakan pada tahun 1974 dan hasil dari musyawarah kerja ini mengisyaratkan bahwa mushaf memang harus ditulis dalam rasm Usmani. Jika dilihat dari sisi harakat maka mushaf usmani lebih mengacu pada hasil musyawarah kerja II yang dilaksanakan pada tahun 1976 tentang komparasai dari bentuk harakat yang berasal dari berbagai negara. Dan hasil keputusan memutuskan untuk menilik bentuk harakat yang berjumlah tujuh ditulis dengan keadaan apa adanya atau aslinya.

2. Mushaf Standar Bahriyah yang sering dipakai untuk para penghafal Al Quran

3.Mushaf Standar Braille yang dipakai untuk para penyandang tuna netra.

Penelusuran terhadap penulis mushaf di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada sejak berabad yang lampau. Pada jaman dahulu penulisan mushaf dilakukan secara manual dari ujung ke ujung Nusantara. Bahkan hingga saat ini sudah banyak ditemukan mushaf yang berasal dari Aceh hingga Ternate. Bahkan mushaf juga ditemukan di Raja Ampat di Papua. Akan tetapi kekurangan dari semua mushaf itu adalah tidak adanya nama penulis  mushaf sehingga tidak bisa dilacak secara detail selain dari tempat penemuan mushaf tersebut. Ketiadaan nama ini menyebabkan kita saat ini tidak bisa melacak penulis mushaf tersebut padahal jika tertera nama penulis maka memudahkan masyarakat untuk melacak sang penulis.

Penulisan manuskrip manual ini berakhir pada abad ke 19 karena pada abad ke 20 teknologi sudah semakin berkembang sehingga untuk mushaf pun mulai di cetak secara massal dengan bantuan teknologi. Penulis mushaf pertama yang hingga kini karyanya di pasang di TMII bernama Prof Salim Fachry, beliau menulis mushaf pusaka berdasarkan perintah dari Presiden Pertama yakni Bung Karno. Penulis mushaf pada dasawarsa berikutnya yang terkenal adalah H Didin Sirojudin seorang dosen UIN Jakarta yang juga merupakan pengasuh pondok pesantren.

H Didin menulis mushaf sebagai pesanan pribadi dari H Sawabi Ihsan dan teks terjemahan atas pesanan HB Jassin. Setelah masa ini mulai banyak sekali mushaf yang diterbitkan di Indonesia dan dibuat dengan kaligrafi serta iluminasi yang cantik seperti Mushaf Istiqlal yang diterbitkan pada tahun 1995, Mushaf Sundawi diterbitkan pada tahun 1997 hingga yang terbaru yakni Mushaf Banten yang telah diterbitkan pada tahun 2010. Mushaf lain yang dibuat oleh beberapa santri dari pesantren Al Asy’ariyah dari Wonosobo juga menghasilkan mushaf raksasa.

Oleh Nindhya Ayomi

(Artikel ini ditulis untuk para penulis Al-Qur’an)

Rasm yang terletak dalam mushaf Utsmani merupakan salah satu rahasia yang terletak dalam penulisan mushaf Al-Qur’an terkait beberapa kalimat dalam Al-Qur’an yang ditulis oleh sahabat dalam mushaf Utsmani dengan model khusus yang berbeda dari kaidah penulisan imla, yaitu meliputi kaidah penghapusan (hadzf), penambahan (ziyadah), penulisan ha (hamz), penggantian (badal), penyambungan (Washl), pemisahan (Fasl).

Pembahasan mengenai rasm Utsmani tidak akan pernah terlepas dari Mushhaf Utsmani. Mushaf Utsmani ditulis pada era Utsman bin Affan sebagai kodifikasi Al-Qur’an yang ketiga, melihat banyaknya umat Islam kala itu yang saling menyalahkan bacaan antara satu dengan yang lainnya. Tidak hanya itu, sebagian orang bahkan mengkafirkan sebagian yang lain akibat perbedaan bacaan dan sedikitnya pengetahuan umat tentang bacaan Al-Qur’an yang diturunkan dengan lahjah yang lain. Oleh karena itu, Utsman bin Affan meminta Zaid bin Tsabit untuk menuliskan kembali Al-Qur’an dengan satu lahjah, satu bahasa, yaitu lahjah Quraisy. Setelah proses pentashihan yang panjang hingga dibentuk tim kodifikasi Al-Qur’an, mushaf yang dituliskan oleh Zaid disebar ke berbagai kota. Mushaf ini kemudian disebut sebagai mushaf Utsmani hingga sekarang karena penulisannya dilakukan pada era Utsman bin Affan atas perintahnya.

Sebagaimana Al-Qur’an yang disebarkan menggunakan satu lahjah yang telah disepakati, penulisan yang digunakan pada tiap mushaf yang disebarkan pun menggunakan satu model Rasm, yang selanjutnya disebut dengan rasm mushaf Utsmani, agar umat Islam dapat membaca Al-Qur’an melalui satu bentuk tulisan. Karena, perbedaan qiraat akan menyebabkan perbedaan rasm yang dtulis. Oleh karena itu, Utsman bin Affan mengirimkan imam kepada masing-masing kota untuk mengajarkan tentang cara pembacaan mushaf Utsmani dengan rasmnya. Untuk itulah, penulisan Al-Qur’an pada masa setelahnya wajib mengikuti rasm Utsmani.

Hal ini dilakukan melihat perbedaan tulisan dan rosm pada beberapa mushaf sebelum masa kodifikasi Utsman. Diantaranya penulisan dalam surah Al-An’am yang ditulis menggunakan alif pada mushaf Kufi, sedangkan pada mushaf lainnya menggunakan huruf ta setelah ya . Perbedaan yang lain ditemukan dalam  ayat pada beberapa mushaf, sedangkan dalam mushaf Syami ditulis dengan menggunakan kaf . Dan beberapa kalimat lain seperti menghilangkan alif pada kaidah yang semestinya, mengganti ya dengan alif dan sebagainya.

Ada perbedaan pendapan mengenai rasm Utsmani, sebagian mengatakan itu merupakan bentuk ijtihat sahabat. Pendapat yang lain mengatakan bahwa pada masa Rasulullah SAW, Rasulullah SAW sendiri yang mendiktekan Zaid bin Rsabit dalam penulisan Al-Qur’an melalui talqin dari Jibril alaihi salam. Seperti penulisan wakhsyaunii dalam surah Al-Maidah ditulis dengan huruf ya’ sedangkan dalam surah Al-Maidah dengan menghapusnya (ya) pada dua tempat di dalamnya. Sedangkan dalam riwayat lain mengatakan bahwa penulisan rasm Utsmani sesuai talaqi dengan Rasulullah pada masa kodifikasi awal, bukan bentukan baru yang dibuat sahabat semata.

Sedangkan terkait hukumnya, tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama Semuanya sepakat bahwa penulisan ayat A-Qur’an wajib mengikuti rasm mushaf Utsmani, khususnya bagi mereka yang awan terhadap qiraat yang berbeda dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini, Baihaqi mengatakan bahwa siapa saja yang ingin menulis mushaf, maka ia harus mengikuti penulisan yang tertulis di dalamnya, dalam hal ini berarti rasm mushaf Utsmani. Sedangkan untuk anak kecil yang sedang belajar Al-Qur’an, sebagian ulama memperbolehkan untuk tidak mengikuti rasm Utsmani agar mempermudah dalam pembelajarannya.

Muhammad Thahir menuliskan dalam bukunya Tarikhul Qur’an wa Gharaib Rasmihi tentang tiga kelebihan dalam pemakaian rasm Utsmani. Pertama, membantu umat khususnya era modern dalam tata cara penulisan mushaf. Kedua, menghindari keraguaan dalam penulisan dalam lahjah yang berbeda seperti yang dituliskan sebelumnya. Ketiga, untuk mengetahui makna yang harus dipotong atau disambung dalam beberapa kalimat Al-Qur’an.   

Salah satu bentuk rasm utsmani dapat dilihat dari penulisan basmalah yang menghilangkan 3 alif di dalamnya. Pertama, alif dalam penulisan بسم kedua alif dalam penulisan الله ketiga alif dalam penulisan الرحمن, dengan bacaan sesuai dengan kaidah mad dalam pekaidah penulisan yang kita tahu, yaitu باسم اللاه الرحمان الرحيم.

Bentuk lainnya dapat dilihat dari kalimat , , , , dengan menghilangkan alif dan digantikan dengan tanda mad disetiap huruf yang dibaca panjang.

Dalam rasm Utsmani juga ditemukan beberapa bentuk penulisan asing, seperti:

Rasm pada kalimatأفإين مات   ditulis dengan penambahan huruf ya sebelum nun

Rasm pada kalimat والسماء بنينها بأييد dan kalimat بأييكم ditulis dengan dua huruf ya pada dua kata yang berbeda.

Rasm pada kalimat سأوريكم دار الفيقين ditulis dengan menambahkan huruf wawu setelah alif

Rasm pada kalimat وجايء يومئذ بجهنم dengan menambahkan hurud alif setelah jim. Dan masih terdapat beberapa penulisan asing dalam rasm Utsmani. Untuk itu, Muhammad Thahir dalam bukunya secara khusus menjelaskan secara terperinci mengenai ayat-ayat yang tertulis menggunakan rasm Utsmani.

Rasm Utsmani merupakan rasm khusus yang digunakan dalam penulisan ayat Al-Qur’an atau mushaf, sedangkan dalam penulisan harian tidak dipergunakan karena bentuk penulisannya yang berbeda dari kaidah imla. Kecuali pada beberapa kalimat dan kata yang sering digunakan dalam keseharian. Seperti kalimat: , , , , , dan lainnya, menggantikan tulisan dalam kaidah imla, seperti , , , , , , .

Melihat penulisan mushaf yang ditulis dengan rasm Utsmani berbeda dengan penulisan kaidah imla, maka dianjurkan bagi para penulis Al-Qur’an untuk memperhatikan rasm Utsmani sebelum menuliskan ayat, untuk menghindari kesalahan dalam penulisan. Karena jika penulisan hanya mengandalkan hafalan semata, maka ditakutkan akan terdapat perbedaan dalam rasm yang dituliskan.