Melakukan perdagangan dengan sistem menimbun barang-barang yang dibutuhkan masyarakat hukumnya

Melakukan perdagangan dengan sistem menimbun barang-barang yang dibutuhkan masyarakat hukumnya

Ilustrasi (via emoe.it) Ilustrasi (via emoe.it)

Bukankah barang ini sudah aku beli? Apa hak anda melarang saya menimbunnya? Pertanyaan seperti ini sering menjadi acuan oleh sejumlah penimbun komoditas, khususnya bahan makanan bilamana diberitahu tentang keharaman ihtikâr. Mereka bertanya untuk maksud menolak diberlakukannya hukum haram. Apakah penolakan ini dibenarkan? Tentu saja ada benarnya, meskipun tidak seluruhnya serta merta bisa disebut benar.

Pada tulisan yang lalu  telah disampaikan bahwa menumpuk harta/monopoli/ihtikâr terhadap bahan makanan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat, dengan niat menaikkan harganya, hukumnya adalah haram. Turut disertakan pula dalam tulisan tersebut beberapa dasar dalil yang terdiri atas hadits dan pendapat ulama. Persoalannya adalah apakah monopoli atau tindakan menimbun makanan ini bisa diputus sebagai haram secara mutlak dan berlaku untuk semua jenis penimbunan bahan makanan? Inilah masalah pokoknya.

Praktik di lapangan, ada masyarakat yang sengaja menimbun bahan makanan untuk maksud berjaga-jaga menghadapi paceklik, atau musim kemarau. Ada juga masyarakat yang menimbun makanan karena memang sengaja niat akan dijual pada saat harga mulai merangkak naik, disebabkan kalau dijual sekarang maka ia bisa tekor. Ongkos produksinya bisa tidak kembali, dan lain sebagainya. Dan alasan ini memang riil ada di masyarakat. Untuk itu, perlu dilakukan perincian hukum terhadap hakikat monopoli itu sendiri.

Jika kita mencermati nash-nash yang menjelaskan hukum ihtikâr, memang kita akan menemukan sejumlah batasan-batasan hukum. Ada beberapa dasar nash yang mendukung bagi keputusan tidak mutlak haramnya monopoli/ihtikâr ini. Hujjah yang dipergunakan adalah dengan memakai dhahir teks nash yang bersifat muqayyad – berlaku terbatas pada jenis komoditas tertentu saja. Misalnya hadits riwayat Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu:

من احتكر قوت المسلمين أربعين يوماً يريد الغلاء، فقد برئ من ذمة الله وبرئ الله منه

Artinya:  “Siapa menimbun makanan kaum Muslimin selama empat puluh malam maka terlepas dari naungan Allah dan Allah melepaskan naungan darinya.” (HR. Ahmad).

Dalam riwayat yang lain disampaikan:

 روى أبو أمامة الباهلى أن النبى صلى اهلل عليه وسلم نهى أن يحتكر الطعام )رواه احلاكم فى املستدرك

Artinya: “Abu Umamah al-Bahili meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ telah melarang penimbunan makanan.” (HR. Hakim). 

Lafal kedua hadits ini menunjukkan pengertian umum sehingga mafhum-nya yang dinamakan ihtikâr adalah bila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Sesuatu yang ditimbun adalah barang yang dibeli.

2. Menimbun dengan niat untuk dijual kembali pada waktu harga melambung

3. Menimbun pada waktu barang dibutuhkan oleh banyak orang. 

4. Sesuatu yang ditimbun melebihi kebutuhannya. 

5. Sesuatu yang ditimbun adalah berupa bahan makanan. 

6. Menimbun pada waktu tertentu. 

Menurut fuqaha’ Syafi‘iyah, Isma‘iliyah dan sebagaian Imamiyah, ihtikâr sebagaimana di atas tidak serta merta diputuskan sebagai haram. Mereka lebih memilih bahwa ihtikâr hukumnya adalah makruh. Alasan yang disampaikan adalah ada kontradiksi antara maksud menimbun ini dengan hak seseorang untuk mendapatkan keuntungan melalui jual beli. 

Barang yang ditumpuk adalah sudah menjadi hak milik pedagang dan berada di bawah kekuasaan mereka. Dengan kata lain, sah-sah saja bagi mereka menjual barang tersebut dengan harga berapa pun seiring halalnya keuntungan dari jual beli. Toh, yang dimaksudkan untuk jual beli adalah untuk mendapatkan keuntungan. Namun, karena kebolehan jual beli ini bertabrakan dengan maqashid syariah, maka kebolehan jual belinya menjadi dibatasi oleh teks larangan ihtikâr. Untuk itulah ditetapkan status makruh secara umum terhadap praktik ihtikâr

Illat (alasan dasar) hukum yang menyatakan haramnya ihtikâr adalah bilamana disertai adanya unsur tadlyîq – yaitu mempersulit ruang gerak kaum Muslimin. Selagi tidak ada niatan tadlyîq, maka hukum ihtikâr bahan makanan sebagaimana hal di atas adalah berstatus makruh, demikian menurut kajian fiqih Syafi’i.

Mencermati terhadap pendapat terakhir ini, maka hukum ihtikâr menurut mazhab Syafi’i, menjadi dapat lebih diperinci lagi. Ada kemungkinan suatu ketika ihtikâr ini hukumnya adalah boleh (jaiz), atau bahkan sunnah. Belum lagi apabila melihat objek ihtikâr-nya yang bukan terdiri atas bahan makanan, maka bisa jadi hukumnya adalah boleh. 

Untuk itu penting kiranya dibuat perincian hukum. Secara umum, kita klafisikan hukum ihtikâr sebagai berikut:

1. Haram. Keharaman ihtikâr yang disepakati berdasarkan nash, adalah: 

• Barang yang ditimbun adalah terdiri dari bahan makanan pokok negara atau tempat penimbun

• Barang dibeli dari pasaran dengan niat menghilangkan dari pasaran sehingga dapat menambah tingginya harga

• Penimbunan terjadi melebihi kebutuhan keluarganya

2. Makruh. Kemakruhan ihtikâr adalah terjadi bilamana: 

• Menimbun tanpa tujuan untuk maksud menghilangkan komoditas dari pasaran 

• Barang yang ditimbun terdiri atas bahan pokok makanan

• Menimbun pada waktu barang itu ada dalam jumlah banyak. 

• Menimbun untuk keperluannya dan keluarganya.

3. Jaiz. Jaiz atau boleh melakukan ihtikâr, apabila:

• Barang yang ditimbun terdiri atas bahan pokok makanan negara

• Menimbun pada waktu lapang. 

• Niat menimbun adalah bukan untuk mempengaruhi harga di pasaran

• Seseorang menyimpan untuk kebutuhannya dan keluarganya. 

• Menimbun di negara yang penduduknya musyrik

4. Sunnah. Kesunnahan melakukan ihtikâr, adalah apabila:

• Objek yang ditimbun adalah bahan pokok makanan

• Penimbunan dilakukan saat harga barang itu sedang surplus dan murah 

• Dalam kondisi surplus, barang tidak sedang sangat dibutuhkan masyarakat

• Barang akan dikeluarkan kembali sampai ia dibutuhkan 

• Menimbun dengan niat menjaga kemaslahatan masyarakat

Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa, pertanyaan pedagang sebagaimana yang diungkapkan pada awal tulisan ini memang ada benarnya. Sebagai pedagang, mereka berhak untuk mendapatkan keuntungan. Efeknya, tidak serta merta praktik monopoli/menimbun bahan makanan bisa diputus sebagai haram secara mutlak. Ada beberapa illat lain yang turut diperhatikan. Keharaman praktik penimbunan/monopoli/ihtikâr adalah bilamana ada unsur tadlyîq–menyulitkan–terhadap masyarakat karena mereka harus menebus pembelian dengan harga yang tinggi. Wallâhu a’lam bish shawâb

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Kisah-Kisah Nabi Isa

Orang yang menimbun barang akan dilaknat (HR Ibnu Majah).

Antara/Yulius Satria Wijaya

Petugas Reskrim Polres Bogor menata barang bukti dalam ungkap kasus penimbunan masker kesehatan dan cairan pembersih tangan (handsanitizer) di Polres Bogor, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (9/3/2020).(Antara/Yulius Satria Wijaya)

Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pengasuh MES yang terhormat, kita sering mendapati fenomena adanya penimbunan barang yang dilakukan oleh pedagang sehingga harga melambung tinggi.  Bahkan, pada keadaan pandemik virus korona (Covid-19) saat ini dijumpai ada orang-orang yang menimbun masker dan peralatan kesehatan lainnya sehingga harga melambung tak karuan. 

Saya sebagai anggota masyarakat menilai mereka itu jahat ya, kok tega-teganya. Bagaimanakah pandangan Islam mengenai hal ini? Sebab ada orang yang mengatakan bahwa menjadi hak para pedagang untuk menjual atau tidak menjual barang yang dimilikinya. Bahkan juga mereka bebas mau menjual harga berapa, yang penting pembeli bersedia. 

Mereka ada yang berargumen, jual beli kan tidak dipaksa, jadi kalau bersedia beli ya silakan. Kok begitu ya? Mohon penjelasannya. Terima kasih dan semoga menjadi amal.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yuniar,  Cangkringan, Sleman, Yogyakarta 

JAWABAN

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Terima kasih atas pertanyaan yang sangat aktual ini. Memang kita prihatin di tengah-tengah kondisi prihatin seperti saat ini ada pihak-pihak tertentu yang sengaja menimbun barang (yang sangat dibutuhkan masyarakat) untuk kemudian dijual mahal. Dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan juga di negara-negara maju. 

Motivasi mencari untung besar terkadang dapat membutakan seseorang untuk melakukan cara-cara yang kurang elok atau dilarang agama dan hukum demi keuntungan. Salah satunya menimbun barang sehingga terjadi kelangkaan dan akhirnya menjualnya saat harga tinggi untuk mendapatkan keuntungan besar. 

Rasulullah telah melarang praktik ikhtikar, yaitu secara sengaja menahan atau menimbun (hoarding) barang, khususnya pada saat terjadi kelangkaan barang, dengan tujuan untuk menaikkan harga di kemudian hari. 

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah orang melakukan ikhtikar itu melainkan berdosa” (HR Muslim Nomor 1605). Hadis lain yaitu “Orang yang mendatangkan barang akan diberi rezeki, dan yang menimbun barang akan dilaknat,” (HR Ibnu Majah Nomor 2153). Apakah semua penimbunan dikategorikan ikhtikar yang dilarang?

Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih adalah apabila memenuhi tiga kriteria:

a) Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW

b) Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.

c) Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang, dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetapi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat, maka itu tidak termasuk menimbun.

Akibat dari ikhtikar adalah masyarakat luas dirugikan, karena masyarakat harus membayar harga yang tidak wajar. Apalagi jika barang terebut sangat dibutuhkan, seperti saat ini masker dan pensuci kuman yang benar-benar dibutuhkan untuk menjaga dari penularan wabah virus korona. Perbuatan mereka dapat dikategorikan haram, dan dipastikan juga dianggap tidak etis oleh siapapun yang berpikir normal. 

Jika terdapat ikhtikar seperti ini maka pihak yang memeiliki otoritas harus menghilangkan penimbunan ini dengan intervensi harga dan menghukum  para penimbun,. Dengan harga yang ditentukan ini maka para penimbun dapat dipaksa (terpaksa) menurunkan harganya dan melempar barangnya ke pasar dengan harga yang wajar.

Tetapi, tidak termasuk dalam ikhtikar adalah penumpukan yang dilakukan pada situasi ketika pasokan melimpah, misalnya ketika terjadi panen besar, dan segera menjualnya ketika pasar membutuhkannya. Dalam situasi panen besar seperti ini maka bisa dibayangkan ketika tidak ada pihak yang bersedia membeli atau menumpuk hasil panen tersebut, sehingga harga yang terbentuk di pasar akan semakin melemah. Hal ini justru merugikan petani yang dalam hal ini merupakan kelompok besar dalam masyarakat. 

Contoh penimbunan seperti ini misalnya yang dilakukan oleh Bulog ketika terjadi panen raya untuk stabilisasi harga. Pada saat paceklik, Bulog menjualnya kembali agar harga pasar tidak terlalu tinggi.

  • masker
  • virus korona
  • menimbun masker
  • korona

Melakukan perdagangan dengan sistem menimbun barang-barang yang dibutuhkan masyarakat hukumnya