SETIAP ORANG ITU UNIK
MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH
Page 2
Jawaban Pada hari terakhir dari penciptaan, Allah berkata, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” (Kejadian 1:26). Dengan demikian, Allah mengakhiri pekerjaanNya dengan satu “sentuhan pribadi.” Allah membentuk manusia dari debu tanah dan memberinya hidup dengan menghembuskan nafasNya sendiri (Kejadian 2:7). Dengan demikian, manusia memiliki keunikan dibanding dengan ciptaan-ciptaan lainnya, yaitu memiliki bagian materi (tubuh) dan non-materi (jiwa/roh). Memiliki “gambar” atau “rupa” Allah, dalam pengertian yang paling sederhana, berarti manusia dibuat menyerupai Allah. Adam tidak serupa dengan Allah dalam arti memiliki darah dan daging. Alkitab berkata bahwa “Allah itu Roh” (Yohanes 4:24) dan karena itu memiliki keberadaan tanpa tubuh. Namun, tubuh Adam mencerminkan hidup Allah karena diciptakan dengan kesehatan yang sempurna dan tidak tunduk kepada kematian. Gambar Allah menunjuk pada bagian non-material dari manusia. Hal ini membedakan manusia dari binatang dan memampukan manusia mengemban “kekuasaan,” sebagaimana direncanakan Allah (Kejadian 1:28), dan memampukan manusia berkomunikasi dengan PenciptaNya. Keserupaan ini termasuk dalam hal mental, moral dan sosial. Secara mental, manusia diciptakan sebagai makhluk yang rasional dan berkehendak – dengan kata lain, manusia dapat menggunakan pikirannya dan bisa memilih. Ini adalah refleksi dari akal budi dan kebebasan Allah. Setiap kali seseorang menciptakan mesin, menulis sebuah buku, melukis pemandangan, menikmati simponi, menjumlahkan hitungan, atau menamai binatang peliharaan, dia menyatakan fakta bahwa ia diciptakan menurut gambar Allah. Secara moral, manusia diciptakan dalam kebenaran dan kepolosan yang sempurna, suatu refleksi dari kesucian Allah. Allah melihat semua yang diciptakanNya (termasuk manusia) dan mengatakan, “sangat baik” (Kejadian 1:31). Hati nurani kita atau “kompas moral” itu sisa dari keadaan yang asli itu. Ketika seseorang menaati hukum, berbalik dari kejahatan, memuji kelakuan baik, atau merasa bersalah, orang itu meneguhkan fakta bahwa ia diciptakan menurut gambar Allah. Secara sosial, manusia diciptakan untuk bersekutu. Hal ini mencerminkan ketritunggalan Allah dan kasihNya. Di taman Eden, relasi manusia yang terutama itu dengan Allah (Kejadian 3:8 menyiratkan persekutuan dengan Allah), dan Allah menciptakan perempuan pertama karena "tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja” (Kejadian 2:18). Setiap kali seseorang menikah, berteman, memeluk anak kecil, mengikuti kebaktian, dia menyatakan bahwa ia diciptakan menurut gambar Allah. Karena diciptakan menurut gambar Allah, Adam memiliki kebebasan untuk memilih. Meskipun dia diberikan pribadi yang suci, Adam memilih berdosa dan memberontak melawan PenciptaNya. Dengan berbuat demikian, dia mencemarkan gambar Allah yang ada dalam diriNya, dan mewariskan keserupaan yang rusak itu pada semua keturunannya, termasuk kita (Roma 5:12). Saat ini, kita masih memiliki gambar Allah (Yakobus 3:9), namun harus menanggung bekas-bekas dosa. Secara mental, moral, sosial dan fisik, kita memperlihatkan efek-efek dari dosa. Kabar baiknya, ketika Allah menebus seseorang, Dia mulai memulihkan gambar Allah yang asli itu, menciptakan “manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya” (Efesus 4:24; lihat pula Kolose 3:10).English Citra Allah atau gambar Allah (bahasa Ibrani: צֶלֶם אֱלֹהִים, Tselem Elohim; bahasa Latin: Imago Dei) adalah konsep dan doktrin teologis di dalam agama Yahudi[1] maupun agama Kristen. Konsep ini merupakan salah satu aspek asasi dari pemahaman Yahudi dan Kristen tentang hakikat manusia, bersumber dari nas Kejadian 1:26-27 yang menyatakan bahwa umat manusia (laki-laki maupun perempuan) diciptakan menurut citra dan rupa Allah. Makna yang sesungguhnya dari frasa tersebut sudah ribuan tahun diperdebatkan, tetapi gagasan pokoknya adalah umat manusia menyerupai Allah dan merepresentasikan Allah.
Sejalan dengan tradisi Yahudi, sarjana-sarjana seperti Saadia Gaon dan Filo mengemukakan bahwa "dijadikan menurut citra Allah" bukan berarti Allah memiliki tampilan-tampilan yang serupa dengan manusia melainkan justru sebaliknya, pernyataan tersebut adalah bahasa kiasan yang dipakai untuk mengungkapkan gagasan bahwa Allah mengaruniakan kehormatan istimewa kepada umat manusia, yakni kehormatan yang tidak dikaruniakan-Nya kepada semua ciptaan lain.
Riwayat penafsiran citra Allah melingkupi tiga alur pemahaman. Pandangan substantif menempatkan citra Allah di dalam karakterisik-karakteristik yang sama-sama dimiliki Allah dan umat manusia, misalnya rasionalitas atau moralitas. Pemahaman relasional berpandangan bahwa citra Allah terdapat di dalam hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia satu sama lain. Pandangan fungsional menafsirkan citra Allah sebagai suatu peran atau fungsi yang dengannya umat manusia bertindak mewakili Allah dengan maksud merepresentasikan Allah di dalam tatanan penciptaan. Ketiga pandangan tersebut tidak saling menyanggah dengan sengit, dan masing-masing dapat menyuguhkan tinjauan mendalam tentang bagaimana umat manusia serupa dengan Allah.
Doktrin citra Allah menyediakan pijakan penting bagi perkembangan hak-hak asasi manusia dan kemuliaan martabat tiap-tiap nyawa manusia tanpa pandang golongan, ras, gender, maupun keterbatasan. Doktrin ini juga berkaitan dengan wacana seputar tubuh manusia. Frasa "gambar Allah" terdapat pada tiga nas Alkitab Ibrani, ketiga-ketiganya termaktub di dalam Kitab Kejadian:
Apokrifa/deuterokanonikaDi dalam apokrifa atau deuterokanonika, terdapat tiga nas yang jelas-jelas menggunakan istilah "gambar" untuk menyifatkan umat manusia.
Perjanjian BaruPerjanjian Baru memahami Kristus sebagai citra Allah, dan umat manusia sebagai citra Allah sekaligus citra Kristus.
Tafsir AlkitabiahCitra versus RupaPara teolog sudah berusaha menelaah perbedaan konsep "citra Allah" dan konsep "rupa Allah" di dalam kodrat manusia. Origenes misalnya menganggap citra Allah sebagai sesuatu yang dikaruniakan pada waktu penciptaan, dan rupa Allah sebagai sesuatu yang dikaruniakan kepada seseorang kemudian hari. Meskipun "citra dan rupa" adalah salah satu contoh keistimewaan bahasa Ibrani, yang gemar mengungkapkan satu gagasan dengan menggunakan dua kata berlainan, muncul pandangan bahwa "citra dan rupa" adalah dua hal terpisah. Citra adalah keserupaan alami manusia dengan Allah, yakni keberdayaan untuk menalar dan berkehendak, sementara rupa adalah suatu donum superadditum, anugerah tambahan kepada fitrah manusia. Rupa terdiri atas kualitas-kualitas moral Allah, sementara gambar mencakup sifat-sifat hakiki Allah. Saat jatuh ke dalam dosa, Adam kehilangan rupa Allah, tetapi masih memiliki citra Allah. Umat manusia selaku manusia tetap paripurna, tetapi fitrah baik dan sucinya sudah tercemar.[2] Citra Allah serupa tetapi sekaligus tidak sama dengan rupa Allah. Citra Allah hanya menyiratkan bahwa umat manusia dijadikan menurut citra Allah, sementara rupa Allah adalah sifat hakiki rohani dari kualitas-kualitas moral Allah.[2] Bagaimanapun juga, pembedaan "citra" dari "rupa" yang berasal dari Abad Pertengahan itu sudah banyak ditinggalkan para mufasir modern. Menurut C. John Collins, "sejak sekitar zaman Reformasi, sarjana-sarjana sudah mengakui bahwa hal ini [pembedaan citra dari rupa] tidak selaras dengan nas itu sendiri. Pertama-tama, tidak ada kata "dan" yang menghubungkan "menurut gambar" dengan "rupa Kita." Yang kedua, di dalam Kejadian 1:27 hanya tertulis "menurut gambar Allah"; dan yang terakhir, di dalam Kejadian 5:1, Allah menjadikan manusia "menurut rupa Allah." Penjelasan terbaik untuk semua data ini adalah "menurut gambar" dan "menurut rupa" merujuk kepada hal yang sama, keduanya saling memperjelas."[3] Sifat khusus citraNas-nas utama Alkitab tidak memaparkan cara-cara khusus untuk mengenali citra Allah di dalam diri manusia. Nas-nas tersebut tidak berbicara tentang rasionalitas, moralitas, emosi, kehendak bebas, bahasa, maupun pernyataan-pernyataan serupa lainnya. Kata "citra" dan kata "rupa" hanya mengandung makna dasar bahwa umat manusia menyerupai Allah dan merepresentasikan Allah. "Penjelasan semacam itu tidaklah diperlukan, bukan hanya karena istilah-istilah tersebut memiliki arti yang jelas, melainkan juga karena tidak ada daftar semacam itu yang dapat menjelaskan pokok bahasan ini dengan tepat: nas tersebut hanya menandaskan bahwa manusia menyerupai Allah, dan nas-nas Kitab Suci selebihnya menyajikan lebih banyak perincian untuk memperjelas penandasan ini."[4] Cara-cara berlainan yang dipakai untuk menyelami gagasan citra Allah tersaji di dalam uraian tentang pemahaman substantif, relasional, dan fungsional terhadap citra Allah di bawah. Keserupaan progresifUmat Kristen purba mengakui bahwa citra Allah sudah rusak akibat dosa.[5] Meskipun demikian, nas Kejadian 9 meneguhkan bahwa citra Allah tidak dibinasakan dosa, karena citra Allah tetap ada di dalam diri manusia sesudah kejatuhan manusia pertama maupun selepas air bah. Tanpa mengkompromikan komitmen terhadap kemuliaan martabat manusia sebagai makhluk yang dijadikan menurut citra Allah, nas-nas Alkitab mengarahkan orang kepada gagasan bahwa citra Allah dapat dikembangkan dan dimatangkan. Tugas dari manusia sebagai citra Allah selain berkuasa, juga mengusahakan agar seluruh ciptaan memuliakan Allah.[6] Keberadaan manusia sebagai citra Allah merupakan sebuah anugerah sekaligus tugas bagi setiap manusia.[6] Di dalam ajaran Kristen, citra Allah dibedakan menjadi:[7]
Ajaran citra Allah dalam doktrin Kristen berkaitan dengan kejatuhan umat manusia.[8] Sejak kejatuhan manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa, citra Allah menjadi rusak, tetapi hal citra itu dikembalikan lagi hanya melalui keselamatan oleh Yesus Kristus.[8] Beberapa tokoh yang memegang ajaran ini antara lain Calvin, Bruner, John Baillie, Bavinck, dan Berkouwer.[8]
|