DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar ……………………………………………………………….. 2 Daftar Isi ………………………………………………………………………… 3 BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………….. 4
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………… 8
BAB III KESIMPULAN ……………………………………………………………… 41 DAFTAR PUSTAKA
………………………………………………………………… 43 BAB I PENDAHULUAN Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. adalah sebagai agama yang lurus, diturunkan langsung dari Sang Pencipta alam semesta ini termasuk menciptakan manusia. Dialah yang memerintahkan manusia agar menyembbah beribadah semata kepada-Nya, berhukum dengan hukum-hukum-Nya dan mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS 4:59) Dengan demikian sebagai sebuah keniscayaan bagi orang-orang yang beriman melaksanakan dan mengembalikan segala urusannya kepada al-Quran dan as-Sunah dalam seluruh aspek kehidupan yaitu baik aspek ekonomi, sosial, pollitik, budaya dan lain sebagainya. Sebagai agama yang sempurna yang dibawa oleh nabi terakhir, setelah nabi tutup usia, Islam kelanjutannya diemban oleh para sahabat dan generasi setelahnya. Maka setiap persoalan yang datang mereka berhukum pada al-Quran dan Hadis Nabi juga melalui ijma shahabat begitu juga melalui ijtihad sahabat karena hal ini seiring dengan perjalanan waktu dan kemajuan teknologi maka muncul pula permasalahan-permasalah baru di tengah-tengah masyarakat. Seiring dengan munculnya permasalahan-permasalahan baru, Islam memberikan cara atau petunjuk kepada para mujtahid untuk menginterprestasikan hukum-hukum yang bersifat global sehingga dapat diterapkan pada permasalahan-permasalahan dimasanya. Rasulullah Saw. telah mengisyaratkan kepada sahabat, akan pentingnya mengembalikan persoalan yang apabila tidak secara langsung diputuskan oleh al-Quran maupun al-Hadits. Sebagamana ketika Rasulullah mengutus (Muadz bin Jabal) ke Negeri Yaman. قال رسول الله لمعاد : بما تقضى ؟ قال : بما فى كتاب الله. قال : فان لم تجد فى كتاب الله ؟ قال : اقضى بما قضى به رسول الله. قال : فان لم تجد فيما قضى به رسول الله ؟ قال : اجتهد برايي. قال : الحمد لله الذي وفق رسول رسوله Artinya: “Beliau bertanya, “Dengan apa engkau memutskan suatu hukum ketika dihadapkan suatu masalah kepadamu ?”. Muadz berkata, “Aku putuskan dengan kitab Allah, al-Quran, bila tidak kutemukan maka dengan sunnah Rasululah, bila tidak kutemukan maka aku berijtihad dengan pendapatku, dan aku tidak akan condong”. Maka Rasulullah saw menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah atas apa yang ia relakan”.(HR Tirmizi)[1] Maksud hadits di atas adalah karena Rasul menyetujui kepada Muadz untuk berijtihad dalam memutuskan hukum yang tidak ditemukan nashnya dalam al-Quran dan as-sunnah. Adapun ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan suatu hukum, termasuk diantaranya adalah qiyas. Berbagai ketetapan Rasulullah Saw, mengenai hukum menjadi acuan bagi para sahabat, seakan-akan selama itu beliau melatih mereka mengembangkan syari’at. Lebih-lebih dilihat redaksi sejumlah hadis benar-benar berupa redaksi kaidah dan sebagian lainnya berupa jumlah syarthiyyah (terdiri atas syarat dan jawabnya) dan yang menyerupainya.[2] Setelah sumber hukum al-Qur’an, Hadits dan Ijma sahabat maka yang terakhir adalah Qiyas. Maka qiyas adalah salah satu yang menjadi rujukan dalam memproduksi hukum, karena sebagai sumber hukum. Dengan kata lain kita mengenal pokok-pokok yang dijadikan landasan atau sumber hukum. Selain al-Qur’an, sunnah dan ijma’, ada pula qiyas (analogi). Sebuah mekanisme untuk mengetahui sebuah hukum dengan cara menganalisis terlebih dahulu permasalahan baru yang timbul dan mengkaitkan permasalahan tersebut dengan dalil-dalil hukum Islam yang ada yaitu al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Apabila tidak ditemukan kejelasan hukumnya, barulah metode qiyas ini digunakan, yakni menerapkan hukum atas permasalahan yang sudah jelas nash hanya pada masalah baru tersebut setelah diyakini adanya kesamaan dalam ‘illat hukumnya. Kajian ini menjadi penting dan akan lebih menarik ketika muncul masalah-masalah baru (kontemporer) yang secara eksplisit tidak ditemukan jawabannya pada kitab-kitab hukum Islam yang disusun oleh para ulama terdahulu. Makalah ini sedikit banyak akan memberikan gambaran seputar trik-trik qiyas dan dasar-dasar yang menjadikan qiyas dapat dijadikan sebagai landasan, dalil atau metode dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah baru yang timbul yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Maka melalui makalah ini, penulis ingin mengupas lebih mendalam lagi mengenai qiyas sebagai metodologi penetapan hukum Islam.
BAB II PEMBAHASAN Secara etimologis kata “qiyas” berarti قدر, artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya, misalnya dalam bahasa arab ada ungkapan: قست الثوب بالذراع Artinya: “saya mengukur pakaian itu dengan hasta”. Sementara pengertian qiyas menurut istilah hukum (terminology) terdapat beberapa definisi yang berbeda yang saling berdekatan artinya[3]. Namun apabila diperhatikan unsur-unsur pokok di dalam qiyas yaitu: ashal, cabang, hukum ashal dan illat.[4] Imam Syafi’i mengatakan tentang qiyas sebagai berikut: وكل ما نزل بمسلم ففيه حكم لازم وعليه اذا كان بعينه اتباعه واذا لم يكن فيه بعينه يطلب الدلالة على سبيل الحق بالاجتهاد والاجتحاد هو القياس Artinya: “Setiap kejadian/peristiwa yang terjadi pada seorang muslim pasti ada hukumnya. Dan ia wajib mengikuti nash, apabila ada nashnya. Dan apabila tidak ada nashnya dicari dari permasalahannya (dilalah-nya) diatas jalan yang benar dengan ijtihad, dan ijtihad itu adalah qiyas”. Al-Ghazali dalam al-Mustashfa memberi definisi qiyas sebagai berikut: حمل معلوم على معلوم فى اثبات حكم لهما او نفيه عنهما بامر جامع بينهما من اثبات حكم او نفيه عنهما Artinya: “Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”. Menurut Qadhi Abu Bakar mendefinisikan qiyas hampir sama dengan apa yang disampaikan al-Ghazali dan disetujui oleh kebanyakan ulama, yaitu: حمل معلوم على معلوم فى اثبات حكم لهما او نفيه عنهما بأمر جامع بينهما Artinya: “Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”. Menurut Ibnu Subki dalam kitabnya Jam’u al-jawami’ memberikan definisi qiyas sebagai berikut: حمل معلوم على معلوم لمساواته فى علة حكمه عند الحامل Artinya: “Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya dalam illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid)”. Menurut Abu Hasan al-Bashri qiyas adalah: تحصيل الحكم الأصل فى الفرع لاشتباههما فى علة الحكم عند المجتهد Artinya: “Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada furu’ karena keduanya sama dalam ‘illat hukum menurut mujtahid”. Sementara Al-Baidhawi mendefinisikan qiyas sebagai berikut: اثبات مثل حكم معلوم في معلوم اخر لاشتراكهما فى علة الحكم عند المثبت Artinya: “Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada sesuatu lain yang diketahui, karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan”. Al-Amidi mendefinisikan qiyas sebagai berikut: عبارة عن الأستواء بين الفرع والأصل فى العلة المستنبطة من حكم الأصل Artinya: “Ibarat dari kesamaan antara furu’ dengan ashal dalam ‘illat yang di-isthinbath-kan dari hukum ashal”. Dan Abu Zahrah memberikan definisi qiyas sebagai berikut: ألحاق أمر غير منصوص على حكمه بأمر أخر منصوص على حكمه لاشتراكها فى علة الحكم Artinya: “Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum”. Dalam pandangan ‘Abd al-Jabbar, qiyas berarti: حمل الشئ على الشي فى بعض أحكامه لضرب من الشبه Artinya: Membawakan sesuatu kepada sesuatu yang lain dalam sebagian hukum-hukumnya karena ada sesuatu kesamaan”. Menurut Prof. Drs. H. A. Djazuly dan Prof. Dr. I. Nurol Aen, MA dalam bukunya Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam, menjelaskan bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum sesuatu kasus yang tidak dinashkan dengan hukum kasus lain yang dinashkan karena persamaan illat hukum.
Khasanah Islam dalam bidang hukum yang merupakan pemecah segala problematika yang berkaitan dengan perbuatan manusia hingga akhir zaman dimana al-Quran sudah tidak diturunkan lagi dan Nabi sebagai pembawa risalah telah tiada yang baik al-Quran maupun al-Hadits sebagai sumber hukum, maka telah meniscayakan adanya qiyas sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam setelah ijma sahabat. Qiyas dalam hal ini memiliki nash yang kuat dalam menjadikan Qiyas sebagai metodologi dalam penetapan hukum dalam Islam. Tentu saja dalam menjadikan qiyas sebagaimana yang telah dikemukakan di atas memiliki kehujahan berdasarkan nash maupun aqli. Adapun kehujahan qiyas ini dapat dijelaskan berdasarkan al-Qur’an, Sunah, Ijma sahabat maupun dalil ‘Aqli tentang qiyas. Adapun dalam makalah ini, penulis akan membahas qiyas sebagai metodologi penetapan hukum Islam yang meliputi ruang lingkup Qiyas yang terdiri dari :
Para ulama ushul fiqh menggunakan metoda qiyas ini hanya dalam hal urusan mu’amalah seperti bagaimana hukumnya memukul ibu atau bapak, atau bagaimana hukumnya membakar harta anak yatim, atau bagaimana hukumnya meminum nabidz dan bagaimana hukumnya bunga bank. Semuanya dilakukan dengan menggunakan metoda qiyas untuk menentukan hukum-hukum tersebut. Qiyas tidak digunakan dalam ruang lingkup ibadah seperti dijelaskan dalam kaidah: لا قياس فى العبادة Artinya: “Tidak ada qiyas dalam ibadah.” Artinya bahwa dalam hal ibadah yang satu tidak bisa diqiyaskan kedalam bentuk ibadah yang lain, seperti ibadah shalat lima waktu sudah ditentukan baik lafadz-lafadznya maupun gerakan-gerakannya, begitu juga bentuk ibadah yang lain seperti shaum, haji atau ibadah lainnya. Rukun atau unsur yang harus ada dalam qiyas ada empat[5]: Ashal (asal) yaitu sesuatu yang di-nash-kan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/meng-qiyas-kan di dalam istilah ushul disebut ashal (الاصل) atau maqis ‘alaih (المقيس عليه) atau musyabbah bih (المشبه به) Ashal sebagai rukun qiyas menurut sebagian ahli ushul adalah nash-nash baik dari Al-Quran maupun al-sunnah bahkan al-ijma’ karena berbicara qiyas adalah berbicara tentang sumber pokok. Maka syarat ashal dalam qiyas adalah harus berasal dari nash al-Qur’an, al-Sunnah dan al-Ijma’. Far’ (cabang) yaitu sesuatu yang tidak di-nash-kan hukumnya yang diserupakan atau di-qiyas-kan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’ (الفرع) atau al-maqis (المقيس) atau al-musyabbah (المشبه). Di dalam far’un (cabang) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Hukum ashal yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang. Syarat dari hukum ashal adalah sebagai berikut:
Pertama: Bila ‘illat hukum tidak terdapat/tergambarkan selain pada ashal seperti ma shul huffain/mengusap sepatu dibolehkannya adalah ma’qul al-ma’na, karena untuk menghilangkan kesempitan (raf’ul haraj) tetapi ‘illatnya memakai sepatu tidak dapat terbayang selain dengan cara memakai sepatu tadi. Kedua: Ada dalil khusus yang menentukan hukum tersebut, seperti ketidak bolehan nikah dengan bekas isteri-isteri Nabi. Hukum ashal harus tetap ada (tidak Mansukh), Kalau Ashal sudah di-mansukh misalnya, maka tidak mungkin melakukan qiyas dengan hukum ashal yang sudah dimansukh. Yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya, maka berbicara tentang qiyas akan lebih banyak berbicara tentang ‘illat hukum ini. ‘Illat adalah sesuatu/sifat yang ada pada ashal yang menjadi landasan/sebab adanya hukum pada cabang-cabang, atau dengan kata lain ‘illat adalah sesuatu sifat yang nyata dan tertentu yang bertalian (munasabah) dengan ada atau tidak ada hukum”, maka syarat ‘illat adalah sebagai berikut:
Macam-macam/pembagian qiyas dapat diurai berdasarkan hal-hal berikut ini[6]:
Contoh Mengqiyaskan kasus pacaran yang tidak ada nashnya dengan mendekati perbuatan zina yang ada nashnya pada ayat wa laa taqribzzinaa sebagaimana firman Allah Swt. : Ÿwur (#qç/tø)s? #’oTÌh“9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$y™ur Wx‹Î6y™ ÇÌËÈ Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk” Dari ayat di atas terdapat kalimat janganlah mendekati perbuatan zina, dengan demikian kalimat mendekati perbuatan zina yang sebelumnya ada indikasi yang bersifat larangan, berarti adanya larangan untuk mendekati perbuatan zina. Dengan demikian hukum mendekati perbuatan zina adalah haram berdasarkan nash. Selanjutnya kasus kekinian semisal pacaran adalah dapat diqiyaskan kepada mendekati perbuatan zina. oleh karena kasus pacaran yang tidak ada nashnya dapat diterapkan kepada kasus mendekati perbuatan zina. Hal tersebut karana memiliki persamaan qiyas. Karena hukum perbuatan zina berdasarkan nash adalah haram, maka pacaran dapat diqiyaskan kepada mendekati perbuatan zina yaitu memiliki qiyas yang sama yaitu sama-sama mendekati perbuatan zina. Karena perbuatan zina hukumnya haram maka pacaran memiliki hukum haram karena memiliki persamaan dengan mendekati perbuatan zina. Contoh lain mengqiyas-kan keharaman memukul orang tua kepada ucapan “ufa’’ (berkata kasar) terhadap orang tua dengan ‘illat “menyakiti”. Hal itu ditegaskan Allah Swt dalam surat al-Isra (17) : 23 وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا Referensi: https://tafsirweb.com/4627-surat-al-isra-ayat-23.html Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia” (QS 17:23) Mengucapkan kata “Ah” kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu. Keharaman memukul kepada orang tua lebih kuat dari keharaman mengucapkan “uf” karena sifat menyakiti pada memukul lebih kuat dari pada yang terdapat pada ucapan “uf”
Contoh Mengqiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya dengan tidak sepatutnya dalam hal sama-sama keharamannya. QS an-Nisa (4): 10 Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Karena tindakan tersebut sama-sama melenyapkan harta anak yatim. Contoh lain Masalah zakat unta dengan kerbau merupakan qiyas musawi, unta adalah sebagai binatang yang masuk ke dalam kategori yang wajib dikeluarkan zakatnya. Maka kerbau karena memiliki kesamaan yaitu masuk ke dalam qiyas musawi, sehingga kerbau berdasarkan qiyas musawi tersebut dapat pula dikategorikan binatang yang masuk dalam kategori yang wajib dikeluarkan zakatnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ Referensi: https://tafsirweb.com/37706-surat-al-maidah-ayat-90-91.html Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Meskipun pada ashal dan fur’u (cabang) sama-sama terdapat sifat memabukan sehingga dapat diberlakukan qiyas
Qiyas dari segi kejelasan illatnya terbagi kedalam dua macam:
Berdasarkan keserasian ‘illat-nya dengan hukum qiyas terbagi kedalam dua bagian:
Misalnya meng-qiyas-kan kewalian nikah anak di bawah umur kepada kewalian atas hartanya dengan ‘illat belum dewasa, ‘illat ini ditetapkan berdasarkan ijma’. Atau meng-qiyas-kan minuman keras yang dibuat selain dari anggur kepada khamar dengan ‘illat memabukkan, hal ini termasuk pada ‘illat yang hubungannya dengan hukum haram adalah berbentuk qiyas muatstsir.
Berdasarkan pada beberapa pengertian tentang qiyas dalam pembahasan sebelumnya dapat diambil benang merahnya bahwa pada dasarnya qiyas adalah penarikan kesimpulan atau inferensi dari suatu masalah hukum yang telah di tentukan hukumnya oleh nash (al-Quran dan atau al-Sunnah) untuk suatu masalah hukum yang belum ditentukan hukumnya oleh nash karena di antara dua masalah hukum tersebut terdapat makna homonim yang disebut ‘illat[7]. Menurut Abu al-Husayn al-Bashriy, penerapan hukum yang terdapat dalam ashal kepada far’ (cabang), yang belum terdapat di dalamnya hukum, dapat dilaksanakan apabila di dalam ashal dan far’ itu terdapat kesamaan ‘illat hukum bagi seorang mujtahid,[8] yang akan men-istinbath hukum. Qiyas dalam pengertian di atas merupakan salah satu metode hukum islam. Kesimpulan hukum yang diperoleh dengan metode qiyas menjadi sumber hukum dan ajaran islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian ulama menjadikan qiyas[9] sebagai sumber hukum ke empat setelah al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma.
Menurut Imam Syafi’iy, qiyas sama dengan ijtihad. Qiyas dan ijtihad adalah dua lafzh yang mempunyai makna yang sama.[10] Berdasarkan pandangan seperti inilah kiranya al-Syafi’i membentuk istihsan, al maslahah al mursalah dan lain sebagainya. Dalam hal yang berkaitan dengan masalah syari’ah, yang tidak dapat diketahui akal, seperti bagaimana mengetahui analogi dari rincian cara berterima kasih kepada Tuhan, ijtihad diperlukan dalam rangka mencari hal-hal yang mengandung kemaslahatan (al-shalah) bagi manusia, atas dasar dugaan yang kuat (ghalib al-zhann) dari pemahaman seorang mujtahid atas dalil al-sam’i. Yang dimaksud dengan kemaslahatan di sini adalah semua hal yang akan membawa manusia kepada ketaatan dan yang akan menjauhkan manusia dari maksiat. Berdasarkan hal tersebut, ijtihad dalam pandangan Abd al-Jabbar merupakan kelanjutan dari pemikiran analogi (al-qiyas) yang tidak mungkin ditutup atau dihentikan karena masyarakat selalu berkembang dan berubah. Pemikiran Abd al-Jabbar yang demikian sejalan dengan Imam al-Syafi’i yang berpendapat bahwa ijtihad itu adalah al-qiyas. Dalam berbagai persoalan syariah, al-qiyas inilah yang banyak digunakan baik oleh Imam al-Syafi’i maupun oleh Abd al-Jabbar, sebagai metode ijtihad untuk menjawab atau menyelesaikan berbagai persoalan baru yang muncul di masanya yang secara tegas tidak dinyatakan baik dalam al-Quran maupun dalam al-Sunnah. Ijtihad dengan metode al-qiyas dapat menghasilkan berbagai perintah atau taklif baru, baik itu perintah untuk melakukan ataupun perintah untuk meninggalkan sesuatu, yang sama hukumnya seperti terkandung dalam al-Quran atau al-Sunnah[11]. Sebagaimana telah dijelaskan dalam makalah ini bahwa qiyas merupakan salah satu metode hukum Islam, sehingga qiyas menjadikannya sebagai sumber hukum keempat setelah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma Sahabat. Adapun bagaimana tata cara proses istinbath hukum berdasarkan qiyas, dikenal dengan ‘illat sebagai cara untuk menentukan hukum suatu masalah baru yang tidak ada dalam nash. ‘Illat qiyasi adalah ‘illat yang digunakan untuk mengetahui apakah ketentuan hukum yang berlaku terhadap suatu persoalan yang dijelaskan di dalam nash dapat diberlakukan pada persoalan lain masalah baru yang tidak dijelaskan oleh nash karena adanya kesamaan ‘illat antara kedua.[12] ‘Illat sebagai metode qiyas untuk menghasilkan hukum terhadap persoalan baru, dapat diketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
Contohnya adalah kata ö t’s!rߊ bqä3tƒ PŸw ö’s1 Firman Allah dalam surat al-Hasyr (59) ayat 7 : مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”. Maka ‘illat larangan memonopoli pemilikan harta oleh orang-orang kaya itu agar orang-orang miskin mendapat bagian harta dari yang dimiliki oleh orang-orang kaya tersebut.
Sebagai contoh hadits Nabi Saw.: عن ابى قتادة رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فى الهرة انها ليست بنجس انما هي من الطوافين عليكم. اخرجه الاربعة وصححه الترمذى وابن خزيمة. Artinya: “Dari Abi Qatadah bahwasannya Rasulullah Saw. telah bersabda tentang kucing : ”Kucing itu sebenarnya tidak najis, karena ia tergolong pelayan-pelayanmu.” Diriwayatkan oleh empat perawi hadis dan disahihkan oleh al-Tirmidziy dan Ibnu Khuzaymah[13] Huruf ‘illat yang menunjuk kepada ketidak-najisan kucing adalah kalimat انما هى (karena Ia). Dibawah ini adalah contoh proses istinbath hukum berdasarkan qiyas melalui ‘illat : 1. Cara penarikan kesimpulan yaitu dari partikular (juz’iy) ke partikular (juz’iy) contohnya meminum nabidz tamar (perasan kurma) merupakan suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut far’ (cabang). Untuk menetapkan hukumnya, dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash yang ‘illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini meminum khamar, disebut ashl (pokok). Selain itu, peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash yaitu haram, kemudian disebut hukum al-ashl, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Maidah (QS,5:90) Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa itu ialah sama-sama memabukkan (iskar). Karena itu, ditetapkan hukum meminum nabidz tamar (perasan kurma) dengan meminum khamar yaitu sama-sama haram. Dari uraian contoh di atas, kiranya dapat diketahui bahwa dalam al-qiyas al-syari’iy ini diperlukan empat rukun, yaitu far’, ashl, hukm al-ashl, dan ‘illat.[14] Qiyas yang terdiri dari beberapa ‘illat, maka langkahnya yaitu mentarjih salah satu ‘illat diantara ‘illat-‘illat yang lainnya. Sebagai contoh dalam hadits dinyatakan bahwa orang tua dapat mengawinkan anak perempuannnya tanpa izinnya. Dalam hadis ini ditemukan dua sifat yang diduga dapat dijadikan ‘illat bolehnya hal tersebut, yakni : (1) keadaan anak itu masih gadis dan (2) keadaannya belum dewasa (kecil). ‘Illat pertama tidak dapat diamalkan karena tidak sesuai dengan ‘illat yang sama yang telah ditetapkan (ijma’) oleh para ulama. Dalam ijma’ ditetapkan bahwa ‘illat bagi perwalian seorang bapak terhadap harta anaknya yang belum dewasa disebabkan keadaan anak tersebut belum dewasa. Perwalian atas harta benda ini merupakan sejenis serta sesuai dengan perkawinan. Oleh karena itu, ‘illat orang tua mempunyai hak untuk mengawinkan karena keadaannya belum dewasa (kekanak-kanakan), bukan karena kegadisannya. Dengan demikian, janda yang masih belum dewasa dapat diqiyaskan kepada gadis yang masih kanak-kanak dalam masalah nikah.[15] Contoh qiyas bentuk qiyas ekseptik ialah : si Fulan berjalan kaki, maka ia akan menggerakkan kedua telapak kakinya akan tetapi, su fulan tidak menggerakkan kedua kakinya, maka (dengan sendirinya) ia tidak berjalan kaki Qiyas dalam pengertian di atas merupakan salah satu metode hukum Islam. Kesimpulan hukum yang diperoleh dengan metode qiyas menjadi sumber hukum dan ajaran Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian ulama menjadikan qiyas sebagai sumber hukum keempat setelah al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma’. Illat hukum bisa dibagi kepada beberapa bagian sesuai dengan pendekatan yang dilakukan antara lain[16]:
Dalam hal ini ada empat macam illat:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada pengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”(QS:62:9). Sighat ayat ini menunjukkan perintah meninggalkan jual beli apabila adzan telah terdengar adzan untuk shalat jum’at; jadi adzan shalat Jum’at menjadi illat untuk meninggalkan jual-beli karena ada munasabah antara meninggalkan jual beli dengan adzan Jum’at, yaitu muhafadhah (memelihara) salat/al-din. Oleh karena itu, terhadap jual beli dapat di-qiyaskan segala muamalah yang menyebabkan orang lalai melaksanakan shalat Jum’at dan adzan untuk shalat Jum’at nisbahnya dengan hukum adalah haramnya jual beli pada waktu tersebut. Demikian pula dengan wilayah maliyah seperti dinyatakan al-Qur’an: (#qè=tGö/$#ur 4’yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Y‰ô©â‘ (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( Ÿwur !$ydqè=ä.ù’s? $]ù#uŽó Î) #·‘#y‰Î/ur br& (#rçŽy9õ3tƒ 4 `tBur tb%x. $|‹ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù ( `tBur tb%x. #ZŽÉ)sù ö@ä.ù’uŠù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sŒÎ*sù öNçF÷èsùyŠ öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#r߉Íkôr’sù öNÍköŽn=tæ 4 4‘xÿx.ur «!$$Î/ $Y7ŠÅ¡ym ÇÏÈ Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah pada mereka harta-hartanya” (al-Nisa:6).
لا يزوج البكر الصغيرة الا وليها Artinya: “Tidak boleh menikahkan gadis yang masih kecil kecuali walinya”. Disini jelas menetapkan wilayat al-tamyiz terhadap perawan yang masih kecil dalah walinya. Akan tetapi, tidak jelas betul apakah karena anak tadi perawan atau karena masih anak kecil, yang keduanya adalah munasabah, yang kedua-duanya bertujuan untuk sama yaitu untuk menolak kemadharatan terhadap perawan yang masih kecil.
Þ Artinya: “Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu. Bagi anak (seorang) laki laki adalah dua kali bagian anak (seorang) perempuan”(QS:Nisa:11).
Seperti kita ketahui bahwa syari’at islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin menuju kepada kemaslahatan bagi manusia di dunia dan di akhirat yang merupakan tujuan dari syari’at; illat harus mewujudkan kemaslahatan tersebut yang dimaksud tersebut. Berdasarkan penelitian terhadap berbagai aturan dalam islam membuktikan bahwa kemaslahatan tersebut kemnali kepada tiga hal, yaitu “mewujudkan hal-hal yang dharuriy, hajiy, dan tahsiniy bagi manusia”.
Hal yang dharuriy ini ada lima: Memelihara agama, memelihara diri dan meningkatkan nilai-nilai kejiwaan, memelihara akal dan memberantas kebodohan, memelihara kehormatan keluarga, dan pembinaan generasi, memelihara harta dan memeratakan kesejahteraan material kepada seluruh umat, serta memberantas kemiskinan) Untuk mewujudkan pemeliharaan agama, diwajibkan da’wah beriman, ibadat dan aturann-aturan yang mengandung sanksi bagi perbuatan-perbuatan yang menuju kepada merusak agama. Untuk mewujudkan pemeliharaan diri, diberikan aturan yang melarang membunuh diri dan diri orang lain, dan sanksi-sanksi bagi orang yang melakukan pembunuhan baik sengaja maupun karena kesalahan yang dalam istilah fiqih disebut jarimat al-qishash dan diyat; pemeliharaan kesehatan dan lain sebagai nya. Untuk memelihara akal diharamkan segala barang yang memabukkan didorang untuk belajar dan berpikir serta berilmu yang tinggi, mencerdaskan umt dan lain sebagainya. Untuk memlihara keluarga diberikan aturan-aturan tentang pembentukan keluarga sejahtera (sakinah), ditentukan kewajiban dan hak suami istri serta diatur hubungan antara orang tua dan anak. Dilarang berzina dan menuduh zina; anak shaleh yang mendoakan merupakan amal yang sampai ke alam baqa dan sebagainya. Untuk memelihara harta didorong unutk kasab (usaha) yang halal, dilarang, mencuri, ghasab, memakan harta manusia dengan secara batil, disayaratkan kerelaan di dalam pertukaran harta dan lain sebagainya. Secara praktis di dalam kehidupan manusia kelima hal yang dharuriy ini akan saling berkaitan saru sama lain.
Artinya: Dan allah tidak menyempitkan kamu dalam urusan agama (QS al-Hajj 22:78). 3 ߉ƒÌムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߉ƒÌムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# ÇÊÑÎÈ Artinya: “Allah menghendaki untukmu kelapangan, ia tidak mengehendaki untukmu keseputan dan kesukarann” (QS.2:185).
Hukum seperti ini diambil sesuai dengan apa yang terdapat dalam nash saja, tanpa dikaitkan sama sekali dengan ‘illat, seperti halnya shalat, shaum, haji, zakat, dan yang sejenisnya diambil secara tuqifi sebagaimana adanya dan diterima dengan penuh kepasrahan tanpa melihat aspek ‘illat nya. Bahkan, tidak mencari-cari ‘illat-nya. Begitu pula pengharaman memakan bangkai, daging babi, dan yang sejenisnya sekali-kali tidak dicari ‘illatnya. Bahkan termasuk suatu kesalahan yang berbahaya apabila mencari ‘illat bagi hukum-hukum tadi. Sebab apabila ada usaha untuk mencari illat bagi suatu hukum atas perkara-perkara tersebut, tentu implikasinya adalah apabila hilang ‘illatnya hukumnya pun akan hilang. Sebagai ‘illat itu senantiasa mengikuti ma’lulnya, ada atau tidaknya. Seandainya ‘illat wudlu itu kebersihan, ‘illat shalat adalah olahraga, ‘illat shaum itu kesehatan dan seterusnya, tentu hal ini akan mengakibatkan bahwa disaat tidak didapati ‘illat nya maka tidak akan didapati hukumnya.
Pada dasarnya di dalam menanggapi soal qiyas ini ada dua pendapat ulama[17] :
Adapun alasan-alasan jumhur ulama antara lain adalah :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudaian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS: al-Nisa:59). Kata- kata farudduuhu ( çnr–Šãsù ) berarti mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, hal ini meliputi pemgembalian kepada kaidah-kaidah syara’ yang umum dan mengembalikan hal-hal yang tidak dinashkan kepada yang dinashkan karena ada persamaan illatnya. Dalam hal ini cara menetapkan hukum islam berarti menggunakan qiyas. Di dalam ayat lain dinyatakan (#rçŽÉ9tFôã$$sù ’Í<‘ré’¯»tƒ Ì»|Áö/F{$# ÇËÈ Artinya: Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.(QS:59:2) Dalam ayat ini Allah Swt. telah menyatakan apa yang menimpa Bani Nadhir kemudian menyatakan (#rçŽÉ9tFôã$$sù) ialah qiyaskanlah dirimu, karena kamu, ayat ini memberi isyarat yang jelas di dalam penggunaan qiyas.
كنت نهيتكم عن ادخار لحوم الاضاحى لاجل الدافة فكلوا وادخروا وتصدقوا Artinya: “Dulu saya melarang kamu menyimpan daging kurban, karena banyak orang berkumpul. Maka sekarang boleh makan, menyimpan dan menyedekahkannya” (Hadits Riwayat Al-Nasaiy) Jadi bila banyak orang yang berkumpul yang membutuhkan daging kurban dilarang menyimpan daging kurban apabila tidak ada orang berkumpul boleh menyimpan. Dengan demikian hukum ada apabila ada illatnya dan hukum tidak ada dalam arti mubah apabila tidak ada illatnya. Di dalam kaidah terkenal : الحكم يدور مع علته وجودا وعدما Artinya: “Hukum tergantung kepada ada atau tidak adanya ‘illat” Dalam peristiwa lain Umar pernah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang qublah pada bulan Ramadhan, Rasul menjawab : أرأيت لو تمضمضت من الماء وأنت صائم قال عمر قلت لا بأس به قال فمه Artinya: “Bagaimana pendapatmu, apabila kamu berkumur-kumur dengan air padahal engkau dalam keadaan puasa. Umar menjawab :” Tidak apa-apa, lalu Rasulullah Saw. besabda lagi:” Demikian pula halnya qublah” (Hadis Riwayat Ahmad dan Abu Dawud). Disini Rasulullah mengqiyaskan berkumur-kumur dengan air pada bulan Ramadhan dengan qublah tanpa inzal kedua-duanya sama-sama tidak membatalkan puasa.
اعرف الاشاه والنظائر ثم قس الأمور عند ذلك Artinya: “Pelajarilah perkara-perkara yang ada persamaan dan perserupaannya, kemudian qiyaskanlah perkara-perkara tersebut”.
Pertama Allah Swt. memberikan hukum demi untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya, apabila ada persamaan kemaslahatan hamba-hamba-Nya, apabila ada persamaan kasus yang tidak dinashkan dengan yang dinashkan di dalam illat hukumnya, maka adalah adil dan bijaksana untuk mempersamakan hukumnya dalam rangka kemaslahatan tadi. Adalah tidak pada tempatnya apabila khamr dilarang karena memabukkan dalam rangka memelihara akal dan minuman-minuman lain yang memabukkan dibolehkan karena tidak dinashkan , padahal kedua-duanya sama memabukkan dan menyebabkan tidak terpeliharanya akal. Kedua, nash al-Qur’an dan al-Sunnah jumlahnya terbatas, sedangkan peristiwa dan perkembangan manusia terus terjadi, maka untuk memecahkan masalah – masalah yang tidak dinashkan , penggunaan qiyas sangatlah dibutuhkan asal pemecahan tersebut masih dalam ruang lingkup syari’at menuju kemaslahatan manusia. Qiyas pada hakikatnya tidak lain adalah pelaksanaan nash-nash di dalam ruang lingkupnya yang luas, bukan menambah nash tapi menafsirkan nash. Alasan para penolak qiyas adalah : Artinya: “Dan putuskanlah perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah” (QS:al-Maidah:49) Dan ayat-ayat lain yang sama dengan ayat tersebut dengan pengertian bahwa menggunakan qiyas bukanlah hukum yang ditentukan Allah Swt. Sesungguhnya ayat-ayat tersebut tidak menunjukkan kepada apa yang mereka artikan sebab (!t!$#At“Rr& ª$yJÎ/ ) berarti memberikan hukum-hukum yang ditunjukkan nash-nash. Dan hukum-hukum itu diistinbathkan dengan berbagai cara yang ditunjukkan oleh Allah di dalam kitabnya dan perinciannya oleh Rasulullah Saw. di dalam sunnahnya. Oleh karena itu, orang-orang yang memberikan hukum dengan langsung dari nash secara tersurat dia telah memberikan hukum sesuai dengan yang ditentukan oleh Allah dan apabila secara yang tersurat tidak ada, kemudian memberikan hukum dengan cara mengembalikan yang tidak ada nashnya kepada yang ada nashnya (qiyas) maka itu pun berarti mengembalikan kepada yang diturunkan Allah. Karena Allah memerintahkan untuk menaati Ulil Amri dan mengembalikan apa yang dipermasalahkan kepada apa yang dinashkan dan qiyas membukakan dan menampakkan hukum Allah tentang sesuatu yang tidak tegas-tegas dinashkan. Artinya: “Tidak ada yang Kami tinggalkan sedikit pun dalam al-Kitab” (al-QS:An’am 6:38) Ayat–ayat semacam ini menunjukkan bahwa tidak perlu kepada qiyas, sebab segala sesuatu telah ada dalam al-Qur’an. Menurut penuturan Syaykh Abdul Wahab Khalaf, yang dimaksud dengan al-Kitab pada ayat pertama dan kedua adalah ilmu Ilahi beserta keluasannya dan pemeliharaannya sesuai dengan permulaan ayatnya. $tBur `ÏB 7p/!#yŠ ’Îû ÇÚö‘F{$# Ÿwur 9ŽÈµ¯»sÛ çŽÏÜtƒ Ïmø‹ym$oYpg¿2 HwÎ) íNtBé& Nä3ä9$sVøBr& 4 $¨B $uZôÛ§sù ’Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4’n<Î) öNÍkÍh5u‘ šcrçŽ|³øtä† ÇÌÑÈ Artinya: “Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (al-QS:An’am 6:38)
تفعل هذه الامة برهة بالكتاب وبرهة بالسنة وبرهة بالقياس فاذا فعلوا ذلك فقد ضلوا Artinya: “Umat ini sewaktu-waktu berpegang kepada al-Kitab, sewaktu-waktu berpegang kepada sunnah, dan sewaktu-waktu pula berpegang kepada al-Qiyas, maka apabila mereka melakukan perbuatan tersebut di atas, sesatlah mereka”. Jadi apabila umat ini melakukan perbuatan atas dasar penggunaan qiyas, maka dia telah sesat. Sesungguhnya hadis ini tidak bisa dijadikan dalil, karena menurut Ibnu As-Subkiy ada di dalam sanadnya yang tidak bisa diterima, disamping itu arti hadis itu adalah umat ini berbuat kadang-kadang dengan dasar al-Qur’an saja, karena tidak membutuhkan kepada Sunnah dan Qiyas, dan kadang-kadang dengan sunnah dan mentakwilkan nash-nash kitab dengan sunnah tadi, dan kadang-kadang dengan qiyas dan mentakwilkan Qur’an dan sunnah dengan qiyas apabila berbeda dan apabila mereka melakukan yang demikian mereka telah sesat dan sejarah hukum Islam telah membuktikan ini. Dengan ini sesungguhnya hadis ini menjadi bukti atas kehujjahan qiyas karena menyebutnya dengan al-Kitab, kemudian al-Sunnah di dalam tertib istidlal.
أى سماء تظللنى وأى أرض تقلنى اذا قلت فى كتاب الله برأيى Artinya: “Apabila saya berkata/berpendapat tentang apa yang ada dalam kitabullah dengan pendapatku, pasti saya tidak akan berbuat demikian, walaupun langit menutupiku dan bumi menyempitkanku”. Ucapan Umar ra: اياكم وأصحاب الرأى فانهم أعداء السنن أعينتهم الاحاديث ان يحفظوها فقالوا بالرأى Artinya: “Jauhkanlah dirimu dari ahli ra’yu, karena mereka itu adalah musuh al-Sunnah. Menghapal hadis membuat mereka kepayahan, sehingga mereka berkata menurut pendapat mereka (ra’yu), oleh karena itu mereka berkata sesat dan menyesatkan “. اياكم والمكايلة قيل وما المكايلة ؟ قال المقايس Artinya: “Jauhilah al-mukayalah, ditanyakan kepada Umar. Apa al-Mukayalah itu? Dijawabnya pengqiyasan.” Ibnu Mas’ud berkata : اذا قلتم فى دينكم بالقياس احللتم كثيرا مما حرمه الله وحرمتم كثيرا مما احله الله Artinya: “Apabila kamu sekalian berpendapat dalam urusan agamamu dengan menggunakan al-qiyas, maka banyak sekali perkara yang kamu halalkan padahal Allah mengharamkannya. Dan banyak pula perkara yang kamu haramkan padahal Allah menghalalkannya”. Dan ucapan lain dari sahabat yang semacam ini, yang mencela ra’yu. Sesungguhnya ucapan sahabat ini kalau benar haruslah dihubungkan dengan ucapan-ucapan sahabat lain dan perbuatan-perbuatannya; dan hasilnya adalah penetapan Rasul terhadap Mu’adz bin Jabal yang berkata: ان لم اجد فى كتاب الله وفى سنة رسوله اجتهد Artinya: “Jika tidak saya dapatkan dan Sunnah Rasulullah saya berijtihad menurut pendapatku dengan tiada mengurangi daya ikhtiarku “ (Hadits riwayat al-Baghawi). Salah satu ijtihad adalah dengan qiyas. Disamping itu, kenyataan pada masa Nabi, bahwa sebagian sahabat telah melakukan ijtihad terhadap beberapa kasus dan kemudian disepakati Rasul hasil ijtihadnya. Hadis Nabi juga menyatakan : اذا اجتهد الحاكم فاصاب فله اجران واذا اجتهد فاخطا فله اجر واحد Artinya: “Apabila hakim berijtihad kemudian benar maka dia mendapat dua pahala. Dan apabila dia berijtihad kemudian keliru, maka dia mendapat satu pahala” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu pendapat sahabat tersebut di atas sesungguhnya mencela ra’yu yang didasarkan kepada hawa nafsu dan hanya kepentingan pribadinya saja. Ra’yu yang mentakwilkan nash-nash kitab atau sunnah Rasul, ra’yu yang menghancurkan prinsip-prinsip syara dan ketetapan-ketetapan nash, dan inilah yang dimaksud oleh ibnu Mas’ud dengan ucapannya, karena memang qiyas yang menghalalkan yang diharamkan Allah atau mengharamkan yang dihalalkan Allah adalah qiyas yang bathil. Karena qiyas hanya digunakan apabila tidak ada nash tentang hukumnya.
Apabila dipahami secara logis dan jujur serta tidak mengorbankan prinsip. Adapun di dalam syari’ah ada yang sama tapi hukumnya berbeda dan ada yang berbeda tapi hukumnya lain, karena aspek lain misalnya: manusia hukumnya adalah sama apabila ditinjau dari segi kemanusiaanya, akan tetapi manusia itu berbeda hukumnya apabila ditinjau dari segi jenisnya, laki-laki dan perempuan dari kemampuan akalnya anak-anak, rusyd dan baligh. Oleh karena itu, yang nampaknya berbeda tapi hukumnya sama adalah didasarkan kepada persamaan hukum dan yang nampaknya sama tapi hukumnya berbeda adalah didasarkan kepada perbedaan hukum, Ibn Qayyim di dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in membahas panjang lebar tentang ini. Dari paparan tersebut diatas, jelaslah kiranya bahwa
alasan-alasan jumhur lebih kuat dan pendapatnya lebih patut diikuti, mengingat
banyaknya masalah-masalah di dalam
kehidupan manusia yang terus timbul dan berkembang ini yang bisa diselesaikan
dan dipecahkan dengan menggunakan qiyas sehingga dengan demikian hukum
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin yang kekal dan abadi terus responsif
terhadap perkembangan masyarakat. BAB III KESIMPULAN
Qiyas dalam pengertian di atas merupakan salah satu metode hukum islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian ulama menjadikan qiyas sebagai sumber hukum ke empat setelah al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma.
Qiyas pada dasarnya merupakan penerapan hukum yang terdapat dalam ashal kepada far’un (cabang), yang belum terdapat di dalamnya sesuatu hukum, qiyas dapat di laksanakan apabila di dalam ashal dan far’un itu terdapat kesamaan ‘illat. Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa proses
menetapkan hukum melalui qiyas bukanlah berarti menetapkan hukum dari awal
melainkan hanya menyingkap dan menjelaskan hukumnya yang ada pada suatu kasus
yang belum jelas hukumnya melalui
pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat dari suatu kasus atau kejadian
yang dihadapi. Jika terdapat kesamaan
‘illat dengan hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum atas kasus yang
dihadapi itu sebenarnya telah ditetapkan oleh nash, hanya saja hukum tersebut
baru ditemukan dengan cara analogi atau qiyas. DAFTAR PUSTAKA
Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000 Ahmad Hasan, Qiyas, Penalaran Analogis di dalam Hukum islam, Penerbit Pustaka Bandung, cet. I Tahun 2001 Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008 ‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqh Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis, (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, Cet. III, 2010 Abdul Wahab Khalaf, Mashadir al-Tasyri al-Islamy fiy Ma LaNashasha fih Dar al-Qalam, Kuwait,1972 Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsat Beni Ahmad Saebani, Fiqh Siyasah Pengantar Ilmu Politik Islam, (Bandung, CV Pustaka Setia, Cet I, 2008 Disertasi Prof. Dr.I. Nurol Aen, MA, Konsep Mutsawabit al-Qadhi Abdu al-Jabbar dan relevansi dengan dasar teologinya, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia Bandung, cet. IV, Tahun 2010 Satria Efendi, Ushul Fiqh, Kencana Jakarta Romli SA, Ushul Fiqh, Kencana Jakarta, cet. Pertama, 2017 Wahbah Al-zuhaily, Ushul al-fiqh, Daar al-fikr, Tahun 1986 Imam Awaludin dkk, Ushul Fiqh,Ponpes Gontor Ponorogo, 2011 Ibnu Subki, Jam’u al-jawami’ Muhammad Idris al-Syafi’i, al-Risalah, Maktabat Dar al-Turas, Kairo Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam, Piara Bandung, 1993 Hanafi A. Ushul Fiqh, Bulan bintang, Jakarta, 1980 Umar, A. Mu’in dkk, Ushul Fiqh, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama, Jakarta Yahya, Muhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Al-Ma’arif, Bandung Zahroh, Muhammad Abu, Ushul Fiqh,
Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1973 [1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157 [2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147 [3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008 [4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121 [5] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 136-140 [6] Amir syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008 hal. 237-241 [7] Disertasi Prof. Dr.I. Nurol Aen, MA, Konsep Mutsawabit al-Qadhi Abdu al-Jabbar dan relevansi dengan dasar teologinya, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998 [8] Ibid. [9] Qiyas bukan hanya dipakai dikalangan ahli hukum islam. Akan tetapi, dikalangan ilmu kealaman pun dipakai qiyas ini. Qiyas dalam ilmu kealaman berarti ukuran, yakni mengukur sesuatu dengan satuan bilangan tertentu untuk mengetahui kadar yang terkandung oleh satuan bilangan tersebut. Pada mulanya, ukuran ini dipakai dalam ilmu-ilmu teoritis seperti ilmu jiwa. [10]Muhammad Idris al-Syafi’I, al-Risalat. Maktabat Dar al-Turas, Kairo, 1979, hlm. 476-477. Dikutip dari Disertasi Prof. Dr.I. Nurol Aen, MA, Konsep Mutsawabit al-Qadhi Abdu al-Jabbar dan relevansi dengan dasar teologinya, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998 [11] Disertasi Prof. Dr.I. Nurol Aen, MA, Konsep Mutsawabit al-Qadhi Abdu al-Jabbar dan relevansi dengan dasar teologinya, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998 [12] Romli SA, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh Metodologi Penetapan Hukum Islam, (Depok, Penerbit Kencana 2017), 144 [13] Disertasi Prof. Dr.I. Nurol Aen, MA, Konsep Mutsawabit al-Qadhi Abdu al-Jabbar dan relevansi dengan dasar teologinya,(Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998), 222 [14] Disertasi Prof. Dr.I. Nurol Aen, MA, Konsep Mutsawabit al-Qadhi Abdu al-Jabbar dan relevansi dengan dasar teologinya,(Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998), 212-213 [15] Disertasi Prof. DR.I. Nurol Aen, MA, Konsep Mutsawabit al-Qadhi Abdu al-Jabbar dan relevansi dengan dasar teologinya,(Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998), 224-225 [16] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 141-148 [17] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 122-127 |