Jelaskan pemahaman dari ungkapan dan tinggalkanlah jual beli

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ………………………………………………………………..      2

Daftar Isi …………………………………………………………………………      3

BAB I   PENDAHULUAN ……………………………………………………………..   4

  1. Latar Belakang Masalah ………………………………………….       4
  2. Perumusan Masalah ……………………………………………….        7
  3. Tujuan Penulisan ……………………………………………………        7

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………  8

  1. Pengertian Qiyas ………………………………………………………….    8
  2. Qiyas Sebagai Metodologi Penetapan Hukum Islam ………….  11
  3. Ruang Lingkup Qiyas …………………………………………..      11
  4. Rukun dan Syarat Qiyas ………………………………………..     12
  5. Macam-macam Qiyas …………………………………………..      15
  6. Kedudukan Qiyas dalam Hukum Islam ………………………….    20
  7. Qiyas sebagai sumber hukum Islam ………………………….     20
  8. Qiyas sebagai metode penggalian hukum (Ijtihad) ………   20
  9. Pembagian ‘Illat ………………………………………………….        26
  10. Kehujjahan Qiyas sebagai metodologi hukum Islam …..     31

BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………………      41

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………        43

BAB I

PENDAHULUAN

Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. adalah sebagai agama yang lurus, diturunkan  langsung dari Sang Pencipta alam semesta ini termasuk menciptakan  manusia. Dialah yang memerintahkan manusia agar menyembbah beribadah semata kepada-Nya, berhukum dengan hukum-hukum-Nya dan  mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya. 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا  

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS 4:59)

Dengan demikian sebagai sebuah keniscayaan bagi orang-orang yang beriman melaksanakan dan  mengembalikan segala urusannya kepada al-Quran dan as-Sunah dalam seluruh aspek kehidupan yaitu baik aspek ekonomi, sosial, pollitik, budaya dan lain sebagainya.

Sebagai agama yang sempurna yang dibawa oleh nabi terakhir, setelah nabi tutup usia, Islam kelanjutannya  diemban oleh para sahabat dan generasi setelahnya.  Maka setiap persoalan yang datang mereka berhukum pada al-Quran dan Hadis Nabi juga melalui  ijma shahabat begitu juga melalui ijtihad sahabat karena hal ini seiring dengan perjalanan waktu dan kemajuan teknologi maka muncul pula permasalahan-permasalah baru di tengah-tengah masyarakat.  Seiring dengan munculnya permasalahan-permasalahan baru,  Islam memberikan cara atau petunjuk  kepada para mujtahid untuk menginterprestasikan hukum-hukum yang bersifat global sehingga dapat diterapkan pada permasalahan-permasalahan dimasanya.

Rasulullah Saw. telah mengisyaratkan kepada sahabat, akan pentingnya mengembalikan persoalan yang apabila tidak secara langsung diputuskan oleh al-Quran maupun al-Hadits.

Sebagamana ketika Rasulullah mengutus (Muadz bin Jabal) ke Negeri Yaman.

قال رسول الله لمعاد : بما تقضى ؟ قال : بما فى كتاب الله. قال : فان لم تجد فى كتاب الله ؟ قال : اقضى بما قضى به رسول الله. قال : فان لم تجد فيما قضى به رسول الله ؟ قال : اجتهد برايي. قال : الحمد لله الذي وفق رسول رسوله

Artinya:

“Beliau bertanya, “Dengan apa engkau memutskan suatu hukum ketika dihadapkan suatu masalah kepadamu ?”. Muadz berkata, “Aku putuskan dengan kitab Allah, al-Quran, bila tidak kutemukan maka dengan sunnah Rasululah, bila tidak kutemukan maka aku berijtihad dengan pendapatku, dan aku tidak akan condong”. Maka Rasulullah saw menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah atas apa yang ia relakan”.(HR Tirmizi)[1]

Maksud hadits di atas adalah karena Rasul menyetujui kepada Muadz untuk berijtihad dalam memutuskan hukum yang tidak ditemukan nashnya dalam al-Quran  dan as-sunnah. Adapun ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan suatu hukum, termasuk diantaranya adalah qiyas.

Berbagai ketetapan Rasulullah Saw, mengenai hukum menjadi acuan bagi para sahabat, seakan-akan selama itu beliau melatih mereka mengembangkan syari’at.  Lebih-lebih dilihat redaksi sejumlah hadis benar-benar berupa redaksi kaidah dan sebagian lainnya berupa jumlah syarthiyyah (terdiri atas syarat dan jawabnya) dan yang menyerupainya.[2]

Setelah sumber hukum al-Qur’an, Hadits  dan Ijma sahabat maka yang terakhir adalah Qiyas.  Maka qiyas adalah salah satu yang menjadi rujukan dalam memproduksi hukum, karena sebagai sumber hukum.

Dengan kata lain kita mengenal pokok-pokok yang dijadikan landasan atau sumber hukum.  Selain al-Qur’an, sunnah dan ijma’, ada pula qiyas (analogi).  Sebuah mekanisme untuk mengetahui sebuah hukum dengan cara menganalisis terlebih dahulu permasalahan baru yang timbul dan mengkaitkan permasalahan tersebut dengan dalil-dalil hukum Islam yang ada yaitu al-Qur’an, sunnah dan ijma’.  Apabila tidak ditemukan kejelasan hukumnya, barulah metode qiyas ini digunakan, yakni menerapkan hukum atas permasalahan yang sudah jelas nash hanya pada masalah baru tersebut setelah diyakini adanya kesamaan dalam ‘illat hukumnya.  Kajian ini menjadi penting dan akan lebih menarik ketika muncul masalah-masalah baru (kontemporer) yang secara eksplisit tidak ditemukan jawabannya pada kitab-kitab hukum Islam yang disusun oleh para ulama terdahulu.

Makalah ini sedikit banyak akan memberikan gambaran seputar trik-trik qiyas dan dasar-dasar yang menjadikan qiyas dapat dijadikan sebagai landasan, dalil atau metode dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah baru yang timbul yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Maka melalui makalah ini, penulis ingin mengupas lebih mendalam lagi mengenai qiyas sebagai metodologi penetapan hukum Islam.

  • Perumusan Masalah
  • Apa yang dimaksud dengan qiyas?
  • Bagaimana  qiyas dijadikan sebagai sumber hukum Islam?.
  • Bagaimana qiyas sebagai metodologi hukum Islam?
  • Tujuan Penulisan
  • Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Qiyas.
  • Untuk mengetahui Qiyas dijadikan sebagai sumber hukum Islam
  • Untuk mengetahui qiyas sebagai metodologi hukum Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

    Secara etimologis kata “qiyas” berarti قدر, artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya, misalnya dalam bahasa arab ada ungkapan:   

قست الثوب بالذراع           

Artinya: “saya mengukur pakaian itu dengan hasta”.

Sementara pengertian qiyas menurut istilah hukum (terminology) terdapat beberapa definisi yang berbeda yang saling berdekatan artinya[3]. Namun apabila diperhatikan unsur-unsur pokok di dalam qiyas yaitu: ashal, cabang, hukum ashal dan illat.[4]

Imam Syafi’i mengatakan tentang qiyas sebagai berikut:

وكل ما نزل بمسلم ففيه حكم لازم وعليه اذا كان بعينه اتباعه واذا لم يكن فيه بعينه يطلب الدلالة على سبيل الحق بالاجتهاد والاجتحاد هو القياس

Artinya:

“Setiap kejadian/peristiwa yang terjadi pada seorang muslim pasti ada hukumnya. Dan ia wajib mengikuti nash, apabila ada nashnya. Dan apabila tidak ada nashnya dicari dari permasalahannya (dilalah-nya) diatas jalan yang benar dengan ijtihad, dan ijtihad itu adalah qiyas”.

Al-Ghazali dalam al-Mustashfa memberi definisi qiyas sebagai berikut:

حمل معلوم على معلوم فى اثبات حكم لهما او نفيه عنهما بامر جامع بينهما من اثبات حكم او نفيه عنهما

Artinya:

“Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.

Menurut Qadhi Abu Bakar mendefinisikan qiyas hampir sama dengan apa yang disampaikan al-Ghazali dan disetujui oleh kebanyakan ulama, yaitu:

حمل معلوم على معلوم فى اثبات حكم لهما او نفيه عنهما بأمر جامع بينهما

Artinya:

“Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.

Menurut Ibnu Subki dalam kitabnya Jam’u al-jawami’ memberikan definisi  qiyas sebagai berikut:

حمل معلوم على معلوم لمساواته فى علة حكمه عند الحامل

Artinya:

“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya dalam illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid)”.

Menurut Abu Hasan al-Bashri qiyas adalah:

تحصيل الحكم الأصل فى الفرع لاشتباههما فى علة الحكم عند المجتهد

Artinya:

“Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada furu’ karena keduanya sama dalam ‘illat hukum menurut mujtahid”.

Sementara Al-Baidhawi mendefinisikan qiyas sebagai berikut:

اثبات مثل حكم معلوم في معلوم اخر لاشتراكهما فى علة الحكم عند المثبت

Artinya:

“Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada sesuatu lain yang diketahui, karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan”.

 Al-Amidi mendefinisikan qiyas sebagai berikut:

عبارة عن الأستواء بين الفرع والأصل فى العلة المستنبطة من حكم الأصل

Artinya:

“Ibarat dari kesamaan antara furu’ dengan ashal dalam ‘illat yang di-isthinbath-kan dari hukum ashal”.

 Dan Abu Zahrah memberikan definisi qiyas sebagai berikut:

ألحاق أمر غير منصوص على حكمه بأمر أخر منصوص على حكمه لاشتراكها فى علة الحكم

Artinya:

“Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum”.

     Dalam pandangan ‘Abd al-Jabbar, qiyas berarti:

حمل الشئ على الشي فى بعض أحكامه لضرب من الشبه

Artinya:

Membawakan sesuatu kepada sesuatu yang lain dalam sebagian hukum-hukumnya karena ada sesuatu kesamaan”.

Menurut Prof. Drs. H. A. Djazuly dan Prof. Dr. I. Nurol Aen, MA dalam bukunya Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam, menjelaskan bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum sesuatu kasus yang tidak dinashkan dengan hukum kasus lain yang dinashkan karena persamaan illat hukum.

  • Qiyas Sebagai Metodologi Penetapan Hukum Islam

Khasanah Islam dalam bidang hukum yang merupakan pemecah segala problematika yang berkaitan dengan perbuatan manusia hingga akhir zaman dimana al-Quran sudah tidak diturunkan lagi dan Nabi sebagai pembawa risalah telah tiada yang baik al-Quran maupun al-Hadits sebagai sumber hukum, maka  telah meniscayakan adanya qiyas sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam setelah ijma sahabat.  Qiyas dalam hal ini memiliki nash yang kuat dalam menjadikan Qiyas sebagai metodologi dalam penetapan hukum dalam Islam. 

Tentu saja dalam menjadikan qiyas sebagaimana yang telah dikemukakan di atas memiliki kehujahan berdasarkan nash maupun aqli.  Adapun kehujahan qiyas ini dapat dijelaskan berdasarkan al-Qur’an, Sunah, Ijma sahabat maupun dalil ‘Aqli tentang qiyas.

Adapun dalam makalah ini, penulis akan membahas qiyas sebagai metodologi penetapan hukum Islam yang meliputi ruang lingkup Qiyas yang terdiri dari :

  1. Ruang Lingkup Qiyas
  2. Rukun dan Syarat Qiyas
  3. Macam-macam Qiyas

Para ulama ushul fiqh menggunakan metoda qiyas ini hanya dalam hal urusan mu’amalah seperti bagaimana hukumnya memukul ibu atau bapak, atau bagaimana hukumnya membakar harta anak yatim, atau bagaimana hukumnya meminum nabidz dan bagaimana hukumnya bunga bank. Semuanya dilakukan dengan menggunakan metoda qiyas untuk menentukan hukum-hukum tersebut. Qiyas tidak digunakan dalam ruang lingkup ibadah seperti dijelaskan dalam kaidah:

لا قياس فى العبادة

Artinya:

“Tidak ada qiyas dalam ibadah.”

            Artinya bahwa dalam hal ibadah yang satu tidak bisa diqiyaskan kedalam bentuk ibadah yang lain, seperti ibadah shalat lima waktu sudah ditentukan baik lafadz-lafadznya maupun gerakan-gerakannya, begitu juga bentuk ibadah yang lain seperti shaum, haji atau ibadah lainnya.

Rukun atau unsur yang harus ada dalam qiyas ada empat[5]:

Ashal (asal) yaitu sesuatu yang di-nash-kan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/meng-qiyas-kan di dalam istilah ushul disebut ashal (الاصل) atau maqis ‘alaih (المقيس عليه) atau musyabbah bih (المشبه به)

Ashal sebagai rukun qiyas menurut sebagian ahli ushul adalah nash-nash baik dari Al-Quran maupun al-sunnah bahkan al-ijma’ karena berbicara qiyas adalah berbicara tentang sumber pokok. Maka syarat ashal dalam qiyas adalah harus berasal dari nash al-Qur’an, al-Sunnah dan al-Ijma’.

Far’ (cabang) yaitu sesuatu yang tidak di-nash-kan hukumnya yang diserupakan atau di-qiyas-kan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’ (الفرع) atau al-maqis (المقيس) atau al-musyabbah (المشبه).

Di dalam far’un (cabang) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Cabang  tidak mempunyai hukum yang tersendiri.
  2. ‘Illat yang ada pada cabang harus sama dengan ‘illat yang ada pada Ashal.
  3. Cabang tidak lebih dahulu ada daripada ashal.
  4. Hukum cabang harus sama dengan hukum ashal.

Hukum ashal yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang. Syarat dari hukum ashal adalah sebagai berikut:

  1. Hukum ashal harus merupakan hukum syara’ yang amaliyah
  2. Hukum ashal harus ma’qul al-ma’na dalam arti pensyariatannya rasional.
  3. Hukum ashal bukan hukum yang khusus, sesuatu hukum ashal bisa merupakan hukum khusus dalam dua keadaan.

Pertama: Bila ‘illat hukum tidak terdapat/tergambarkan selain pada ashal seperti ma shul huffain/mengusap sepatu dibolehkannya adalah ma’qul al-ma’na, karena untuk menghilangkan kesempitan (raf’ul haraj) tetapi ‘illatnya memakai sepatu tidak dapat terbayang selain dengan cara memakai sepatu tadi.

Kedua: Ada dalil khusus yang menentukan hukum tersebut, seperti ketidak bolehan nikah dengan bekas isteri-isteri Nabi.

Hukum ashal harus tetap ada (tidak Mansukh), Kalau Ashal sudah di-mansukh misalnya, maka tidak mungkin melakukan qiyas dengan  hukum ashal yang sudah dimansukh.

Yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya, maka berbicara tentang qiyas akan lebih banyak berbicara tentang ‘illat hukum ini.

‘Illat adalah sesuatu/sifat yang ada pada ashal yang menjadi landasan/sebab adanya hukum pada cabang-cabang, atau dengan kata lain ‘illat adalah sesuatu sifat yang nyata dan tertentu yang bertalian (munasabah) dengan ada atau tidak ada hukum”, maka syarat ‘illat adalah sebagai berikut:

  1. Harus merupakan sesuatu yang nyata dalam arti dapat diamati; tanpa diketahui adanya ‘illat kita tidak bisa meng-qiyas-kan. Misalnya memabukkan yang dapat diketahui dengan panca indera pada khamar dapat diketahui pula dengan panca indera pada barang lain yang memabukkan.
  2. Harus merupakan sifat yang tegas dan tertentu, dalam arti tidak berbeda karena perbedaan orang di dalam keadaan lingkungannya, seperti pembunuhan sengaja yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya mengakibatkan terhapusnya hak waris. Demikian halnya pembunuhan sengaja yang dilakukan oleh penerima wasiat terhadap pemberi wasiat mengakibatkan terhapusnya hak wasiat.
  3. Harus ada kaitannya (munasabah) dengan hikmah dalam arti ada hubungannya antara hukum dengan ‘illat tadi dalam rangka menerapkan maqashid al-syari’ah, karena motif yang hakiki dari pen-syari’at-an hukum dan tujuan yang dimaksud adalah hikmah hukum tersebut. Jika hikmah hukum tersebut nyata, tegas dan tertentu pasti itulah illat hukumnya, karena dia motif hukum, akan tetapi karena hikmah ini tidak nyata dan tertentu pada sebagian hukum maka fungsinya digantikan oleh munasabah tadi. Seperti memabukkan itu munasabah dengan keharaman khamar, karena keharaman khamar hikmahnya dalam rangka memelihara dan mengembangkan akal. Oleh karena tidak tepat memberi ‘illat dengan sifat-sifat yang tidak munasabah dengan hukum dan hikmahnya, seperti keharaman khamar dengan ‘illat warna khamar misalnya.
  4. Bukan sifat yang hanya terdapat pada ashal, sebab jika ‘illat itu hanya terdapat pada ashal, maka tidak bisa dianalogikan/di-qiyas-kan, sebab qiyas hanya bisa dilakukan apabila sifat-sifat yang sama pada dua waqi’ah atau lebih. Seperti kekhususan-kekhususan Rasulullah tidak bisa diqiyaskan kepada orang lain. Misalnya kekhususan bagi Nabi menikahi wanita lebih dari empat orang.
  5. Tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan, maka nash-lah yang harus didahulukan, karena kemashlahatan sudah seharusnya tidak bertentangan dengan nash atau dalil qath’iy, karena itu tidaklah tepat member sanksi kepada raja yang membatalkan puasa di bulan Ramadhan karena hubungan biologis dengan isterinya, dengan mewajibkan puasa dua bulan berturut-turut karena dianggap mashlahat. Sanksi tentang hal ini adalah bertahap yaitu; pertama, membebaskan budak, kalau tidak mampu diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak kuat baru kemudian memberi makan 60 orang miskin.

            Macam-macam/pembagian qiyas dapat diurai berdasarkan hal-hal berikut ini[6]:

  1. Pembagian qiyas dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’ yang dibandingkan pada ‘illat yang terdapat pada ashal, menjadi tiga bagian:
  2. Qiyas awlawi (قياس اولوى); yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kakuatan ‘illat pada furu’.

Contoh

Mengqiyaskan kasus pacaran yang tidak ada nashnya dengan mendekati perbuatan zina yang ada nashnya pada ayat wa laa taqribzzinaa sebagaimana firman Allah Swt. :

Ÿwur (#qç/tø)s? #’oTÌh“9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$y™ur Wx‹Î6y™ ÇÌËÈ  

Artinya :

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”

Dari ayat di atas terdapat kalimat janganlah mendekati perbuatan zina, dengan demikian kalimat mendekati perbuatan zina yang sebelumnya ada indikasi yang bersifat larangan, berarti  adanya larangan untuk mendekati perbuatan zina.  Dengan demikian hukum mendekati perbuatan zina adalah haram berdasarkan nash.  Selanjutnya kasus kekinian semisal pacaran adalah dapat diqiyaskan kepada mendekati perbuatan zina. oleh karena kasus pacaran yang tidak ada nashnya dapat diterapkan  kepada kasus mendekati perbuatan zina.  Hal tersebut karana memiliki persamaan qiyas.  Karena hukum  perbuatan zina berdasarkan nash adalah haram, maka pacaran dapat diqiyaskan  kepada mendekati perbuatan zina yaitu memiliki  qiyas yang sama yaitu sama-sama mendekati perbuatan zina.  Karena perbuatan zina hukumnya haram maka pacaran memiliki hukum haram karena memiliki persamaan  dengan mendekati perbuatan zina.

Contoh lain mengqiyas-kan keharaman memukul orang tua kepada ucapan “ufa’’ (berkata kasar) terhadap orang tua dengan ‘illat “menyakiti”. Hal itu ditegaskan Allah Swt dalam surat al-Isra (17) : 23

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Referensi: https://tafsirweb.com/4627-surat-al-isra-ayat-23.html

Artinya:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia” (QS 17:23)

Mengucapkan kata “Ah” kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

Keharaman memukul kepada orang tua lebih kuat dari keharaman mengucapkan “uf” karena sifat menyakiti pada memukul lebih kuat dari pada yang terdapat pada ucapan “uf”

  • Qiyas Musawi (قياس مساوى); yaitu qiyas yang kekuatan hukum pada furu’ sama dengan kekuatan hukum pada ashal dikarenakan kekuatan ‘illat-nya sama.

Contoh

Mengqiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya dengan tidak sepatutnya dalam hal sama-sama keharamannya. QS an-Nisa (4): 10

Artinya:

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Karena tindakan tersebut sama-sama melenyapkan harta anak yatim.

Contoh lain

Masalah zakat unta dengan kerbau merupakan  qiyas musawi, unta adalah sebagai binatang yang masuk ke dalam kategori yang wajib dikeluarkan zakatnya.  Maka kerbau karena memiliki kesamaan yaitu masuk ke dalam qiyas musawi, sehingga kerbau berdasarkan qiyas musawi tersebut dapat pula dikategorikan binatang yang masuk dalam kategori yang wajib dikeluarkan zakatnya. 

  • Qiyas al-adna, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat dalam ashal (pokok). Misalnya, sifat yang memabukan yang ada dalam minuman keras bir umpanya lebih rendah dari sifat memabukan yang terdapat pada minuman keras khamar yang diharamkan dalat al-Quran surat al-Maiddah ayat 90. 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Referensi: https://tafsirweb.com/37706-surat-al-maidah-ayat-90-91.html

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

Meskipun pada ashal dan fur’u (cabang) sama-sama terdapat sifat memabukan sehingga dapat diberlakukan qiyas

  • Pembagian  qiyas dari segi kejelasan ‘illat-nya.

Qiyas dari segi kejelasan illatnya terbagi kedalam dua macam:

  1. Qiyas jali (قياس جلي); yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal; atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash namun titik perbedaan antara ashal dengan furu’ dipastikan tidak ada pengaruhnya. Misalnya meng-qiyas-kan perempuan kepada laki-laki dalam kebolehan meng-qashar shalat di perjalanan, meskipun terdapat perbedaan jenis kelamin tetapi perbedaan tersebut dapat dikesampingkan.
  2. Qiyas khafi (قياس خفي); yaitu qiyas yang ‘illat-nya tidak disebutkan dalam nash, maksudnya adalah dengan di-istinbath-kan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan ‘illat-nya bersifat zhanni. Misalnya meng-qiyas-kan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda atau senjata tajam dalam penetapan hukum qishash dengan ‘illat pembunuhan disengaja dalam bentuk permusuhan. Kedudukan ‘illat ini dalam ashal lebih jelas dibandingkan dengan kedudukannya dalam furu’.
  • Pembagian qiyas dari segi keserasian ‘illatnya dengan hukum;

Berdasarkan keserasian ‘illat-nya dengan hukum qiyas terbagi kedalam dua bagian:

  1. Qiyas muatstsir (قياس مؤثر); yaitu qiyas yang ‘illat penghubung antara ashal dan furu’ ditetapkan dengan nash yang sharih atau ijma’, atau qiyas yang ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashal dengan furu’ berpengaruh terhadap ain hukum.

Misalnya meng-qiyas-kan kewalian nikah anak di bawah umur kepada kewalian atas hartanya dengan ‘illat belum dewasa, ‘illat ini ditetapkan berdasarkan ijma’.

Atau meng-qiyas-kan minuman keras yang dibuat selain dari anggur kepada khamar dengan ‘illat memabukkan, hal ini termasuk pada ‘illat yang hubungannya dengan hukum haram adalah berbentuk qiyas muatstsir.

  • Qiyas mulaim (قياس ملائم); yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim. Seperti qiyas pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan senjata tajam yang ‘illat-nya pada ashal dalam hubungannya dengan hukum pada ashal adalah dalam bentuk munasib mulaim.
  • Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu, terbagi tiga:
  • Qiyas ma’na (قياس معنى) atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun ‘illat-nya tidak dijelaskan dalam qiyas, namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ tersebut seolah-olah ashal itu sendiri. Umpamanya membakar harta anak yatim di-qiyas-kan dengan memakannya dengan tidak patut dengan ‘illat merusak harta anak yatim itu, dengan adanya kesamaan itu furu’ seolah-olah ashal itu sendiri.
  • Qiyas ‘illat (قياس علة), yaitu qiyas yang ‘illat-nya dijelaskan dan ‘illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal. Seperti meng-qiyas-kan nabiz kepada khamar  dengan ‘illat rangsangan yang kuat yang jelas terdapat dalam ashal dan furu’.
  • Qiyas dilalah (قياس الدلالة), adalah qiyas yang ‘illat-nya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan adanya ‘illat. Misalkan meng-qiyas-kan nabiz kepada khamar dengan menggunakan alasan bau yang menyengat, yang merupakan akibat yang lazim dari rangsangan kuat dalam sifat memabukkan.
  • Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan furu’, hal ini terbagi kepada 4 macam, yaitu:
  • Qiyas ikhalah (قياس الاخالة) yaitu qiyas yang ‘illat hukumnya ditetapkan melalui metode munasabah dan ikhalah.
  • Qiyas syabah  (قياس الشبه) yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui metode syabah.
  • Qiyas sabru (قياس السبر) yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui  metode sabru wa taqsim.
  • Qiyas thard (قياس الطرد) yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui metode thard.
  • Kedudukan Qiyas dalam Hukum Islam
  • Qiyas sebagai sumber hukum Islam

Berdasarkan pada beberapa pengertian tentang qiyas dalam pembahasan sebelumnya dapat diambil benang merahnya bahwa pada dasarnya qiyas adalah penarikan kesimpulan atau inferensi dari suatu masalah hukum yang telah di tentukan hukumnya oleh nash (al-Quran dan atau al-Sunnah) untuk suatu masalah hukum yang belum ditentukan hukumnya oleh nash karena di antara dua masalah hukum tersebut terdapat makna homonim yang disebut ‘illat[7].

            Menurut Abu al-Husayn al-Bashriy, penerapan hukum yang terdapat dalam ashal kepada far’ (cabang), yang belum terdapat di dalamnya hukum, dapat dilaksanakan apabila di dalam ashal dan far’ itu terdapat kesamaan ‘illat hukum bagi seorang mujtahid,[8] yang akan men-istinbath hukum.

            Qiyas dalam pengertian di atas merupakan salah satu metode hukum islam. Kesimpulan hukum yang diperoleh dengan metode qiyas menjadi sumber hukum dan ajaran islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian ulama menjadikan qiyas[9] sebagai sumber hukum ke empat setelah al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma.

  • Qiyas sebagai metode penggalian hukum (Ijtihad)

        Menurut Imam Syafi’iy, qiyas sama dengan ijtihad. Qiyas dan ijtihad adalah dua lafzh yang mempunyai makna yang sama.[10] Berdasarkan pandangan seperti inilah kiranya al-Syafi’i membentuk istihsan, al maslahah al mursalah dan lain sebagainya.

Dalam hal yang berkaitan dengan masalah syari’ah, yang tidak dapat diketahui akal, seperti bagaimana mengetahui analogi dari rincian cara berterima kasih kepada Tuhan, ijtihad diperlukan dalam rangka mencari hal-hal yang mengandung kemaslahatan (al-shalah) bagi manusia, atas dasar dugaan yang kuat (ghalib al-zhann) dari pemahaman seorang mujtahid atas dalil al-sam’i. Yang dimaksud dengan kemaslahatan di sini adalah semua hal yang akan membawa manusia kepada ketaatan dan yang akan menjauhkan manusia dari maksiat.

Berdasarkan hal tersebut, ijtihad dalam pandangan Abd al-Jabbar merupakan kelanjutan dari pemikiran analogi (al-qiyas) yang tidak mungkin ditutup atau dihentikan karena masyarakat selalu berkembang dan berubah. Pemikiran Abd al-Jabbar yang demikian sejalan dengan Imam al-Syafi’i yang berpendapat bahwa ijtihad itu adalah al-qiyas. Dalam berbagai persoalan syariah, al-qiyas inilah yang banyak digunakan baik oleh Imam al-Syafi’i maupun oleh Abd al-Jabbar, sebagai metode ijtihad untuk menjawab atau menyelesaikan berbagai persoalan baru yang muncul di masanya yang secara tegas tidak dinyatakan baik dalam al-Quran maupun dalam al-Sunnah.

Ijtihad dengan metode al-qiyas dapat menghasilkan berbagai perintah atau taklif  baru, baik itu perintah untuk melakukan ataupun perintah untuk meninggalkan sesuatu, yang sama hukumnya seperti terkandung dalam al-Quran atau al-Sunnah[11].

Sebagaimana telah dijelaskan dalam makalah ini bahwa qiyas merupakan salah satu metode hukum Islam, sehingga qiyas menjadikannya sebagai sumber hukum keempat setelah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma Sahabat.

Adapun bagaimana tata cara proses istinbath hukum berdasarkan  qiyas, dikenal dengan ‘illat sebagai cara untuk menentukan hukum suatu masalah baru yang tidak ada dalam nash.

‘Illat qiyasi adalah ‘illat yang digunakan untuk mengetahui apakah ketentuan hukum yang berlaku terhadap suatu persoalan yang dijelaskan di dalam nash dapat diberlakukan pada persoalan lain masalah baru yang tidak dijelaskan oleh nash karena adanya kesamaan ‘illat antara kedua.[12]

‘Illat sebagai metode qiyas untuk menghasilkan hukum terhadap persoalan baru, dapat diketahui dengan cara-cara sebagai berikut :

  1. ‘Illat dapat diketahui dari petunjuk nash

Contohnya adalah kata  ö  t’s!rߊ bqä3tƒ PŸw ö’s1         

Firman Allah dalam surat al-Hasyr (59) ayat 7 :

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Artinya:

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”.

Maka ‘illat larangan memonopoli pemilikan harta oleh orang-orang kaya itu agar orang-orang miskin mendapat bagian harta dari yang dimiliki oleh orang-orang kaya tersebut.

  • ‘Illat dapat diketahui dari ‘isyarat al-nash.

Sebagai contoh hadits Nabi Saw.:

 عن ابى قتادة رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فى الهرة انها ليست بنجس انما هي من الطوافين عليكم. اخرجه الاربعة وصححه الترمذى وابن خزيمة.

Artinya:

“Dari Abi Qatadah bahwasannya Rasulullah Saw. telah bersabda tentang kucing : ”Kucing itu sebenarnya tidak najis, karena ia tergolong pelayan-pelayanmu.”  Diriwayatkan oleh empat perawi hadis dan disahihkan oleh al-Tirmidziy dan Ibnu Khuzaymah[13]

Huruf ‘illat yang menunjuk kepada ketidak-najisan kucing adalah kalimat  انما هى (karena Ia).    

Dibawah ini adalah contoh proses istinbath hukum berdasarkan qiyas  melalui ‘illat :

1. Cara penarikan kesimpulan yaitu dari partikular (juz’iy) ke partikular (juz’iy)  contohnya meminum nabidz tamar (perasan kurma) merupakan suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya.  Peristiwa ini disebut far’ (cabang).  Untuk menetapkan hukumnya, dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash yang ‘illatnya sama dengan peristiwa pertama.  Peristiwa kedua ini meminum khamar, disebut ashl (pokok).  Selain itu, peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash yaitu haram, kemudian disebut hukum al-ashl, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Maidah (QS,5:90) 

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.

Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa itu ialah sama-sama memabukkan (iskar).  Karena itu, ditetapkan hukum meminum nabidz tamar (perasan kurma) dengan meminum khamar yaitu sama-sama haram.  Dari uraian contoh di atas, kiranya dapat diketahui bahwa dalam al-qiyas al-syari’iy ini diperlukan empat rukun, yaitu far’, ashl, hukm al-ashl, dan ‘illat.[14]

Qiyas yang terdiri dari beberapa ‘illat, maka langkahnya yaitu mentarjih salah satu ‘illat diantara ‘illat-‘illat yang lainnya.  Sebagai contoh dalam hadits dinyatakan bahwa orang tua dapat mengawinkan  anak perempuannnya tanpa izinnya.  Dalam hadis ini ditemukan dua sifat yang diduga dapat dijadikan  ‘illat bolehnya hal tersebut, yakni : (1) keadaan anak itu masih gadis dan (2) keadaannya belum dewasa (kecil). ‘Illat pertama tidak dapat diamalkan karena tidak sesuai dengan ‘illat yang sama yang telah ditetapkan (ijma’) oleh para ulama.

Dalam ijma’ ditetapkan bahwa ‘illat bagi perwalian seorang bapak terhadap harta anaknya yang belum dewasa disebabkan keadaan anak tersebut belum dewasa.  Perwalian atas harta benda ini merupakan sejenis serta sesuai dengan perkawinan.

Oleh karena itu, ‘illat orang tua mempunyai hak untuk mengawinkan karena keadaannya belum dewasa (kekanak-kanakan), bukan karena kegadisannya.  Dengan demikian, janda yang masih belum dewasa dapat diqiyaskan kepada gadis yang masih kanak-kanak dalam masalah nikah.[15]

Contoh qiyas bentuk qiyas ekseptik ialah : si Fulan berjalan kaki, maka ia akan menggerakkan kedua telapak kakinya  akan tetapi, su fulan tidak menggerakkan kedua kakinya, maka (dengan sendirinya) ia tidak berjalan kaki

Qiyas dalam pengertian di atas merupakan salah satu metode hukum Islam.  Kesimpulan hukum yang diperoleh dengan metode qiyas menjadi sumber hukum dan ajaran Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian ulama menjadikan qiyas sebagai sumber hukum keempat setelah al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma’.

            Illat hukum bisa dibagi kepada beberapa bagian sesuai dengan pendekatan yang dilakukan antara lain[16]:

  1. Pembagian illat dilihat dari segi dii’tibarkan atau Tidaknya oleh syari’at/Allah Swt.

Dalam hal ini ada empat macam illat:

  1. Al-munasib al-mu’atsir, yaitu munasib yang ditunjukkan oleh syar’i  bahwa itulah illat hukum adalah atsarnya. Oleh karena itu, disebut al-munasib al-mu’atsir, ini tidak lain adalah illat yang di-nash-kan seperti ayat al-Qur’an Surat al-Jumu’ah ayat 9:

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada pengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”(QS:62:9).

Sighat ayat ini menunjukkan perintah meninggalkan jual beli apabila adzan telah terdengar adzan untuk shalat jum’at; jadi adzan shalat Jum’at menjadi illat untuk meninggalkan jual-beli karena ada munasabah antara meninggalkan jual beli dengan adzan Jum’at, yaitu muhafadhah (memelihara) salat/al-din. Oleh karena itu, terhadap jual beli dapat di-qiyaskan segala muamalah yang menyebabkan orang lalai melaksanakan shalat Jum’at dan adzan untuk shalat Jum’at nisbahnya dengan hukum adalah haramnya jual beli pada waktu tersebut.

 Demikian pula dengan wilayah maliyah seperti dinyatakan al-Qur’an:

(#qè=tGö/$#ur 4’yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Y‰ô©â‘ (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( Ÿwur !$ydqè=ä.ù’s? $]ù#uŽó Î) #·‘#y‰Î/ur br& (#rçŽy9õ3tƒ 4 `tBur tb%x. $|‹ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù ( `tBur tb%x. #ZŽÉ)sù ö@ä.ù’uŠù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sŒÎ*sù öNçF÷èsùyŠ öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#r߉Íkô­r’sù öNÍköŽn=tæ 4 4‘xÿx.ur «!$$Î/ $Y7ŠÅ¡ym ÇÏÈ  

Artinya:

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah pada mereka harta-hartanya” (al-Nisa:6).

  • Al-munasib al-mula’im, ialah munasib yang tidak di’itibarkan syara dengan dzatnya akan tetapi adal dalil lain baik nash  atau ijma yang menunjukan bahwa munasib tersebut adalah illat hukum, contoh dalam hal ini seperti hadits Nabi:

لا يزوج البكر الصغيرة الا وليها

Artinya:

“Tidak boleh menikahkan gadis  yang masih kecil kecuali walinya”.

Disini jelas menetapkan wilayat al-tamyiz terhadap perawan yang masih kecil dalah walinya. Akan tetapi, tidak jelas betul apakah karena anak tadi perawan atau karena masih anak kecil, yang keduanya adalah munasabah, yang kedua-duanya bertujuan untuk sama yaitu untuk menolak kemadharatan terhadap perawan yang masih kecil.

  • Munasib mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu menimbulkan persangkaan bahwa hal tersbut menimbulkan hikmah akan tetapi ternyata ada dalil syara bahwa munasib tersebut tidak diakui syara dan dilarang syara, seperti mempersamakan hak laki-laki dan anak perempuan da dalam warisan, secara dhahir ini adalah hal yang munasabah akan tetapi ditolak oleh syari’at denga firman-Nya:

Þ

Artinya:

“Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu. Bagi anak (seorang) laki laki adalah dua kali bagian anak (seorang) perempuan”(QS:Nisa:11).

  • Al-munasib al-mursal atau al-munasib al-muthalaq, yaitu sesuatu yang jelas bagi mujtahid bahwa menetapkan hukum azasnya mewujudkan kemashlahatan akan tetapi tidak ada dalil yang menunjukan secara terperinci bahwa syara melarang atau membolehkannya, inilah yang dikalangan para ahli ushul disebut dengan al-Mashlahah al-mursalah, contoh dalam hal ini seperti tidak sah akad nikah pernikahan kecuali apabila umur si pengantin wanita 16 tahun dan si pengantin pria 18 tahun.
  • Pembagian illat dilihat dari segi kemaslahatan

Seperti kita ketahui bahwa syari’at islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin menuju kepada kemaslahatan bagi manusia di dunia dan di akhirat yang merupakan tujuan dari syari’at; illat harus mewujudkan kemaslahatan tersebut yang dimaksud tersebut. Berdasarkan penelitian terhadap berbagai aturan dalam islam membuktikan bahwa kemaslahatan tersebut kemnali kepada tiga hal, yaitu “mewujudkan hal-hal yang dharuriy, hajiy, dan tahsiniy bagi manusia”.

  1. Yang dimaksud dengan dharuriy adalah sesuatu yang harus ada demi kemaslahatan agama dan dunia, dalam arti apabila hal-hal yang dharuriy ini tidak bisa diwujudkan, tata kehidupan manusia tidak akan mantap bahkan kacau dan menimbulkan kemafsadatan. Dengan demikian, hal yang dharuriy ini harus mewujudkan, dipelihara dan dijaga dari segala hal yang merusaknya.

Hal yang dharuriy ini ada lima:

Memelihara agama, memelihara diri dan meningkatkan nilai-nilai kejiwaan, memelihara akal dan memberantas kebodohan, memelihara kehormatan keluarga, dan pembinaan generasi, memelihara harta dan memeratakan kesejahteraan material kepada seluruh umat, serta memberantas kemiskinan)

Untuk mewujudkan pemeliharaan agama, diwajibkan da’wah beriman, ibadat dan aturann-aturan yang mengandung sanksi bagi perbuatan-perbuatan yang menuju kepada merusak agama.

Untuk mewujudkan pemeliharaan diri, diberikan aturan yang melarang membunuh diri dan diri orang lain, dan sanksi-sanksi bagi orang yang melakukan pembunuhan baik sengaja maupun karena kesalahan yang dalam istilah  fiqih disebut jarimat al-qishash dan diyat; pemeliharaan kesehatan dan lain sebagai nya.

Untuk memelihara akal diharamkan segala barang yang memabukkan didorang untuk belajar dan berpikir serta berilmu yang tinggi, mencerdaskan umt dan lain sebagainya.

Untuk memlihara keluarga diberikan aturan-aturan tentang pembentukan keluarga sejahtera (sakinah), ditentukan kewajiban dan hak suami istri serta diatur hubungan antara orang tua dan anak. Dilarang berzina dan menuduh zina; anak shaleh yang mendoakan merupakan amal yang sampai ke alam baqa dan sebagainya.

Untuk memelihara harta didorong unutk kasab (usaha) yang halal, dilarang, mencuri, ghasab, memakan harta manusia dengan secara batil, disayaratkan kerelaan di dalam pertukaran harta dan lain sebagainya. Secara praktis di dalam kehidupan manusia kelima hal yang dharuriy ini akan saling berkaitan saru sama lain.

  • Yang dimaksud dengan hajiy adalah mewujudkan segala hal yang memudahkan dan meringankan manusia di dalam memikul tugas hidupnya, apabila tidak ada yang hajiyat, menyebabkan kesukaran, kesulitan, dan kesempitan, akan tetapi sampai ke tingkat kemafsadatan umum. Termasuk hajiyat ini aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah-masalah rukshshah, lupa, kesalahan terpaksa dan dipaksa, bay ‘ al-mu’aththah, bay’ salam, seperti juga dijelaskan dalam al-Quran:

Artinya:

Dan allah tidak menyempitkan kamu dalam urusan agama (QS al-Hajj 22:78).

3 ߉ƒÌãƒ ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߉ƒÌãƒ ãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#  ÇÊÑÎÈ  

Artinya:

“Allah menghendaki untukmu kelapangan, ia tidak mengehendaki untukmu keseputan dan kesukarann” (QS.2:185).

  • Yang dimaksud dengan kamaliyat atau tahsiniyyat adalah hal-hal yang mewujudkan kesempurnaan dan kebaikan hidup yang hakikatnya kembali kepada akhlak yang luhur dan mulia serta kebiasaan-kebiasaan pergaulan yang terpuji. Aturan-aturan yang berkaitan denga kamaliyat atau tahsiniyyat ini antara lain shalat sunnah dan puasa sunnat, cara-cara makan dan minum, dilarang melihat, mendengar yang tidak baik, menutup aurat, adab dan sopan santun pergaulan, hal-hal yang najis, dan lain-lain.
  • Adapun mengenai ‘illat yang boleh dicari ‘illatnya adalah hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan mu’amalat dan ‘uqubat, karena hukum syara’ dalam hal ini didasarkan pada suatu ‘illat yang melaterbelakangi adanya hukum.  Sudah menjadi kebiasaan umum, banyak orang mencari ‘illat terhadap seluruh hukum-hukum berdasarkan keuntungan.  Hal ini bertentangan dengan syariat itu sendiri.  Hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan dan pakaian tidak boleh dikaitkan dengan ‘illat sama sekali.  Sebab, hukum-hukum semacam ini tidak dikaitkan dengan ‘illat sama sekali.

Hukum seperti ini diambil sesuai dengan apa yang terdapat dalam nash saja, tanpa dikaitkan sama sekali dengan ‘illat, seperti halnya shalat, shaum, haji, zakat, dan yang sejenisnya diambil secara tuqifi sebagaimana adanya dan diterima dengan penuh kepasrahan tanpa melihat aspek ‘illat nya.  Bahkan, tidak mencari-cari ‘illat-nya.  Begitu pula pengharaman memakan bangkai, daging babi, dan yang sejenisnya sekali-kali tidak dicari ‘illatnya.  Bahkan termasuk suatu kesalahan yang berbahaya apabila mencari ‘illat bagi hukum-hukum tadi.  Sebab apabila ada usaha untuk mencari illat bagi suatu hukum atas perkara-perkara tersebut, tentu implikasinya adalah apabila hilang ‘illatnya hukumnya pun akan hilang.  Sebagai ‘illat itu senantiasa mengikuti ma’lulnya, ada atau tidaknya.  Seandainya ‘illat wudlu itu kebersihan, ‘illat shalat adalah olahraga, ‘illat shaum itu kesehatan dan seterusnya, tentu hal ini akan mengakibatkan bahwa disaat tidak didapati ‘illat nya maka tidak akan didapati hukumnya.

  • Kehujjahan Qiyas sebagai Metodologi Penetapan Hukum Islam

Pada dasarnya di dalam menanggapi soal qiyas ini ada dua pendapat ulama[17] :

  1. Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa qiyas adalah hujjah syara’
  2. Madzhab Nidhomiyah, Dhohiriyah, dan Syi’ah Imamiyah yang menolak qiyas sebagai cara untuk menetapkan hukum termasuk juga sebagian Mu’tailah.

Adapun alasan-alasan jumhur ulama antara lain adalah :

  1.  Ayat al-Qur’an yang menyatakan sebagai berikut :

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudaian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya)  jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.  Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS: al-Nisa:59).

Kata- kata farudduuhu (     çnr–Šãsù      ) berarti mengembalikan kepada Allah

dan Rasul-Nya, hal ini meliputi pemgembalian kepada kaidah-kaidah syara’ yang umum dan mengembalikan hal-hal yang tidak dinashkan kepada yang dinashkan karena ada persamaan illatnya.  Dalam hal ini cara menetapkan hukum islam berarti menggunakan qiyas.

Di dalam ayat lain dinyatakan

(#rçŽÉ9tFôã$$sù ’Í<‘ré’¯»tƒ ̍»|Áö/F{$# ÇËÈ  

Artinya:

Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.(QS:59:2)

Dalam ayat ini Allah Swt. telah menyatakan apa yang menimpa Bani Nadhir kemudian menyatakan  (#rçŽÉ9tFôã$$sù) ialah qiyaskanlah dirimu, karena kamu, ayat ini memberi isyarat yang jelas di dalam penggunaan qiyas.

  • Banyak sunnah yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. menggunakan qiyas diantaranya:

كنت نهيتكم عن ادخار لحوم الاضاحى لاجل الدافة فكلوا وادخروا وتصدقوا

Artinya:

“Dulu saya melarang kamu menyimpan daging kurban, karena banyak orang berkumpul. Maka sekarang boleh makan, menyimpan dan menyedekahkannya” (Hadits Riwayat Al-Nasaiy)

Jadi bila banyak orang yang berkumpul yang membutuhkan daging kurban dilarang menyimpan daging kurban apabila tidak ada orang berkumpul boleh menyimpan.  Dengan demikian hukum ada apabila ada illatnya dan hukum tidak ada dalam arti mubah apabila tidak ada illatnya.  Di dalam kaidah terkenal :

الحكم يدور مع علته وجودا وعدما

Artinya:

“Hukum tergantung kepada ada atau tidak adanya ‘illat”

Dalam peristiwa lain Umar pernah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang qublah pada bulan Ramadhan, Rasul menjawab :

أرأيت لو تمضمضت من الماء وأنت صائم قال عمر قلت لا بأس به قال فمه

Artinya:

“Bagaimana pendapatmu, apabila kamu berkumur-kumur dengan air padahal engkau dalam keadaan puasa.  Umar menjawab :” Tidak apa-apa, lalu Rasulullah Saw. besabda lagi:” Demikian pula halnya qublah”  (Hadis Riwayat Ahmad dan Abu Dawud).

Disini Rasulullah mengqiyaskan berkumur-kumur dengan air pada bulan Ramadhan dengan qublah tanpa inzal kedua-duanya sama-sama tidak membatalkan puasa.

  • Para sahabat pun mempergunakan qiyas ini seperti Abu Bakar mengqiyaskan kakek dengan bapak di dalam warisan, juga Umar memerintahkan kepada Abu Musa al-Asy’ari.

اعرف الاشاه والنظائر ثم قس الأمور عند ذلك

Artinya:

“Pelajarilah perkara-perkara yang ada persamaan dan perserupaannya, kemudian qiyaskanlah perkara-perkara tersebut”.

  • Qiyas bisa dibuktikan dengan dalil akal pula

Pertama Allah Swt. memberikan hukum demi untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya, apabila ada persamaan kemaslahatan hamba-hamba-Nya, apabila ada persamaan kasus yang tidak dinashkan dengan yang dinashkan di dalam illat hukumnya, maka adalah adil dan bijaksana untuk mempersamakan hukumnya dalam rangka kemaslahatan tadi.

Adalah tidak pada tempatnya apabila khamr dilarang karena memabukkan dalam rangka memelihara akal dan minuman-minuman lain yang memabukkan dibolehkan karena tidak dinashkan , padahal kedua-duanya sama memabukkan dan menyebabkan tidak terpeliharanya akal.

Kedua, nash al-Qur’an dan al-Sunnah jumlahnya terbatas, sedangkan peristiwa dan perkembangan manusia terus terjadi, maka untuk memecahkan masalah – masalah yang tidak dinashkan , penggunaan qiyas sangatlah dibutuhkan asal pemecahan tersebut masih dalam ruang lingkup syari’at menuju kemaslahatan manusia.

Qiyas pada hakikatnya tidak lain adalah pelaksanaan nash-nash di dalam ruang lingkupnya yang luas, bukan menambah nash tapi menafsirkan nash.

Alasan para penolak qiyas adalah :

Artinya:

“Dan putuskanlah perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah” (QS:al-Maidah:49)

Dan ayat-ayat lain yang sama dengan ayat tersebut dengan pengertian bahwa menggunakan qiyas bukanlah hukum yang ditentukan Allah Swt.

Sesungguhnya ayat-ayat tersebut tidak menunjukkan kepada apa yang mereka artikan sebab (!t!$#At“Rr& ª$yJÎ/ ) berarti memberikan hukum-hukum

yang ditunjukkan nash-nash.  Dan hukum-hukum itu diistinbathkan dengan berbagai cara yang ditunjukkan oleh Allah di dalam kitabnya dan perinciannya oleh Rasulullah Saw. di dalam sunnahnya.

Oleh karena itu, orang-orang yang memberikan hukum dengan langsung dari nash secara tersurat dia telah memberikan hukum sesuai dengan yang ditentukan oleh Allah dan apabila secara yang tersurat tidak ada, kemudian memberikan hukum dengan cara mengembalikan yang tidak ada nashnya kepada yang ada nashnya (qiyas) maka itu pun berarti mengembalikan kepada yang diturunkan Allah.  Karena Allah memerintahkan untuk menaati Ulil Amri dan mengembalikan apa yang dipermasalahkan kepada apa yang dinashkan dan qiyas membukakan dan menampakkan hukum Allah tentang sesuatu yang tidak tegas-tegas dinashkan.

Artinya:

“Tidak ada yang Kami tinggalkan sedikit pun dalam al-Kitab” (al-QS:An’am 6:38)

Ayat–ayat semacam ini menunjukkan bahwa tidak perlu kepada qiyas, sebab segala sesuatu telah ada dalam al-Qur’an.  Menurut penuturan Syaykh Abdul Wahab Khalaf, yang dimaksud dengan al-Kitab pada ayat pertama dan kedua adalah ilmu Ilahi beserta keluasannya dan pemeliharaannya sesuai dengan permulaan ayatnya.

$tBur `ÏB 7p­/!#yŠ ’Îû ÇÚö‘F{$# Ÿwur 9ŽÈµ¯»sÛ çŽÏÜtƒ Ïmø‹ym$oYpg¿2 HwÎ) íNtBé& Nä3ä9$sVøBr& 4 $¨B $uZôÛ§sù ’Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4’n<Î) öNÍkÍh5u‘ šcrçŽ|³øtä† ÇÌÑÈ  

Artinya:

“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (al-QS:An’am 6:38)

  • Berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dari Abu Hurayrah sebagai berikut :

تفعل هذه الامة برهة بالكتاب وبرهة بالسنة وبرهة بالقياس فاذا فعلوا ذلك فقد ضلوا

Artinya:

“Umat ini sewaktu-waktu berpegang kepada al-Kitab, sewaktu-waktu berpegang kepada sunnah, dan sewaktu-waktu pula berpegang kepada al-Qiyas, maka apabila mereka melakukan perbuatan tersebut di atas, sesatlah mereka”.

Jadi apabila umat ini melakukan perbuatan atas dasar penggunaan qiyas, maka dia telah sesat.

Sesungguhnya hadis ini tidak bisa dijadikan dalil, karena menurut Ibnu As-Subkiy ada di dalam sanadnya yang tidak bisa diterima,  disamping itu arti hadis itu adalah umat ini berbuat kadang-kadang dengan dasar al-Qur’an saja, karena tidak membutuhkan kepada Sunnah dan Qiyas, dan kadang-kadang dengan sunnah dan mentakwilkan nash-nash kitab dengan sunnah tadi, dan kadang-kadang dengan qiyas dan mentakwilkan Qur’an dan sunnah dengan qiyas apabila berbeda dan apabila mereka melakukan yang demikian mereka telah sesat dan sejarah hukum Islam telah membuktikan ini.  Dengan ini sesungguhnya hadis ini menjadi bukti atas kehujjahan qiyas karena menyebutnya dengan al-Kitab,  kemudian al-Sunnah di dalam tertib istidlal.

  • Ucapan sahabat yang mencela memberikan hukum dengan ra’yu seperti ucapan Abu Bakar:

أى سماء تظللنى وأى أرض تقلنى اذا قلت فى كتاب الله برأيى

Artinya:

“Apabila saya berkata/berpendapat tentang apa yang ada dalam kitabullah dengan pendapatku, pasti saya tidak akan berbuat demikian, walaupun langit menutupiku dan bumi menyempitkanku”.

Ucapan Umar ra:

اياكم وأصحاب الرأى فانهم أعداء السنن أعينتهم الاحاديث ان يحفظوها فقالوا بالرأى

Artinya:

“Jauhkanlah dirimu dari ahli ra’yu,  karena mereka itu adalah musuh al-Sunnah.  Menghapal hadis membuat mereka kepayahan, sehingga mereka berkata menurut pendapat mereka (ra’yu), oleh karena itu mereka berkata sesat dan menyesatkan “.

اياكم والمكايلة قيل وما المكايلة ؟ قال المقايس

Artinya:

“Jauhilah al-mukayalah, ditanyakan kepada Umar.  Apa al-Mukayalah itu?  Dijawabnya pengqiyasan.”

Ibnu Mas’ud berkata :

اذا قلتم فى دينكم بالقياس احللتم كثيرا مما حرمه الله وحرمتم كثيرا مما احله الله

Artinya:

“Apabila kamu sekalian berpendapat dalam urusan agamamu dengan menggunakan al-qiyas, maka banyak sekali perkara yang kamu halalkan padahal Allah mengharamkannya.  Dan banyak pula perkara yang kamu haramkan padahal Allah menghalalkannya”.

Dan ucapan lain dari sahabat yang semacam ini, yang mencela ra’yu.  Sesungguhnya ucapan sahabat ini kalau benar haruslah dihubungkan dengan ucapan-ucapan sahabat lain dan perbuatan-perbuatannya; dan hasilnya adalah penetapan Rasul terhadap Mu’adz bin Jabal yang berkata:

ان لم اجد فى كتاب الله وفى سنة رسوله اجتهد

Artinya:

“Jika tidak saya dapatkan dan Sunnah Rasulullah saya berijtihad menurut pendapatku dengan tiada mengurangi daya ikhtiarku “ (Hadits riwayat al-Baghawi).

Salah satu ijtihad adalah dengan qiyas.

Disamping itu, kenyataan pada masa Nabi, bahwa sebagian sahabat telah melakukan ijtihad terhadap beberapa kasus dan kemudian disepakati Rasul hasil ijtihadnya.  Hadis Nabi juga menyatakan :

اذا اجتهد الحاكم فاصاب فله اجران واذا اجتهد فاخطا فله اجر واحد

Artinya:

“Apabila hakim berijtihad kemudian benar maka dia mendapat dua pahala.  Dan apabila dia berijtihad kemudian keliru, maka dia mendapat satu pahala” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu pendapat sahabat tersebut di atas sesungguhnya mencela ra’yu yang didasarkan kepada hawa nafsu dan hanya kepentingan pribadinya saja.  Ra’yu yang mentakwilkan nash-nash kitab atau sunnah Rasul, ra’yu yang menghancurkan prinsip-prinsip syara dan ketetapan-ketetapan nash, dan inilah yang dimaksud oleh ibnu Mas’ud dengan ucapannya, karena memang qiyas yang menghalalkan yang diharamkan Allah atau mengharamkan yang dihalalkan Allah adalah qiyas yang bathil.  Karena qiyas hanya digunakan apabila tidak ada nash tentang hukumnya.

  • Qiyas adalah cara ijtihad yang membawa kepada perbedaan pendapat dan pertentangan di dalam hukum, karena qiyas didasarkan kepada instinbath ‘illat pada pokok ini sangat tergantung kepada pemahaman akal dan karenanya pasti membawa perbedaan hukum dan pertentangan, sehingga satu kasus bisa diberikan dua macam hukum yang berbeda.  Disamping itu, di dalam syari’ah Islamiyah kita dapatkan perbedaan hukum di antara yang sama dan persamaan hukum diantara yang berbeda; seperti wanita yang sedang menstruasi, dia tidak boleh shalat dan juga puasa, tetapi untuk puasa, wajib qadla sedangkan shalatnya tidak wajib diqadla.  Jawaban terhadap alasan ini adalah bahwa perbedaan pendapat para mujtahid di dalam hukm juz’iyyah far’iyyah yang didasarkan kepada qiyas tidaklah membawa mafsadah, karena perbedaan tersebut di dalam far’iy juz’iy yang amalli bukan di dalam pokok (ushul) agama, bukan dalam aqidah; masalahnya bagaimana menyelesaikan perbedaan pendapat itu agar bisa diambil manfaatnya menuju kemaslahatan.  Sebab perbedaan pendapat sebagai hasil kreatiivitas manusia suatu kenyataan bahkan jadi rahmatul ummah.

Apabila dipahami secara logis dan jujur serta tidak mengorbankan prinsip. Adapun di dalam syari’ah ada yang sama tapi hukumnya berbeda dan ada yang berbeda tapi hukumnya lain, karena aspek lain misalnya: manusia hukumnya adalah sama apabila ditinjau dari segi kemanusiaanya, akan tetapi manusia itu berbeda hukumnya apabila ditinjau dari segi jenisnya, laki-laki dan perempuan dari kemampuan akalnya anak-anak, rusyd dan baligh. Oleh karena itu, yang nampaknya berbeda tapi hukumnya sama adalah didasarkan kepada persamaan hukum dan yang nampaknya sama tapi hukumnya berbeda adalah didasarkan kepada perbedaan hukum, Ibn Qayyim di dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in membahas panjang lebar tentang ini.

Dari paparan tersebut diatas, jelaslah kiranya bahwa alasan-alasan jumhur lebih kuat dan pendapatnya lebih patut diikuti, mengingat banyaknya masalah-masalah  di dalam kehidupan manusia yang terus timbul dan berkembang ini yang bisa diselesaikan dan dipecahkan dengan menggunakan qiyas sehingga dengan demikian hukum Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin yang kekal dan abadi terus responsif terhadap perkembangan masyarakat.

BAB III

KESIMPULAN

  1. Qiyas adalah mempersamakan suatu hukum atau satu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran ada persamaan ‘illaat hukumnya dari kedua peristiwa tersebut.
  2. Qiyas sebagai sumber hukum hal ini dicontohkan dalam ayat yang mengharamkan khamar dalam surat al-Maidah ayat 90, dalam ayat tersebut al-Qur’an secara langsung terdapat ‘illat dalam peristiwa khamar tersebut adalah memabukkan.  Dengan demikian khamar itu hukum asal nya haram.  Selanjutnya pada masa setelahnya terdapat minuman  brandi dan  whisky.  Kedua minuman itu dapat diambil hukumnya dengan berdasarkan kepada  qiyas dengan ayat al-Qur’an yang mengandung kasus  khamar, karena kedua minuman itu memiliki ‘illat yang sama yaitu sama-sama memabukkan, maka brandi dan whisky mengandung hukum yang haram karena kedua kasus tersebut memiliki ‘illat yang sama yaitu memabukkan.  Dengan demikian qiyas tersebut menjadi sumber hukum bagi kasus yang sama.   Lebih lanjutnya arak putih dan, tuak  sama-sama memabukkan, karena sama-sama memabukkan maka dapat menjadikan qiyas sebagai sumber hukum tersebut dapat diterapkan kepada minuman arak putih dan tuak artinya penetapan hukum tersebut diqiyaskan kepada whisky karena memiliki qiyas sama yaitu sama-sama memabukkan sehingga qiyas itu dijadikan sumber hukum, dengan qiyas yang sama- sama memabukkan sehingga qiyas bisa dijadikan sumber hukum.

Qiyas dalam pengertian di atas merupakan salah satu metode hukum islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian ulama menjadikan qiyas sebagai sumber hukum ke empat setelah al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma.

  1. Qiyas sebagai Metodologi, ialah  cara menetapkan hukum itu harus berdasarkan rukun dan syarat qiyas, kalau tidak ada maka tidak bisa diambil hukumnya.  Metodologi sama dengan turuqul istinbat. Qiyas sebagai metode istinbath al-hukm pada hakikatnya adalah pencarian dan penetapan ‘’illat. Dengan demikian, pembahasan ‘illat dalam qiyas ini menjadi sangat penting dalam rangka pewujudan ada atau tidaknya hukum (al-hukm yadur ma’a ‘illatihi wajudan wa ‘adaman), maka qiyas identik dengan ijtihad.

Qiyas pada dasarnya merupakan penerapan hukum yang terdapat dalam ashal kepada far’un (cabang), yang belum terdapat di dalamnya sesuatu hukum, qiyas dapat di laksanakan apabila di dalam ashal dan far’un itu terdapat kesamaan ‘illat.

            Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa proses menetapkan hukum melalui qiyas bukanlah berarti menetapkan hukum dari awal melainkan hanya menyingkap dan menjelaskan hukumnya yang ada pada suatu kasus yang belum jelas  hukumnya melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat dari suatu kasus atau kejadian yang dihadapi.  Jika terdapat kesamaan ‘illat dengan hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum atas kasus yang dihadapi itu sebenarnya telah ditetapkan oleh nash, hanya saja hukum tersebut baru ditemukan dengan cara analogi atau qiyas.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT Raja Grafindo

Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000 

Ahmad Hasan, Qiyas, Penalaran Analogis di dalam Hukum islam, Penerbit Pustaka Bandung, cet. I Tahun 2001

Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008

‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqh Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis, (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, Cet. III, 2010

Abdul Wahab Khalaf, Mashadir al-Tasyri al-Islamy fiy Ma LaNashasha fih Dar al-Qalam, Kuwait,1972

Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsat

Beni Ahmad Saebani, Fiqh Siyasah Pengantar Ilmu Politik Islam, (Bandung, CV Pustaka Setia, Cet I, 2008

Disertasi Prof. Dr.I. Nurol Aen, MA, Konsep Mutsawabit al-Qadhi Abdu al-Jabbar dan relevansi dengan dasar teologinya, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia Bandung, cet. IV, Tahun 2010

Satria Efendi, Ushul Fiqh, Kencana Jakarta

Romli SA, Ushul Fiqh, Kencana Jakarta, cet. Pertama, 2017

Wahbah Al-zuhaily, Ushul al-fiqh, Daar al-fikr, Tahun 1986

Imam Awaludin dkk,  Ushul Fiqh,Ponpes Gontor Ponorogo, 2011

Ibnu Subki, Jam’u al-jawami’

Muhammad Idris al-Syafi’i, al-Risalah, Maktabat Dar al-Turas, Kairo

Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam, Piara Bandung, 1993

Hanafi A. Ushul Fiqh, Bulan bintang, Jakarta, 1980

Umar, A. Mu’in dkk, Ushul Fiqh, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama, Jakarta

Yahya, Muhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Al-Ma’arif, Bandung

Zahroh, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1973

[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Kencana Jakarta), 120, lihat Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Kencana Jakarta Cet I Tahun 2017), 157

[2] Mujiyo, Metodologi Syarah Hadis, (Bandung , ZIP Books, 2017), 147

[3] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008

[4] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 121

[5] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 136-140

[6] Amir syarifuddin, Ushul fiqh,Kencana Prenada Grouf, cet. Ke-4. Tahun 2008 hal. 237-241

[7] Disertasi Prof. Dr.I. Nurol Aen, MA, Konsep Mutsawabit al-Qadhi Abdu al-Jabbar dan relevansi dengan dasar teologinya, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998

[8] Ibid.

[9] Qiyas bukan hanya dipakai dikalangan ahli hukum islam. Akan tetapi, dikalangan ilmu kealaman pun dipakai qiyas ini. Qiyas dalam ilmu kealaman berarti ukuran, yakni mengukur sesuatu dengan satuan bilangan tertentu untuk mengetahui kadar yang terkandung oleh satuan bilangan tersebut. Pada mulanya, ukuran ini dipakai dalam ilmu-ilmu teoritis seperti ilmu jiwa.

[10]Muhammad Idris al-Syafi’I, al-Risalat. Maktabat Dar al-Turas, Kairo, 1979, hlm. 476-477. Dikutip dari Disertasi Prof. Dr.I. Nurol Aen, MA, Konsep Mutsawabit al-Qadhi Abdu al-Jabbar dan relevansi dengan dasar teologinya, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998

[11] Disertasi Prof. Dr.I. Nurol Aen, MA, Konsep Mutsawabit al-Qadhi Abdu al-Jabbar dan relevansi dengan dasar teologinya, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998

[12] Romli SA, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh Metodologi Penetapan Hukum Islam, (Depok, Penerbit Kencana 2017), 144

[13] Disertasi Prof. Dr.I. Nurol Aen, MA, Konsep Mutsawabit al-Qadhi Abdu al-Jabbar dan relevansi dengan dasar teologinya,(Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998), 222

[14]  Disertasi Prof. Dr.I. Nurol Aen, MA, Konsep Mutsawabit al-Qadhi Abdu al-Jabbar dan relevansi dengan dasar teologinya,(Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998), 212-213

[15]  Disertasi Prof. DR.I. Nurol Aen, MA, Konsep Mutsawabit al-Qadhi Abdu al-Jabbar dan relevansi dengan dasar teologinya,(Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1998), 224-225

[16] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 141-148

[17] A. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000, hal. 122-127