Oleh: Hasan Sitorus. Perkembangan jumlah penduduk yang dibarengi dengan pertumbuhan industri yang pesat dewasa ini telah menyebabkan meningkatkan volume limbah domestik dan limbah indutsri yang memasuki lingkungan perairan. Tercemarnya lingkungan perairan dapat dilihat dari indikator fisik, kimia maupun biologi yang sangat diperlukan dalam upaya pengendalian pencemaran perairan. Tidak dapat dipungki bahwa lingkungan perairan adalah tempat yang paling banyak menerima buangan dari aktivitas manusia maupun industri. Di negara berkembang seperti Indonesia, pencemaran lingkungan perairan seperti sungai, danau dan laut dominan disebabkan limbah domestik, sedangkan di negara maju dominan disebabkan limbah industri. Oleh sebab itu pada lingkungan perairan di negara berkembang, jenis limbah yang memasuki lingkungan perairan dominan mengandung limbah organik yang sifatnya dapat terurai secara biologis di alam (biodegradable matter), namun menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas air dan sistem kehidupan akuatik serta pemenuhan kebutuhan air bagi manusia. Terjadinya pencemaran air tentunya dapat diamati atau diukur dari perubahan kualitas air secara fisik, kimiawi dan biologi. Oleh sebab itu, indikator fisik, kimia dan biologi dapat digunakan untuk memperkirakan atau memberikan gambaran tingkat pencemaran perairan, dan langkah-langkah yang diperlukan dalam pengendalian pencemaran. • Indikator Fisik Perairan yang mengalami pencemaran, beberapa parameter fisik yang dapat digunakan secara praktis untuk mengetahui tingkat pencemaran perairan adalah parameter kekeruhan (turbidity), bau (odors) dan warna (colours). Perubahan sifat fisik air menjadi keruh atau sangat keruh dipastikan sudah terjadi pencemaran air akibat partikel tersuspensi atau terlarut dalam air. Perubahan kekeruhan air sangat mudah diamati pada perairan sungai akibat aktivitas manusia di sepanjang daerah aliran sungai ataupun faktor hidrometeorologi. Kekeruhan air yang tinggi jelas berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota perairan, dan terganggunya penggunaan air untuk kebutuhan manusia. Demikian juga timbulnya bau dari air khususnya bau telur busuk (belerang) merupakan indikator sudah terjadinya penguraian bahan organik dalam air dalam kondisi anaerobik, karena sudah dihasilkan gas hidrogen sulfida (H2S). Oleh sebab itu, bila kita melintas di sekitar lingkungan perairan dan tercium bau belerang, sudah dapat dipastikan bahwa perairan tersebut telah mengalami pencemaran berat dan sudah berkembang mikroba pengurai tanpa oksigen. Parameter fisik lainnya yakni warna air juga dapat digunakan sebagai indikator pencemaran perairan. Bila air berubah warnanya menjadi merah, hijau atau kuning, sudah dapat dipastikan bahwa perairan sudah mengalami pencemaran akibat limbah industri yang mengandung zat warana atau akibat limbah domestik dan limbah pertanian yang mengandung limbah organik yang menyebabkan penyuburan yang berlebihan (Eutrophication), sehingga terjadi ledakan populasi fitoplankton jenis tertentu (blooming algae) yang menyebabkan perubahan warna air. Bila yang mengalami ledakan populasi (blooming) adalah jenis alga hijau (Chlorophyceae) maka warna air akan berubah menjadi hijau, dan bila yang blooming adalah alga merah (Rhodophyceae) maka warna air menjadi merah seperti darah, dan bila yang blooming adalah alga keemasan (Chrysophyceae) maka warna air menjadi kuning. Perubahan warna air akibat zat warna tidak berlangsung laama hanya hitungan jam karena zat warna tersebut segera hanyut ke daerah hilir. Berbeda dengan perubahan warna air akibat blooming algae, akan terjadi dalam beberapa hari hingga populasi fitoplankton mati sesuai siklus hidupnya. • Indikator Kimia Berbeda dengan indikator fisik dan biologi yang dapat diamati secara visual, maka indikator kimia harus dilakukan pengukuran. Parameter kimia yang praktis digunakan untuk menentukan tercemar tidaknya atau berat tidaknya tingkat pencemaran perairan adalah tingkat keasaman air (pH), kadar oksigen terlarut (DO), dan beban bahan organik (BOD). Tingkat keasaman (pH) air yang normal atau air bersih adalah sekitar 7, sehingga bila hasil pengukuran pH meter dibawah 7 (kondisi asam) atau di atas nilai 7 (kondisi basa) berarti sudah terjadi pencemaran air akibat bahan-bahan kimia atau garam yang merubah pH air. Perlu diperhatikan, air tawar seperti massa air sungai dan danau lebih sensitif mengalami perubahan pH dibanding air laut, karena massa air tawar memiliki kapasitas penyangga yang rendah terhadap asam dan basa. Bila pH sangat rendah misalnya 3 – 5 atau sangat besar 10 – 12 maka dapat dipastikan perairan tersebut sudah mengalami pencemaran berat akibat limbah kimia, dan perlu segera dilaporkan ke instansi terkait untuk pengendaliannya. Demikian juga parameter kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) juga sering digunakan untuk menentukan apakah perairan sudah tercemar berat atau tidak. Bila kadar DO peraian sudah lebih kecil dari 3 mg/l, maka dapat dipastikan perairan itu sudah tercemar berat oleh limbah organik. Kadar DO < 3 mg/l merupakan kadar kritis terjadinya kematian massal ikan atau biota dalam perairan. Kadar DO normal pada suhu 25 – 27 oC adalah 5 – 7 mg/l. Parameter BOD (Biological Oxygen Demand) yang mengindikasikan beban bahan organik dalam perairan juga dapat digunakan untuk menentukan level pencemaran perairan. Air bersih atau air tawar normal mempunyai BOD sebesar 0 – 7 mg/l, dan bila perairan mengalami pencemaran sedang maka kadar BOD berkisar 7 – 15 mg/l, dan pencemaran berat bila kadar BOD sudah lebih dari 15 mg/l. Nilai BOD dapat diperoleh dengan menggunakan BOD meter dan hasilnya dapat dibandingkan dengan Baku Mutu Kualitas Air. • Indikator Biologi Kehadiran beberapa jenis hewan makro dan mikro dalam air dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran air. Ditemukannya Cacing Sutera (Tubifex), dan lintah di suatu perairan sudah dapat dipastikan terjadinya pencemaran perairan dari limbah organik. Hewan makro air jenis Cacing Sutera menunjukkan perairan sudah tercemar berat limbah organik, sedangkan kehadiran Lintah dalam air menunjukkan terjadinya pencemaran air dalam level sedang. Oleh sebab itu, ditemukannya lintah di perairan Danau Toba sudah dapat dipastikan bahwa Danau Toba sudah mengalami pencemaran limbah organik pada tingkat sedang, yang kemungkinan besar berasal dari limbah domestik, limbah kegiatan perikanan, peternakan dan industri pariwisata sekitar Danau Toba. Oleh sebab itu, perlu perhatian serius dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) pengembangan kawasan Danau Toba sebagai destinasi wisata internasional untuk mengendalikan sumber limbah organik ke perairan danau tersebut. Selain hewan makro, jenis organisme mikro khususnya Coliform juga dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran air akibat kotoran manusia dan hewan. Kehadiran bakteri Eschericia coli dalam air memastikan bahwa perairan itu sudah dimasuki tinja atau fekal manusia dan hewan. Kehadiran mikroba ini selain dapat menimbulkan berbagai penyakit yang berhubungan dengan air, juga dapat memicu berkembangnya jenis patogen lain dalam air yang berbahaya bagi manusia. Oleh sebab itu, perlu kewaspadaan bagi setiap anggota masyarakat bila sudah mengetahui adanya informasi bioindikator ini dalam penggunaan air baik untuk kebutuhan MCK maupun untuk rekreasi. (Penulis dosen tetap di Universitas HKBP Nommensen Medan dan pemerhati masalah lingkungan). Limbah sisa domestik ataupun industri yang dibuang ke perairan dapat menyebabkan pencemaran. Pencemaran di perairan menurunkan kualitas air, sehingga sulit digunakan sebagai sumber air bagi masyarakat. Limbah cair mengandung partikel-partikel padat terlarut (dissolved solid) dan tersuspensi (suspended solid). Partikel-partikel padat terdiri dari zat organik dan anorganik. Zat organik sebagian besar mudah terurai, namun, zat anorganik tidak mudah terurai yang mengakibatkan bahaya. Oleh karena itu diperlukan uji kadar air, untuk mengetahui kualitas perairan. Parameter yang umum digunakan sebagai indicator kualitas air limbah, diantaranya:
BOD adalah jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme untuk mengoksidasi bahan-bahan yang terlarut dalam air limbah. Semakin tinggi jumlah oksigen yang dibutuhkan akan menunjukkan sisa oksigen terlarut yang semakin kecil. Artinya, air limbah mengandung banyak polutan zat organik. Pencemaran oleh zat organik akan mengakibatkan kematian pada biota air, karena kebutuhan oksigen digunakan untuk proses penguraian. Kondisi perairan yang kekurangan kadar oksigen (anaerobik) akan menimbulkan bau busuk.
COD adalah jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat organik yang sulit terurai dengan menggunakan oksidator kimia. Biasanya sengaja ditambahkan untuk menguraikan zat-zat organik yang kompleks menggunakan kalium bikarbonat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat.
Secara fisika, zat yang tersuspensi adalah zat organik maupun zat anorganik yang melayang dalam air dan menyebabkan air keruh. Kekeruhan air dapat menyebabkan pendangkalan dan menghalangi proses fotosintesis mikroorganisme karena sinar matahati yang sulit menembus ke dasar perairan. Oleh karena itu, limbah cair dengan kadar zat tersuspensi tinggi tidak boleh dibuang langsung ke perairan. Pemerintah telah menetapkan baku mutu air limbah yang dapat dibuang ke dalam perairan. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P-16/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/4/2019 telah ditetapkan baku mutu air limbah dari 21 jenis industri. Nilai BOD, COD, dan TSS sangat menentukan apakah masih tergolong aman atau tidak jika dibuang ke perairan. Synergy solusi member of Proxsis Group sebagai penyedia solusi di bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Lingkungan dan Energi menyediakan training-training untuk pengolahan air, penjernihan air, pemanfaatan air, dan lain-lain. Sumber: http://www.indonesian-publichealth.com/ |