Berdasarkan data diatas rata-rata hasil tangkapan ikan selama satu minggu adalah

Berdasarkan data diatas rata-rata hasil tangkapan ikan selama satu minggu adalah
Penelitian æData Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang IndonesiaÆ di Kelurahan P. Abang yang termasuk dalam wilayah administrasi Kota Batam dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman (baik berupa data kuantitatif maupun informasi kualitatif) mengenai kondisi kehidupan masyarakat terkait dengan pemanfaatan sumber daya terumbu karang dan biota yang hidup di dalamnya. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder, dimana data primer diperoleh dengan menggunakan pendekatan kuantitatif (melalui kegiatan survei) dan kualitatif (wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus dan kajian bersama). Berbagai informasi mencakup kondisi fisik daerah/wilayah,  keadaan penduduk, pengelolaan sumberdaya laut, aspek produksi dan pemasaran serta degradasi sumberdaya laut karena faktor internal, eksternal dan struktural.Hasil penelitian memperlihatkan bahwa mayoritas penduduk di Kelurahan P. Abang memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Kondisi ini adalah terkait dengan karakteristik wilayah kepulauan yang memiliki kawasan terumbu karang yang tergolong baik dan potensi sumberdaya laut sangat besar. Potensi sumberdaya laut yang besar memberikan keuntungan bagi masyarakat. Baik nelayan, tauke maupun penampung memanfaatkan sumberdaya laut sebagai mata pencaharian utama.   Disamping itu, pemerintah yang merupakan pihak luar, juga memanfaatkan sebagian wilayah laut Kelurahan P. Abang sebagai lokasi pengembangan wisata bahari. Pihak lain yang juga memanfaatkan kekayaan sumberdaya laut di wilayah kelurahan ini adalah pendatang (baik untuk sumber pendapatan maupun hanya sekedar menyalurkan hobi memancing).Penangkapan ikan oleh nelayan pada umumnya dilakukan dengan menggunakan alat-alat tangkap yang tergolong sederhana, seperti bubu, kelong, pancing, candit dan cedo cumi, dan juga jaring. Kegiatan melaut tidak dilakukan setiap hari, tetapi hanya sekitar 3-5 hari, disamping juga selalu pulang hari (pergi dan pulang setiap hari, pada umumnya dari sore hingga pagi hari). Dengan kegiatan melaut seperti ini, rata-rata pendapatan nelayan tergolong rendah. Hasil survei terhadap 100 rumah tangga nelayan memperlihatkan, besar pendapatan  rata-rata rumah tangga adalah Rp 1.340.314,-/bulan, tetapi besar pendapatan bervariasi menurut musim. Pada saat musim banyak ikan (biasanya terjadi pada musim timur, terkadang juga musim barat), ratarata pendapatan nelayan adalah Rp 1.595.390,-/ bulan, sedang pada musim pancaroba hanya sebesar Rp. 972.000,- per bulan dan pendapatan terendah terjadi pada musim sulit/kurang ikan (Rp.719.344,- per bulan). Pada musim utara terjadi musim ikan dingkis (selama 3 hari) yang memiliki nilai jual mahal hingga mencapai puluhan juta rupiah, tetapi tampaknya tidak masuk dalam perhitungan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan. Hal ini terkait dengan keterbatasan informasi yang diperoleh dari hasil survei melalui dua pertanyaan, yaitu pendapatan sekali melaut dan berapa kali melaut dalam satu minggu (untuk setiap musim). Dari dua pertanyaan tersebut kemudian dipakai untuk menghitung rata-rata pendapatan rumah tangga per bulan menurut musim. Kemungkinan lain adalah panen dingkis dalam jumlah besar hanya dialami oleh nelayan yang mempunyai kelong luas dan tidak termasuk sebagai responden. Lebih lanjut, pendapatan per kapita/bulan dari hasil survei adalah Rp 328.791,-.Pendapatan yang rendah tampaknya diikuti dengan tingkat pengeluaran yang rendah pula, yaitu Rp. 1.203.874,-/bulan (Rp. 285.100,-/bulan/kapita). Pengeluaran untuk kebutuhan pangan adalah Rp. 839.513,-/bulan, sedang untuk kebutuhan non-pangan sebesar Rp. 364.360,-/bulan. Pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan pangan lebih besar daripada untuk kebutuhan non-pangan, mengindikasikan bahwa masyarakat nelayan Kelurahan P. Abang masih tergolong penduduk kurang mampu. Pengeluaran untuk kebutuhan pangan terbanyak adalah untuk jajan yang merupakan kebiasan umum pada masyarakat nelayan. Pengeluaran rumah tangga yang tergolong tinggi pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan memp erpaiki atau membeli alat-alat tangkap. Untuk memenuhi kebutuhan ini, biasanya rumah tangga nelayan meminjam pada tauke, dimana pinjaman dikembalikan dengan uang hasil tangkapan yang juga dijual pada tauke tersebut. Meminjam pada tauke, bahkan juga dilakukan jika mereka sedang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan, terutama pada musim sulit/kurang ikan. Apabila melihat pengeluaran rata-rata per kapita yang lebih tinggi (Rp 296.892) daripada garis kemiskinan untuk Kota Batam (Rp 178.016,-), dapat diketahui angka kemiskinan diantara responden yang hanya sekitar 23 persen.Tingkat kesejahteraan rumah tangga nelayan yang terpilih sebagai sampel pada umumnya masih tergolong rendah. Meskipun sekitar 80 persen rumah tangga responden mempunyai armada tangkap perahu bermotor dengan kekuatan mesin rata-rata 12-20 PK dan berbagai jenis alat tangkap, pada umumnya mereka tidak memiliki tabungan, baik berupa uang maupun barang, (seperti emas atau jenis barang berharga lainnya). Hal ini mungkin terkait dengan kebiasaan mereka yang cenderung konsumtif, disamping faktor alam (laut) yang menjadi faktor kemudahan bagi nelayan untuk dijadikan sebagaiÆladangÆ perolehan pendapatan yang tidak pernah habis. Namun demikian, ketersediaan sumberdaya laut semakin menipis karena ada pihak-pihak yang memanfaatkannya secara berlebihan dan cenderung merusak ekosistem terumbu karang sebagai lingkungan hidup dan berkembangbiaknya ikan dan biota laut lain.Tauke, adalah salah satu pihak yang memanfaatkan sumberdaya laut secara berlebih dan cenderung merusak. Tauke yang semula hanya berperan sebagai pembeli ikan dari nelayan yang kemudian memasarkannya ke Kota Batam dan Singapura, telah sekitar 10 tahun terakhir juga melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan armada tangkap kapal pukat trawl. Penggunaan alat tangkap seperti ini membawa dampak buruk terhadap ekosistem terumbu karang. Kerusakan karang di wilayah Kelurahan P. Abang dikatakan penduduk juga akibat ulah pendatang (pada masa lalu) dan sebagian kecil nelayan dalam kelurahan yang menggunakan bom untuk menangkap ikan. Sebaliknya, hampir semua nelayan yang umumnya menggunakan berbagai alat tangkap sederhana mengatakan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang mereka lakukan tidak merusak terumbu karang. Pengetahuan mereka tentang kondisi terumbu karang yang dikatakan æada kerusakan, tetapi tidak parahÆ tampaknya sejalan dengan hasil penelitian P2O-LIPI pada tahun 2004 yang menemukan bahwa tutupan karang di kebanyakan stasiun penelitian masih berada di atas 60 persen. Lebih lanjut, sebagian besar informan dalam diskusi kelompok terfokus maupun PRA (partisipatory rapid appraisal) juga memiliki pengetahuan luas tentang penyebaran lokasi terumbu karang hidup dan terumbu karang mati, demikian pula tentang manfaat/kegunaannya. Pengetahuan yang sangat baik seperti ini sangat kondusif terhadap pelaksanaan program COREMAP.Pengoperasian armada pukat trawl, selain dinilai telah merusak terumbu karang, juga telah memunculkan konflik antara nelayan dan tauke. Konflik terjadi karena kapal pukat sering memasuki wilayah penangkapan nelayan tradisional, sehingga hasil tangkapan nelayan menjadi menurun selama beberapa tahun terakhir.Penurunan hasil tangkapan nelayan menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi biofisik sumberdaya laut. Meskipun tidak ditemukan adanya penurunan jenis SDL, dalam arti hingga kini belum ada jenis SDL yang punah dari perairan wilayah perairan P. Abang, lokasi penangkapan sudah menjadi semakin jauh. Perubahan wilayah tangkap ini tampaknya terkait dengan kerusakan terumbu karang, terutama yang berada di sekitar pulau-pulau yang lokasinya tidak jauh dari permukiman penduduk. Keadaan ini kemungkinan besar terkait dengan berkurangnya luas kawasan mangrove dan terumbu karang di wilayah yang berada tidak jauh dari pantai. Berbagai kegiatan manusia merupakan pengaruh/faktor-faktor internal terjadinya degradasi sumber daya laut di wilayah Kelurahan P. Abang, terutama terkait dengan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan dan alat tangkap yang merusak. Walaupun penggunaan bom dan racun sudah jarang dilakukan, dua jenis bahan tangkap ini biasa digunakan oleh pendatang pada masa lalu yang diperkirakan telah berimpilkasi pada kerusakan terumbu karang. Kini, penggunaan pukat harimau makin banyak, sehingga menambah kerusakan terumbu karang. Dari pengaruh eksternal, permintaan ikan dari pasar internasional telah mempengaruhi pengusaha ikan untuk menambah hasil tangkapan, karena pasokan dari nelayan dianggap kurang. Peningkatan kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan cara-cara yang merusak, sehingga menyebabkan terjadinya degradasi sumberdaya laut. Lebih lanjut, meskipun berbagai peraturan beberapa peraturan telah ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun Kota Batam (sebagai faktor struktural terkait dengan pengelolaan SDL), penegakkan hukum masih belum diimplementasikan dengan baik. Hal ini berakibat pada pelanggaran-pelanggaran aturan penangkapan ikan yang sulit untuk ditindak dengan tegas, karena pelaku pelanggaran memiliki ôbackingö aparat keamanan.Penelitian ini menyimpulkan bahwa kebanyakan nelayan Kelurahan P. Abang mempunyai kesadaran yang tinggi dalam menjaga kelestarian terumbu karang. Keasadaran ini diwujudkan dalam penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan dan aktivitas penangkapan ikan tidak berlebihan. Aktivitas penangkapan yang dapat  berakibat pada kerusakan terumbu karang justru dilakukan oleh tauke yang merangkap sebagai nelayan pemodal besar yang juga penduduk kelurahan ini, disamping pendatang. Mayoritas nelayan Pulau Abang telah melakukan usaha-usaha untuk menjaga kelestarian terumbu karang di perairan sekitar mereka, misalnya dengan cara mengusir armada-armada yang melakukan penangkapan ikan dengan teknologi yang dapat merusak terumbu karang. Upaya seperti ini tampaknya perlu difasilitasi oleh pemerintah, karena mereka memiliki keterbatasan armada yang mampu untuk mengejar kapal penangkapan ikan milik pendatang yang umumnya berkekuatan besar. Tingginya kesadaran masyarakat dan nelayan seperti ini merupakan potensi yang besar bagi terlaksananya kegiatan Coremap. Masyarakat dapat dimobilisasi untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan, termasuk menjaga dan mempertahankan kelestarian terumbu karang, khususnya, dan ekosistim laut pada umumnya.

http://coremap.oseanografi.lipi.go.id/downloads/041008.jpg