Bagaimana tata cara jual beli ijon dan hukumnya

Jual beli merupakan salah satu aktivitas usaha yang sudah berlangsung cukup lama di masyarakat, dengan peran yaitu penjual sebagai pemilikan benda dan pembeli sebagai kepemilikan ganti. Hal tersebut merupakan hak milik dapat ke tangan pembeli dan suatu barang tidak akan tercapai hanya dengan ijab dari penjual.

Akan tetapi harus dengan adanya qabul dari pihak pembeli, dengan pindahnya hak dari pihak penjual, dalam mengalihkan hak milik terhadap orang lain dengan kompensasi atau imbalan tertentu. Harta dan barang yang diperjual belikan harus dengan yang halal, bukan dengan benda yang haram, atau asalnya dari jalan yang haram.

  1. Pengertian Ijon menurut Empat Mazhab

Sistem jual beli ijon adalah jual beli buah-buahan atau biji-bijian atau hasil tanaman yang masih di pohonnya dan belum siap untuk dipanen. Praktik jual beli ini tidak terjadi pada zaman now saja, tapi terjadi juga di zaman Rasullullah SAW. Jual beli ijon masih sering ditemui di masyarakat pedesaan seringnya berlaku pada buah-buahan, begitu juga dengan biji-bijian dan hasil tanaman lain.

Ketentuan menurut madzhab hanafi telah mempunyai dua makna, yaitu makna khusus dan makna umum, yang dalam jual beli benda yang sudah dipegang sebab apabila dilepaskan akan rusak atau hilang, dengan sesuai kesepakatan di awal.

Menurut maliki dan madzhab syafi’i dianggap sah apabila memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi jika melanggar larangan-larangannya syara atau merugikan kepentingan umum. Jual beli tidak sah karena syarat dan rukunnya seperti jual beli yang tidak ada kejelasannya. Sedangkan madzhab hambali ialah jika barang yang sudah ditukar dengan harta atau menukarkan manfaat yang mubah dengan suatu manfaat yang mubah pula tidak sah untuk selamanya.

  • Jual Beli dengan Sistem Ijon menurut Empat Mazhab

Pertama, Madzhab Hanafi sistem ijon yang dilaksanakan di masyarakat telah diperbolehkan, tetapi pembeli harus segera memetiknya, jika tidak segera dipetik. Maka akad rusak tetapi tidak batal, dan jika pembeli bukan pemilik asli kemudian ia mensyaratkan ketetapan di pohon.

Kedua, Madzhab Maliki tidak memperbolehkan jual beli dengan sistem ijon ini, jika antara penjual dan pembeli tetap menjual dengan cara ini. Dengan syarat harus mengetahui kadar obyek transaksi. Maka jual beli sah dan bersifat lazim, namun makruh.

Ketiga, Madzhab Syafi’i diperbolehkan jual beli dengan sistem ijon ini, akan tetapi dengan memandang ghararnya besar, dan memungkinkan darinya sehingga mengharamkan.

Keempat, Madzab hambali dalam jual beli sistem ijon ini tidak diperbolehkan, yang menjadikan halangan keabsahannya dalam gugurnya buah ataupun serangan hama yag menjadikan akadnya batal.

  • Dasar Hukum Sistem Ijon Menurut Empat Madzhab

Dasar hukum dalam jual beli ijon menurut Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabillah dan Hanafiyah bahwa jual beli buah yang belum terdapat kemanfaatannya, karena belum terbentuk (masih berupa bunga atau belum muncul buah), jika buah tersebut belum layak petik, apabila diisyaratkan harus segera dipetik sah. Maka jual beli ini sangat dilarang oleh ulama karena mempunyai unsur gharar di dalam akad perjanjian jual beli ini. Adapun yang terdapat dalam hadis:

اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Artinya: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi).

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli adalah sebagai berikut:

Pertama, ketentuan tentang pembayaran

  • Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang atau manfaat.
  • Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
  • Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang.

Kedua, ketentuan tentang barang

  • Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai utang.
  • Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
  • Penyerahannya dilakukan kemudian.
  • Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
  • Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya
  • Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

Ketiga, penyerahan barang sebelum atau pada waktunya:

  • Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
  • Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
  • Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
  • Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang, sesuai dengan kesepakatan, ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
  • Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan. Pertama, membatalkan kontrak dan meminta kembali uang.

Keempat, menunggu sampai barang tersedia.

Kelima, pembatalan kontrak. Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua belah pihak.

Keenam, perselisihan. Jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui badan arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan.

Sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangga hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal. Namun dalam dasar hadis nabi yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para Fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut :

  • Jika akadnya mensyaratkan harus dipetik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad kecuali ada izin dari pihak penjual.
  • Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun maka boleh.
  • Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Saudaraku, semoga Allah merahmati saudara dan membukakan pintu-pintu kebaikan bagi saudara.

Dalam syari’at perniagaan, Islam mengajarkan kita agar senantiasa membangun perniagaan di atas kejelasan. Kejelasan dalam harga, barang, dan akad. Sebagaimana Islam juga mensyari’atkan agar kita menjauhkan akad perniagaan yang kita jalin dari segala hal yang bersifat untung-untungan, atau yang disebut dalam bahasa arab dengan gharar. Yang demikian itu, dikarenakan unsur gharar atau ketidakjelasan status, sangat rentang untuk menimbulkan persengketaan dan permusuhan.

Sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ. رواه مسلم

“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli yang mengandung unsur ketidak jelasan (gharar). (Riwayat Muslim)

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud dari hadits ini dengan berkata: “Larangan mengadakan jual-beli gharar adalah salah satu prinsip utama dalam syari’at perniagaan. Oleh karena itu Imam Muslim mendahulukan hadits ini dibanding hadits-hadits lain yang berkaitan dengan perniagaan.

Model perniagaan yang tercakup oleh hadits ini sangatlah banyak, bahkan tidak terhitung jumlahnya. Di antara bentuk perniagaan yang tercakup oleh keumuman hadits ini ialah: Jual-beli binatang atau budak yang kabur, barang yang belum ada, barang yang belum diketahui kriterianya, dan barang yang penjualnya tidak kuasa untuk menyerah-terimakannya kepada pembeli. Sebagaimana mencakup juga barang yang belum sepenuhnya dimiliki oleh penjual, ikan yang berada di dalam kolam, susu di dalam puting hewan ternak, janin dalam perut induknya, sebagian dari segunduk makanan tanpa ditentukan kadarnya, salah satu baju dari setumpuk baju tanpa ditentukan mana yang dimaksud, dan bentuk-bentu perniagaan lainnya yang serupa. Semua ini adalah perniagaan yang batil, dikarenakan mengandung gharar (ketidak jelasan) tanpa adanya alasan yang dibenarkan.

Kadang kala sebagian gharar dimaafkan, terutama bila ada alasan yang dibenarkan. Berikut beberapa misal dari gharar yang dibenarkan: anda dibolehkan membeli atau menjual rumah, walaupun anda atau pembeli tidak mengetahui pondasinya. Anda juga dibolehkan untuk membeli atau menjual kambing yang sedang bunting, sehingga dalam putingnya terdapat susu, walaupun anda tidak mengetahui seberapa kadar susu yang ada di dalamnya. Yang demikian itu dikarenakan status dan hukum pondasi mengikuti bagian dari rumah yang nampak oleh penglihatan. Sebagaimana keadaan juga menuntut kita untuk membolehkan jual-beli rumah walau tanpa mengetahui pondasinya, karena bila kita syaratkan agar pondasi rumah diketahui oleh kedua pihak, pasti merepotkan mereka berdua. Demikian juga halnya dengan menjual hewan bunting yang telah mengeluarkan susu dari putingnya.

Para ulama’ telah menjelaskan batasan batal dan tidaknya jual-beli dikarenakan adanya gharar bahwa: Bila keadaan mengharuskan kita untuk mengesampingkan unshur gharar yang ada, dikarenakan gharar itu tidak mungkin untuk dihindari kecuali dengan mendatangkan hal-hal yang sangat menyusahkan, maka gharar yang demikian itu adanya dianggap gharar yang remeh, sehingga tidak mempengaruhi hukum jual-beli. Sebaliknya, bila gharar itu dapat dihindarkan tanpa mendatangkan kesusahan yang besar, maka jual-beli yang mengandung gharar menjadi terlarang alias batal. Dan perselisihan para ulama’ pada sebagian akad yang ada kaitannya dengan masalah ini bersumber dari perbedaan mereka dalam menerapkan ketentuan ini. Sebagian mereka beranggapan bahwa unshur gharar yang terdapat pada akad itu adalah kecil, sehingga tidak layak untuk dipertimbangkan, dan hasilnya, akadnyapun dianggap sah. Sebaliknya, sebagian lainnya menganggap besar gharar itu, sehingga iapun menganggap tidak sah akad itu, wallahu a’alam.

Di antara bentuk jual-beli yang mengandung gharar dan yang nyata-nyata telah DILARANG oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah: jual-beli dengan sistem IJON.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى تُزْهِىَ قَالُوا وَمَا تُزْهِىَ قَالَ تَحْمَرُّ. فَقَالَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ فَبِمَ تَسْتَحِلُّ مَالَ أَخِيكَ؟. متفق عليه

Dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan buah-buahan (hasil tanaman) hingga menua? Para sahabat bertanya: “Apa maksudnya telah menua?” Beliau menjawab: “Bila telah berwarna merah.” Kemudian beliau bersabda: “Bila Allah menghalangi masa penen buah-buahan tersebut (gagal panen), maka dengan sebab apa engkau memakan harta saudaramu (uang pembeli)?” (Muttafaqun ‘alaih)

Dan pada riwayat lain sahabat Anas bin Malik juga meriwayatkan:

أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ.

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan anggur hingga berubah menjadi kehitam-hitaman, dan penjualan biji-bijian hingga mengeras.” (Riwayat Abu Dawud dan lainnya)

Dengan demikian, jelaslah bahwa sistem ijon adalah penjualan yang terlarang dalam syari’at islam, baik sistem ijon yang hanya untuk sekali panen atau untuk berkali-kali hingga beberapa tahun lamanya.

Sebagai solusinya, bisa ditempuh jual beli salam. Yaitu pemesanan dengan pembayaran yang dilakukan lunas di muka; pada saat akad dilakukan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ أَسْلَفَ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ. متفق عليه

“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan dengan pembayaran di muka (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘alaih)

Beda antara sistem ijon dengan akad salam ada pada beberapa poin berikut:

[1] Penjual memiliki kebebasan dalam pengadaan barang, dapat dari hasil ladangnya dan bisa pula dengan membeli dari hasil ladang orang lain, sedangkan sistem ijon, penjual hanya dibatasi agar mengadakan buah dari ladangnya sendiri.

[2] Pada akad salam, penjual bisa saja mendapatkan hasil panen yang melebihi jumlah pesanan, sebagaimana dimungkinkan pula hasil panen ladangnya tidak mencukupi jumlah pesanan. Akan tetapi itu tidak menjadi masalah yang berarti, sebab ia dapat menutup kekurangannya dengan membeli dari orang lain. Sedangkan pada sistem ijon, maka semua hasil panen ladang penjual menjadi milik pembeli, tanpa peduli sedikit banyaknya hasil panen. Dengan demikian, bila hasil panennya melimpah, maka penjual merugi besar, sebaliknya bila hasil panen kurang bagus, karena suatu hal, maka pembeli merugi besar pula.

[3] Pada akad salam, buah yang diperjual-belikan telah ditentukan mutu dan kriterianya, tanpa peduli ladang asalnya. Sehingga bila pada saat jatuh tempo, jika penjual tidak bisa mendatangkan barang dengan mutu dan kriteria yang disepakati maka pembeli berhak untuk membatalkan pesanannya. Adapun pada sistem ijon, pembeli tidak memiliki hak pilih pada saat jatuh tempo, apa yang dihasilkan oleh ladang penjual, maka itulah yang harus ia terima.

Dengan mencermati ketiga perbedaan di atas, maka saudara dapat mengetahui bahwa jual-beli dengan cara salam lebih adil dibanding dengan sistem ijon. Pada sistem salam, penjual dan pembeli sama-sama mendapatkan haknya tanpa merugikan pihak yang lain. Sedangkan, pada sistem ijon, biasanya pada saat panen salah satu pihak merasa tertipu atau dirugikan.

Berdasarkan itu, saya menganjurkan agar kita menempuh sistem jual-beli salam dan meninggalkan sistem ijon. Dengan demikian atas izin Allah, perniagaan kita akan diberkahi.

Wallahu a’alam bisshowab.

***

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com