Bagaimana perkembangan wilayah laut di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini

Bagaimana perkembangan wilayah laut di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini

Bagaimana perkembangan wilayah laut di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini
Lihat Foto

Shutterstock

Indonesia

KOMPAS.com - Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Di mana terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang dikelilingi oleh lautan.

Pulau-pulau besar, seperti Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian. Tiap-tiap pulai terdiri dari beberapa provinsi. Saat ini di Indonesia memiliki 34 provinsi.

Tahukah kamu jika dulu dengan wilayah Indonesia yang luas hanya memiliki delapan provinsi?

Wilayah Indonesia awal kemerdekaan

Wilayah Indonesia mengalami perkembangan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, kemampuan ekonomi, serta kemampuan dalam bidang pertahanan keamanan.

Baca juga: Tiga Batas Wilayah Indonesia

Dalam buku Geografi Sejarah Indonesia (2018) karya Yulia Siska, setelah Perang Dunia II berakhir dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 revisi konfigurasi pemerintah diperlukan dan tidak dapat dihindarkan.

Penyesuaian administratif terus berlangsung meski Belanda tidak mendukung permintaan Indonesia untuk merdeka.

Koloni tidak lagi diperintah oleh Gubernur Jenderal dan para menteri negara. Penasehat desentralisasi dihapuskan.

Selanjutnya Ordanansi (peraturan pemerintah) provinsi 1924 diperluas dan ditetapkan delapan provinsi, yakni Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku.

Badan-badan administrasi pra perang seperti karesidenan, kotamadya, dan kabupaten dipertahankan.

Dikutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), jumlah tersebut ditetapkan saat Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945.

Baca juga: Daftar Provinsi di Indonesia dan Ibu Kotanya

Zona laut teritorial pada masa penjajahan Belanda dihitung dengan jarak 3 mil pantai terluar atau garis dasar pulau terluar. Aturan penentuan batas laut teritorial tersebut didasarkan pada Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie (TZMKO) buatan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Sehingga, jawaban yang tepat adalah E.

Bagaimana perkembangan wilayah laut di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini
Bagaimana perkembangan wilayah laut di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini

Peta Indonesia berdasarkan prinsip negara kepulauan “archepelagic principal state”

MNOL – Jakarta, Sejak Republik Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, mengukuhkan sebuah kedaulatan atas tanah-airnya. Hal ini tentu berdampak sistemik pada tata kelola lautan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 yang berlaku saat itu. Kurun waktu 1945-1960 terjadi gejolak politik dalam negeri yang berujung dengan perombakan sistem tata kelola lautan Republik Indonesia. Dengan berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) tertanggal 27 Desember 1949 menimbulkan ketegangan diberbagai aspek kehidupan bangsa dan negara. Pertentangan antara Pemerintah RIS di Jakarta dan Pemerintah RI di Yogyakarta bercampur dan saling mempengaruhi dalam struktur wilayah negara terutama wilayah perairan Indonesia dan hukum tata lautan Indonesia.

Pemberontakan untuk kembali kepada semangat dan jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 terus menggelora menentang “kaum Federalis” terjadi dimana-mana. Hingga tertanggal 17 Agustus 1950 berdiri dan lahir kembali Republik Indonesia sesuai dengan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 dan kemudian Indonesia diterima sebagai anggota PBB ke-60 pada sidang umum PBB tanggal 28 September 1950.

Perjuangan Republik Indonesia melawan sisa kolonial juga diperkeruh oleh pemberontakan-pemberontakan APRA, RMS, PRRI, PERMESTA, dan DII-TII. Inflitrasi asing tidak lepas dari setiap tindakan pemberontakan dalam negeri untuk mengambil alih wilayah kekuasaan kolonial maupun untuk menumbangkan kepemimpinan nasional. Pernyataan PM Juanda pada tanggal 30 April 1958 mengenai pemberontakan PRRI, telah mengungkapkan adanya campur-tangan asing. Berikut pernyataan PM Juanda:

“ PRRI telah secara terang-terangan meminta bantuan SEATO dan menggunakan penerbang-penerbang dan opsir-opsir dari negara-negara asing (Lawrence Allan Pope). Yang tidak kurang berbahaya pula ialah adanya “droppings” senjata-senjata modern di berbagai daerah…..”

Disinilah kita dapat mengkonstatir bahwa pergolakan daerah itu meningkat lagi dalam fase yang sangat berbahaya bagi kehidupan nasional kita, karena fase itu adalah fase “Bahaya Intervensi Asing”

Intervensi asing dalam tata kelola laut berdampak pada pengamanan laut oleh memungkinkan kapal-kapal perang asing dengan leluasa mendekati daerah konflik. Situasi dan kondisi diperumit berkenaan meningkatnya perjuangan membebaskan Irian-Jaya, yang pada waktu itu masih diduduki oleh pihak Belanda. Intervensi asing ini tidak lain adalah buah warisan kolonial Belanda dengan masih berlakunya Ordonasi 1939. Untuk menggantikan Ordonasi 1939, maka pada tahun 1954-1955 tumbuh usaha pemerintah Indonesia untuk melindungi dan mempertahankan Republik Indonesia. Usaha ini dengan membentuk instansi Departemen Pertahanan, dengan slgorde Angkatan Bersenjata.

Merombak Ordonasi 1939

Usaha dari Menteri Pertahanan RI merombak warisan kolonial Territoriale Zeeen Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 atau dikenal Ordonasi 1939 dan menyusun serta menciptakan tata lautan nasional Republik Indonesia tertera dalam suratnya kepada Perdana Menteri tanggal 30 April 1955, kedua tanggal 4 Juni 1956, dan ketiga tanggal 15 Agustus 1956. Maka pada tanggal 17 Oktober 1956 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo membentuk panitia interdepartemental dengan legitimasi Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956 tertanggal 17 Oktober 1956.. Tugas diberikan kepada panitia Interdepartemental atau lebih dikenal dengan Panitia Pirngadi, untuk merancang suatu Undang-Undang tentang Laut Wilayah Indonesia dan Daerah Maritim,  Kemudian tanggal 7 Desember 1957, panitia Interdepartemental berhasil menyelesaikan tugas berupa Rancangan Undang-Undang Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim yang kemudian diserahkan kepada Perdana Menteri.

Hasil daripada RUU tersebut masih mengedepankan pemahaman Ordonasi 1939 yang memandang Indonesia sebagai kumpulan wilayah-wilayah daratan dengan masing-masing laut teritorialnya sendiri atau dapat disebut sebagai land based oriented. Posisi dilematis Pemerintah dan Panitia Interdepartemental menilai kekuatan Indonesia di laut belum memadai untuk melindungi dan mengamankan laut apabila menerapkan asas penentuan laut teritorial berdasarkan asas archipelago. Penolakan asas penentuan laut ini didasarkan pada penentuan garis pangkal laut teritorial pada garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dari suatu asas archipelagic state principle (asas negara kepulauan).

Oleh : itssin | | Source : ITS Online

Kampus ITS, Opini — Indonesia patut berbangga dengan statusnya sebagai negara kepulauan. Alih-alih menjadi batasan, selat dan laut bukanlah pemisah antara satu pulau dengan yang lain. Lebih dari itu, dibalik terwujudnya negara kesatuan dengan wilayah laut yang luas ini, ada perjuangan diplomasi yang harus selalu diingat, yaitu Deklarasi Djuanda.

Deklarasi Djuanda yang dilaksanakan pada 13 Desember 1957 menjadi momen penting bagi kejayaan dan kedaulatan laut Indonesia. Oleh karena itu,  pada masa Presiden Megawati, melalui Keppres No 126/2001 ditetapkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara yang diperingati setiap tahun.

Sebelum adanya Deklarasi Djuanda, wilayah laut Indonesia masih mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Territoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO). Dalam peraturan tersebut, ditetapkan wilayah laut Indonesia sejauh tiga mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau. Dengan aturan ini, kapal-kapal asing bebas berlayar di Laut Jawa, Laut Banda, dan  Laut Makassar yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia (RI).

Tak berlebihan jika bangsa ini patut bersyukur atas jasa Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja yang dengan keberaniannya  menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia tidaklah sebatas zona yang diatur dalam TZMKO 1939. Melainkan, Indonesia menganut prinsip negara kepulauan atau archipelagic state, dimana wilayah lautnya adalah termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia.

Tak dapat dipungkiri, Deklarasi Djuanda membutuhkan perjalanan panjang sebelum diakui oleh dunia. Berbagai penentangan dari negara adidaya, Amerika Serikat, serta Negara Australia menjadi rintangan yang harus dihadapi. Beruntung, perjuangan diplomasi ini tetap diteruskan oleh Dr Hasyim Djalal dan Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja. Hingga akhirnya,  Deklarasi Djuanda diakui dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982.

Dengan diresmikannya Deklarasi Djuanda dalam UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia,  wilayah RI menjadi 2,5 kali lipat menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang saat itu belum diakui secara Internasional. Didasarkan perhitungan 196 garis batas lurus atau straight baselines dari titik pulau terluar, terciptalah garis batas maya yang mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut.

Sekarang, mari kita bayangkan, bagaimana jadinya jika batas-batas RI tidak pernah dideklarasikan?. Pastilah Indonesia tidak dapat mewarisi sepenuhnya wilayahnya seperti saat ini. Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk mempertahankan dan memanfaatkan wilayah NKRI ini?

Ada banyak potensi yang dapat dikembangakan dalam wilayah kemaritiman Idoensia. Luas wilayah laut mencapai 5,8 juta km2 dan merupakan  tiga per empat dari total wilayah negara. Selain itu, terdapat lebih dari 17 ribu pulau dan dikelilingi pantai terpanjang kedua setelah Kanada, sejauh 95,2 ribu km.

Lebih-lebih, menurut pakar ekonomi maritim, Rokhmin Dahuri, potensi total ekonomi sektor kelautan Indonesia mencapai 800 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 7.200 triliun per tahun. Sedangkan kesempatan kerja yang dapat dibangkitkan sekitar empat puluh juta orang. Kini, Indonesia harus mereorientasikan pembangunan nasional dari yang berbasis darat ke laut.

Kuncinya ada pada optimalisasi pemanfaatan potensi laut dan penciptaan pusat pertumbuhan ekonomi yang menyebar di seluruh wilayah nusantara. Melalui hal tersebut, diharapkan tercipta strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan kemampuan Indonesia dalam mendayagunakan potensi ekonomi kelautan secara produktif, masalah pengangguran dan kemiskinan secara otomatis akan terpecahkan.

Ditulis oleh:

Shinta Ulwiya

Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS

Angkatan 2019

Reporter ITS Online