Bagaimana cara Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam melakukan dakwah secara terang-terangan?

Tiga tahun lamanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi, lalu turunlah ayat:

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat," (Terj. QS. Asy Syu'ara: 214)

Maka mulailah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menyeru kaumnya secara terang-terangan di tempat-tempat terbuka untuk menyembah Allah dan mengesakan-Nya. Suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di atas bukit Shafa memanggil kaum Quraisy, hingga orang-orang pun mengerumuninya, di antara mereka terdapat pamannya Abu Lahab, seorang tokoh Quraisy yang paling memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang telah berkumpul, Beliau pun bersabda, “Bagaimana menurut kalian, seandainya saya memberitahukan kalian bahwa di balik gunung ini ada musuh yang sedang menanti kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?” mereka menjawab, “Ya, yang kami ketahui tentang anda adalah kejujuran.” Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan kepada kalian sebelum datang azab yang pedih.” Abu Lahab pun berkata, “Celaka kamu sepanjang hari, apakah karena hal ini kamu kumpulkan kami?” maka terhadap Abu Lahab turunlah surat Al Lahab.

Reaksi orang-orang Quraisy

Ketika turun ayat,

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

"Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik." (Terj. QS. Al Hijr: 94)

Maka dakwah tauhid ini semakin terdengar di pelosok-pelosok Makkah dan Beliau semakin tegas menjelaskan batilnya menyembah berhala, membuatkan permisalan-permisalan yang membuktikan kelemahan berhala serta menerangkan bahwa orang yang menyembah berhala dan menjadikannya seagai perantara antara dia dengan Allah berada dalam kesesatan yang nyata, bangkitlah kemarahan orang-orang Quraisy dan mulailah mereka melancarkan permusuhan terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para pengikutinya.

Bagaimana cara Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam melakukan dakwah secara terang-terangan?
Banyak pengikut Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang disiksa di luar peri kemanusiaan, terutama sekali pengikut yang berasal dari golongan rendah. Sebagaimana yang dialami Yasir dan Sumayyah yang akhirnya mati syahid,  demikian juga yang dialami putera mereka ‘Ammar. Begitu pula siksaan yang ditimpakan Umayyah bin Khalaf dan Abu Jahal kepada Bilal bin Rabaah. Sebelumnya Bilal masuk Islam melalui perantaraan Abu Bakar. Suatu ketika Umayyah memergokinya, lalu ia menimpakan berbagai siksaan kepada Bilal agar ia meninggalkan agama Islam. Namun Bilal menolak dan tetap berpegang teguh dengan agama Islam. Ia pun dibawa ke luar kota Makkah dalam keadaan tubuhnya terikat rantai, setelah itu tubuhnya ditelentangkan di atas pasir-pasir yang panas kemudian diletakkan batu besar di atas dadanya, lalu dihujani dengan cambukan. Namun Bilal berkali-kali hanya mengucapkan “Ahad, Ahad (Allah maha Esa)…, ketika Abu Bakar melihatnya, Abu Bakar pun membelinya dan memerdekakannya di jalan Allah.

Di antara hikmah dari penyiksaan ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kaum muslimin agar tidak mengumumkan keislaman mereka secara terang-terangan dan Beliau pun berkumpul dengan mereka secara diam-diam. Karena jika Beliau berkumpul secara terang-terangan dengan para sahabat, nantinya orang-orang musyrikin akan menghalangi mereka dari Beliau, sehingga Beliau tidak bisa membina mereka (tasfiyah) dan tidak bisa mengajarkan mereka Al Qur’an dan As Sunnah (tarbiyah). Bahkan bisa saja terjadi bentrokan yang mengakibatkan binasanya kaum muslimin, mengingat sedikitnya jumlah mereka. Oleh karena itu, mereka diperintahkan masuk Islam secara sembunyi-sembunyi. Lain halnya dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Beliau tetap berdakwah dan beribadah secara terang-terangan  di hadapan orang-orang musyrik, sekali pun Beliau menerima gangguan dari kaum kaum Kafir Quraisy.

Jakarta -

Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama di usia 40 tahun dan memulai dakwah setelahnya. Cara dakwah Nabi Muhammad SAW awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan akhirnya terang-terangan.

Periode dakwah Rasulullah SAW terbagi menjadi dua, yakni di Mekkah dan Madinah atau sebelum dan setelah hijrah. Perintah dakwah ini beliau jalankan selama 23 tahun, di mana 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun sisanya di Madinah.

Cara Dakwah Nabi Muhammad SAW di Mekkah

Menurut artikel berjudul Karakteristik dan Strategi Dakwah Rasulullah Muhammad SAW pada Periode Mekkah yang terbit di jurnal At Tabsyir, selama 10 tahun pertama berdakwah belum ada kemajuan yang berarti khususnya dalam jumlah umat Islam.

Kegiatan dakwah di Mekkah ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan dakwah di Madinah. Sebab, ada perbedaan kultur hingga kondisi alam di antara keduanya.

Dijelaskan lebih lanjut dalam sumber yang sama, cara dakwah Nabi Muhammad SAW di Mekkah memiliki penekanan yang berbeda daripada dakwah di Madinah. Masyarakat Mekkah yang pada saat itu menyembah berhala memiliki kesetiaan terhadap para leluhurnya terutama dalam penyembahan berhala.

Rasulullah SAW lebih memfokuskan pada keesaan Tuhan karena kondisi masyarakat Mekkah yang belum bertauhid, sehingga beliau merasa perlu membina keyakinan bangsa Arab terutama penduduk Mekkah saat itu.

Secara umum, dakwah Nabi Muhammad SAW di periode Mekkah meliputi dakwah dalam bidang ketuhanan, pendidikan, dan pembinaan baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Cara Dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah

Rasulullah SAW kemudian mendapat perintah untuk hijrah dari Mekkah ke Madinah. Beliau tiba di Madinah pada 12 Rabi'ul Awwal. Menurut buku Pendidikan Agama Islam yang disusun oleh Bachrul Ilmy, setidaknya ada empat substansi dakwah pada periode Madinah.

Keempatnya adalah pembinaan akidah, ibadah, dan mu'amalah kaum muslim, pembinaan ukhuwah atau persaudaraan untuk menyatukan kaum muslim, pembinaan kader-kader perjuangan untuk mempertahankan wilayah dakwah, dan memetakan pertahanan dan sosial untuk menjaga stabilitas Madinah.

Berikut cara dakwah Nabi Muhammad SAW di Mekkah seperti dihimpun dari arsip detikHikmah,

1. Membangun Masjid sebagai Pusat Kegiatan Dakwah

Rasulullah SAW membangun dua masjid yang dijadikan sebagai pusat kegiatan dakwah di Madinah, yaitu Masjid Quba' yang dibangun saat kedatangan pertamanya dan Masjid Nabawi yang kemudian dijadikan untuk mendidik para sahabatnya dan mengatur pemerintahan.

2. Melakukan Perjanjian dengan Kaum Yahudi Madinah

Selama dakwah di Madinah, Rasulullah SAW melakukan perjanjian untuk memperkokoh posisi kaum muslimin dari gangguan penduduk asli, bangsa Arab, maupun Yahudi. Hal ini juga dilakukan tak lain untuk menjaga stabilitas di Madinah.

Perjanjian tersebut kemudian melahirkan Piagam Madinah. Piagam ini berisi sepuluh bab, di antaranya pembentukan ummat, hak asasi manusia, persatuan seagama, persatuan segenap warganegara, golongan minoritas, tugas warga negara, melindungi negara, pimpinan negara, politik perdamaian, dan bab terakhir merupakan penutup.

3. Mempersaudarakan Kaum Muhajirin dan Anshar

Rasulullah SAW juga mempersaudarakan dua kaum muslimin, yakni Muhajirin dan Anshar. Rasulullah SAW menganjurkan untuk kedua kaum tersebut untuk saling memupuk persaudaraan dan melarang adanya sentimen kesukuan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat umat Islam.

4. Membangun Ekonomi Rakyat dengan Mendirikan Pasar

Melansir sumber.belajar.kemdikbud.go.id, Rasulullah SAW mendirikan pasar yang tidak jauh dari Masjid Nabawi untuk membangun perekonomian rakyat sekaligus sebagai sarana dakwahnya. Pasar ini dibangun untuk mendidik umat dalam mengatur roda perekonomian yang adil berdasarkan ajaran Islam.

Pasar Madinah yang menjadi salah satu cara dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah ini kemudian menjadi jantung perekonomian negara Islam yang pertama.

Simak Video "Habib Ja'far, Keturunan Nabi Generasi ke-38"


[Gambas:Video 20detik]
(kri/lus)

Setelah Rasulullah saw berhasil membimbing para sahabat di fase dakwah sembunyi-sembunyi dan membangun masyarakat Muslim generasi awal yang sudah memiliki basis akidah cukup kuat, turunlah ayat yang menyerukan agar beliau berdakwah secara terang-terangan,  


وَأَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ  


Artinya, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. As-Syu’ara [26]: 214-215)


Sesuai perintah Allah Swt, Rasulullah kemudian mengumpulkan kabilah dan kerabat sendiri terlebih dahulu, Bani Hasyim. Mengajak mereaka secara terbuka untuk beriman kepada Allah, memberi peringatan akan pedihnya siksa neraka bagi yang bermaksiat, mengajak untuk menyelamatkan diri mereka dari api neraka dan menjelaskan tanggung jawab diri masing-masing sebagai seorang hamba. (lihat as-Shlallabi, Sirah an-Nabawiyah, hal. 120)


Dari ajakannya itu, beberapa orang menyambut dengan baik dan mengikuti ajakan Nabi Muhammad saw. Mereka adalah dari Bani al-Muthalib bin Abdi Manaf. Jumlah mereka sekitar 45 orang laki-laki.


Di tengah-tengah penyampaian dakwah itu, Abu Lahab-lah orang yang pertama kali menentang. Namun Abu Thalib melindungi Rasulullah dan meminta untuk melanjutkan misinya. Abu Thalib setuju dengan apa yang Nabi serukan. Hanya saja, ia tidak ikut beriman; masih bersikukuh dengan agama warisan nenek moyangnya.


Bangsa Arab terkenal dengan ruh kesukuannya. Sehingga wajar target pertama dalam dakwah terang-terangan adalah kerabat dan kabilahnya Nabi saw sendiri. Dengan demikian, memudahkan Nabi dalam membangun loyalitas dan solidaritas akidah berbasis kesukuan. (lihat as-Shlallabi, Sirah an-Nabawiyah, hal. 121)


Setelah Rasulullah yakin dengan perlindungan pamannya, beliau memberanikan diri untuk menaiki bukit Shafa dan berseru dengan lantang untuk mengumpulkan orang-orang Makkah. “Wahai Bani Fihr! Wahai bani ‘Adi!” seru Muhammad lantang. Mendengar seruan amat penting ini, marga-marga Quraisy pun berkumpul.


Rasulullah sampaikan kepada mereka tentang pedihnya api neraka bagi orang-orang yang bermaksiat. Tiba-tiba, Abu Lahab datang dan mengancam Rasulullah saw. Kelakuan Abu Lahab ini diabadikan dalam al-Qur’an,


تَبَّتۡ يَدَآ أَبِي لَهَبٖ وَتَبَّ


“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS. Al-Lahab [111]: 1)


Pada tahap berikutnya, kemudian turun ayat yang menyerukan agar Rasulullah melebarkan sayap dakwah lebih luas lagi.


فَٱصۡدَعۡ بِمَا تُؤۡمَرُ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡمُشۡرِكِينَ

  
Artinya, “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr [15]: 94)


Setelah ayat ini turun, Rasulullah saw menyampaikan dakwah secara terang-terangan dengan jangkauan lebih luas lagi. Beliau datangi kabilah-kabilah, tempat-tempat berkumpul dan pertemuan kaum musyrikin.


Dakwah beliau disambut dengan baik. Namun masih banyak juga mereka yang belum menerima ajakannya. Sehingga terjadi ‘gap’; saling membenci dan menjauhi antara dua pihak; pihak yang menerima dakwah dengan yang menolak. Melihat kondisi ini, orang-orang Quraisy merasa terganggu.


Hikmah dan Pelajaran


1) Mulailah dari diri sendiri


Seruan dakwah secara terang-terangan ini dimulai dari kerabat Rasulullah sendiri, yaitu Bani Hasyim. Dengan demikian, sebelum menyampaikan kepada orang lain, wahyu yang turun betul-betul tertanam dalam diri sendiri terlebih dahulu. Sehingga lebih siap menerima dasar-dasar, aturan, dan hukum-hukum Allah. (lihat Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, hal. 76) 


Ini merupakan pesan penting. Bahwa sebelum mengajak orang lain, terlebih dahulu diri kita yang diperbaiki. Mulailah dengan diri sendiri. 


Rasulullah saw sendiri pernah bersabda,


ابْدَأْ بِنَفْسِكَ ثُمَّ بِمَنْ تَعُول


“Mulailah dengan dirimu sendiri dan kemudian keluargamu.” (HR Muslim)


Seorang bapak bahasa Arab dari Bani Kinanah, Abul Aswad Ad-Dua’liy (w. 688 M.) berkata dalam syairnya:


يَا أَيُّهَا الرَّجُلُ الْمُعَلِّمُ غيره *** هَلاَّ لِنَفْسِكَ كَانَ ذَا التَّعْلِيْمِ


أَتَرَاكَ تُلَقِّحُ بِالرَّشَادِ عُقُوْلَنَا *** صِفَةً وَأَنْتَ مِنَ الرَّشَادِ عَدِيْمُ


لاَ تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَتَأْتِي مِثْلَهُ *** عَارٌ عَلَيْكَ إِذَا فَعَلْتَ عَظِيْمُ


اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ فَانْهَهَا عَنْ غَيِّهَا *** فَإِذَا انْتَهَتْ عَنْهُ فَأَنْتَ حَكِيْمُ


فَهُنَاكَ يَنْفَعُ إِنْ وَعَظْتَ وَيُقْتَدَى *** بِالْقَوْلِ مِنْكَ وَيَنْفَعُ التَّعْلِيْمُ


“Wahai orang yang mengajari orang lain. Tidakkah kau mengajari dirimu dulu (sebelum orang lain).”


“Pantaskah kau tanamkan pada akal kami “sifat mulia”. Tapi ternyata, engkau kosong dari sifat mulia itu.”


“Janganlah engkau melarang akhlak (yang buruk), tapi kau sendiri melakukannya. Sungguh sangat tercela, jika kau seperti itu.”


“Mulailah dari dirimu, dan lepaskanlah dosanya. Karena engkaulah sang bijaksana, jika kau telah lepas darinya.”


“Saat itulah, nasihat dan didikanmu kan berguna. Begitu pula ucapanmu, akan menjadi panutan.”

Ini juga mempengaruhi persepsi dan kepercayaan kaum Quraisy nantinya. Jika Nabi Muhammad berhasil menyampaikan dakwah di lingkungan keluarganya, tentu akan menjadi penilaian baik bagi orang Quraisy. Sebaliknya, jika Nabi saw gagal di keluarga sendiri, orang Quraisy pasti meragukan; dakwah di keluarga sendiri saja gagal, bagaimana mungkin mau mengajak orang lain?


Namun terbukti, Rasulullah berhasil mengajak orang-orang terdekatnya, baik saat fase dakwah sembunyi-sembunyi ataupun fase awal dakwah terang-terangan.


2) Mengemban amanah publik


Setelah Rasulullah saw mengajak kalangan kerabat sendiri, kemudian beliau melebarkan sayap dakwah lebih luas lagi ke lintas kabilah dan ke banyak tempat perkumpulan umat musyrikin (QS. Al-Hijr [15]: 94).

Ini adalah pesan penting untuk para dai dan ulama, bahwa di samping memiliki tanggung jawab akidah pada diri dan keluarga sendiri, tanggung jawab berikutnya adalah menjaga akidah masyarakat secara luas. Bagaimanapun, ulama adalah para pewaris Nabi.


3) Islam adalah agama rasionalis


Orang-orang Quraisy Mekah yang kafir adalah mereka yang taklid buta pada nenek moyang mereka untuk memuja berhala. Padahal, secara rasional tidak bisa diterima. Mereka menyembah benda mati yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak bisa memberi manfaat dan mudharat. Mereka ciptakan sendiri, lalu mereka pula yang menyembah. Ini merupakan bentuk taklid buta yang nyata.


Islam datang untuk menyudahi taklid buta yang tidak masuk akal itu. Islam mengajak untuk menyembah pada Allah swt. Tuhan yang telah menciptakan mereka sendiri. Tuhan yang memberikan pahala bagi hamba yang taat dan siksa neraka bagi hamba yang bermaksiat. Tuhan yang mampu memberi manfaat dan kemudharatan.


Ini bukti bahwa Islam adalah agama rasionalis. Aturan-aturan syariat yang di bawah oleh Islam bersifat rasional. Memiliki tujuan logis yang sesuai dengan akal sehat manusia. Hanya saja, kadang akal manusia belum sampai untuk menangkap hikmah di baliknya, sehingga sekilas terkesan tidak rasional dalam beberapa aturan agama. (lihat Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, hal. 76)


Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon