Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan menurut arti secara bahasa adalah proses, cara, perbuatan membuat berdaya, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak yang berupa akal, ikhtiar atau upaya (Depdiknas, 2003). Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 2009). Dalam beberapa kajian mengenai pembangunan komunitas, pemberdayaan masyarakat sering dimaknai sebagai upaya untuk memberikan kekuasaan agar suara mereka didengar guna memberikan kontribusi kepada perencanaan dan keputusan yang mempengaruhi komunitasnya (Foy, 1994). Pemberdayaan adalah proses transisi dari keadaan ketidakberdayaan ke keadaan kontrol relatif atas kehidupan seseorang, takdir, dan lingkungan (sadan,1997). Menurut Mubarak (2010) pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai upaya untuk memulihkan atau meningkatkan kemampuan suatu komunitas untuk mampu berbuat sesuai dengan harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan hak-hak dan tanggung jawabnya selaku anggota masyarakat. Pada Pemberdayaan pendekatan proses lebih memungkinkan pelaksanaan pembangunan yang memanusiakan manusia. Dalam pandangan ini pelibatan masyarakat dalam pembangunan lebih mengarah kepada bentuk partisipasi, bukan dalam bentuk mobilisasi. Partisipasi masyarakat dalam perumusan program membuat masyarakat tidak semata-mata berkedudukan sebagai konsumen program, tetapi juga sebagai produsen karena telah ikut serta terlibat dalam proses pembuatan dan perumusannya, sehingga masyarakat merasa ikut memiliki program tersebut dan mempunyai tanggung jawab bagi keberhasilannya serta memiliki motivasi yang lebih bagi partisipasi pada tahaptahap berikutnya (Soetomo, 2006). PEMBAHASAN Konsep Pemberdayaan Masyarakat Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang dipahami. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atau symbol. Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata power yang berarti kekuasaan atau keberdayaan. Konsep pemberdayaan berawal dari penguatan modal sosisl di masyarakat (kelompok) yang meliputi penguatan penguatan modal social (. Apabila kita sudah mem Kepercayaan (trusts), Patuh Aturan (role), dan Jaringan (networking))iliki modal social yang kuat maka kita akan mudah mengarahkan dan mengatur (direct) masyarakat serta mudah mentransfer knowledge kepada masyarakat. Dengan memiliki modal social yang kuat maka kita akan dapat menguatkan Knowledge, modal (money), dan people. Konsep ini mengandung arti bahwa konsep pemberdayaan masyarakat adalah Trasfer kekuasaan melalui penguatan modal social kelompok untuk menjadikan kelompok produktif untuk mencapai kesejahteraan social. Modal social yang kuat akan menjamin suistainable didalam membangun rasa kepercayaan di dalam masyarakat khususnya anggota kelompok (how to build thr trust). Oleh karena itu, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai modal soaial dan kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dan dihubungkan dengan kemampuan individu untuk membuat individu melakukan apa yang diinginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial (Sipahelut, 2010). Pemberdayaan merujuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas dalam mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan keputusan yang mempengaruhi mereka (Suharto 2005). Jimmu, (2008) menyatakan bahwa pengembangan masyarakat tidak hanya sebatas teori tentang bagaimana mengembangkan daerah pedesaan tetapi memiliki arti yang kemungkinan perkembangan di tingkat masyarakat. Pembangunan masyarakat seharusnya mencerminkan tindakan masyarakat dan kesadaran atas identitas diri. Oleh karena itu, komitmen untuk pengembangan masyarakat harus mengenali keterkaitan antara individu dan masyarakat dimana mereka berada. Masyarakat adalah sebuah fenomena struktural dan bahwa sifat struktural dari kelompok atau masyarakat memiliki efek pada cara orang bertindak, merasa dan berpikir. Tapi ketika kita melihat struktur tersebut, mereka jelas tidak seperti kualitas fisik dari dunia luar. Mereka bergantung pada keteraturan reproduksi sosial, masyarakat yang hanya memiliki efek pada orang-orang sejauh struktur diproduksi dan direproduksi dalam apa yang orang lakukan. Oleh karena itu pengembangan masyarakat memiliki epistemologis logis dan yang dasar dalam kewajiban sosial yang individu memiliki terhadap masyarakat yang mengembangkan bakat mereka. Adedokun,et all., (2010) menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif akan menimbulkan partisipasi aktif dari anggota masyarakat dalam pengembangan masyarakat. Ia juga mengungkapkan bahwa ketika kelompok masyarakat yang terlibat dalam strategi komunikasi, membantu mereka mengambil kepemilikan inisiatif pembangunan masyarakat dari pada melihat diri mereka sebagai penerima manfaat pembangunan. Berdasarkan temuan tersebut, direkomendasikan bahwa para pemimpin masyarakat serta agen pengembangan masyarakat harus terlibat dalam komunikasi yang jelas sehingga dapat meminta partisipasi anggota masyarakat dalam isu-isu pembangunannya. Jimu (2008) menunjukkan bahwa pengembangan masyarakat tidak khususnya masalah ekonomi, teknis atau infrastruktur. Ini adalah masalah pencocokan dukungan eksternal yang ditawarkan oleh agen pembangunan pedesaan dengan karakteristik internal sistem pedesaan itu sendiri. Oleh karena itu, agen pembangunan pedesaan harus belajar untuk ‘menempatkan terakhir terlebih dahulu’ (Chambers, 1983 dalam jimu,2008). Secara teori, peran pemerintah pusat dan agen luar lainnya harus menginspirasi inisiatif lokal bahwa hal itu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Passmore 1972 dalam jimu,2008). Dalam prakteknya, top-down perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan harus memberi jalan kepada bottom-up atau partisipasi aktif masyarakat untuk mencapai apa yang disebut ‘pembangunan melalui negosiasi’. Hal ini sesuai Menurut Talcot Parsons (dalam Prijono, 1996:64-65) power merupakan sirkulasi dalam subsistem suatu masyarakat, sedangkan power dalam empowerment adalah daya sehingga empowerment dimaksudkan sebagai kekuatan yang berasal dari bawah (Bottom-Up). Shucksmith, (2013) menyatakan pendekatan bottom-up untuk pembangunan pedesaan (‘didorong dari dalam’, atau kadang-kadang disebut endogen) berdasarkan pada asumsi bahwa sumber daya spesifik daerah – alam, manusia dan budaya – memegang kunci untuk perkembangannya. Sedangkan pembangunan pedesaan top-down melihat tantangan utamanya sebagai mengatasi perbedaan pedesaan dan kekhasan melalui promosi keterampilan teknis universal dan modernisasi infrastruktur fisik, bawah ke atas Pengembangan melihat tantangan utama sebagai memanfaatkan selisih melalui memelihara khas lokal kapasitas manusia dan lingkungan itu. Model bottom-up terutama menyangkut mobilisasi sumber daya lokal dan aset. Artinya, masyarakat pembangunan harus dianggap bukan sebagai teori pembangunan, tetapi praktek pembangunan yang menekankan emansipasi dari lembaga yang tidak pantas dan setiap melemahkan situasi yang mengarah pada perias partisipasi, pengembangan masyarakat harus menjadi mekanisme untuk menarik kekuatan kolektif anggota masyarakat tertentu – yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin, mampu dan cacat, dll – untuk mengubah di wilayah mereka. Pemberdayaan ini memiliki tujuan dua arah, yaitu melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan dan memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti memiliki kepecayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya (Sipahelut, 2010). Konsep pemberdayaan menurut Friedman (1992) dalam hal ini pembangunan alternatif menekankan keutamaan politik melalui otonomi pengambilan keputusan untuk melindungi kepentingan rakyat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung melalui partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui pengamatan langsung. Menurut Chambers, (1995) pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable”. Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain : pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi,mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog ( Sumodiningrat, 2002). Konsep pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh ketrampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Pearson et al, 1994 dalam Sukmaniar, 2007). Pemahaman mengenai konsep pemberdayaan tidak bisa dilepaskan dari pemahaman mengenai siklus pemberdayaan itu sendiri, karena pada hakikatnya pemberdayaan adalah sebuah usaha berkesinambungan untuk menempatkan masyarakat menjadi lebih proaktif dalam menentukan arah kemajuan dalam komunitasnya sendiri. Artinya program pemberdayaan tidak bisa hanya dilakukan dalam satu siklus saja dan berhenti pada suatu tahapan tertentu, akan tetapi harus terus berkesinambungan dan kualitasnya terus meningkat dari satu tahapan ke tahapan berikutnya (Mubarak, 2010). Menurut Wilson (1996) terdapat 7 tahapan dalam siklus pemberdayaan masyarakat. Tahap pertama yaitu keinginan dari masyarakat sendiri untuk berubah menjadi lebih baik. Pada tahap kedua, masyarakat diharapkan mampu melepaskan halangan-halangan atau factor-faktor yang bersifat resistensi terhadap kemajuan dalam dirinya dan komunitasnya. Pada tahap ketiga, masyarakat diharapkan sudah menerima kebebasan tambahan dan merasa memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan dirinya dan komunitasnya. Tahap keempat yaitu upaya untuk mengembangkan peran dan batas tanggung jawab yang lebih luas, hal ini juga terkait dengan minat dan motivasi untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Pada tahap kelima ini hasil-hasil nyata dari pemberdayaan mulai kelihatan, dimana peningkatan rasa memiliki yang lebih besar menghasilkan keluaran kinerja yang lebih baik. Pada tahap keenam telah terjadi perubahan perilaku dan kesan terhadap dirinya, dimana keberhasilan dalam peningkatan kinerja mampu meningkatkan perasaan psikologis di atas posisi sebelumnya. Pada tahap ketujuh masyarakat yang telah berhasil dalam memberdayakan dirinya, merasa tertantang untuk upaya yang lebih besar guna mendapatkan hasil yang lebih baik. Siklus pemberdayaan ini menggambarkan proses mengenai upaya individu dan komunitas untuk mengikuti perjalanan kearah prestasi dan kepuasan individu dan pekerjaan yang lebih tinggi. Apabila kita cermati dari serangkaian literature tentang konsep-konsep Pemberdayaan Masyarakat maka konsep pemberdayaan adalah suatu proses yang diupayakan untuk melakukan perubahan. Pemberdayaan masyarakat memiliki makna memberi kekuatan/ daya kepada kumpulan masyarakat yang berada pada kondisi ketidakberdayaan agar menjadi berdaya dan mandiri serta memiliki kekuatan melalui proses dan tahapan yang sinergis. Teori Pemberdayaan Masyarakat Pengertian Teori Sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis melalui pengkhususan hubungan antar variabel dengan tujuan menjelaskan dan meramalkan/menduga. Teori pemberdayaan masyarakat memberikan petunjuk apa yang sebaiknya dilakukan di dalam situasi tertentu. Teori dapat dalam bentuk luas atau ringkas mengenai pola pola interaksi dalam masyarakat Sebuah teori dalam pemberdayaan masyarakat dapat ditemukan atau diungakp menggunakan 2 pendekatan. Pendekatan pertama yaitu Deductive Theory Construction yaitu teori yang sudah ada atau ditemukan diawal kemudian dilakukan penelitian pemberdayaan pada masyarakat. Pendekatan kedua yaitu Konstructive theory yaitu teori yang belum ada atau masih di duga dan untuk menyusunnya dilakukan penelitian pemberdayaan pada masyarakat. Peranan Teori Teori dalam praktek pemberdayaan masyarakat menggambarkan distribusi kekuasaan dan sumberdaya dalam masyarakat, bagaimana fungsi fungsi organisasi dan bagaimana sistem dalam masyarakat mempertahankan diri. Teori di dalam pemberdayaan masyarakat mengandung hubungan sebab dan pengaruh yang harus dapat di uji secara empiris. Hubungan sebab dan akibat/outcome yang terjadi karena kejadian/aksi tertentu akan dapat memunculkan jenis intervensi yang dapat digunakan oleh pekerja sosial/LSM dalam memproduksi outcome. Dalam kerja sosial (social work), kita dapat menggunakan teori untuk menentukan jenis aksi/kegiatan atau intervensi yang dapat digunakan untuk memproduksi outcome/hasil. Pada umumnya beberapa teori digabung untuk memproduksi model outcome. Teori Pemberdayaan 1. Teori Ketergantungan Kekuasaan (power-dependency) Power merupakan kunci konsep untuk memahami proses pemberdayaan. Pemikiran modern tentang kekuasaan dimulai dalam tulisan-tulisan dari Nicollo Machiavelli ( The Prince , awal abad ke-16) dan Thomas Hobbes ( Leviathan abad, pertengahan-17). Tujuan dari kekuasaan adalah untuk mencegah kelompok dari berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan juga untuk memperoleh persetujuan pasif kelompok ini untuk situasi ini. Power merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari interaksi sosial. Kekuasaan adalah fitur yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial. Hal ini selalu menjadi bagian dari hubungan, dan tanda-tanda yang dapat dilihat bahkan pada tingkat interaksi mikro (Sadan, 1997). Lebih lanjut (Abbot, 1996:16-17) menyatakan bahwa pengembangan masyarakat perlu memperhatikan kesetaraan (equality), konflik dan hubungan pengaruh kekuasaan (power relations) atau jika tidak maka tingkat keberhasilannya rendah. Setelah kegagalan teori modernisasi muncul teori ketergantungan, dimana teori ketergantungan pada prinsipnya menggambarkan adanya suatu hubungan antar negara yang timpang, utamanya antara negara maju (pusat) dan negara pinggiran (tidak maju). Menurut Abbot (1996: 20) dari teori ketergantungan muncul pemahaman akan keseimbangan dan kesetaraan, yang pada akhirnya membentuk sebuah pemberdayaan (empowerment) dalam partisipasi masyarakat dikenal sebagai teori keadilan. Sebagai contoh : Teori “ketergantungan-kekuasaan” (power-dependency) mengatakan kepada kita bahwa pemberi dana (donor) memperoleh kekuasaan dengan memberikan uang dan barang kepada masyarakat yang tidak dapat membalasnya. Hal ini memberikan ide bahwa lembaga/organisasi (non profit organization) /LSM sebaiknya tidak menerima dana dari hanya satu donor jika ingin merdeka/bebas. Pada konteks pemberdayaan maka teori ketergantungan dikaitkan dengan kekuasaan yang biasanya dalam bentuk kepemilikan uang/modal. Untuk mencapai suatu kondisi berdaya/ kuat/mandiri, maka sekelompok masyarakat harus mempunyai keuangan/ modal yang kuat. Selain uang/modal, maka ilmu pengetahuan/ knowledge dan aspek people/sekumpulan orang/ massa yang besar juga harus dimiliki agar kelompok tersebut mempunyai power. Kelompok yang memiliki power maka kelompok itu akan berdaya. 2. Teori Sistem (The Social System) Talcott Parsons (1991) melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan. Parsons (1991) menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu :
Apabila dimasukka dalam aspek pemberdayaan masyarakat, maka teori system social ini mengarah pada salah satu kekuatan yang harus dimiliki kelompok agar kelompok itu berdaya yaitu memiliki sekumpulan orang/massa. Apabila kelompok itu memiliki massa yang besar dan mampu bertahan serta berkembang menjadi lebih besar maka kelompok itu dapat dikatakan berdaya. 3. Teori Ekologi (Kelangsungan Organisasi) Organisasi merupakan sesuatu yang telah melekat dalam kehidupan kita, karena kita adalah makhluk sosial. Kita hidup di dunia tidaklah sendirian, melainkan sebagai manifestasi makhluk sosial, kita hidup berkelompok, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Struktur organisasi merupakan kerangka antar hubungan satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas serta wewenang yang masing-masing mempunyai peranan tertentu. Struktur organisasi akan tampak lebih tegas apabila dituangkan dalam bentuk bagan organisasi. Seseorang masuk dalam sebuah organisasi tentu dengan berbagai alasan karena kelompok akan membantu beberapa kebutuhan atau tujuannya seperti perlindungan, cinta dan kasih sayang, pergaulan, kekuasaan, dan pemenuhan sandang pangan. Berbagai tujuan tersebut memperlihatkan bahwa kehidupan saling pengaruh antar orang jauh lebih bermanfaat daripada kehidupan seorang diri. Seseorang pada umumnya mempunyai kebutuhan yang bersifat banyak yang menginginkan dipenuhinya lebih dari satu macam kebutuhan, sehingga keberadaan kelompok merupakan suatu keharusan. Menurut Lubis dan Husaini (1987) bahwa teori organisasi adalah sekumpulan ilmu pengetahuan yang membicaraan mekanisme kerjasama dua orang atau lebih secara sistematis untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Teori organisasi merupakan sebuah teori untuk mempelajari kerjasama pada setiap individu. Hakekat kelompok dalam individu untuk mencapai tujuan beserta cara-cara yang ditempuh dengan menggunakan teori yang dapat menerangkan tingkah laku, terutama motivasi, individu dalam proses kerjasama. Pada teori ekologi, membahas tentang organisasi sebagai wadah untuk sekumpulan masyarakat dengan tujuan yang sama agar tertatur, jelas, dan kuat. Orientasi organisasi mengacu pada sekumpulan orang/massa yang harus dimiliki kelompok untuk dapat memiliki power/daya. Kelompok yang memiliki organisasi dengan kuat dan berkelanjutan maka kelompok ini dikatakan berdaya. 4. Teori Konflik Konflik akan selalu muncul dan akan selalu dapat ditemukan dalam semua level kehidupan masyarakat. Dalam interaksi, semua pihak bersinggungan dan sering malahirkan konflik. Belajar dari konflik yang kemudian disadari menghasilkan kerugian para pihak akan memunculkan inisiatif meminimalisir kerugian itu. Caranya adalah mengupayakan damai untuk kembali hidup bersama. Dalam konteks demikian, konflik didefinisikan bukan dari aspek para pelaku konflik, tetapi merupakan sesuatu yang givendalam interaksi sosial. Malahan konflik menjadi motor pergaulan yang selalu melahirkan dinamika dalam masyarakat. Dikenal beberapa pendekatan teoritis untuk menjelaskan konflik. Sebagai kenyataan sosial. Diantaranya pendekatan ketimpangan dalam dunia ekonomi yang menjelaskan bahwa munculnya konflik dikarenakan ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan yang menciptakan kelangkaan. Sementara disisi lain, individu bersifat individualis, mementingkan diri sendiri untuk mendapatkan surplus yang ada. Adanya kesamaan antara individu membuka peluang terjadinya perebutan pada satu komoditi dan sebaliknya juga membuka kerjasama di antara para pelaku (Chalid, 2005). Pada proses pemberdayaan yang dilakukan di suatu lingkungan social (masyarakat) akan sangat sering menemui konflik. Konflik yang terjadi berkaitan erat dengan ketidakpercayaan dan adanya perubahan kepada mereka. Perubahan terhadap kebiasaan, adat istiadat dn berbagai norma social yang sudah tertanam sejak lama di dalam masyarakat. Hal ini sesuai pendapat Stewart, 2005 dalam Chalid (2005) Terdapat tiga model penjelasan yang dapat dipakai untuk menganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan masyarakat, pertama penjelasan budaya, kedua, penjelasan ekonomi, ketiga penjelasan politik. Perspektif budaya menjelaskan bahwa konflik dalam masyarakat diakibatkan oleh adanya perbedaan budaya dan suku. Dalam sejarah, konflik cenderung seringkali terjadi karena persoalan perbedaan budaya yang melahirkan penilaian stereotip. Masing-masing kelompok budaya melihat sebagai anggota atau bagian dari budaya yang sama dan melakukan pertarungan untuk mendapatkan otonomi budaya. Terdapat perdebatan tentang pendekatan primordial terhadap realitas konflik. Sebagian antropolog ada yang menerima dan sebagian menolak. Argumentasi kalangan yang menolak beralasan bahwa terdapat masalah serius bila hanya menekankan penjelasan konflik dari aspek budaya semata. Pendekatan budayatidak memasukkan faktor-faktor penting dari aspek sosial dan ekonomi. Pandangan teori konflik mengacu pada dua aspek, yang pertama tentang ekonomi/uang yaitu berkaitan dengan modal sebagai sarana untuk kelompok dapat dikatakan berdaya dan mandiri. Aspek kedua menyangkut tentang organisasi, apbila kelompok dapat memanajemen konflik dengan baik, maka keutuhan dan kekuatan organisasi/ kelompok orang akan terus kuat dan lestari sehingga mereka akan memiliki daya dari sisi finansial dan sisi keanggotaan massa. 5. Teori Mobilisasi Sumberdaya Jasper, (2010) menyatakan gerakan sosial terdiri dari individu-individu dan interaksi di antara anggota suatu masyarakat. Pendekatan pilihan rasional (rational choice) menyadari akan hal ini, tetapi versi mereka memperhitungkan individu sebagai yang abstrak untuk menjadi realistis. Pragmatisme, feminisme, dan yang terkait dengan berbagai tradisi yang mendorong lahirnya studi tentang aksi-aksi individu (individual action) dan aksiaksi kolektif (collective action) sejak tahun 1960-an, yakni penelitian tentang perlawanan (social resistence), gerakan sosial (social movement) dan tindakan kolektif (collective behavior) berkembang di bawah inspirasi dari teori-teori besar tersebut. Dua dari mereka di antaranya dipengaruhi oleh pandangan Marxisme, terutama sosiologi makro versi Amerika yang menekankan teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory) dan interaksi dengan negara. Rusmanto, (2013) menyimpulkan bahwa untuk mengetahui keinginan seseorang akan sangat terkait dengan tujuan di akhir orang tersebut. Seseorang dari pertanyaan tersebut mengarah kepada sebuah tujuan. Dalam hal ini, maka tujuan adalah pusat pendekatan yang strategis sebagai taktik, meskipun dalam pemahaman umum, telah keliru memahami bahwa strategi merupakan instrumen tujuan yang bersifat sementara mencerminkan budaya dan emosi. Pada konteks pemberdayaan masyarakat maka teori mobilisasi menjadi salah satu dasar yang kuat, karena untuk menjadi seorang atau kelompok masyarakat yang berdaya/ memiliki power selain uang, knowledge maka people juga mempunyai peranan yang penting. Kumpulan orang akan memberikan kekuatan, kekuatan itu akan memberikan power pada orang atau masyarakat itu. 6. Teori Constructivist Glasersfeld (1987) menyatakan konstruktivisme sebagai “teori pengetahuan dengan akar dalam “filosofi, psikologi dan cybernetics”. Von Glasersfeld mendefinisikan konstruktivisme radikal selalu membentuk konsepsi pengetahuan. Ia melihat pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan aktip menerima yang apapun melalui pikiran sehat atau melalui komunikasi. Hal itu secara aktip teruama dengan membangun pengetahuan. Kognisi adalah adaptif dan membiarkan sesuatu untuk mengorganisir pengalaman dunia itu, bukan untuk menemukan suatu tujuan kenyataan.Konstruktivisme pada dasarnya adalah suatu pandangan yang didasarkan pada aktivitas siswa dengan untuk menciptakan, menginterpretasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan dengan jalan individual (Windschitl, dalam Abbeduto, 2004). Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Pada proses pemberdayaan masyarakat pendekatan teori belajar secara konstructivisme perlu di tanamkan dan diupayakan agar masyarakat mampu menkonstruksi pemahaman untuk berubah. Pemberdayaan masyarakat hendaknya tetap mempertahankan nilai-nilai yang sudah melekat di masyarakat selam nilai tersebut baik dan benar. Nilai-nilai kebersamaan, keikhlasan, gotong-royong, kejujuran, kerja keras harus di bangun dan di konstruksikan sendiri oleh masyarakat untuk menciptakan perubahan agar lebih berdaya. Keterkaitan dengan konsep pemberdayaan maka aspek ilmu (knowledge) yang ada di dalam masyarakat perlu dibangun dengan kuat dan di kontruksikan di dalam masyarakat itu sendiri. KESIMPULAN Berdasarkan uraian tentang konsep dan teory pemberdayaan maka disimpulkan sebagai berikut :
DAFTAR REFERENSI
|