Oleh: Sarli Zulhendra, S.H Panduan ini disusun untuk membantu teman-teman difabel jika berhadapan dengan proses hukum, khususnya jika teman-teman berhadapan dalam proses peradilan pidana, baik sebagai korban, saksi ataupun sebagai tersangka. Agar mudah dipahami, perlu kami jelaskan bahwa proses peradilan pidana adalah proses penegakan hukum terhadap suatu kejahatan (pelanggaran hukum). Sedangkan dalam proses peradilan pidana, negara telah memberikan tugas dan wewenang kepada aparat penegak hukum untuk menjalankan penegakan hukum pidana melalui beberapa aturan hukum di antaranya berupa Undang-Undang RI No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau yang sering disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan disingkat KUHAP, Undang-Undang No RI No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. adapun penegak hukum tersebut adalah :
Berdasarkan proses peradilan pidana, masing-masing aparatur penegak hukum tersebut memiliki fungsi dan wewenang yang berbeda-beda. Adapun fungsi dan wewenang masing-masing aparat penegak hukum tersebut adalah :
dan atas perintah penyidik, penyelidik juga dapat melakukan :
LPSK adalah lembaga yang lahir berdasarkan perintah Undang-Undang RI No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK memiliki tugas melindungi saksi dan korban dalam proses penegakan hukum pidana terhadap berbagai potensi yang mengancam keamanan saksi dan korban. Korban atau saksi yang merasa terancam jiwanya dan memerlukan perlindungan dari negara ketika menghadapi proses peradilan pidana, bisa mengajukan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya wajib menghormati, melindungi hak asasi manusia, baik sebagai seorang korban, saksi, tersangka/terdakwa ataupun terpidana. Praktik penegak hukum yang cukup sering melanggar dan tidak melindungi hak asasi manusia harus segera dihapuskan dalam praktik penegakan hukum pidana di negara kita. Seperti, praktik penyiksaan terhadap tersangka atau ancaman terhadap saksi, adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang sering dilakukan aparat penegak hukum. Di bawah ini, ada beberapa istilah yang harus dipahami oleh teman-teman difabel, di antaranya adalah : Menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menjelaskan bahwa pengertian saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri.[19] Pasal 1 angka 26 Undang-Undang RI No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana juga menjelaskan dengan penjelasan yang sama bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri Selama ini praktik penegakan hukum pidana, saksi sering kali hanya dibutuhkan sebatas untuk pembuktian saja. Tidak dijadikan faktor dan aktor kunci dalam penegakan hukum pidana. agar saksi mampu menjadi faktor dan aktor kunci dalam penegakan hukum pidana, maka negara harus melindungi keberadaan saksi dan harus mampu menjamin bahwa saksi aman dari segala macam intimidasi. Oleh karenanya negara melengkapi beberapa aturan hukum seperti Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait perlindungan saksi, berupa diberlakukannya Undang-Undang RI No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, maka dalam proses penegakan hukum pidana, saksi memiliki hak-hak yang harus dilindungi, di antaranya :
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menjelaskan bahwa pengertian korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Dalam praktik penegakan hukum pidana, cukup sering seorang korban kejahatan akan menjadi korban kembali, yakni korban proses peradilan yang tidak baik dan tidak benar. Karena setiap korban akan menjadi saksi tentang apa yang ia alami, ia derita yang disebabkan oleh suatu tindak pidana. Oleh karenanya, aparat penegak hukum harus melindungi hak-hak korban, di antaranya :
Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mejelaskan bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Namun, Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak merumuskan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan bukti permulaan tersebut. sehingga frasa bukti permulaan tersebut diterjemahkan secara bebas oleh penyidik. Jika mengacu pada dasar sistem pembuktian peradilan pidana, maka bukti permulaan tersebut haruslah diartikan 2 alat bukti yang sah menurut hukum. Meskipun seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka, seorang tersangka tersebut tetap memiliki hak-hak yang harus dilindungi dan tidak boleh dilanggar oleh aparat penegak hukum, di antaranya adalah : Hak-hak Tersangka dan Terdakwa:
Misalkan : penyidik melakukan tindakan salah tangkap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka kemudian menjadi terdakwa dan pada akhirnya berdasarkan pemeriksaan di pengadilan terdakwa divonis bebas, maka terpidana bebas tersebut berhak atas ganti rugi. Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menjelaskan bahwa Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Meskipun status seorang tersangka meningkat menjadi seorang terdakwa, seorang terdakwa tetap memiliki hak-hak yang harus dilindungi dan tidak boleh dilanggar oleh aparat penegak hukum, di antaranya adalah :
Banding adalah upaya hukum yang diajukan oleh terdakwa atau jaksa penuntut umum terhadap putusan pengadilan negeri ke pengadilan tinggi karena putusan pengadilan negeri tersebut tidak memberikan keadilan baik keadilan bagi jaksa penuntut umum atau keadilan bagi terdakwa. (Pasal 67 Undang-Undang RI No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana) Terhadap upaya hukum banding yang kita ajukan, maka pengadilan tinggi akan meluarkan putusan, jika terhadap putusan pengadilan tinggi tersebut terdakwa atau jaksa penuntut umum masih beranggapan bahwa putusan pengadilan tinggi tersebut tidak memberikan keadilan baik bagi terdakwa maupun bagi jaksa penuntut umum maka terdakwa atau jaksa penuntut umum berhak mengajukan upaya hukum kasasi ke mahkamah agung
Penjelasannya : sidang terbuka untuk umum itu berlaku untuk semua agenda sidang, baik dari sidang pertama dengan agenda pembacaan surat dakwaan sampai dengan pembacaan putusan pengadilan. Penjelasannya : sidang tertutup untuk umum itu dikarenakan perkara yang akan diperiksa adalah perkara di mana terdakwanya adalah anak atau perkara tersebut adalah perkara asusila. Sementara sidang tertutup untuk umum itu berlaku pada saat sidang pertama dengan agenda pembacaan dakwaan sampai dengan penyampaian pembelaan oleh terdakwa, sedangkan sidang dengan agenda terakhir pembacaan putusan haruslah terbuka untuk umum. Jika pembacaan putusan dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum maka putusan tersebut adalah batal demi hukum.
Menurut Pasal 1 angka 32 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menjelaskan bahwa terpidana adalah seorang yang dipidana atau seorang yang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap telah dinyatakan terbukti dan bersalah melakukan tindak pidana dan oleh karenanya terhadap orang tersebut diberikan hukuman. Namun meskipun sudah dinyatakan terbukti dan bersalah melalui putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana atau narapidana tetap memiliki hak hak sebagai berikut :
[1] Pasal 1 Angka 4 dan 5 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [2] Pasal 1 Angka 1, 2 dan 3 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [3] Pasal 1 Angka 6 dan 7 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 1 angka 2 Undang Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia [4] Termasuk Hakim yang bekerja Di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi [5] Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan Di LAPAS sedangkan Terpidana adalah seseorang yang sudah dinyatakan terbukti dan bersalah melakukan tindak pidana/kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Selengkapnya baca undang-undang no 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan [6] Idealnya Pekerjaan sebagai advokat yang memberikan bantuan hukum diperlukan guna terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan dan hak asasi manusia. Selngkapnya baca undang-undang no 18 tahun 2003 tentang advokat [7] Selengkapnya baca Pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau yang lazim disebut KUHAP [8] Selengkapnya baca Pasal 7 ayat 1,2 dan 3 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [9] Dalam proses peradilan pidana, seseorang yang berdasarkan alat bukti permulaan diduga telah melakukan tindak pidana/kejahatan atau seseorang yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana disebut sebagai TERSANGKA [10] Selengkapnya baca pasal 13, 14, 15 Undang Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [12] Pasal 1 angka 5 Undang-Undang RI No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman [13] Pasal 13 ayat 1,2,3 Undang-Undang RI No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman [14] Pasal 1 angka 5 dan 6 Undang-Undang RI No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan [15] Pasal 14 Undang-Undang No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan [16] Baca Pasal 17 Undang-Undang No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan [17] Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang RI No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum [18] Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang RI No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum [19] Pada Tahun 2011, Mahkamah Konstitusi melalui putusan No 65/PUU-VIII/2010 menyatakan arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses. Artinya, seseorang yang memilki hubungan atau kesesuaian dengan suatu peristiwa pidana meskipun orang tersebut tidak melihat, mendengar atau mengalami sendiri, maka orang tersebut bisa dijadikan sebagai SAKSI. [20] Poin 1 sampai dengan 13 diatur dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-Undang RI No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
|