Adapun khutbah yang tidak terkait dengan salat adalah

Kami memaparkan tema ini karena terdorong untuk mengetahui bagaimana pendapat para ulama terkait hukum khutbah Jum’at dengan menggunakan bahasa ‘ajam (non Arab). Faktor yang mendorong kami untuk melakukannya adalah sebuah diskusi ringan antara kami dengan seorang rekan kerja yang mengaku mengaji di Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), –hadaniyallahu wa iyyahu-.

Alhamdulillah, jawaban akan hal tersebut kami jumpai dalam kitab Syaikh Su’ud Asy Syuraim (imam dan khatib Masjid al-Haram) hafizhahullah, yang berjudul Asy Syamil fii Fiqh al Kitab wa al Khutbah. Artikel ini merupakan saduran dari subbab dalam kitab tersebut yang berjudul Al Khutbah bighairi al ‘Arabiyah au Tarjamatiha lighairi al ‘Arabiyah. Berikut ini kami menyajikannya ke hadapan anda. Semoga bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin seluruhnya.

Hukum Khutbah Jum’at dengan Selain Bahasa Arab

Tidak terdapat riwayat dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan mempersyaratkan khutbah Jum”at harus disampaikan dengan bahasa Arab sebagaimana tidak terdapat riwayat yang menunjukkan nabi atau salah seorang sahabat menyampaikan khutbah Jum’at dengan bahasa selain bahasa Arab padahal orang-orang Islam yang ‘ajam (non Arab) ada dan tersebar di negeri kaum muslimin setelah terjadi ekspansi yang dilakukan kaum muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan generasi setelahnya hanya berkhutbah dengan bahasa Arab karena itulah bahasa nasional mereka.

Ulama saling berbeda pendapat dalam membolehkan berkhutbah dengan selain bahasa Arab atau terjemahannya.

Al Qadhi Al Baghdadi al Maliki rahimahullah mengatakan, “Ibnu Al Qasim mengatakan, “Tidak sah –di dalam khutbah-, kecuali harus disampaikan dengan bahasa Arab.”[1]

Abu Al Husain Al ‘Imrani Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Ketika menyampaikan khutbah dipersyaratkan menggunakan bahasa Arab, karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafa Ar Rasyidin sesudahnya berkhutbah dengan menggunakan bahasa Arab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat.” Apabila di tengah-tengah suatu kaum tidak dijumpai seorang pun yang menguasai bahasa Arab, maka memungkinkan untuk menyampaikan khutbah dengan bahasa selain Arab. Salah seorang dari mereka wajib untuk mempelajari khutbah dengan berbahasa Arab sebagaimana pendapat yang telah kami kemukakan dalam pembahasan Takbirat al Ihram.”[2]

An Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat yang mempersyaratkan penggunaan bahasa Arab dalam berkhutbah sebagaimana hal itu diwajibkan dalam tasyahhud dan takbirat al ihram berdasarkan sabda nabi “shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat”. Demikian pula nabi hanya berkhutbah dengan bahasa Arab. Hal ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Asy Syafi’i.[3]

Al Marwadi Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Tidak sah khutbah Jum’at dengan bahasa selain Arab apabila mampu melakukannya berdasarkan pendapat yang shahih dalam madzhab (Hambali). Ada pendapat yang menyatakan hal tersebut diperbolehkan (sah) apabila tidak memiliki kemampuan berbahasa Arab.”[4]

Syaikh Abdullah bin Baz rahimahullah memberikan kesimpulan mengenai permasalahan ini, “Pendapat yang tepat, –wal ‘ilmu ‘indallah-, dalam merinci permasalahan ini. Apabila mayoritas jama’ah masjid merupakan non Arab yang tidak memahami bahasa Arab, maka tidak mengapa menyampaikan khutbah dengan selain bahasa Arab atau disampaikan dengan bahasa Arab kemudian diterjemahkan.

Apabila mayoritas jama’ah yang hadir di masjid adalah mereka yang mampu memahami bahasa Arab dan mengetahui maknanya, maka yang lebih utama adalah tetap menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab dan tidak menyelisihi petunjuk nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terlebih para salaf berkhutbah di berbagai masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang non-Arab, tidak terdapat riwayat yang menyatakan bahwa mereka menerjemahkan khutbah yang mereka sampaikan dengan bahasa Arab, karena kemuliaan itu untuk Islam dan kepemimpinan untuk bahasa Arab.

Dalil yang menunjukkan diperbolehkan menyampaikan khutbah Jum’at dengan selain bahasa Arab ketika dibutuhkan adalah karena hal tersebut merupakan ketentuan pokok dalam syari’at kita yaitu firman Allah ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٤)

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Ibrahim: 4).

Diantara dalil akan hal tersebut adalah realita para sahabat tatkala memerangi negeri ajam seperti Persia dan Romawi, mereka tidak memerangi kaum tersebut setelah mengajak mereka kepada Islam dengan perantaraan para penerjemah.[5]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Apabila dia berkhutbah di negeri Arab, maka dia harus menyampaikannya dengan bahasa Arab.

Apabila dia berkhutbah di luar negeri Arab, maka sebagian ulama mengatakan bahwa sang khatib harus menyampaikannya dengan bahasa Arab barulah kemudian berkhutbah dengan menggunakan bahasa kaum setempat.

Sebagian ulama mengatakan (dalam kondisi tersebut) tidak dipersyaratkan khutbah disampaikan dengan bahasa Arab bahkan wajib menyampaikannya dengan bahasa kaum setempat. Inilah pendapat yang tepat berdasarkan firman Allah ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٤)

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Ibrahim: 4).

Tidak mungkin menarik perhatian manusia untuk memperhatikan sebuah nasehat sedangkan mereka tidak memahami apa yang dikatakan oleh sang khatib? Dua khutbah yang terdapat dalam khutbah Jum’at, lafadznya tidaklah termasuk lafadz-lafadz yang digunakan sebagai media ibadah (seperti layaknya Al Quran), sehingga kita mengharuskan khutbah tersebut harus diucapkan dengan bahasa Arab. Akan tetapi, apabila melewati suatu ayat Al Quran, maka harus mengucapkannya dengan bahasa Arab, karena Al Quran tidak boleh dirubah dari bahasa Arab.”[6]

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa:

  1. Ulama saling berselisih pendapat dalam membolehkan seorang untuk berkhutbah Jum’at dengan menggunakan bahasa ‘ajam (non Arab).
  2. Berdasarkan penjelasan para ulama, pendapat yang tepat adalah penyampaian khutbah Jum’at diperinci sebagai berikut:
    • Apabila mayoritas jama’ah yang menghadiri khutbah mampu berbahasa Arab dan memahami maknanya, maka sang khotib selayaknya mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyampaikan menggunakan bahasa Arab.
    • Apabila mayoritas jama’ah tidak memahami bahasa Arab, maka sebagian ulama berpendapat sang khotib tetap harus menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab, kemudian baru menerjemahkannya dan sebagian yang lain mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah wajib dan khotib boleh atau bahkan wajib –berdasarkan keterangan Syaikh Al ‘Utsaimin- menyampaikan khutbah dengan bahasa kaum setempat berdasarkan firman Allah ta’ala di surat Ibrahim ayat 4.

Waffaqaniyallahu wa iyyakum.

Buaran Indah, Tangerang, 25 Jumadi Ats Tsaniyah 1431 H.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

[1] Al Ma’unah 1/306.

[2] Al Bayan 2/573

[3] Al Majmu’ 4/391

[4] Al Inshaf 5/219

[5] Fatawa Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz 12/372

[6] Asy Syarh al Mumti’ 5/78

Adapun khutbah yang tidak terkait dengan salat adalah
Adapun khutbah yang tidak terkait dengan salat adalah

🔍 Dunia Fana, Batas Bacaan Tasyahud Awal Dan Akhir, Hakikat Kejujuran, Sebutkan Macam Macam Sabar Dan Berikan Contohnya

Jakarta -

Khutbah umumnya terdapat dalam sholat Jumat. Namun, ada sejumlah sholat sunnah yang menyertakan pelaksanaan khutbah di dalamnya.

Khutbah secara bahasa artinya perkataan yang disampaikan di atas mimbar. KH Usman Sholehuddin dkk dalam buku Cara Khutbah Rasulullah SAW menjelaskan, khutbah adalah pidato atau ceramah yang berisi keagamaan, seperti khutbah Jumat dan khutbah nikah.

Dalam sholat sunnah, khutbah disampaikan saat sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Selain sholat dua hari raya, sholat istisqa dan sholat gerhana termasuk shalat sunnah yang menyertakan pelaksanaan khutbah. Berikut penjelasan selengkapnya.

Khutbah disyariatkan dalam sholat Idul Fitri dan Idul Adha seperti halnya sholat Jumat. Namun, ada sejumlah perbedaan baik dari segi hukum maupun waktu pelaksanaannya.

Mengutip buku Seri Fiqih Kehidupan 3: Salat oleh Ahmad Sarwat, para ulama sepakat bahwa hukum melakukan khutbah setelah sholat Idul Fitri dan Idul Adha adalah sunnah dan bukan rukun atau kewajiban. Sementara itu, khutbah dalam sholat Jumat wajib hukumnya.

Khutbah dalam sholat Idul Fitri dan Idul Adha dilaksanakan setelah sholat. Sehingga, urutannya adalah melaksanakan sholat Ied dua rakaat baru dilanjutkan dengan khutbah. Sementara itu, dalam sholat Jumat khutbah dilaksanakan sebelum sholat.

2. Sholat Istisqa

Sholat istisqa adalah sholat sunnah yang dilakukan untuk meminta turunnya hujan. Sholat ini dilaksanakan saat terjadi kekeringan atau musim kemarau panjang yang menyebabkan manusia dan binatang kesulitan menemukan sumber air.

Hasan Ayyub dalam buku Fikih Ibadah: Panduan Lengkap Beribadah Sesuai Sunnah Rasul menjelaskan, hukum sholat istisqa adalah sunnah muakkad. Para ulama dari mazhab Syafi'i berpendapat, sholat ini dikerjakan seperti halnya sholat Idul Fitri dan Idul Adha.

Terdapat perbedaan di kalangan fuqaha terkait pelaksanaan khutbah dalam sholat istisqa. Sebagian fuqaha mengharuskannya dan sebagian lainnya tidak.

3. Sholat Gerhana

Sholat gerhana merupakan sholat sunnah yang dikerjakan saat terjadi gerhana, baik gerhana bulan maupun gerhana matahari. Sholat gerhana matahari juga sering disebut dengan sholat khusuf.

Sholat sunnah ini juga diikuti dengan penyampaian khutbah. Disebutkan dalam sebuah riwayat yang berasal dari Aisyah RA dalam hadits Al-Bukhari, Rasulullah SAW mengerjakan sholat khusuf atau sholat gerhana matahari bersama para sahabat.

Setelah sholat, beliau menyampaikan khutbah yang diawali dengan memuji dan menyanjung kebesaran Allah SWT..

Simak Video "Melihat dari Langit Ramainya Warga Salat Idul Fitri di JIS"



(kri/erd)


Page 2

Jakarta -

Khutbah umumnya terdapat dalam sholat Jumat. Namun, ada sejumlah sholat sunnah yang menyertakan pelaksanaan khutbah di dalamnya.

Khutbah secara bahasa artinya perkataan yang disampaikan di atas mimbar. KH Usman Sholehuddin dkk dalam buku Cara Khutbah Rasulullah SAW menjelaskan, khutbah adalah pidato atau ceramah yang berisi keagamaan, seperti khutbah Jumat dan khutbah nikah.

Dalam sholat sunnah, khutbah disampaikan saat sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Selain sholat dua hari raya, sholat istisqa dan sholat gerhana termasuk shalat sunnah yang menyertakan pelaksanaan khutbah. Berikut penjelasan selengkapnya.

Khutbah disyariatkan dalam sholat Idul Fitri dan Idul Adha seperti halnya sholat Jumat. Namun, ada sejumlah perbedaan baik dari segi hukum maupun waktu pelaksanaannya.

Mengutip buku Seri Fiqih Kehidupan 3: Salat oleh Ahmad Sarwat, para ulama sepakat bahwa hukum melakukan khutbah setelah sholat Idul Fitri dan Idul Adha adalah sunnah dan bukan rukun atau kewajiban. Sementara itu, khutbah dalam sholat Jumat wajib hukumnya.

Khutbah dalam sholat Idul Fitri dan Idul Adha dilaksanakan setelah sholat. Sehingga, urutannya adalah melaksanakan sholat Ied dua rakaat baru dilanjutkan dengan khutbah. Sementara itu, dalam sholat Jumat khutbah dilaksanakan sebelum sholat.

2. Sholat Istisqa

Sholat istisqa adalah sholat sunnah yang dilakukan untuk meminta turunnya hujan. Sholat ini dilaksanakan saat terjadi kekeringan atau musim kemarau panjang yang menyebabkan manusia dan binatang kesulitan menemukan sumber air.

Hasan Ayyub dalam buku Fikih Ibadah: Panduan Lengkap Beribadah Sesuai Sunnah Rasul menjelaskan, hukum sholat istisqa adalah sunnah muakkad. Para ulama dari mazhab Syafi'i berpendapat, sholat ini dikerjakan seperti halnya sholat Idul Fitri dan Idul Adha.

Terdapat perbedaan di kalangan fuqaha terkait pelaksanaan khutbah dalam sholat istisqa. Sebagian fuqaha mengharuskannya dan sebagian lainnya tidak.

3. Sholat Gerhana

Sholat gerhana merupakan sholat sunnah yang dikerjakan saat terjadi gerhana, baik gerhana bulan maupun gerhana matahari. Sholat gerhana matahari juga sering disebut dengan sholat khusuf.

Sholat sunnah ini juga diikuti dengan penyampaian khutbah. Disebutkan dalam sebuah riwayat yang berasal dari Aisyah RA dalam hadits Al-Bukhari, Rasulullah SAW mengerjakan sholat khusuf atau sholat gerhana matahari bersama para sahabat.

Setelah sholat, beliau menyampaikan khutbah yang diawali dengan memuji dan menyanjung kebesaran Allah SWT..

Simak Video "Melihat dari Langit Ramainya Warga Salat Idul Fitri di JIS"


[Gambas:Video 20detik]
(kri/erd)