Agresi Militer Belanda ke Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 mengakibatkan lumpuhnya pemerintahan RI. Pucuk pimpinan RI ditawan oleh Belanda, sehingga eksistensi RI mengalami masa-masa yang kritis. Pada saat inilah Sri Sultan Hamengkubuwono IX tampil melawan Belanda dengan mendukung penuh para gerilyawan dalam melawan Belanda. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan perjuangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam mempertahankan kedaulatan RI pada masa Agresi Militer Belanda II. Metode dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat langkah. Pertama adalah heuristik, yaitu menghimpun sumber-sumber baik dengan mengkaji buku-buku yang relevan serta wawancara dengan beberapa pihak. Langkah kedua adalah kritik sumber dimana penulis meneliti sumber yang diperoleh baik secara ekstern maupun intern sehingga diperoleh data yang dapat dipertanggungjawabkan. Setelah dilakukan kritik sumber, tahap ketiga yaitu menafsirkan secara analisis atau sintetis dari bahan yang telah diperoleh sebagai tahap interpretasi. Tahap keempat adalah historiografi (penyajian), dimana pada bagian ini penulis menyajikan hasil penafsiran tersebut secara kronologis dan deskriptif analitis dalam bentuk karya sejarah. Berdasarkan masalah yang dikaji dalam penelitian dapat disimpulkan bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang dilahirkan pada tanggal 12 April 1912 atau menurut hitungan Jawa jatuh pada tanggal 25 Rabingulakir tahun Jimakir 1842, menduduki tahta Kasultanan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940. Ketika Republik Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia melalui Amanat 5 September 1945, dimana Yogyakarta adalah daerah istimewa di bawah Republik Indonesia. Pada masa Agresi Militer Belanda Kedua, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mendukung penuh perjuangan para gerilyawan dalam menghadapi Belanda. Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga berinisiatif agar diadakan serangan umum yang kemudian dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret 1949. Serangan ini ternyata mampu mendesak Belanda baik di medan pertempuran maupun dalam meja diplomasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak agar Belanda mengembalikan ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta, membebaskan pemimpin-pemimpin RI yang ditawan serta melanjutkan perundingan perdamaian yang pada akhirnya akan berujung dengan diserahkannya kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat. Kata Kunci : Sri Sultan HB IX, Agresi Militer Belanda II, 1948-1949
Memproklamasikan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia bukanlah hal yang mudah. Setelah Presiden Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda kembali datang berniat menjajah Indonesia. Kedatangan Belanda yang menciptakan situasi tidak kondusif di Jakarta, memaksa pemerintah untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. Tepat pada tanggal 4 Januari 1946, Ibukota RI dipindah ke Yogyakarta. Mengingat betapa pentingnya peranan ibu kota bagi suatu pemerintahan, lebih-lebih dalam masa perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan, maka Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia akan selalu mendapat tantangan dan gangguan dari pihak lawan. Karena itu, tidak aneh apabila Belanda senantiasa berusaha untuk menghancurkan atau merebut Ibu Kota RI, Yogyakarta. Melalui Agresi Militer Belanda II, Belanda menduduki Yogyakarta, menciptakan propaganda seolah TNI telah takluk di tangan Belanda. Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pemimpin Yogyakarta yang tak pernah absen mendengarkan siaran radio sidang Dewan Keamanan PBB yang sedang membahas masalah Indonesia-Belanda, meminta izin kepada Jenderal Soedirman untuk melakukan sebuah serangan serentak. Jenderal Soedirman meminta Sultan HB IX untuk berkoordinasi dengan Letkol Soeharto selaku Komandan Brigade 10/Wehrkreise III. Kisah ini berbeda dengan apa yang tertulis pada buku-buku sejarah. Melalui kisah yang tertulis dalam laman Museum Vredeburg ini, sejarawan berpendapat bahwa sesungguhnya inisiator serangan besar tanggal 1 Maret 1949 adalah Sultan HB IX bukanlah Letkol Soeharto. 17 Agustus 1945 19 Agustus 1945 19 Agustus 1945 23 Agustus 1945 15 September 1945 26 September 1945 5 Oktober 1945 4 Januari 1946 21 Juli 1947 19 Desember 1948 29 Desember 1948 9 Januari 1949 16 Januari 1949 4 Februari 1949 13 Februari 1949 1 Maret 1949
Kota Yogyakarta, IDN Times- Sri Sultan Hamengku Buwono IX memiliki peran penting bagi Indonesia selama masa revolusi yang terjadi usai tanggal 17 Agustus 1945 hingga tahun 1949. Salah satunya adalah menjadikan Yogyakarta sebagai ibu kota negara baru saat Jakarta dikuasai oleh Belanda. Selain itu, raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut juga menyumbang peran selama zaman pendudukan Belanda, Jepang, dan Proklamasi kemerdekaan. Ia, misalnya, menjadi salah satu raja yang dengan tegas menyatakan bahwa daerahnya menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Keputusan ini, menurut Mohammad Roem, dkk dalam Takhta untuk Rakyat (2013), tidak hanya berpengaruh pada dirinya tapi juga rakyat Yogyakarta dan bangsa Indonesia. Baca Juga: Mengenal Bregada, Pasukan Prajurit Kraton Yogyakarta Dilansir dari situs resmi Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX naik takhta pada tanggal 18 Maret 1940. Ia menggantikan sang ayah, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, yang meninggal dunia. Sejak kecil, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendapat pendidikan ala Belanda hingga tingkat universitas. Tapi, hal ini tidak membuat laki-laki bernama kecil Henkie tersebut takluk pada Belanda. Sikap ini ia nyatakan pertama kali saat memberikan pidato di hari pelantikan menjadi raja: “Saya memang berpendidikan barat tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”. instagram.com/kartikahollySebelum dilantik menjadi raja, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun telah bersikap tak ingin dengan mudah menyetujui permintaan Belanda. Saat proses penandatanganan kontrak politik sebagai syarat menjadi Sultan, misalnya, terjadi selisih pendapat antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Belanda. Ia tidak menyetujui beberapa poin dalam perjanjian yang dianggap menguntungkan penjajah. Namun, akhirnya kontrak itu ditandatangani Sri Sultan Hamengku Buwono IX setelah dirinya mendapatkan ilham bahwa Belanda tak akan lama di Yogyakarta. Tak hanya saat penjajahan Belanda, saat pendudukan Jepang, sikap Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak berubah. Ia memilih untuk menemui utusan Jepang di kantor dan tidak di tempat lain. Lewat tindakan ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX melakukan diplomasi halus dengan tetap menjaga posisi dan wibawa sebagai penguasa. Sikap ini, menurut Keraton Yogyakarta, berbeda jauh dengan sikap raja yang lain. instagram.com/tonny_kumbaraPada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno membacakan Proklamasi kemerdekaan dan dua hari setelahnya Sri Sultan Hamengku Buwono mengirimkan telegram yang berisi ucapan selamat kepada para proklamator. Pada tanggal 5 September 1945, ia bersama Paku Alam VIII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa wilayah Yogyakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia. Menurut Mohammad Roem, dkk, sebagai seseorang yang dilahirkan dan dewasa dalam lingkungan Keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak mungkin menunjukkan sikap yang menentang Belanda. Dengan demikian, keputusannya untuk mendukung dan bergabung dengan republik tidak hanya berpengaruh pada dirinya tapi juga rakyat Yogyakarta dan bangsa Indonesia. Baca Juga: 14 Menu Makanan dan Minuman Kesukaan Raja Kraton Yogya
Baca Artikel Selengkapnya |