Siapa saja yang takut kepada selain Allah maka Allah akan menjadikannya takut kepada

Ada perbedaan takut kepada Allah (khasyyah) dan takut kepada Corona (khauf).

Antara/Abriawan Abhe

Sejumlah umat muslim melaksanakan shalat Jumat berjamaah dengan menerapkan jaga jarak di Masjid Agung Syekh Yusuf, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Jumat (12/6/2020). Masjid terbesar di Kabupaten Gowa tersebut kembali melaksanakan shalat Jumat setelah kurang lebih tiga bulan ditiadakan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Ini bagian dari khassyah kepada Allah dan khauf kepada Corona.

Red: Irwan Kelana

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin

Orang yang takut kepada Allah SWT akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. al-Muluk/67: 12). Menurut pengarang Tafsir Jalalain,  ampunan dan pahala yang besar adalah surga.

Dalam bahasa Arab,  takut kepada Allah SWT adalah “khasyyah”, sedangkan takut kepada selain-Nya adalah “khauf”. Sementara itu ketika dilafalkan dalam bahasa kita,  baik ketika takut kepada Allah ataupun takut kepada makhluk, keduanya idem dito dengan satu kata itu saja, yakni “takut”. Padahal kalau menggunakan bahasa Arab akan tampak jelas bedanya. 

Dalam ayat di atas, takut dalam bahasa Indonesia menggunakan “khasyyah”. Karena dipergunakan untuk takut kepada Allah SWT. Contoh lainnya, “…Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah.” (QS. al-Taubah/9: 18).

Belum lama berselang ada yang bilang “Takut itu hanya kepada Allah SWT,  bukan takut kepada Corona, karena itu tetaplah bekerja seperti biasa.”  Seolah keduanya terpisah dan saling menegasikan. Soal “khasyyah” terkait erat dengan kemantapan akidah seseorang dan perjuangan untuk mempertahankan hidup di tengah Corona yang masih mewabah.

Perbedaan ini yang kemudian jadi menarik untuk dipahami. Ketika seseorang bilang takut (khasyyah) kepada Allah SWT artinya  dia berupaya untuk menaati semua yang diperintahkan dan menjauhkan semua yang dilarang oleh Allah SWT secara langsung dalam al-Qur’an atau sabda Nabi SAW. Itulah takut kepada Allah SWT yang dilafalkan dengan “khasyyah”.

Sementara untuk orang yang takut kepada Corona adalah takut dengan melafalkan kata “khauf”. Artinya orang yang “khasyyah” kepada Allah SWT dia juga bisa “khauf” kepada Corona secara bersamaan. Orang yang “khasyyah” kepada Allah SWT dalam kondisi seperti ini bisa berada di masjid, di pasar, dan jalanan. 

Lebih menarik lagi adalah orang yang bekerja di luar rumah secara informal hari ini seperti penyedia jasa ojol, bakso dorong, penggali gorong-gorong di tepi jalan dan semisalnya, semuanya  bisa dibaca dengan dua cara, yakni mereka “khasyyah” kepada Allah SWT dan “khauf” kepada Corona. Buktinya mereka memakai masker, jaga jarak, dan sering cuci tangan.

Berdasar penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa  orang-orang yang “khasyyah” kepada Allah SWT dan “khauf” kepada Corona akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar, yakni surga. Dengan syarat mereka tidak merasa  menghimpun dua rasa takut dan dua rasa aman di hati mereka secara bersamaan. 

Di dalam hadits Qudsi Allah SWT berfirman, “Demi kemulian-Ku, Aku tidak akan menghimpun dua rasa takut dan dua rasa aman pada diri seorang hamba. Jika ia takut kepada-Ku di dunia, maka Aku akan memberikannya rasa aman di hari kiamat. Jika ia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan memberikan rasa takut kepadanya di hari kiamat.” (HR. Ibnu Hibban).

Ciri khas orang yang takut kepada Allah SWT, seperti diungkap oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat di atas,  itu ada dua.  Pertama, manakala ia dalam keadaan sendiri, maka ia mencegah dirinya dari perbuatan maksiat. Kedua, ia senantiasa mengerjakan amal ketaatan kendati  tidak  ada  orang yang melihatnya.

  • khassyah
  • takut kepada Allah
  • khauf
  • DR KH Syamsul Yakin MA

Siapa saja yang takut kepada selain Allah maka Allah akan menjadikannya takut kepada

Di antara yang mesti ditakuti oleh seorang Mukmin ialah siksa Allah akibat dosa-dosa

Antara

Berdoa Ilustrasi

Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab     

Setiap orang pasti pernah merasakan takut, mulai dari takut digigit ular, takut kehilangan jabatan, hingga takut kepada Tuhan. Dalam psikologi agama, sebagian manusia mencari dan membutuhkan Tuhan, antara lain, karena adanya rasa takut dalam diri terhadap kekuatan gaib.

Baca Juga

Manusia takut kepada kekuatan dahsyat yang ada di alam raya ini, seperti gunung meletus, angin puting beliung, banjir bandang, tsunami, dan sebagainya sehingga membuatnya mencari pelindung, pemberi rasa aman dan keselamatan hidupnya.Secara psikologis, takut adalah kondisi psikis (kejiwaan) yang diliputi rasa khawatir, kegalauan, ketakutan, waswas, atau kurang nyaman terhadap sesuatu yang tidak disukainya itu jika terjadi pada dirinya. Takut  bisa saja menjadi energi positif  jika dimaknai secara positif, demikian pula sebaliknya.

Kata takut dalam Alquran, antara lain, dinyatakan dengan khauf dan khasyyah. Kata khauf lebih umum daripada kata khasyyah. Khasyyah menunjukkan rasa takut yang lebih spesifik dan disertai pengetahuan (ma’rifah). Khasyyah disematkan kepada ulama [ilmuwan, saintis yang takut kepada Allah] (QS Fathir [35]: 28).

Takut dalam arti khasyyah hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu, seperti Nabi SAW, sesuai dengan sabdanya, “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian.”

Adapun takut dalam arti khauf cenderung dimaknai menghindar dan lari dari yang ditakuti. Akan tetapi, khasyyah merupakan takut yang cenderung berpegang teguh kepada ilmu atau pengetahuan yang ditakuti dan kepada kebesaran-Nya.Dalam kajian akhlak tasawuf, takutnya Mukmin harus dimaknai secara positif, yaitu rasa takut yang menyebabkannya melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah dan Rasul-Nya. Jika rasa takutnya itu meningkat, Mukmin tidak merasa cukup dengan hanya melaksanakan kewajiban, tetapi juga melengkapinya dengan amalan sunah, dan menjauhi hal-hal yang berbau syubhat (grey area), samar-samar status hukumnya.Setidaknya, ada enam hal yang harus ditakuti Mukmin. Pertama, takut siksa Allah yang ditimpakan kepadanya karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya. Kedua, takut tidak dapat menunaikan kewajibannya kepada Allah SWT dan kepada sesama. Ketiga, takut tidak diterima amal ibadah yang dilakukannya sehingga amalnya menjadi sia-sia belaka. Keempat, takut dihadapkan kepada aneka fitnah (akibat perilakunya) dan kemurkaan Allah yang akan menimpanya di dunia. Kelima, takut su’ul khatimah (akhir kehidupan atau kematian yang buruk). Keenam, takut azab kubur, pengadilan, dan azab Allah di akhirat kelak.Oleh karena itu, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, takut kepada Allah SWT itu hukumnya wajib. Karena takut kepada Allah dapat mengantarkan hamba untuk selalu beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan. Siapa yang tidak takut kepada-Nya, berarti ia seorang pendosa, pelaku maksiat. Karena tidak takut kepada Allah, koruptor semakin merajalela, semakin serakah, dan tidak lagi memiliki rasa malu (QS Ali Imran [3]: 175).Muslim yang memaknai takut secara positif pasti akan bervisi masa depan, menyiapkan generasi yang tangguh, kuat, dan unggul (QS an-Nisa’ [4]: 9). Di atas semua itu, memaknai takut secara positif  dapat mengantarkan hamba meraih dan merengkuh rasa cinta paling tinggi, yaitu ridha, sehingga pada gilirannya dapat meraih surga-Nya (QS al-Bayyinah [98]: 8).

Takut kepada Allah SWT menjadikan hamba semakin dekat dan intim dengan-Nya sehingga ia tidak lagi takut kehilangan jabatan, takut kepada atasan, atau takut tidak memiliki masa depan. Wallahu a’lam.

  • takut
  • tauhid
  • hikmah
  • takut kepada allah

Siapa saja yang takut kepada selain Allah maka Allah akan menjadikannya takut kepada

sumber : Pusat Data Republika

SEORANG sahabat datang dengan wajah murung, sembari menunduk ia menuturkan perihal dirinya yang kalut karena baru menyadari bahwa apa yang selama ini dilakukan atasannya termasuk perbuatan tidak patut dalam kacamata Islam.

“Atasan saya telah meminta yang bukan haknya. Padahal kami di kantor mengerti. Tapi tak satu pun di antara kami yang berani meluruskan kemauannya itu, sehingga ketidakbenaran terjadi dan kini menghantui kehidupan kami semua yang menjadi bawahan,” tuturnya dengan mimik penuh penyesalan.

Waktu bergulir, bulan berganti, tahun beralih, kondisi itu tetap saja menghantui pikirannya. Hingga suatu kesempatan ia bertemu dengan seorang guru yang memberikan nasehat dengan mengutip pendapat Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah.

“Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai dengan kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya.”

Terkadang sebagai Muslim kita sudah cukup baik menjalankan ibadah sholat, peduli seesama dan lainnya. Namun secara pribadi masih sangat lemah dalam hal amar ma’ruf nahi munkar.

Akibatnya, kehidupan bak terasa di bawah bayang-bayang orang lain, hingga kita lebih takut kemurkaan manusia daripada ancaman siksaan-Nya. Padahal jelas, Allah beserta orang yang benar, orang yang sabar dan orang yang bertaqwa.

Fenomena demikian cukup banyak dialami kaum Muslimin. Lebih berbahaya lagi kala hidupnya telah bergantung pada orang yang tidak seiman. Entah dalam hal beasiswa studi, maupun kebutuhan hidup dalam pekerjaan. Ilmu dan kemudahan hidupnya bukan lagi untuk amar ma’ruf nahi munkar, tetapi untuk siapa yang membayar.

Oleh karena itu, anggapan banyak orang terhadap zaman sekarang, bicara tidak harus konsisten, sebab keuntungan itu dinamis, tergantung kemana angin berhembus. Jika demikian prinsip hidup kita, maka sungguh telah merana iman di dalam hati kita.

Logikanya jelas, bagaimanapun orang bertingkah polah, Allah tetap menyayangi hamba-hamba-Nya yang totalitas tunduk-taqwa kepada-Nya. Tidak akan pernah berubah.

Oleh karena itu, dalam hal ini Rasulullah pernah berpesan kepada Ibn Abbas kala masih anak-anak, agar hidup tidak takut kepada siapapun, tidak bergantung kepada siapapun, tidak berharap, meminta, memohon, menyandarkan hidup kepada siapapun, kecuali kepada Allah Ta’ala semata.

Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu.

Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu.

Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering” (HR. Tirmidzi).

Jadi tidak ada istilah, terhadap segala yang tidak benar atau kemunkaran, sikap kita harus jelas dan tegas, yakni menolak dan mengingatkan siapapun orangnya, entah itu atasan atau siapapun. Sebab hidup dan mati , rizki dan kebaikan hidup kita seutuhnya dan seluruhnya hanya ada di tangan Allah. Dalam kata yang lain, jangan sampai kita kompromi dengan kemunkaran yang justru kita saksikan dan alami sendiri.

Dalam kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Mu’adz, “Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya?” Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Teladan dari Pemberani

Menjadi seorang pemimpin tak menjadikan Umar nyaman sebagai kelompok elit. Beliau justru blusukan setiap malam tanpa pengawalan apalagi riuh pemberitaan. Hal itu sangat sering dilakukan sendiri olehnya.

Suatu malam, kala melewati sebuah gubuk, khalifah merasa curiga melihat lampu yang masih menyala. Di dalamnya terdengar suara orang berbisik-bisik.

Khalifah Umar menghentikan langkahnya. Setelah mendekat,  tampaklah seorang ibu dan anak perempuannya sedang sibuk mewadahi susu.

“Terhitung dari wafatnya ayahmu, penghasilan kita menjual susu terus berkurang. Jika seperti ini terus, ibu khawatir kita akan kelaparan, nak,” ungk ibunya.

Anak gadisnya diam sembari terus membereskan susu yang akan dijajakannya esok hari.

“Nak, bisik ibunya seraya mendekat. “Kita campur saja susu itu dengan air. Supaya penghasilan kita cepat bertambah,” ucap sang Ibu dengan bergairah.

Tak dinyana, putrinya justru tidak sependapat dan segera menolak keinginan ibunya.

“Tidak, Bu! katanya cepat. “Khalifah melarang keras semua penjual susu mencampur susu dengan air. Ia teringat sanksi yang akan dijatuhkan kepada siapa saja yang berbuat curang kepada pembeli,” sanggah sang putri.

“Ah! Kenapa kau dengarkan Khalifah itu? Setiap hari kita selalu miskin dan tidak akan berubah kalau tidak melakukan sesuatu,” timpal sang ibu kesal.

“Untuk apa dengarkan Khalifah itu, dia tidak tahu dengan apa yang kita lakukan. Tengah malam begini tak ada yang berani keluar. Khalifah Umar pun tak ada di sini,” kata ibunya kekeuh memaksa putrinya.

“Bu, meskipun tidak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui kita mencampur susu dengan air, tapi Allah tetap melihat. Allah pasti mengetahui segala perbuatan kita serapi apapun kita menyembunyikannya,” tegas sang gadis.

“Aku tidak mau melakukan ketidakjujuran entah diketahui orang ataupun tidak. Aku yakin, Allah tetap selalu mengawasi apa yang kita lakukan setiap saat,” jawabnya lugas.

Andai gadis itu menuruti kehendak sang ibu dengan alasan mendapatkan keuntungan, boleh jadi dia akan merana sepanjang hidup. Tetapi dengan ketegasannya, ia telah sukses menjadi pribadi yang sukses, terbebas dari segala tekanan dan semakin dekat dengan Allah Ta’ala. Keberaniannya telah menjadi sebab dinikahkan dirinya dengan Ashim bin Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.

Dengan demikian teranglah bagi kita, bahwa berani menjalankan perintah amar ma’ruf nahi munkar tidak akan menjadikan kehidupan kita sengsara. Bahwa mungkin akan dikucilkan itu mungkin konsekuensi, sebagaimana Imam Hambali, Imam Bukhari pernah alami karena berdirii tegak di atas kebenaran iman dan ilmunya. Namun, janji Allah tidak akan pernah berubah. Dan, kemuliaan itu pasti datang dengan warisan membanggakan abadi bagi kehidupan manusia selamanya. Wallahu a’lam.*

Rep: Ibnu Sumari
Editor: Cholis Akbar