Sebutkan perkembangan kemampuan berpikir pada remaja saat memasuki masa pubertas

KOMPAS.com – Remaja adalah generasi masa depan kita. Mereka akan menjadi pemimpin dari suatu organisasi, memimpin rumah tangga, dan memangku kewajiban yang lebih besar dari sekadar yang mereka lakukan ketika masa kanak-kanak dan remaja.

Tentu saja dalam mencapai hal tersebut ada proses, baik secara fisik dan psikologis, yang akan dialami remaja. Dokter Petrin Redayani Lukman, dari Divisi Psikoterapi, Departemen Psikiatri, RSCM, menjabarkan bagaimana proses remaja berubah menjadi dewasa dalam kegiatan Mental Health Among the Youth, Jumat (12/10/2018)

Penyesuaian terhadap Sense of Self dalam bentuk fisik yang baru

Petrin menjelaskan bahwa pada fase ini, remaja akan mengalami masa yang umum disebut pubertas. Pubertas adalah perubahan secara fisik pada anak memasuki masa remaja menuju ke dewasa. Tidak hanya itu, pada masa pubertas, psikologis mengalami perubahan.

“Mereka pada saat remaja akan sangat memperhatikan perubahan fisik di tubuh mereka. Mereka ingin tampil terbaik. Namun ketika memasuki masa dewasa, mereka lebih dapat menerima penampilan fisik mereka,” ujar Petrin.

Baca juga: Demi Kesehatan Remaja, Jangan Sebarkan Foto-foto Korban Bencana Alam

Penyesuaian terhadap tubuh dan perasaan yang mulai matang secara seksual

Pada fase remaja, menurut Petrin, kebanyakan dari mereka masih beradaptasi terhadap seksualitas. Remaja juga menjadi fase dalam penetapan identitas seksual yang berujung pada pengembangan kemampuan untuk hubungan romantis.

Sedangkan pada masa dewasa, identitas seksualitas dari individu yang sebelumnya masih dicari di masa remaja sudah ditetapkan dan jelas. Mereka juga memiliki potensi untuk keintiman emosional dengan individu lain. Pada fase dewasa, hubungan intim yang serius mulai berkembang seperti cinta dan komitmen seumur hidup.

Mengembangkan dan menerapkan kemampuan berpikir abstrak

Menurut Petrin, pada masa kanak-kanak, pola pikirnya adalah berpikir konkrit. Artinya kita percaya akan apa yang kita lihat dan melihat suatu masalah dari satu sudut pandang.

Pemikiran ini berkembang seiring berjalannya waktu menjadi berpikir lebih abstrak pada masa remaja. Sementara pada masa dewasa, pemikiran individu akan berubah menjadi lebih filosofis dan idealis.

“Pada saat dewasa juga, anak kita lebih mampu mempertimbangkan berbagai sudut pandang pada saat yang sama. Empati meningkat, berminat dalam isu-isu kemasyarakatan dan menempatkan diri pada posisi orang lain,” ujar Petrin.

Baca juga: Dampak Bencana Alam pada Remaja Ancam Masa Depan Bangsa

Menentukan identitas personal

Petrin mengamini bahwa pada masa remaja, manusia mengenal diri mereka sebagai perpanjangan dari orangtua mereka. Kemudian seiring berjalannya waktu, individu akan menyadari bahwa mereka tidaklah sama dengan orangtua mereka. Dari sinilah remaja akan mencari jati diri mereka yang sesungguhnya.

“Ketika manusia sudah dewasa, mereka akan mengenal diri sebagai entitas yang unik dan terpisah dari orang tua dan sebagai anggota yang sah dari masyarakat,” jelasnya.

Negosiasi Kembali Hubungan dengan Orang Tua

Pada masa remaja, ada jarak antara orangtua dan anak. Pada masa ini, remaja lebih mendengarkan saran sebayanya ketimbang orangtua. Namun ini berubah ketika sudah beranjak dewasa.

“Dewasa membuat kita memandang orangtua sebagai individu terpisah dan mempertimbangkan saran yang mereka berikan. Konflik dengan orangtua juga menurun seiring bertambahnya usia, ini yang paling berasa biasanya untuk ibu-ibu,” kata Petrin.

Memenuhi Tuntutan dan Tanggung Jawab sebagai Orang yang Semakin Dewasa

“Kalau ada anak remaja yang bilang bahwa mereka sudah dewasa, itu belum tentu. Mereka mungkin masih pada tahap mempelajari keterampilan yang diperlukan untuk peran-peran mereka ketika dewasa,” ujarnya.

“Nah, bisa dikatakan dewasa ketika minat mereka sudah stabil, mampu berkompromi, punya perhatian lebih ke orang lain, dan punya pemikiran tentang peran seseorang dalam hidupnya,” jelas Petrin.

Petrin menekankan bahwa masa remaja adalah masa yang rentan akan masuknya banyak informasi dari berbagai tempat.

Oleh karena itu, orangtua tidak boleh serta merta menolak perubahan yang terjadi pada anak remajanya. Bisa jadi ini adalah masa pencarian jati diri mereka. Sebaliknya, yang orangtua perlu lakukan adalah melakukan pendekatan dan diskusi intim dengan remajanya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Ada kalanya ia percaya sudah tak ada lagi pemecahan masalah yang bisa dicapai selain memberontak atau melakukan kenakalan remaja.

Beberapa penyebab yang membuat perkembangan emosi remaja jadi memberontak, seperti:

1. Merasa tidak aman di rumah

Anak bisa saja merasa bahwa situasi di rumah benar-benar menakutkan sehingga mengakibatkan perkembangan psikologisnya terganggu.

Hal ini bisa terjadi jika ia menjadi korban kekerasan anak, baik itu kekerasan verbal, fisik, psikologis, atau seksual.

2. Masalah di sekolah atau lingkungan pergaulan

Bila terjadi bullying pada remaja di sekolah tapi tidak ada sosok yang bisa membantunya, anak mungkin memilih untuk kabur.

Dengan begitu, anak bisa membolos tanpa harus dipaksa ke sekolah oleh orangtua.

Hal lain yang mengakibatkan psikologis remaja terganggu adalah ketika terlibat masalah tertentu tapi ia tidak berani menganggung akibat atau hukumannya.

Maka, ia pun memilih untuk memberontak seperti lari dari rumah daripada harus menerima konsekuensi.

3. Merasa tidak dihargai

Salah satu kasus pemberontakan yang bisa mengganggu psikologi atau emosi remaja adalah anak merasa cemburu dengan kakak atau adiknya.

Ia merasa kurang dihargai dan berpikiran bahwa orangtua lebih menyayangi kakak atau adiknya.

Selain itu, anak bisa merasa tidak dihargai karena orangtua memberikan hukuman yang sangat berat atas kesalahannya.

Dalam kasus lainnya, anak yang merasa tidak mendapat cukup perhatian dari orangtua juga mungkin “menguji” kasih sayang orangtua dengan cara memberontak.

4. Tidak bijak menggunakan media sosial

Media sosial adalah tempat bagi sebagian besar remaja untuk mengekspresikan diri mereka, lewat kata-kata maupun foto.

Di antara semua jenis media sosial, instagram cukup mendapat banyak perhatian bagi anak remaja.

Melalui instagram, ia bisa mengunggah hasil jepretan foto terbaiknya dan mendapat feedback, berupa like atau komentar.

Namun, tidak semua mendapatkan efek positif sehingga memengaruhi perkembangan psikologi atau emosi remaja.

Ada juga yang sampai terobsesi dengan hasil selfie sehingga berdampak buruk bagi kesehatan mental remaja.

Tips menghadapi kondisi emosi remaja yang tidak menentu

Kesabaran setiap orang memang ada batasnya. Namun, sebagai orangtua Anda merupakan peran penting dalam kehidupan anak termasuk pada perkembangan psikologi atau emosi remaja.

Maka dari itu, tidak ada salahnya untuk melakukan hal-hal di bawah ini untuk membangun hubungan emosional orangtua dengan anak, seperti:

1. Menjaga komunikasi dengan anak

Walaupun tidak semua, tetapi ada sebagian remaja yang cenderung acuh tak acuh terhadap orangtua.

Kadang anak merasa sudah cukup besar sehingga memperlihatkan sikap seperti tidak membutuhkan peran Anda.

Namun, tetap jaga komunikasi dengan cara apapun. Misalnya, menanyakan apa saja yang ia lakukan dan bagaimana perasaannya di hari itu.

Lalu, Anda juga bisa meluangkan waktu melakukan hal yang menyenangkan misal menonton film bersama.

Dengan begitu, lama-lama ia tahu dan berpikir bahwa secuek apa pun ia, orangtuanya tetap peduli padanya.

Menjaga komunikasi dengan anak juga penting dilakukan untuk mencegah terjadinya depresi pada remaja.

Anak jadi memiliki orang yang selalu bisa diajak berkeluh kesah soal apa pun yang dialaminya.

2. Saling menghargai pendapat

Di masa remaja, ada kalanya ia memiliki pandangan yang berbeda dengan Anda.

Jangan langsung menarik urat, pasalnya semakin dewasa anak Anda, pemikirannya pun akan semakin berkembang

Ketimbang berdebat kusir, coba diskusikan dan cari solusi yang menguntungkan di kedua belah pihak.

Coba dengarkan pandangan anak, begitu pun anak akan mendengarkan apa yang Anda pikirkan.

Saling mendengarkan dan menghargai pendapat akan membuat ikatan anak dan orangtua menjadi semakin erat.

3. Melibatkan anak dalam membuat peraturan

Saat hendak membuat peraturan tertentu di rumah, libatkan anak dalam diskusi.

Hal ini dimaksudkan agar anak bisa bertanggung jawab dan menaati kesepakatan yang telah dibuat.

Berikan anak pemahaman bahwa peraturan yang adil dibuat agar ia juga mempunyai kendali pada diri sendiri sekaligus belajar bertanggung jawab.

Hello Health Group dan Hello Sehat tidak menyediakan saran medis, diagnosis, maupun pengobatan. Silakan cek laman kebijakan editorial kami untuk informasi lebih detail.