Sebutkan kasta apa saja yang ada dalam ajaran agama Hindu?

Agama Hindu atau Hinduisme berasal dari bahasa Sansekerta, menjadi agama yang begitu dominan di wilayah Asia Selatan, terlebih di negara Nepal dan India. Agama ini menawarkan adanya kewajiban abadi atau “kekal” yang harus dilakukan oleh semua umat tanpa memandang sekta, kasta, maupun strata. Kewajiban ini termasuk kesucian, pengendalian diri, dan kejujuran.

Sumber : Balipost

Panca Sradha dalam Agama Hindu

Umat Hindu berpegang teguh pada dasar keyakinan dalam menjalankan agamanya. Dasar inah yang selanjutnya menjadikan semua umat beragama Hindu percaya dan sangat meyakini keberadaan Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa. Dasar keyakinan ini terdiri dari lima aspek yang disebut dengan Panca Sradha. Kelima aspek tersebut antara lain:

Ajaran pertama ini berfokus pada keyakinan pada Brahman atau Tuhan. Ada banyak sebutan nama Tuhan dalam agama Hindu, seperti Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Brahman. Ini artinya, setiap umat Hindu meyakini dengan benar bahwa Tuhan itu ada, Maha Esa, Maha Kuasa, Maha segalanya. 

Kedua adalah Atman Tattwa atau lebih kerap disebut dengan Roh Suci. Umat Hindu meyakini pula bahwa keberadaan Jiwatman membuat manusia bisa hidup. Atman diyakini memiliki sifat kekal dan sempurna. 

Keyakinan dasar ketiga dalam ajaran agama Hindu adalah keberadaan dari Karmaphala. Kata Karma sendiri memiliki arti perilaku atau perbuatan, sementara phala artinya hasil yang didapat. Jadi, jika dijelaskan secara singkat, Karmaphala ini artinya hasil yang didapat dari perbuatan yang dilakukan. 

Sederhananya, umat Hindu sangat percaya dengan adanya hukum sebab akibat dalam kehidupan sehari-hari. Karmaphala sendiri dibedakan menjadi tiga bagian waktu, yaitu masa kini atau sekarang, masa nanti atau hari esok, dan masa depan. 

Ajaran keyakinan keempat dalam Panca Sradha adalah Samsara Tattwa atau percaya dengan adanya reinkarnasi, penjelmaan kembali atau kelahiran kembali, dalam agama Hindu ini dikenal dengan istilah Punarbawa yang artinya kelahiran berulang-ulang. Umat Hindu percaya setiap ruh akan kembali lagi kepada Tuhan dan harus dalam keadaan yang suci. 

Keyakinan terakhir adalah meyakini dan percaya dengan Moksha, yaitu bersatunya Brahman dengan Atman. Bukan tanpa alasan, tujuan tertinggi dalam agama Hindu adalah bisa mencapai Jagadhita dan Moksa. 

Secara sederhana, masyarakat Hindu percaya bahwa adanya Panca Sradha akan membuat mereka lebih mengetahui mana hal yang baik dan buruk. Apa yang dilakukan saat ini akan memberikan hasil yang setimpal nantinya, seperti keyakinan Karmaphala. 

Perilaku Manusia dalam Penyucian Diri

Selain lima keyakinan dalam menjalankan agamanya atau Panca Sradha, umat Hindu juga memiliki landasan atau pedoman dalam berperilaku atau bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Landasan ini dikenal dengan istilah Tri Kaya Parisudha atau tiga perilaku pada manusia dalam menyucikan dirinya. Ketiga perilaku ini yaitu:

Ajaran ini mengajarkan pada pemeluk agama Hindu tentang cara bagaimana manusia harus mampu berpikir dengan sebaik atau sebenar-benarnya. 

Wacika Parisudha mengarah pada ajaran umat Hindu untuk berbicara secara baik dan benar. Ini artinya tidak berkata kasar atau mengumpat, berbicara dengan sopan dan tutur kata yang baik.

Ajaran ini mengajarkan pada manusia bagaimana caranya untuk bisa berperilaku yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari terhadap sesama. Misalnya dengan melakukan tindakan-tindakan positif dan menghargai dan menghormati orang yang lebih tua. 

Setiap agama pasti punya ajaran atau keyakinan masing-masing. Jadi, ada baiknya kamu meluangkan sedikit waktu untuk lebih mendalami ajaran agama yang kamu percayai. Jika kamu beragama Hindu, Unit Kegiatan Mahasiswa atau UKM Keluarga Mahasiswa Hindu (KMH) BINUS UNIVERSITY jadi tempat yang tepat untuk belajar mendalami agama Hindu. Tak hanya menguatkan pemahaman tentang ilmu agama, mengikuti UKM ini juga akan membantu menstabilkan kesehatan rohani agar tetap selaras dengan kesehatan jasmani dirimu.

Sistem kasta Bali adalah suatu sistem organisasi sosial yang mirip dengan sistem kasta India. Kemiripan ini bisa terjadi karena kedua sistem ini berasal dari akar yang sama, yaitu kekeliruan dalam penerapan sistem Warna yang bersumber dari Veda. Akan tetapi, sistem kasta India jauh lebih rumit daripada Bali, dan hanya ada empat kasta dalam sistem kasta Bali.

Empat kasta Bali antara lain:

  • Sudra - petani, berjumlah sekitar 90 persen dari populasi Bali.[1]
  • Wesia (Waisya) - kasta pedagang dan pegawai pemerintahan
  • Satria (Kshatriya) - kasta prajurit, juga mencakup bangsawan dan raja
  • Brahmana - pendeta

Pembagian kasta yang mengikuti sistem kasta di India, yaitu Brahmāna, Kşatriya, Waisya, dan Sudra. Selain itu, Bali juga mengenal istilah jaba atau "luar", yaitu orang-orang yang berada di luar keempat kasta tersebut.[2]

Di dalam masyarakat Hindu dikenal adanya sistem warna, yaitu suatu sistem pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi yang ditekuni, bakat dan keahlian yang dikuasai. Pada perkembangannya, sistem warna dari agama Hindu ini sering diselewengkan oleh penguasa penguasa feodal dan pengikut pengikutnya untuk melanggengkan pengaruh politisnya di masyarakat. Sistem warna yang merupakan pengelompokan orang berdasarkan tugas dan kewajiban yang dijalankan di dalam kehidupan bermasyarakat berubah menjadi tingkatan-tingkatan yang membedakan derajat seseorang berdasarkan keturunan. Ide dasar dari sistem ini, yaitu pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi dan keahlian, sering atau bahkan terabaikan sama sekali. Tingkatan-tingkatan kelas inilah yang kemudian disebut dengan kasta.

Berbeda dengan sistem Warna yang bersumber dari ajaran Veda, sistem kasta yang sering tersamarkan dengan keberadaan sistem warna ini adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa portugis yang berarti tembok pemisah. Penerapan politik devide et impera pada masa pendudukan Hindia Belanda membuat sistem kasta dalam masyarakat Hindu Bali menjadi semakin kuat dan bahkan menggeser pengertian sistem warna yang asli.

Terdapat empat kasta dalam masyarakat Bali yang diambil dari sistem warna, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut yang tertinggi menurut sistem kasta adalah Brahmana, karena dalam buku ke-10 Rig-Veda yang memuat tentang sistem warna tertulis: “Golongan Brahmana keluar dari mulut Dewa Brahmana, golongan Ksatria dari tangannya, Waisya dari paha atau perutnya, Sudra keluar dari telapak kakinya”. Karena inilah sistem kasta yang mengadopsi sistem warna, kemudian menganggap golongan Brahmana sebagai yang tertinggi.

Berbeda dengan keyakinan dasar agama Hindu yang memandang semua warna dalam masyarakat sama sama memiliki nilai penting masing masing,sama halnya seperti seluruh bagian tubuh dalam kehidupan: semua adalah sama penting, sama-sama berguna serta saling menunjang satu sama lainnya, sehingga tidak ada bagian tubuh yang lebih rendah nilainya dari bagian yang lainnya, atau sebaliknya; lebih mulia dari yang lainnya.Ini jelas sangat berbeda dengan apa yang kemudian diimplementasikan oleh sistem kasta, yang beranggapan sebagai: brahmana yang tertinggi karena kepala adalah bagian tubuh teratas, dan sudra adalah kaki, maka paling rendah derajatnya.

Arti kiasan yang mengatakan bahwa golongan Brahmana keluar dari mulut Dewa Brahma adalah bahwa golongan Brahmana adalah guru rakyat, karena mulut merupakan saluran buah pikiran. Oleh karena itu, golongan Brahmana merupakan kasta tertinggi yang suaranya harus didengar dan ditaati. Golongan ini terdiri atas para pendeta dan pemimpin agama. Tugasnya menjalankan upacara-upacara keagamaan.

Golongan Ksatria yang dikatakan keluar dari tangan Brahma berarti, berarti bahwa golongan Ksatria menjadi golongan pemerintah, karena tangan diperlukan untuk memanggul senjata pada saat peperangan menahan serangan musuh. Golongan Ksatria terdiri dari raja, bangwasan, dan prajurit. Tugasnya menjalankan pemerintahan.

Kasta Waisya keluar dari perut atau paha Dewa Brahma. Paha berfungsi membawa tubuh dari suatu tempat ke tempat lain. Oleh karena itu, Kasta Waisya terdiri daripada pedagang yang membawa dagangan ke berbagai tempat. Dengan kata lain kasta Waisya bertugas menjalankan roda perekonomian.

Kasta Sudra keluar dari telapak kaki Dewa Brahma. Kaki adalah bagian tubuh yang paling di bawah, maka kasta Sudra menjadi kasta yang paling rendah kedudukannya dan harus melayani kasta-kasta yang ada di atasnya.

Triwangśa

Pembagian kasta dengan hanya mengambil tiga kasta teratas dari sistem Caturwangśa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, triwangsa (tri·wang·sa) tergolong dalam kata benda yang memiliki arti "tiga kasta (Brahmana, Kesatria, Waisya)".[3] Berdasarkan triwangsa, semua gelar diperoleh secara askriptif atau turun-menurun dan ditentukan berdasarkan garis keturunan.[4] Pola triwangsa masyarakat Bali memengaruhi kehidupan kerajaan Mataram, Lombok. Pengaruh terutama terlihat pada pemakaian gelar ( gelar raja-raja, Anak Agung,cokorda,gusti dan lain lain.)Pola hubungan sosial, pelaksanaan upacara, ritual kerajaan.[4]

Walaupun disadari sebagai budaya salah kaprah, dan kekeliruan dalam penafsiran sitem Varna yang bersumber dari ajaran veda, tetapi banyak pula yang berusaha untuk tetap melestarikan sistem ini.Dengan alasan melestarikan adat budaya dan agama, mereka mengungkapkan banyak alasan alasan sebagai pembenar. Seperti yang diungkapkan dalam buku Tata Nama Orang Bali halaman 91 "... Oleh karena itu, warisilah sistem tata nama yang sudah ada ini sebagai warisan budaya tradisi lisan yang meng-ajeg-kan bali,karena soal nama dan tata gelarnya tidak akan mungkin dihapus di jagat bali ini walaupun semua itu dianggap berasal dari cast pemberian penjajah belanda.Wajarlah belanda sebagai penguasa ingin mengatur wilayah yang dijajah dan dijarahnya..." lebih jauh penulis kemudian menambahkan "...Bagi kita di Bali, karena sistem tata nama ini merupakan warisan yang turun temurun berdasar konsep kebudayaan Hindu maka penerapannya hingga kini sudah menjadi merasuk di setiap insan orang Bali.Sistem tata nama dengan tata gelar berdasarkan caturwangsa ini tidak mungkin diubah total dengan caturwarna..."

Pembagian berdasarkan golongan

Pembagian berdasarkan golongan adalah:[2]

  1. Wong Majapahit: para keturunan Kerajaan Majapahit.
  2. Bali Aga: orang Bali asli yang sudah berada di Bali sebelum ekspansi Kerajaan Majapahit. Umumnya, masyarakat Bali asli ini tidak membaur dan terdesak hingga ke daerah terpencil (pegunungan) dan memiliki konotasi sebagai masyarakat terbelakang. Oleh sebab itu, sebutan "Bali Aga" tidak disukai oleh mereka. Logat masyarakat ini juga berbeda dari masyarakat Bali yang lain, yaitu mereka tetap melafal huruf "a" di akhir kata sebagai huruf "a", bukan menjadi huruf "ê". Contoh dari penduduk Bali Aga adalah masyarakat daerah Danau Batur.
  3. Pasèk : siapa pasek ini, masih sering menjadi tanda tanya dan perdebatan, pada jaman dalem semara kepakisan mereka digolongkan kedalam kelompok "pangeran" bersama keturunan pradana Sri Aji Bali, yaitu prati sentana Dalem Tarukan. Hal ini terlihat jelas pada salah satu gelar mereka yaitu, I Gusti Agung Pasek Pangeran Tohjiwa. Disaat itu mereka mendapat anugrah istimewa yaitu, luput dari hukuman mati/tidak boleh dihukum mati , hartanya tidak boleh dirampas, wanitanya tidak boleh dipermainkan dan pengampunan serta keringanan hukuman atas kesalahan kesalahannya dll. Kemudian beberapa generasi berikutnya Raja Buleleng konon menyebut asal usul Pasek sebagai keturunan pra menak ing bali , dalam nasihatnya kepada cucu beliau di Tojan.adapun cerita tersebut adalah sebagai beikut : Sesampai di Tojan, I Gusti Ngurah Panji berkata kepada cucunya, I Gusti Ngurah Jelantik: Singgih, gusti ngurah, ki bendeça puniki prēsiddha mūla pra menak ing Bali" artinya : demikialah,gusti ngurah, ki bendesa ini aslinya memang berasal dari pra menak di bali". Namun belakangan dimasyarakat modern berkembang pula definisi pasek dari sekelompok orang yang berusaha menyingkap sejarah jati diri Pasek dengan cara mengotak atik suku kata pasek, mereka berpendapat bahwa pasek , berasal dari paek, atau parekan. atau hamba sahaya. Pa kepanjangan dari parekan , sek kepanjangan dari seken, yaitu bahasa bali yang berarti golongan hamba sahaya sejati.

  1. ^ //books.google.co.in/books?id=8bW8WB-GrOYC&pg=PA53
  2. ^ a b Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno Diarsipkan 2016-03-14 di Wayback Machine., Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. ISBN 979-407-408-X.
  3. ^ Kamus Besar Bahasa Indonesia
  4. ^ a b Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia Diarsipkan 2014-08-12 di Wayback Machine., Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1.

 

Artikel bertopik Bali ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sistem_kasta_Bali&oldid=19226076"

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA