Salah satu cara untuk mengetahui awal dan akhir bulan dengan cara hisap pengertian hisap adalah

Salah satu cara untuk mengetahui awal dan akhir bulan dengan cara hisap pengertian hisap adalah
Perbedaan metode hisab dan rukyat dalam menentukan awal Ramadhan. (Foto: Antara)

Kastolani Senin, 28 Maret 2022 - 18:21:00 WIB

JAKARTA, iNews.id - Umat Islam di Indonesia tahun ini kemungkinan akan mengalami perbedaan dalam menjalankan awal puasa Ramadhan 2022 / 1443 H. Hal itu terjadi karena perbedaan metode dalam menentukan awal 1 Ramadhan yakni metode hisab dan rukyat.

Apa perbedaan metode hisab dan rukyat dalam menentukan awal 1 Ramadhan? Berikut penjelasannya.

Ustaz Ahmad Zarkasih Lc dalam bukunya Bekal Ramadhan menjelaskan, untuk menentukan awal Ramadhan, ulama menetapkan dengan dua cara yakni dengan metode Rukyat atau biasa dengan sebutan yang lebih lengkap rukyatul Hilal, juga dengan cara melengkapi bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.

Metode Rukyat

Rukyat berarti melihat dengan mata, dan hilal yang berarti bulan sabit. Disebut bulan sabit karena yang dilihat adalah keberadaan bulan di awal yang bentuknya masih sabit, belum terlihat bulat dari bumi.

Penentuan awal bulan Ramadhan adalah jika hilal sudah terlihat di tanggal 29 Sya’ban, sesaat setelah terbenamnya matahari.
Melakukan rukyatul hilal adalah cara yang disyariatkan di dalam agama dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana sabda Nabi SAW:

صوموا لرؤيته ـ أي الهلال ـ وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فاقدروا له

“Berpuasalah kalian dengan meliaht (bulan) dan berbukalah (berlebaran) dengan melihat bulan, jika terhalang oleh kalian melihat bulan maka taqdirkanlah.”

2. Ikmal

Ikmal atau istikmal adalah menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari, pada saat hilal tidak nampak di tanggal 29 Sya’ban itu.
Ini diambil jika memang kondisi langit ketika itu tidak memungkinkan untuk kita melihat hilal. Entah karena awan gelap, cuaca mendung atau bahkan hujan lebat. Maka, yang dilakukan ketika itu adalah melengkapi bilangan bulan sya’ban sebanyak 30 hari. Nabi SAW telah bersabda soal ini: "Bila tidak nampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya‘ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits lain disebutkan sebagai berikut:

“Berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu dengan melihatnya juga. Tetapi bila ada awan yang menghalangi, maka genapkanlah hitungan dan janganlah menyambut bulan baru.” (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim)

Jadi bulan Sya'ban digenapkan bilangannya menjadi 30 hari. Dan inilah pendapat kebanyakan para ulama (jumhur) sepanjang masa

3. Metode Hisab

Pengertian metode hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam penentuan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah. 

Tim Asatidz Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Muhammad Saiyid Mahadlir menjelaskan, dalam dunia Islam istilah (terminologi) hisab sering digunakan dalam ilmu falak untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. 

Karena posisi matahari menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu sholat. Sementara posisi bulan digunakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender hijriyah. 

Dalil metode hisab:

وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ

“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia seperti pelapah yang tua” (QS 36:39).

اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ

Artinya: Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. (QS. Ar Rahman: 5)

Mahadlir menjelaskan, metode penentuan awal Ramadhan dengan hisab bukanlah sesuatu yang tercela, bahwa memang dahulunya ada sebagian ulama yang menilai ilmu hisab seperti ini adalah ilmu yang terlarang, namun ilmu hisab yang dimaksud oleh para ulama itu adalah ilmu perbintangan yang biasa digunakan oleh para normal untuk mengetahui perkara ghaib. 

Adalah Mutharrif bin Abdillah seorang pembesar tabiin yang memulai memberikan pendapat tentang penggunaan ilmu hisab setelah memahami hadits Rasulullah SAW yang menyatakan; “Jika bulan tidak terlihat, maka taqdirkanlah”.

Kata “faqdurulah” ditafsirkan dengan: قدروه بحسب المنازل.   (perkirakanlah dengan ilmu hisab), dan yang senada juga diaminkan oleh Abu Al-Abbas bin Suraij, salah satu pembesar ulama Syafiyah.

Sebagian ulama yang mendukung metode ini menilai bahwa observasi mata yang dilakukan oleh masyarakat terdahulu didasari atas kenyataan bahwa dahulunya belum ada orang yang memumpuni untuk melakukan penghitungan dengan ilmu pengetahuan.

Frase yang diungkap Rasulullah SAW: “bahwa kami ini adalah ummat yang tidak bisa membaca dan berhitung” dinilai sebagai illah (alasan) keberadaan observasi mata (rukyat) sebagai penanda awal Ramadhan yang Rasulullah SAW sabdakan.

Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, yang diikuti dengan perkembangan ilmu astronomi, sehingga bisa menghitung gerak bulan dengan tingkat kesalahan yang sangat kecil, bahkan sekarang ini hasilnya nyaris tanpa salah.

Syaikh Yusuf Al-Qaradhawy di dalam kitabnya “Kaifa Nata’amalu Ma’a As-Sunnah” menjelaskan tentang cara memahami teks hadits melaui kaidah: التمييز بين الهدف الثابت والوسيلة المتغيرة (membedakan antara tujuan yang tetap dan wasilah atau cara yang (bisa) berubah)

Dalam hal ini beliau memberikan contoh tentang hadits puasa Ramadhan dan rukyat, sabda Rasulullah SAW:

صوموا لرؤيته ـ أي الهلال ـ وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فاقدروا له

“Berpuasalah kalian dengan meliaht (bulan) dan berbukalah (berlebaran) dengan melihat bulan, jika terhalang oleh kalian melihat bulan maka taqdirkanlah”

Hadf (tujuan) utama dari hadits ini adalah hendaklah seluruh ummat Islam berpuasa penuh satu bulan pada bulan Ramadhan, dan jangan pernah meninggalkan satu hari pun tanpa adanya halangan yang membolehkan baginya untuk berpuasa.

Adapun melihat bulan (rukyat) itu hanya wasilah yang sangat mungkin bisa berubah dari waktu ke waktu, jika pada zaman Rasulullah SAW wasilah yang paling mudah dilakukan hanya dengan obsevasi mata telanjang, maka sekarang observasi tentunya bisa dengan mengunakan peralatan moderen, atau bisa juga menggunkan ilmu hisab yang tingkat kesalahannya sangat minim.

Wujud Al-Hilal (Keberadaan Bulan)

Wujudul Hilal adalah salah satu metode hisab yang digunakan oleh sebagian ormas di Indonesia, khususnya Muhammadiyah. Sederhanyan, kriteria metode Wujud Al-Hilal ini harus memenuhi tiga perkara:

1- Telah terjadi ijtimak (konjungsi),2- Ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan

3- Pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).

Jika dalam hitungan ilmu hisab ketiga ini sudah terpenuhi, maka bisa dipastikan bahwa pada malam tersebut sudah masuk bulan baru, dan esoknya kita sudah berpuasa, walau tanpa memperhatikan ketinggian bulan, asalkan posisinya sudah berada di atas ufuk.

Demikian penjelasan mengenai metode penentuan awal 1 Ramadhan dengan metode rukyat dan hisab.

Wallahu A'lam


Editor : Kastolani Marzuki

Salah satu cara untuk mengetahui awal dan akhir bulan dengan cara hisap pengertian hisap adalah
​ ​

Oleh :

Nandang Syukur H.

Penyuluh Agama Kecamatan Ibun Kab. Bandung

Menentukan awal ramadhan dilakukan dengan salah satu dari dua cara berikut:

1. Melihat hilal ramadhan.

2. Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

Melihat Hilal Ramadhan

Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”

Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (shalih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepadaRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.”

Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”

Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.

Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,

”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab . Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”

Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,

“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaikmembuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits, 

“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.

Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.”Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali sedikit”.

Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal

Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.

Salah seorang ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.”

Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia

Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.

Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal.

Namun keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendirihendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.

Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”

Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”.

Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.

Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang mengetahuinya.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.”

Beliau rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut  benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas.

Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha-dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,

ّ“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)

Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”

Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,

“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”

Imam Ahmad juga mengatakan,

“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”.

Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?

Misalnya ketika di Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga berlaku hilal yang sama? Ataukah masing-masing negeri berlaku hilal sendiri-sendiri?

Berikut kami nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’(Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).

Pertanyaan: “Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada  perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?

Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan qiyas. Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka samasama berdalil dengan firman Allah,

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”(QS. Al Baqarah: 185)

Begitu juga firman Allah,

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.”(QS. Al Baqarah: 189)

Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.

Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.

Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.

Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Semoga sajian kali ini bermanfaat.

Editor : Tri Budiono 

Dibaca: 10.674 Kali