Politik etis merupakan kebijakan yang membawa dampak dalam bidang sosial

Politik etis merupakan kebijakan yang membawa dampak dalam bidang sosial

Foto: Freepik.com

Salah satu materi mata pelajaran sejarah yang harus kamu kuasai itu ialah tentang politik etis. Sebab, dengan mempelajarinya, Quipperian sekalian secara tak langsung memahami perjalanan bangsa.

Untuk itu, pada artikel kali ini akan membahas mengenai materi politik etis yang terjadi di Indonesia pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Biar kamu langsung paham, yuk, langsung dibaca ulasannya!

Pengertian Politik Etis

Politik etis merupakan kebijakan yang membawa dampak dalam bidang sosial

Foto: Pixabay.com

Sebelum membahas lebih lanjut soal politik etis, baiknya kamu memahami pengertiannya. Politik etis (Etische Politiek) atau politik balas budi merupakan pemikiran yang menyatakan pemerintah kolonial Hindia Belanda mempunyai tanggung jawab secara moral kepada rakyat bumiputera.

Pemikiran tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk kritik terhadap pelaksanaan politik kolonial yang telah dilakukan oleh pemerintah Belanda. Politik etis dipelopori oleh dua orang politikus yang berasal dari Belanda, yakni Pieter Broshooft dan van Deventer. Pemikiran kedua politikus tersebut membuka mata pemerintah Kolonial Belanda untuk lebih memperhatikan nasib wilayah jajahannya. 

Latar Belakang Politik Etis

Politik etis merupakan kebijakan yang membawa dampak dalam bidang sosial

Foto: Pexels.com

Politik etis tidak muncul begitu saja. Ada sejumlah hal yang melatarbelakanginya. Pertama, perihal adanya sistem tanam paksa yang mewajibkan rakyat dan pemilik lahan kala itu untuk menanam tanaman yang sesuai dengan permintaan Belanda. Sistem tersebut menyebabkan penderitaan tersendiri bagi rakyat Indonesia kala itu. 

Sistem itu merupakan gagasan dari Van den Bosch yang diangkat menjadi gubernur jendral yang baru di Hindia Belanda pada tahun 1830. Setelah Van den Bosch sampai di Jawa, ia segera mencanangkan program Cultuurstelsel atau tanam paksa.

Sayangnya, ketentuan dalam Cultuurstelsel tidak dijalankan dengan semestinya. Hal tersebut menyebabkan rakyat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, sehingga menyebabkan penderitaan yang lebih berat bagi rakyat. Dalam penerapannya, rakyat juga banyak kehilangan tanahnya karena diambil oleh para bangsawan lokal atau pemerintah Hindia Belanda.

Hal kedua yang melatarbelakangi terjadinya politik etis ialah diterapkannya sistem ekonomi liberal pasca pelaksanaan Cultuurstelsel dihapuskan pada 1863. Penerapan sistem ini membuat modal-modal swasta masuk nusantara.

Ternyata, penerapan sistem ekonomi liberal tidak membuat penderitaan rakyat nusantara kala itu membaik. Sebab, sistem tersebut hanya menguntungkan para pengusaha yang memiliki modal dari pada rakyat yang bekerja. Hal tersebut sama saja seperti hanya memindahkan penjajahan dari negara kepada swasta saja. Koeli Ordonantie yang diterapkan tidak dapat melindungi rakyat dari pemerasan, akan tetapi hanya melegalkan perbudakan dengan adanya Ponale Sanctie.

Dan, hal ketiga yang ikut melatarbelakangi politik etis ialah kritik dari para intelektual Belanda. Dasar utama kritik tersebut lantaran pelaksanaan tanam paksa yang dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda. Dua tokoh yang sudah disebutkan di atas, yakni Broshooft dan van Deventer, merupakan tokoh yang menolak keras pelaksanaan sistem tersebut.

Kedua tokoh tersebut menganjurkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda untuk melakukan politik etis atau politik balas budi. Van Deventer berpendapat bahwa Pemerintah Kolonial Belanda telah banyak berutang budi kepada rakyat nusantara selama pelaksanaan sistem tanam paksa. 

Utang budi tersebut harus dibayar oleh Pemerintah Belanda dengan cara memperbaiki nasib rakyat, seperti memberikan pendidikan serta kemakmuran bagi kehidupan rakyat nusantara kala itu. Gagasan tersebut dituangkan dalam artikel yang berjudul Eeu Eereschuld yang artinya utang budi dan dimuat oleh majalah De Gids.

Pelaksanaan Politik Etis

Politik etis merupakan kebijakan yang membawa dampak dalam bidang sosial

Foto: Pixabay.com

Dengan adanya kaum humanis yang menyerukan politik etis, dipelopori oleh van Deventer dan Brooshooft, telah membuat Pemerintah Kolonial untuk lebih memperhatikan nasib rakyat nusantara. Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang saat itu baru naik tahta sebagai mahkota Belanda mengumumkan dalam pidato politiknya pada pembukaan parlemen Belanda. Ia mengumumkan bahwa Pemerintah Belanda memiliki panggilan moral dan utang budi kepada bangsa pribumi di Hindia Belanda.

Pada pidatonya itu, Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral utang budi itu ke dalam kebijakan politik yang tertuang dalam program Trias Politika yang meliputi irigasi, emigrasi, dan edukasi. 

Program irigasi (pengairan) merupakan program untuk melakukan perbaikan serta pembangunan irigasi dalam bidang pengairan untuk keperluan pertanian. Hal tersebut dilakukan dalam rangka menjaga ketahanan pangan dari gagal panen akibat cuaca sehingga mencegah kelaparan di Hindia Belanda.

Program kedua, yakni emigrasi yaitu proses perbaikan dalam bidang kependudukan dengan cara mengakomodasi perpindahan penduduk dari tempat yang padat ke tempat yang lebih sedikit penduduknya. Pelaksanaan program tersebut dalam rangka memberikan kesempatan bagi penduduk untuk mendapatkan kesempatan dalam berusaha dan mengusahakan tanah yang menganggur.

Dan, program terakhir, yakni edukasi merupakan program yang bergerak pada proses pengembangan dan perbaikan dalam bidang pengajaran dan pendidikan. Pelaksanaan program ini membuat pendidikan yang selama ini hanya menjangkau masyarakat bangsawan, sekarang juga diberikan kepada masyarakat golongan lain.

Dari pidato itu, banyak pihak yang menghubung-hubungkan kebijakan baru Ratu Wilhelmina tersebut dengan tulisan dari van Deventer yang diterbitkan sebelumnya. Hingga akhirnya, van Deventer dikenal sebagai pencetus dari politik etis tersebut.

Penyimpangan Politik Etis

Politik etis merupakan kebijakan yang membawa dampak dalam bidang sosial

Foto: Pixabay.com

Ide gagasan yang mulia tersebut pada akhirnya terjadi penyimpangan pada pelaksanaannya. Penyimpangan tersebut terjadi di tiap gagasan program.

Pada program irigasi, penyimpangan terjadi pada pemilihan tanah-tanah yang dibuatkan irigasi. Tanah-tanah yang dipilih hanya tanah-tanah subur untuk perkebunan swasta milik Belanda. Tanah perkebunan milik rakyat pun akhirnya tidak teraliri air dari saluran irigasi yang telah dibuat.

Lalu, pada program emigrasi, penyimpangannya pada pemilihan wilayahnya di luar pulau Jawa, yakni pada daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan milik Belanda. Hal tersebut terjadi lantaran adanya permintaan besar akan tenaga kerja yang dibutuhkan di daerah tersebut seperti perkebunan di Sumatra, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lainnya. Di daerah tersebut, rakyat nusantara dijadikan sebagai kuli kontrak, sedangkan emigrasi yang ditujukan ke Lampung bersifat menetap.

Dan, program pendidikan akhirnya hanya menghasilkan tenaga-tenaga administrasi yang terampil dan murah. Selain itu, pendidikan itu dibuka hanya untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang kalangan mampu. Hal tersebut akhirnya melahirkan diskriminasi pendidikan dengan membedakan kelas pendidikan.

Demikianlah sedikit pembahasan mengenai politik etis yang terjadi pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Memahami kondisi itu kiranya dapat membuka cakrawala berpikirmu perihal sejarah bangsa Indonesia. Jangan lupa mampir ke Quipper Blog untuk baca artikel menarik lainnya, ya!

[spoiler title=SUMBER]

  • Mata Pelajaran Sejarah Materi Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda Quipper Video
  • http://www.kompas.com/[/spoiler]

Penulis: Muhammad Khairil