Panduan berbicara untuk bisu tuli in english

Seseorang dapat berbahasa harus ditunjang oleh fungsi pendengaran yang baik, sebab pemerolehan bahasa terbentuk melalui proses meniru dan mendengar. Setelah bahasa mulai terbentuk, anak akan mencoba mengungkap sendiri melalui kata-kata sebagai awal dari kemampuan bahasa ekspresif. Bila fungsi pendengaran mengalami hambatan, maka proses pemerolehan bahasa akan terganggu, karena kemampuan ini berkembang melalui pendengaran. Anak yang fungsi pendengarannya mengalami hambatan dalam proses pemerolehan bahasa anak, akan mengalami hambatan pula dalam berkomunikasi. Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran yang diklasifikasikan kedalam tuli (deaf) dan kurang pendengaran (hard of hearing). Dampak langsung dari ketunarunguan adalah terhambatnya komunikasi verbal/lisan, baik secara ekspresif (berbicara) maupun reseptif (memahami pembicaraan orang lain), sehingga sulit berkomunikasi dengan lingkungan orang mendengar yang lazim menggunakan bahasa verbal sebagai alat komunikasi. Pemerolehan bahasa pertama anak tunarungu dapat dilakukan dengan komunikasi total. Komunikasi total merupakan sistem komunikasi paling efektif karena selain menggunakan bentuk komunikasi secara lisan atau disebut oral, dengan kegiatan membaca, menulis, membaca ujaran, juga dilengkapi dengan bentuk isyarat.

Kata Kunci: Pemerolehan bahasa, anak tunarungu

ABSTRACT

A person can speak must be supported by good hearing function, because language acquistion is exist through the process of imitating and listening. After the language begins to form, children will try to express themselves through words as the beginning of expressive language skills. If the hearing function is impaired, the process of language acquistion will be disrupted, because this ability develops through hearing. Children whose hearing function experiences obstacles in the process of acquiring language, will also experience obstacles in communication. Children with hearing impairment are children with hearing loss who are classified into deaf and hard of hearing. The direct impact of disability is the obstruction of verbal/verbal communication, both expressive (speaking) and receptive (understanding the speech of others), making it difficult to communicate with the environment of hearing people who commonly use verbal language as a communication tool. Obtaining the first language of a deaf child can be done with total communication. Total communication is the most effective communication system because in addition to using a form of communication orally or called oral, the activity of reading, writing, reading utterances, is also equipped with a form of cues.

TEMPO.CO, Jakarta - Tidak semua orang dengan disabilitas pendengaran menggunakan istilah tunarungu. Terminologi ini, bagi sebagian kelompok disabilitas pendengaran justru tidak menggambarkan keadaan mereka yang sebenarnya. Sebagian penyandang disabilitas pendengaran lebih suka disebut Tuli.

"Tunarungu adalah istilah medis untuk menggambarkan keterbatasan dari sebuah fungsi, sedangkan Tuli merupakan istilah budaya atau cara berkomunikasi yang berbeda," tulis Michele, seorang staf pengajar bahasa isyarat di Pusat Bahasa Isyarat Indonesia atau Pusbisindo melalui pesan singkat, 28 Juni 2018.

Istilah Tuli juga merupakan akar kata bahasa Indonesia yang menggambarkan ragam jenis keadaan seseorang, bukan ketidakmampuan berbicara. Adapun terminologi tunarungu, menurut beberapa kelompok penyandang disabilitas pendengaran, dianggap sebagai keterbatasan fisik dalam mendengar sekaligus bicara. Bukan sebagai keragaman budaya, cara, atau ragam komunikasi alternatif.

"Saya lebih nyaman menggunakan bahasa isyarat karena lugas dan jelas menyampaikan segala hal," ujar Surya Sahetapy yang juga pengajar di Pusat Bahasa Isyarat Indonesia melalui video yang dibuatnya sekitar Juni lalu.

Dalam video tersebut, Surya berbicara tanpa menggunakan bahasa isyarat melainkan bahasa verbal. Video tersebut juga menunjukkan, bukan berarti orang yang Tuli tidak dapat berbicara. "Berkomunikasi seperti ini bukan sebuah aktivitas yang mudah bagi saya karena harus melalui tahapan terapi wicara sejak umur delapan tahun," ujar Surya.

Terapi wicara juga bukan sebuah kegiatan yang nyaman dilakukan bagi teman-teman yang Tuli. Sebab, ada alat yang digunakan dengan cara dimasukkan ke dalam mulut. Dengan berbagai alasan yang sudah dipaparkan, pengenalan bahasa isyarat sebagai ragam cara berkomunikasi di kalangan umum dapat menjadi pilihan agar teman Tuli dapat menyampaikan pendapat mereka dengan lugas dan efektif.

TEMPO.CO, Jakarta - Orang tua yang memiliki anak dengan gangguan pendengaran tidak perlu khawatir anaknya tidak dapat berkomunikasi. Kini sudah banyak metode yang dapat membantu anak dengan gangguan pendengaran agar fasih berkomunikasi, termasuk bicara, tanpa melalui terapi yang kurang nyaman. Salah satu cara yang mulai banyak direkomendasikan adalah Auditory Verbal Therapy atau AVT.

Baca juga:
Biarkan Anak Main di Luar Rumah, Ini Alasannya Menurut Psikolog
Anak Marcella Zalianty Sakit Tumor Otak, Jangan Abaikan Gejalanya

"Ini adalah terapi bagi anak-anak dengan gangguan pendengaran agar dapat menyadari, mengidentifikasi, memproses, hingga bereaksi terhadap bunyi yang ada di sekitarnya," kata Rini Nurbaety, koordinator terapis AVT di Kasoem Hearing Center, kepada Tempo, Jumat, 29 Juni 2018. Dia menjelaskan, AVT dilakukan anak tanpa harus melihat gerak bibir terapisnya.

AVT dilakukan dengan cara bermain menggunakan alat peraga yang disesuaikan dengan kemampuan dan reaksi anak terhadap bunyi. "Karena tidak melihat gerak bibir terapis, anak-anak yang bisa mengikuti terapi ini adalah mereka yang menggunakan bantuan teknologi pendengaran, seperti ABD (alat bantu dengar) atau implan koklea," ujar Rini.

Tahapan AVT dimulai dengan tahap sadar bunyi. Pada fase ini, anak dilatih menyadari keberadaan bunyi di sekitarnya melalui teknik modeling. Pada tahapan ini, orang tua, anak, dan terapis AVT duduk bersama untuk melakukan proses pengenalan bunyi kepada anak. "Tahapan ini untuk melihat reaksi anak ketika diperdengarkan suatu bunyi, apakah merespons atau tidak," kata Rini.

Reaksi yang diperlihatkan anak dapat bermacam-macam, bergantung pada usianya. Bayi di bawah 3 tahun, misalnya, biasa merespons dengan lirikan mata, tengokan kepala, atau berhenti sejenak dari kegiatan yang dilakukan. Setelah reaksi tersebut muncul, orang tua dan terapis AVT membuat kesepakatan dengan anak mengenai cara bereaksi bila ada bunyi.

Contohnya, ketika diperdengarkan bunyi lonceng di depan telinga ayah, ayah langsung menunjuk kuping. Kemudian, ketika lonceng diperdengarkan ke telinga ibu, ibu langsung menunjuk kuping. Terakhir, ketika lonceng diperdengarkan di telinga anak, maka anak diajarkan juga untuk meniru respons ayah dan ibunya tadi dengan menunjuk kuping. "Dengan begitu, AVT bukan hanya untuk anak, tapi juga orang tuanya," ucap Rini.

Setelah anak sadar akan keberadaan bunyi, terapi dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu pembedaan jenis bunyi. Misalnya, beda bunyi lonceng dengan bunyi ketukan pintu. Pada tahapan ini, orang tua ditargetkan meningkatkan pengenalan jenis bunyi kepada anak. "Jika terapi hari ini mengenalkan lima jenis bunyi kepada anak, maka pada terapi berikutnya jumlah jenis bunyi yang dikenalkan harus bertambah, misalnya sampai 10 jenis bunyi," tutur Rini.

Tahap berikutnya adalah identifikasi bunyi. Terapis AVT mulai mengasosiasikan jenis bunyi-bunyian dengan benda yang ada di sekitar anak. Pada tahapan ini, anak diharapkan bisa mengaitkan bunyi dengan benda yang dipegang terapis AVT. Contoh, ketika ada bunyi "Tut tut tuuut," diasosiasikan dengan mainan kereta. Pada tahap ini, biasanya anak belajar lebih lama dan harus menghafal berbagai jenis bunyi beserta bendanya.

Artikel lain:
Asupan Gula Berlebihan Buruk untuk Anak, Batasi dengan 5 Cara Ini

Tahapan terapi terakhir adalah tahap komprehensi atau melatih anak bereaksi terhadap kata yang lebih panjang dan kalimat. Anak diharapkan dapat menjawab pertanyaan atau memberikan pernyataan terhadap suara yang didengarnya.

Pada semua tahapan terapi, orang tua diwajibkan aktif berbicara dan mengenalkan cara pengucapan kata. Orang tua juga mesti rajin memantau reaksi anak, lalu merespons balik dengan cara mengajak anak bicara. Orang tua dilarang memberikan respons kepada anak dengan gestur tubuh atau mimik wajah. "Terapi AVT hanya dijalani selama satu jam di klinik, sedangkan sisanya dilakukan orang tua bersama anak di rumah. Jadi efektif atau tidaknya, juga bergantung pada proses komunikasi orang tua dan anak di rumah," ujar Rini.

Illian Deta Artasari, ibu seorang anak dengan implan koklea, mengatakan anaknya, Aziza, 4 tahun, cocok menjalani terapi AVT. Dalam waktu sembilan bulan, Aziza, yang awalnya tidak merespons bunyi sama sekali, dapat mengucapkan berbagai kata walaupun dengan lafal yang belum jelas. "Terapi AVT dimulai sebelum Aziza menjalani pemasangan implan koklea. Saat itu, Aziza masih menggunakan alat bantu dengar atau ABD," ucap Illian.

Menurut Illian, setelah pemasangan implan koklea, kemampuan Aziza merespons bunyi makin baik. Perkembangannya kian signifikan setelah dibarengi terapi AVT. Hampir dua tahun Aziza menjalani terapi AVT, dan sekarang bocah perempuan itu sudah bisa bernyanyi. "Saat ini, Aziza sudah bisa bermain sambil bercerita dengan kalimat yang panjang meskipun masih ada pengucapan huruf yang belum sempurna," tutur Illian.

Direktur Eksekutif Museum Hang Omah Munir ini menceritakan, dalam menjalani AVT, dia harus mengeluarkan 3.500 sampai 6.000 kata setiap hari untuk melatih Aziza bicara. "Ini untuk mengejar keterlambatan pengucapan yang dialami Aziza," katanya.

Saat ini, banyak klinik atau pusat terapi pendengaran di Jakarta. Selain menawarkan metode terapi beserta tenaga ahli yang komprehensif, tempat terapi Auditory Verbal Therapy dilengkapi dengan sarana bermain anak. Soal biaya, beberapa klinik terapi pendengaran memasang harga Rp 200 ribu sampai Rp 1 juta untuk satu jam terapi.