Pada awalnya al azhar adalah sebuah masjid yang namanya diambil dari nama sebuah ibu kota yaitu

Sejarah Al-Azhar (Bag. I)

Danni Nursalim Harun, Lc. Dpl.*

Sejarah Berdirinya Al-Azhar

Ia adalah sebuah masjid sekaligus universitas di kota Kairo yang dibangun oleh Jawhar Al-Katib As-Shoqly (Ilyas As-Shoqly, panglima tentara Abu Tamim, setahun setelah Dinasti Fatimiyah menaklukkan Mesir. Hal itu langsung dilakukan setelah mereka mendirikan Markas Kerajaan mereka yang baru (Kota Kairo didirikan Jumadil Ula tahun 259 H / Maret 873 M, Al-Azhar didirikan Ramadhan tahun 361 H / Juni 875 M), kemudian langsung dipergunakan untuk sholat pada saat yang sama. Masjid dibangun di sebelah tenggara kota Kairo, dekat dengan Istana Besar yang waktu itu ada diantara daerah Ad-Daylam sebelah timur dan Daerah At-Turk sebelah selatan.

Al-Azhar adalah masjid Jami’ pertama yang dibangun di Kairo. Pada saat dibangun ia berbentuk satu bangunan yang terbuka di tengahnya (dalam bahasa Arab disebut Shohn, meniru arsitektur Masjid Al-Haram), di dalamnya ada 3 ruwaq (ruangan khusus yang dipergunakan untuk kegiatan belajar atapun penampungan pelajar), yang paling besar adalah Ruwaq Al-Qiblah. Waktu itu luasnya hanya setengah luas yang ada sekarang.

Jawhar menorehkan tulisan relief di sekitar Kubah yang bertahunkan 360, yang nash tulisan lengkapnya bisa diketahui dalam tulisan Al-Maqrizy (Al-Khattath, jld II, hal 273, baris 24-26). Sejak saat itu, pahatan tersebut menghilang. Para penguasa Fatimiyyah memperluas bangunan masjid dan menetapkan waqaf khusus untuknya. Sebagai contoh adalah Al-Aziz Nazzar (365-386H / 976-996 M) yangtelah menjadikan Al-Azhar sebagai Akademi Keilmuan dan mendirikan penampungan bagi orang-orang faqir yang bisa menampun 35 orang.

Diriwayatkan bahwa pada bangunan pertama masjid ini terdapat relief burung-burung yang terpahat pada puncak tiga tiang yang berfungsi untuk menjaga agar jangan sampai burung bersarang di situ. Ketika Al-Hakim Bi Amrillah berkuasa, (386-411 H / 996-1020 M), dia memperluas bangunan masjid dan mengkhusukan wakaf untuk bangunan tersebut dan juga bangunan lainnya. Hal itu juga disebutkan oleh Al-Maqrizy ketika menceritakan kejadian tahun 400 H. Pada tahun 519 H, Al-Amir membuat miharab di dalamnya yang dihiasi dengan ukiran-ukiran kayu. Ukiran-ukiran tersebut masih tersimpan di Daarul Atsar Al-Arabiyyah (Pusat Peninggalan Arab) di Kairo.

Nama Al-Azhar berhubungan erat dengan Dinasti Fatimiyyah yang mendirikannya. Dikatakan bahwa Al-Azhar sebagai simbol bagi Fatimah Az-Zahraa radliyallahu anha putri Rasulullah Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wa sallam. Sebagaimana salah satu koridor Al-Azhar dinamai dengan Fatimah radliyallahu anha. Al-Mustanshir dan Al-Hafizh juga ikut menambah sedikit luas masjid Al-Azhar. Dinasti Fatimiyyah adalah Dinasti Syiah Bathiniyyah yang berusaha untuk menyebarkan ajarannya tersebut dengan mendirikan Al-Azhar.

Kemudian Sholahuddin Al-Ayyubi berhasil menaklukkan Dinasti Fatimiyyah. Pada masanya Al-Azhar ditutup sama sekali, dan dilarang dipakai untuk kegiatan apapun. Hal itu dilakukan untuk membersihkan pengaruh-pengaruh syiah yang masih kental. Sebagai gantinya, Sholahuddin mendirikan madrasah-madrasah di sekitar Al-Azhar yang mengajarkan Islam dengan empat madzhab Sunny, yang bangunannya masih ada sampai sekarang. Al-Azhar ditutup untuk umum selama hampir satu abad lamanya, selama Dinasti Ayyuby, sebelum kemudian para bangsawan dan pejabat kerajaan mulai menaruh belas kasihan terhadap Al-Azhar.

Ketika Raja Az-Zhahir Bibris berkuasa, pada Dinasti Mamluky, Al-Azhar diadakan perbaikan dan perluasan Al-Azhar. Ia memberikan dorongan untuk dibuka lagi kegiatan belajar mengajar di sana. Dan pada tahun 665 H / 1266-1267 M, khutbah di Masjid Al-Azhar diperbolehkan kembali. Langkahnya terebut mendapatkan sambutan dari semua fihak. Para Penguasa setelahnya mengikuti langkahnya dalam menghidupkan dan memakmurkan Al-Azhar. Sehingga cahaya Al-Azhar yang telah padam itu lambat laun mulai bersinar kembali.

Ketika Tentara Mongol memporak porandakan Bagdad, umat Islam kehilangan Pusat Keilmuan di Timur waktu itu. Ditambah Andalus juga jatuh ke tangan kaum Franj yang Kristen yang menghapuskan peradaban Islam di sana. Namun pasukan Dinasti Mamluk yang dipimpin Sultan Qathz berhasil menaklukkan pasukan Mongol yang bergerak ke Palestina menuju Mesir, dalam pertempuran yang terkenal di ‘Ain Jalut 658 H / 1260 H.

Kejadian itu menjadikan para ulama dan penuntut ilmu datang berbondong-bondong ke Mesir yang merupakan daerah Islam yang teraman pada masanya. Hal itu menjadikan Al-Azhar menjadi kiblat keilmuan umat Islam, dikarenakan berkumpulnya para ulama dari berbagai belahan dunia di sana. Apalagi para penguasa Dinasti Mamluky benar-benar memperhatikan dan menjaga eksistensi Al-Azhar dengan segala kemampuan mereka. Harta wakaf senantiasa mengalir untuk menjamin kesejahteraan para pengajar dan para pelajar.

Pada tahun 665 H / 1266 M, Pangeran Izzuddin Aidmar melakukan renovasi bangunan-bangunan yang sudah retak. Ia juga mengambil kembali halaman Al-Azhar yang sudah diserobot penduduk setempat. Hal itu dirayakan dengan mengadakan Sholat Jumat di Al-Azhar pada tanggal 18 Rabiul Awwal 665 H / 19 November 1266 M.

Pada tahun 702 H / 1302 M – 1303 M, sebuah gempa telah merusak mesjid. Maka Pangeran Sahd pun mengadakan renovasi masjid. Pembangunan masjid dimulai lagi pada tahun 725 H / 1325 M oleh Pegawai Hisbah Kairo, Muhammad bin Hassan Al-As’ardy (berasal dari Sa’rad, Armenia). Pada masa Sultan An-Nashir Muhammad bin Qolawun Al-Mamluky, Pangeran Alaauddin Thibris—Panglima Tentara—mendirikan Madrasah Thibrisiyyah yang kemudian disambungkan dengan Masjid Al-Azhar. Kemudian Pangeran Alaauddin Aqbagha mendirikan Madrasah Aqbaghiyyah di pintu yang berhias sebelah kiri (Pintu Utama Masjid).

Pada tahun 761 H / 1360 M, Sultan At-Thowasyi Basyir Al-Jamidar An-Nashiry merenovasi masjid dan mengadakan perluasan lagi. Kemudian menyediakan mushaf-mushaf di dalamnya, menetapkan seorang Qori, dan menyediakan bagi orang-orang faqir makanan yang dimasak setiap hari. Ia juga menyediakan pelajaran fiqih Madzhab Hanafy.

Pada tahun 800 H / 1360 M menara masjid runtuh, dan langsung dibangun kembali pada masa Sultan Barquq yang membiayainya dengan hartanya sendiri. Setelah itu menara masjid sempat runtuh lagi dua kali (817 & 827 H / 1414 & 1423 M), dan setiap itu terjadi langsung dibangun kembali. Pada masa Sultan Barquq juga dibangun talang air, tempat minum dan lampu penerangan.

Sultan Qaitbay Al-Mamluky menghancurkan pintu sebelah barat laut Masjid pada tahun 873 H / 1468 M. Kemudian mendirikan menara untuk adzan di sebelah kanan Masjid, yang termasuk menara paling indah di Kairo. Sultan Qaitbay merupakan bangsawan yang paling banyak perhatiannya terhadap Al-Azhar. Ia juga berjasa dalam mendirikan penampungan bagi orang-orang faqir dan para ulama. Bahkan Ibnu Iyas mengatakan bahwa sultan ini mempunyai kebiasaan aneh, yaitu selalu datang ke Al-Azhar dengan menyamar dalam pakaian orang Maroko untuk mendengarkan apa yang dikatakan orang tentangnya.

Lalu Sultan Qanshuh Al-Ghury Al-Mamluky membangun menara yang mempunyai dua kepala yang merupakan menara masjid Al-Azhar yang paling tinggi pada tahun 1190 H / 1776 M. Menara ini merupakan menara yang unik yang menjadi ciri khas Dinasti Mamluky. Masa ini merupakan masa-masa terakhir Dinasti Mamluky.

Pada masa Daulah Utsmaniyah, Al-Fatih Salim Syah sering mengunjung Al-Azhar dan sholat di dalamnya. Ia memerintahkan untuk dibacakan Al-Quran di dalamnya, shodaqoh untuk fuqoro yang menuntut ilmu di sekitar masjid. Di dirikan juga sebuah ruangan khusus untuk sholat orang-orang tuna netra yang disebut Zawiyyah Al-‘Umyaan yang dibangun oleh Utsman Katakhda Al-Qozdughaly (Qasid Oughly) pada tahun 1148 H / 1735-1736 M.

Abdurrahman Katakhda yang masih kerabat Utsman Al-Qazdughaly, termasuk orang yang paling dermawan terhadap Al-Azhar. Ia telah membangun koridor dengan sebaik-baiknya, mendirikan qiblat sholat, mimbar untuk khutbah, sekolah untuk mengajar anak-anak yatim, membuat talang air dan membuat kuburan tempat dia di kubur.

Adapun pada masa Muhammad Ali Pacha, pada awalnya mereka tidak menaruh perhatian pada Al-Azhar. Pada akhir abad ke XI Hijriah / XVII Masehi, ditetapkan adanya kedudukan Syaikh Al-Azhar. Pada masa Sultan Salim I Al-Utsmany terjadi kevakuman dalam perkembangan keilmuan Al-Azhar disebabkan pengiriman sejumlah Ulama Al-Azhar ke Al-Astanah—Ibu Kota Daulah Utsmaniyah—padahal mereka adalah orang-orang pilihan dari Madzhab Sunny yang empat. Akan tetapi para Khadevy pada masa-masa terakhir, mengerahkan usaha untuk menjaga kebesaran dan kemegahan Al-Azhar.

Bagian-bagian Masjid Al-Azhar Setelah Masa Itu

Berdasarkan arsip resmi tahun 1268 H / 1815 M, bagian-bagian dan ruwaq-ruwaq Al-Azhar terbagi kepada nama-nama berikut:

1. At-Turk (untuk orang Turki),

2. As-Syawaam (untuk orang Syam),

3. Al-Kurd (untuk orang Kurdi),

4. Al-Maghoribah (untuk orang Afrika Utara),

5. Al-Bukharaa (untuk orang Asia Tengah),

6. As-Sho’aayidah (untuk penduduk Sho’id, Mesir),

7. Ar-Riyaafah (untuk penduduk Delta, Mesir), atau Al-Manaayifah (untuk penduduk Manoufiyah, Mesir), atau Syaikh Syanwaty,

8. Al-Bahaawiroh (untuk penduduk Buhayroh),

9. As-Syaikh Al-Baajuury,

10. Al-Madrasah Al-Ibtighowiyah,

11. Al-Falaatsah (untuk orang Afrika Tengah),

12. As-Syaikh Tsu’aylib,

13. Ad-Danaasyiroh (untuk orang Danusyiroh dan sekitarnya),

14. Ibnu Mu’ammar,

15. Al-Madrasah At-Thibirosiyyah,

16. As-Syarqowy (untuk penduduk Syarqiyyah, Mesir),

17. As-Syabrokhity,

18. Al-Hunud (untuk orang India),

19. Al-Baghdadiyyah (untuk orang Baghdad dan sekitarnya),

20. Ad-Damanhury, (untuk penduduk Damanhur, Mesir)

21. Al-Basyabisyah (untuk orang Basyisy dan sekitarnya),

22. Ad-Dakaarinah atau As-Shulayhiyyah,

23. Darfour, 24. Al-Yamaniyyah,

25. Al-Baraabiroh (untuk orang Barbar),

26. Al-Jawa (untuk penduduk Jawa dan sekitarnya),

27. Al-Imaroh Al-Jadidah atau Muhammad Al-Maghrobil,

28. As-Sulaymaniyyah,

29. Isa Affandi,

30. Al-Jabartiyyah.

Sebagian dari ruwaq-ruwaq tersebut masih dipergunakan sampai pada awal tahun 1998, untuk kemudian dikosongkan karena akan direnovasi. Adapun para pelajar Al-Azhar yang tinggal di ruwaq tersebut pada waktu itu—yang sebagian mereka adalah orang-orang Indonesia—dipindahkan ke sebuah building di kawasan km 4,5 di Nasr City, Cairo, dengan mendapatkan pelayanan yang hampir sama dengan mereka yang tinggal di Asrama Al-Azhar. Bedanya mereka tidak mendapatkan beasiswa resmi dari Al-Azhar.

Semenjak renovasi sampai sekarang, ruwaq-ruwaq tersebut tidak pernah dipergunakan lagi sebagaimana fungsi awalnya. Mengingat bahwa Masjid Al-Azhar sekarang berada di bawah Kementerian Waqaf Mesir—sebagaimana masjid-masjid yang ada di Mesir—dan bukan di bawah Grand Syaikh Al-Azhar.

Sistem Pengajaran Dahulu

Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1911, Al-Azhar beralih ke fase baru dalam sistem pengajarannya dengan ditambahkanya materi-materi pelajaran. Juga dengan adanya wewenang khusus bagi Syaikh Jami’ Al-Azhar dengan dibuatnya sebuah majelis yang berada di bawah pimpinannya yang dinamakan Majelis Tertinggi Al-Azhar (Majlis Al-Azhar Al-A’laa). Dibuat juga sistem bagi Lembaga Tokoh-tokoh Ulama (Haiah Kibar Al-Ulama), kemudia setiap madzhab mempunyai Syaikh yang menjadi pimpinannya dan setiap lembaga pendidikan (ma’had) mempunyai manajemen sendiri.

Al-Azhar tunduk kepada UU tersebut dengan berbagai perubahan yang dibuat sesudahnya. Sampai kemudian keluar UU No. 33 Tahun 1923 untuk mendirikan bagian spesialisasi. Pada 24 Jumad Al-Akhiroh 1349 H / 1930 M, dikeluarkan SK dengan UU No. 49 Tahun 1930 yang mengatur ulang sistem Masjid Al-Azhar serta lembaga-lembaga ilmu-ilmu agama Islam. UU itu mulai berlaku pada tahun 1931.

UU ini telah membuat Pengajaran di Al-Azhar menjadi empat tahapan

1. Ibtidai. Lamanya empat tahun. Di situ diajarkan materi-materi ; Al-Fiqh, Al-Akhlaq Ad-Diniyyah (Moral Agama), At-Tajwid, Hafalan Al-Quran Al-Karim, At-Tawhid, As-Siroh An-Nabawiyah (Sejarah Nabi Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wa sallam), Al-Muthola’ah wal Mahfuzhot , Al-Insya (Mengarang), An-Nahwu (Kaidah Bahasa Arab), As-Shorfu, Al-Imlaa (Dikte), Al-Khoth (Kaligrafi), At-Tarikh (Sejarah), Geografi, Al-Hisab (Ilmu Hitung), Al-Handasah Al-Ilmiyah (Aritmetika Sains), Mabadi Al-Ulum (Pedoman Sains), Tadbiir As-Shihhah (Kesehatan), Ar-Rosmu (Menggambar).

2. Tsanawy. Lamanya lima tahun. Di situ diajarkan materi-materi ; Al-Fiqh, At-Tafsir, Al-Hadits, At-Tawhid, Hafalan Al-Quran Al-Karim, An-Nahwu, As-Shorfu, Al-Balaghoh (Al-Bayan, Al-Badi’, Al-Ma’any), Al-‘Arudh wal Qofiyah (Ilmu Bentuk Syair-syair Arab), Al-Muthola’ah wal Mahfuzhot, Al-Insya, Adab Al-Lughoh (Sastra), Ar-Riyadhoh (Matematika, Aritmetika dan Al-Jabar), Keilmuan (Biologi, Kimia, dan Sejarah Biologi), Al-Manthiq, At-Tarikh, Geografi, Al-Akhlaq, At-Tarbiyah Al-Wathoniyah (Pendidikan Kenegaraan).

3. ‘Aali. Lamanya empat tahun dan terbagi kepada empat fakultas ;

a. Fakultas Bahasa Arab, yang diajarkan di dalamnya materi-materi : An-Nahwu, Al-Wadh’u, As-Shorfu, Al-Mantiq, Ilmu-ilmu Balaghoh, Sastra Arab dan Sejarahnya, Sejarah Arab Pra Islam, Sejarah Bangsa-bangsa Islam, At-Tafsir, Al-Hadits, Al-Ushul, Al-Insya’, Fiqhu Al-Lughoh.

b. Fakultas Syariah, yang diajarkan di dalamnya materi-materi : At-Tafsir, Matan Hadits, Mustholah Al-Hadits dan Rijal Al-Hadits, Ushul Al-Fiqh, Tarikh Tasyri’ Al-Islamy, Al-Fiqhu dengan komparasi dalam permasalahan global (kulliyyah) serta hikmah tasyri’ (penetapan syariah), Sastra Bahasa Arab, Ilmu-ilmu Balaghoh, Al-Mantiq (Ilmu Logika).

c. Fakultas Ushuluddin, yang diajarkan di dalamnya materi-materi : At-Tawhid dengan menyebutkan argumen-argumen dan menangkal syubhat-syubhat terutama yang tersebar pada masa itu, Ilmu Logika dan Berdebat (Al-Munazhoroh), Filsafat dengan bantahan terhadap filsafat yang bertentangan dengan agama, Al-Akhlaq, At-Tafsir, Al-Hadits, Sastra dan Sejarah Bahasa Arab, Sejarah Islam, Ilmu Jiwa, Ilmu-ilmu Balaghoh.

4. Spesialisasi. Terbagi menjadi dua : Spesialisasi Profesi dan Spesialisasi Materi.

Tujuan dari spesialisasi profesi adalah untuk menyiapkan ulama-ulama yang berprofesi sebagai pemberi nasehat dan petunjuk, atau dalam peradilan di pengadilan syariah, memberi fatwa, dan advokasi, atau mengajar di lembaga-lembaga pendidikan agama dan sekolah-sekolah pemerintah.

Adapun tujuan dari spesialisasi materi adalah mempersiapkan ulama-ulama berkwalitas tinggi dalam ilmu-ilmu dasar di tiga fakultas tersebut. Orang yang memegang ijazah di bagian ini akan ditetapkan untuk mengajar di fakultas-fakultas dan bagian-bagian spesialisasi.

Ada juga bagian pengajaran lain yang tidak masuk sistem yang diperbolehkan bagi para pelajar yang tidak memenuhi syarat penerimaan di bagian-bagian yang resmi, juga bagi khalayak ramai yang ingin memperluas wawasan di bidang Bahasa Arab dan Ilmu-Ilmu Agama,

Ijazah-Ijazah

Ijazah-ijazah yang diberikan kepada mereka yang berhasil pada ujian akhir adalah sbb ;

1. Ijazah Ibtidai. Diberikan kepada mereka yang menamatkan Bagian Ibtidai dan memberikan hak kepada pemegangnya untuk bergabung dengan Bagian Tsanawy di Bagian Pertama.

2. IJazah Tsanawy Bagian Pertama. Diberikan kepada mereka yang menamatan tahun pertama, kedua dan ketiga di Tsanawy Bagian Pertama dan memberikan hak bagi pemegangnya untuk bergabung ke Bagian Tsanawy di Bagian Kedua.

3. Ijazah Tsanawy Bagian Kedua. Diberikan kepada mereka yang menamatkan tahun keempat dan kelima dari Tsanawy Bagian Kedu yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk bergabung di fakultas yang ada.

4. Ijazah Al-‘Aliyah. Diberikan kepada mereka yang menamatkan pelajaran di salah satu fakultas yang ada. Bagi yang memegangnya bisa mendapatkan pekerjaan tata usaha di Masjid Al-Azhar, lembaga-lembaga agama, Peradilan Agama, Majelis Hisbah dan Wakaf, dan mengajar di masjid-masjid, menjadi khotib, imam masjid, serta penghulu resmi.

5. Ijazah Al-‘Alamiyah. Diberikan kepada mereka yang menamatkan pelajaran spesialisasi pada profesi pengajaran, atau pengadilan agama, atau memberi nasehat dan petunjuk. Mereka yang mendapatkan ijazah ini pada spesialisasi pengajaran bisa mengajar di lembaga-lembaga pendidikan agama atau sekolah-sekolah pemerintah. Bagi yang mendapatkan ijazah ini pada spesialisasi peradilan bisa bekerja di peradilan agama, lembaga fatwa, advokasi pada peradilan syariah, Majelis Hisbah.

6. Ijazah Al-‘Alamiyah dengan gelar Ustadz (Profesor). Diberikan kepada mereka yang spesialis dalam salah satu materi. Bagi mereka yang memegangnya bisa mengajar di fakultas-fakultas dan di bagian spesialisasi.

Al-Majlis Al-A’laa li Al-Azhar (Dewan Tertinggi Al-Azhar)

UU No. 193 menetapkan adanya Badan Judikatif yang mempunyai hak untuk meninjau aturan-aturan dan undang-undang yang diberlakukan untuk berjalannya pengajaran dan manajemen di Al-Azhar dan lembaga-lembaga pendidikan agama. Badan ini disebut Al-Majlis Al-Azhar Al-A’laa, yang terdiri dari :

1. Syaikh Jami’ Al-Azhar

2. Deputi (Wakil) Al-Jami’ Al-Azhar dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ia berhak memegang kepemimpinan majelis jika Syaikh Jami’ Al-Azhar berhalangan.

3. Mufti Diyar Al-Mishriyyah

4. Syaikh-syaikh tiga fakultas tersebut

5. Deputi Departemen Al-Haqqoniyyah

6. Deputi Departemen Waqaf

7. Deputi Departemen Hubungan Sosial

8. Deputi Departemen Keuangan

9. Dua orang anggota Lembaga Tokoh Agama yang ditetapkan dengan mandat raja selama dua tahun.

10. Dua orang yang keberadaannya bermanfaat bagi kepentingan pengajaran di Al-Azhar dan lembaga-lembaga pendidikan Islam, yang ditetapkan dengan mandat raja selama dua tahun.

Diambil dari www.alazhar.gov.eg, www.azhar.edu.eg dan www.ar.wikipedia.org

* Alumnus Fak. Studi Islam & Bahasa Arab Universitas Al-Azhar, Post Degree Diploma Institut Studi Islam, Ketua Majelis Penasehat PWK PP PERSIS 2004-2006, Staf Pengajar Pusat Kebudayaan dan Informasi Kedutaan Republik Indonesia, Cairo 2000-2008.