Orang yang berbuat dengan tidak ikhlas selalu mengharapkan

Ikhlas, tidak mengharap selain ridho Allah, itu yang dituntut ketika kita beramal. Namun kadang, hati selalu mengharap pujian orang lain, ini yang mesti diwaspadai karena dapat merusak amalan yang semula adalah baik.

Ikhlaslah dan Jauhi Riya’ (Gila Pujian)

Beberapa ayat menerangkan agar kita dapat menjadi orang yang ikhlas dalam ibadah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (artinya: ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah: 5).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang bahaya riya’ (gila pujian) bahwasanya amalan pelaku riya’ tidaklah dipedulikan oleh Allah. Dalam hadits qudsi disebutkan,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (artinya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya” (HR. Muslim no. 2985). Imam Nawawi rahimahullah menuturkan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa” (Syarh Shahih Muslim, 18: 115).

Begitu pula peringatan keras bagi orang yang cuma mengharap dunia dalam amalannya, di antaranya adalah mengharap pujian manusia disebutkan dalam hadits berikut ini,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang menutut  ilmu yang sebenarnya harus ditujukan hanya untuk mengharap wajah Allah, namun ia mempelajarinya hanya untuk meraih tujuan duniawi, maka ia tidak akan pernah mencium bau surga pada hari kiamat nanti” (HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan Ahmad 2: 338. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ibnul Qayyim dalam Al Fawaid mengatakan, “Tidak mungkin dalam hati seseorang menyatu antara ikhlas dan mengharap pujian serta tamak pada sanjungan manusia kecuali bagaikan air dan api.”

Seperti kita ketahui bahwa air dan api tidak mungkin saling bersatu, bahkan keduanya pasti akan saling membinasakan.Demikianlah ikhlas dan pujian, sama sekali tidak akan menyatu. Mengharapkan pujian dari manusia dalam amalan pertanda tidak ikhlas.

Ada yang menanyakan pada Yahya bin Mu’adz, “Kapan seorang hamba disebut berbuat ikhlas?” “Jika keadaanya mirip dengan anak yang menyusui. Cobalah lihat anak tersebut dia tidak lagi peduli jika ada yang memuji atau mencelanya”, jawab Yahya.

Muhammad bin Syadzan berkata, “Hati-hatilah ketamakan ingin mencari kedudukan mulia di sisi Allah, namun di sisi lain masih mencari pujian dari manusia”. Maksud beliau adalah ikhlas tidaklah bisa digabungkan dengan selalu mengharap pujian manusia dalam beramal.

Ada yang berkata pada Dzun Nuun Al Mishri rahimahullah, “Kapan seorang hamba bisa mengetahui dirinya itu ikhlas?” “Jika ia telah mencurahkan segala usahanya untuk melakukan ketaatan dan ia tidak gila pujian manusia”, jawab Dzun Nuun.

Coba pula lihat perkataan Ibnu ‘Atho’ dalam hikam-nya. Beliau berkata, “Ketahuilah bahwa manusia biasa memujimu karena itulah yang mereka lihat secara lahir darimu. Seharusnya engkau menjadikan dirimu itu cambuk dari pujian tersebut. Karena ingatlah orang yang paling bodoh adalah yang dirinya itu yakin akan pujian manusia padahal ia yakin akan kekurangan dirinya.”

Lihatlah bagaimana Ibnu Mas’ud, sahabat yang mulia, namun masih menganggap dirinya itu penuh ‘aib. Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Jika kalian mengetahui ‘aibku, tentu tidak ada dua orang dari kalian yang akan mengikutiku”.

Seorang hamba yang bertakwa tentu merasa dirinya biasa-biasa saja, penuh kekurangan, dan selalu merasa yang lain lebih baik darinya. Jika memiliki sifat mulia seperti ini, maka kita akan tidak gila pujian dan tidak sombong. Yang selalu diharap adalah wajah Allah dan kenikmatan bertemu dengan-Nya. Mengapa kita masih memiliki sifat untuk gila pujian dari manusia? Mengharap ridho Allah tentu lebih nikmat dari segalanya.

Ya Allah, berilah kami keikhlasan dalam setiap amalan kami. Wabillahit taufiq.

Referensi:

Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayid bin Husain Al ‘Afani, terbitan Darul ‘Afani, cetakan pertama, 1421 H, hal. 315-317.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Setiap Perbuatan Ada Balasannya, Dalil Nabi Muhammad Rasul Terakhir, Gaji Pns Haram, Niat Shalat Tahiyatul Masjid Dan Qabliyah

Seseorang pada umumnya ketika berbuat baik kepada orang lain, berharap suatu ketika mendapatkan kebaikan yang sama dari orang yang bersangkutan. Logika demikian itu kiranya bersifat manusiawi. Orang yang telah diberi kebaikan seharusnya akan membalas kebaikan pula. Namun yang terjadi adalah tidak selalu demikian. Banyak orang yang berbuat baik, tetapi kemudian justru dibalas dengan keburukan atau setidaknya kebaikan itu dilupakan begitu saja.

Saya pernah mendapatkan nasehat dari seorang guru senior, bahwa ketika berbuat baik kepada seseorang jangan sekali-kali berharap akan mendapatkan kebaikan yang sama dari orang yang bersangkutan. Peringatan itu diberikan, masih dari seorang guru dimaksud, adalah agar tidak kecewa. Diingatkan bahwa sedikit sekali orang yang telah menerima kebaikan mampu mengingat kebaikan yang telah diterimanya itu. Kebanyakan mereka lupa, oleh karena manusia itu bersifat pelupa.

Manusia di dalam al Qur'an, di antaranya, disebut dengan istilah al insaan. Sebutan itu kebanyakan dikaitkan dengan hal yang kurang baik, kurang menyenangkan, dan bahkan sesuatu yang buruk. Tidak kurang dari 56 kali, kata insaan disebut di dalam al Qur'an dan kebanyakan menyebut yang demikian itu. Disebutkan misalnya, bahwa manusia selalu merugi, manusia terhadap tuhannya ingkar, manusia diciptakan dalam keadaan berfkeluh kesah, manusia itu dholim yang nyata, manusia itu berlebih-lebihan, dan tentu masih banyak sebutan lagi lainnya yang hampir semuanya tidak menyenangkan.

Sifat manusia sebagaimana disebutkan itu menjadikan mereka sangat berat untuk melakukan kebaikan hingga membalas kepada orang yang telah berbuat baik kepadanya.Oleh karena itu ketika melakukan kebaikan kepada orang lain, maka harus dilakukan dengan ikhlas. Sikap ikhlas sangat berbeda dari sikap yang terjadi pada kegiatan jual beli, pinjam meminjam, atau bertransaksi. Orang berbuat ikhlas akan segera melupakan apa yang dilakukan itu. Orang berbuat ikhlas hanya semata-mata berharap memperoleh kasih sayang dari Tuhannya.

Seorang guru yang arif sebagaimana disebutkan di muka juga mengingatkan bahwa, berharap memperoleh kebaikan dari berbuat baik kepada orang lain itu saja sebenarnya keliru. Kebaikan yang diberikan kepada seseorang hendaknya tanpa bermaksud memperoleh balasan. Balasan itu tidak akan dapat diperoleh dari manusia. Oleh karena itu, agar hati menjadi tenang, sabar, dan tidak terganggu, maka ketika memberi sesuatu kepada orang lain, seharusnya diberikan dengan ikhlas dan atau tulus tanpa berharap memperoleh balasan. Wallahu a'lam

Kajian Online Penyejuk Iman (KOPI Ramadan) kembali digelar. Kali ini mengangkat tema mengikhlaskan amal. Ustadz Dr. Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psi. dalam kajiannya mengulas tips agar selalu tenang dan bahagia setelah beramal. Menurutnya, perkara paling dasar adalah mengikhlaskan diri kepada Allah sebagai syarat utama diterimanya amal ibadah.

Ikhlas merupakan amalan hati yang perlu mendapatkan perhatian khusus secara mendalam dan dilakukan secara terus-menerus. Baik ketika hendak beramal, sedang beramal, maupun ketika sudah beramal. Hal ini dilakukan agar amalan yang dilakukan bernilai di hadapan Allah.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ….”

Maksud dari agama yang lurus dari ayat tersebut adalah kita terjauhkan dari hal-hal syirik dan menuju kepada tauhid. Disinilah kedudukan ikhlas yang begitu penting dalam amal ibadah, agar amalan-amalan tidak sia-sia dan tidak mendapatkan azab di dunia maupun akhirat kelak.

Ustadz Sus Budiharjo dalam tausiyahnya memaparkan agar tidak berharap kepada manusia ketika beramal, melainkan berharap hanyalah kepada Allah. Caranya yakni dengan menanyakan kepada diri sendiri mengenai hal yang dilakukan. Apakah kita melakukan ini untuk teman, kerabat, kantor, bangsa, atau untuk Allah?

“Hal ini perlu dilakukan agar hati kita tertata untuk terus menumbuhkan rasa ikhlas di hati. Sehingga apabila mendapatkan cacian atau hinaan dari oranglain, kita tidak merasa sedih. Karena pada hakikatnya kita melakukan itu hanyalah untuk Allah,” terangnya.

Allah menyeru hamba-Nya dalam QS. Al-Ikhlas pada kalimat Qul atau katakanlah. “Mengatakan bahwa Allah itu Maha Esa dan semua yang dilakukan hanya untuk Allah, serta apapun yang telah dilakukannya diserahkan hanya kepada-Nya. Sebab tidak ada yang dapat disetarakan dengan-Nya,” jelasnya.

Ustadz Sus Budiharjo menambahkan, InsyaAllah dengan melakukan hanya karena-Nya, kita mencintai Allah dan sebaliknya. Jika kita diuji kita bersyukur, jika dikhianati kita bersyukur, sebab kita melakukannya hanya karena Allah. Untuk itu kita menjadi lebih tulus, ikhlas dan bahagia.

“Jangan menggantungkan amalan itu untuk mendapatkan pujian dari manusia. Alhamdulillah kalau dapat pujian, kalau dapat makian kita terima dan setelah itu memohon kepada Allah,” pungkasnya. (SF/RS)