Oleh Ayung Notonegoro Nama Kiai Haji Raden Asnawi dari Kudus tidaklah asing dalam belantika Nahdlatul Ulama. Beliau termasuk Asabiqunal Awwalun (generasi awal) di organisasi yang didirikan para ulama itu. Bahkan, Kiai Asnawi merupakan salah satu kiai yang ditunjuk sebagai mustasyar dan anggota delegasi Komite Hijaz, meski pada akhirnya ia gagal berangkat. Kedekatan Kiai Asnawi dengan NU bukanlah hal yang aneh. Ia merupakan seorang ulama penganut Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja). Suatu hal yang menjadi ruh dari perjuangan NU itu sendiri, yakni menegakkan Islam Aswaja. KH. Sholeh Darat, KH. Mahfudz Termas dan Sayyid Umar Syata adalah sederet nama ulama Aswaja yang menjadi guru-gurunya. Selain kesamaan ideologis tersebut, kedekatan Kiai Asnawi dengan NU tak lain karena para perintis NU merupakan murid-muridnya sendiri. Hadratusyekh KH Hasyim Asyari dan KH Abdul Wahab Hasbullah adalah pendiri dan penggerak NU yang pernah nyantri kepadanya. Keterlibatan Kiai Asnawi di NU terhitung militan. Ia merupakan sedikit ulama besar yang aktif dalam setiap kegiatan NU. Dalam catatan Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan dalam Antologi NU, Kiai Asnawi terhitung tokoh yang tak pernah absen dalam setiap muktamar sejak muktamar pertama hingga muktamar ke-22 di Jakarta, 1959. Tahun yang sama dengan waktu wafatnya. Hanya pada Muktamar di Medan pada 1952, beliau tak hadir karena saat itu situasi keamanan di Sumatera sedang mencekam dikarenakan pemberontakan PRRI. Kiai kelahiran Damaran, Kudus, 1861 ini, tak sekadar hadir di NU. Tapi beliau memiliki peranan yang cukup signifikan untuk mengembangkan organisasi yang pada 31 Januari 2026 mendatang genap seabad. Salah satunya adalah mendirikan cabang-cabang NU. Termasuk NU Cabang Kudus yang merupakan daerah asalnya.Pada Ahad malam, 10 Rabiul Awal 1347 H bertepatan 26 Agustus 1928 M, Kiai Asnawi menggelar veergedering. Suatu pertemuan yang mendatangkan ulama dan sejumlah tokoh di Kudus. Acara yang diberitakan di Majalah Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) Nomor 2 Tahun II 1347 H itu, juga mendatangkan sejumlah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Di antaranya KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Abdullah Ubaid. Upaya Kiai Asnawi Kudus untuk mendirikan cabang-cabang baru merupakan salah satu amanat dari Muktamar NU ketiga. Saat itu, di Majelis Khamis (Komisi Lima) memutuskan untuk membentuk Lajnatun Nashihin yaitu sebuah organ taktis yang bertujuan untuk mempropagandakan NU ke daerah-daerah. Tugas tersebut dibebankan kepada sembilan orang kiai di antaranya adalah Kiai Wahab, Kiai Abdullah Ubaid dan Kiai Asnawi sendiri. Para kiai di Lajnatun Nashihin itu berkeliling di Jawa dan Madura untuk memperkenalkan maksud dan tujuan NU. Lantas, di daerah tersebut, didirikanlah Cabang NU. Sebelum ke Kudus, dua hari sebelumnya, Kiai Wahab dan Kiai Ubaid datang ke Semarang dan Pekalongan. Di dua daerah tersebut juga didirikan Cabang NU. Setelah para peserta veergedering menyetujui untuk mendirikan Cabang NU di Kudus, Kiai Asnawi pun kemudian memimpin proses pemilihan kepengurusan cabang tersebut. Susunan Pengurus Cabang NU Kudus yang pertama itu pun disusun pada malam itu juga. Lengkap, mulai dari syuriyah hingga tanfidziyah. Setelah penyusunan pengurus lengkap selesai, tepat pukul 12.00 malam, veergedering itu ditutup dengan doa. Doa keselamatan dan perkembangan NU di Nusantara umumnya, serta di Kudus, khususnya. Penulis adalah penggiat sejarah pesantren dan NU. Kini aktif sebagai kerani di Komunitas Pegon
Nama asli Kiai Asnawi adalah Raden Syamsi. Nama Asnawi diperoleh setelah menunaikan ibadah haji. Beliau juga pernah menggunakan nama Ilyas, ketika pertama kali berangkat haji, nama inilah yang dikenal ketika belajar di tanah Hijaz. Asnawi, atau Raden Syamsi, lahir di Damaran, Kudus, pada 1281 H/1861 M. Ia merupakan putra dari pasangan H. Abdullah Husnin dan R Sarbinah, keduanya adalah pedagang konveksi yang cukup besar di kota Kudus. Jika dirunut silsilahnya, Kiai Asnawi masih keturunan ke-14 Sunan Kudus (Syech Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 Kiai Ahmad Mutamakkin, Kajen, Pati. Sebagai sosok ahli ilmu, sejak kecil sudah terlihat kegemaran Kiai Asnawi dalam belajar dan melakukan rihlah ilmiyyah (perjalanan keilmuan). Orang tuanya merupakan guru pertama, dalam mengaji tajwid dan penguasaan bacaan al-Qur’an. Kemudian, Asnawi kecil melakukan perjalanan ke Tulungagung, ikut orang tuanya berbisnis. Di kota ini, ia mengaji di sebuah pesantren. Kemudian, Asnawi kecil pindah ke Jepara, mengaji kepada KH. Irsyad Naib, di kawasan Mayong. Dari jalur keilmuan, jelas bahwa Kiai Asnawi mempunyai sanad yang tersambung dengan ulama-ulama Nusantara, di antaranya Kiai Saleh Darat (Semarang), Kiai Mahfudz at-Termasi (Termas, Pacitan), KH. Nawawi al-Bantani, dan Sayyid Umar Shatha. Kiai Asnawi juga mengaji sekaligus menunaikan ibadah haji di tanah Makkah. Kiai Asnawi bermukim di Makkah selama kisaran 20 tahun. Selama mengaji di Makkah, beliau tinggal di rumah Syekh Hamid Manan yang berasal dari Kudus. Ketika belajar di Makkah, ayah Kiai Asnawi wafat. Meski demikian, kecintaan pada ilmu tidak menyurutkan niatnya untuk terus mengasah pengetahuan. Ketika mengaji di Makkah, Kiai Asnawi menikah dengan Nyai Hj. Hamdanah, janda Syech Nawawi al-Bantani. Pernikahan ini dikaruniai 9 putra, di antaranya H. Zuhri, Hj. Azizah (istri KH. Saleh, Tayu), dan Alawiyah (istri R. Maskub Kudus). Kiai Asnawi merupakan sosok aktifis sekaligus pendidik. Beliau sudah mulai mengajar santri ketika masih berada di Makkah, di antara santri-santrinya, yakni Kiai Bisri Syansuri, Kiai Wahab Chasbullah, KH. Dahlan, Kiai Saleh Tayu, Kiai Chambali (Kudus), KH. Mufid (Kudus), dan Kiai Ahmad Muchit (Sidoarjo).Sang Kiai Pejuang Munawir Aziz, peneliti, editor penerbitan dan Wakil Sekretaris LTN PBNU (Twitter: @MunawirAziz) Referensi:Muhib Inganatut Thalibin, KHR Asnawi: Sejarah Hidup, Pemikiran dan Perjuangannya, Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2008. Rabith, Jihan Amaruli, Pemikiran Islam K.H.R. Asnawi Kudus (1916 – 1959). Prosiding Seminar Nasional Budaya di Pantai Utara Jawa. 2012. Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai, Yogyakarta: LKIS, 2008. |