Mentalitas inlander itu mendarah daging arena dikembangkan oleh sistem yang juga melahirkannya yaitu

JAKARTA - Dalam perbincangan sehari-hari, kata pribumi bukanlah suatu istilah baru. Baik itu dalam tataran masyakat hingga pejabat, sering kali mendefinisikan orang Indonesia atau yang seperti tokoh bangsa HOS Tjokroaminoto sebut bumiputera, sebagai kaum pribumi. Otomatis, kata pribumi merasuk layaknya sebuah warisan kolonial rasis yang tetap lestari hingga hari ini.

Padahal, sejarah jelas-jelas mencatat kelahiran kata pribumi, tak lain lahir dari rahim penjajahan Belanda. Kala itu, Kompeni dengan percaya dirinya membuat kasta yang berwujud klasifikasi rasial penduduk di Hindia-Belanda. Sekilas, bentukannya tak seperti sistem kasta yang ada di agama Hindu. Sebab, Kompeni hanya membaginya ke dalam tiga tingkatan sesuai dengan Undang-Undang Kolonial tahun 1854.

Sebagaimana yang diungkap oleh Sejarawan JJ Rizal, isi dari UU menunjukan warga negara Hindia-Belanda nomor satu jatuh pada kalangan Europeanen atau orang-orang kulit putih Eropa. Warga negara nomor dua milik Kalangan Vreemde Oosterlingen –Timur Asing—yang meliputi orang China, Arab, India, maupun non Eropa lainnya. Dan warga negara nomor tiga, yakni inlander atau pribumi, yang mana di dalamnya termasuk pula masyarakat lokal, terlebih lagi mereka beragama islam.

Oleh karenanya, pembagian kelas dalam UU Belanda yang menempatkan Orang Indonesia menjadi warga negara kelas tiga, membuat kata pribumi menjadi tak memiliki keistimewaan. Itulah mengapa era kolonial menjadi pematik utama langgeng sindiran pribumi atau inlander “Narasi rasis deskriptif itulah yang secara sosial budaya masih eksis hingga hari ini.”

Tak heran, Kamus Merriam-Webster, telah mencatat kata inlander sebagai istilah yang telah digunakan sejak tahun 1610. Berdasarkan kamus, istilah inlander terdiri dalam dua unsur, yaitu inland dan imbuhan –er yang bermakna “orang yang tinggal di inland.” Sedangkan inland sendiri diartikan sebagai suatu wilayah yang mungkin semacam dusun, atau kampung.

Oleh sebab itu, wajar Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun menyerap kata inlander sebagai sebutan ejekan bagi penduduk asli di Indonesia oleh orang Belanda pada masa penjajahan. Buktinya, dapat melirik ke zaman awal Belanda menaklukkan Jayakarta dan mengganti menjadi Batavia pada 1619.

“Gubernur Jenderal VOC (1619-1623 dan 1627-1629), Jan Pieterszoon Coen sangat menyenangi orang Cina, yang dinilai rajin, tidak kenal lelah, dan sangat terampil. Dan, ia menganggap rendah pribumi, yang dikatakannya malas, tak mudah diatur, dan tidak dapat dipercaya,” ungkap Alwi Shahab dalam buku Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2002).

Boleh jadi pendapat Coen terkait pribumi ialah yang paling dikenal. Namun, jauh sebelum Coen, pandangan yang merendahkan orang Indonesia sudah dimulai pada dekade pertama abad ke-17. Alkisah, orang eropa yang selalu terancam akan kehilangan nyawa dan harta ketika berada di bumi Nusantara menjadi penyebabnya. Buahnya, mereka menyebut orang Indonesia sebagai inlander.

Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1961), mengungkap seorang penjelajah Inggris bernama Edmund Scott disebutkan telah banyak menulis terkait pengamatan akan penduduk lokal di Banten pada 1603-1665. Dalam catatannya, Scott menyamaratakan orang Indonesia malas-malas. “Mereka semua miskin, karena mereka punya banyak budak yang bahkan lebih malas daripada tuan mereka, dan yang makan lebih cepat daripada pertumbuhan lada dan beras mereka.”

Tak hanya itu, Scott pun mengungkap di Banten perkara intrik, rencana jahat, maupun pembunuhan adalah hal yang biasa terjadi. Maka, Scott terkesan terburu-buru menarik kesimpulan, jikalau masyarakat lokal semuanya jahat. Anggapan tersebut kemudian menjalar kepada pedagang Belanda yang datang pada waktu tayang yang sama dengan Scott, mereka yang tak mengerti bahasa dan adat istiadat orang Indonesia ikut-ikutan tak mempercayai dan menganggap rendah orang Indonesia.

Mentalitas inlander

Meski telah memahami sebutan inlander atau pribumi merupakan sebuah ejekan. Pada saat itu, anehnya sebagian orang tetap menganggap bangsa Belanda dan Eropa sebagai bangsa yang berkelas dan hebat daripada bangsa Indonesia. Setali dengan itu, sebagian orang Indonesia turut beramai-ramai ingin bekerja seperti Belanda, Sekolah seperti Belanda, dan berbahasa seperti Belanda.

Tak heran, muncullah yang namanya mentalitas inlander. Mengutip Mustakim dalam tulisan berjudul Inlander (2019) di Majalah Tempo. Mentalitas inlader ialah kalimat yang tepat dalam mendeskripsikan kondisi orang Indonesia yang terlalu mendewakan bangsa Belanda, sehingga mereka ingin mencoba mensejajarkan diri dengan hidup ala Eropa.

“Dari situlah tampaknya mulai muncul bibit-bibit inferioritas, muncul sikap rendah diri, atau muncul mentalitas inlander, kehilangan rasa percaya diri sebagai suatu bangsa yang bermartabat. Sikap tersebut kemudian merasuk dalam diri sebagian besar bangsa Indonesia sebagai bangsa jajahan. Sikap rendah diri semacam itu lalu terwarisi dari generasi ke generasi hingga saat ini.”

Selebihnya, Mustakim yang juga Kepala Balai Bahasa Jawa Timur menekankan akibat dari mentalitas inlander, sebagian di antara mereka telah kehilangan rasa pecaya diri pada kekuatan bahasa dan budaya bangsa sendiri. Parahnya lagi, apa pun yang dimiliki akan serasa kalah hebat, kalah nilai, dan kalah gengsi dibanding bangsa Eropa.

“Sebaliknya, apa pun yang dimiliki bangsa lain di anggap lebih hebat, lebih keren, dan lebih bergengsi daripada milik kita sendiri Karena kita menilai bangsa lain atau orang asing lebih tinggi, dalam hampir segala hal kita pun menghargai mereka dengan "harga" yang lebih tinggi,” tambahnya.

Sedihnya lagi, Belanda memanfaatkan momentum itu untuk memperkaya diri sendiri dan semakin memiskinkan kaum bumiputera. Mereka merampas tanah, mengambil hak empunya tanah, bahkan mereka dipaksa untuk membayar pajak atas tanahnya sendiri.

Jika para pembaca agak kesulitan memahami makna dari mentalitas inlander, hendaknya pembaca sekalian mulai membaca buku rekaan Pramoedya Ananta toer dalam tetralogi Pulau Buru, Bumi Manusia (1980), dalam buku tersebut, terdapat sebuah karakter seorang Indo-Belanda bernama Robert Mellema.

Disitulah Pram mendaulat sosok Robert sebagai seorang yang memiliki mentalitas inlander. Dalam artian, dirinya selalu membenci segala hal yang berbau bumiputera, padahal keturunan. Bagaimana tidak, posisi Belanda dalam hati Robert nyatanya lebih agung, sehingga semua orang Indonesia harus tunduk padanya.

Lewat karakter Robert inilah khalayak menjadi paham, ketidakpahaman akan budaya bangsa sendiri justru akan membuat seseorang memiliki mentalitas inlander. Tak pelak, mereka yang memiliki mentalitas tersebut, agaknya diam-diam melanggengkan anggapan Belanda terkait kaum bumiputera hanya warga negera golongan tiga di Negeri Zamrud Khatulistiwa.

Mentalitas inlander itu mendarah daging arena dikembangkan oleh sistem yang juga melahirkannya yaitu

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_110711" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Penyakit mental yang paling berbahaya yang diwariskan semasa zaman Penjajahan (1600-1945) adalah watak inlander dimana warga pribumi selalu dijadikan kelas paling bawah diantara golongan masyarakat Eropa, Arab dan Cina. Kekalahan yang diderita selama ratusan tahun telah membentuk watak pecundang bagi sebagian besar penduduk di Nusantara. Mental Inlander ditandai dengan tidak dimilikinya rasa percaya diri sebagai sebuah bangsa, memandang bangsa lain jauh lebih hebat dan maju. Tidak mampu membaca potensi bangsa yang begitu besar, bahkan berpikiran picik menyerahkan pengelolaan kekayaan bangsa kepada pihak lain karena menganggap bangsa ini tidak akan mampu mengatur dirinya sendiri. Walaupun bangsa ini sudah mendeklarasikan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, namun penyakit inlander tidak serta merta hilang dari bumi pertiwi. Mari kita lihat bagaimana sistem politik dan ketatanegaraan kita masih belum menemukan jatidirinya. Berbagai sistem politik  pernah dijalankan di bangsa ini mulai dari sistem demokrasi liberal (parlementer tahun 1949-1959), demokrasi terpimpin (tahun 1959-1965), sistem otoritarian (zaman orba tahun 1965-1998) hingga demokrasi multi partai (masa Reformasi 1998-sekarang). Watak inlander membuat bangsa ini gagal menemukan sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan Keindonesiaan. Sampai saat ini masih dirasakan adanya adopsi sistem ketatanegaraaan yang kebarat-baratan. Pada aras ekonomi sungguh tampak nyata betapa banyak perusaahaan asing yang bergerak di bidang pertambangan, telekomunikasi, transportasi, perkebunan, perikanan hingga pertanian. Cita-cita membangun ekonomi rakyat yang mandiri dan kuat sebagaimana harapan founding fathers seakan hanya mimpi yang tak kunjung tercapai. Nasib bangsa masih tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan, kue pembangunan hanya dinikmati segelintir priyayi sementara rakyat sebagai kawula alit hanya mendapatkan sisa-sisa pembangunan. Lagi-lagi ini dikarenakan watak inlander yang masih menggerogoti para pengusaha nasional sehingga industri nasional tidak pernah menjadi tuan di negeri sendiri. Dalam hal sosial budaya berkembang fenomena konsumerisme yang menggejala di seluruh pelosok nusantara. Bangsa yang memiliki penduduk lebih dari 230 juta ini hanya dijadikan sasaran iklan produk asing, baik produk yang berupa barang maupun jasa. Bisa dilihat mental anak bangsa bekas jajahan ini begitu bangga bergaya kebara-baratan, ke arab-araban, kecina-cinaan, atau apapun produk yang dari luar. Ini sungguh sangat membahayakan bangsa, sebab jika dibiarkan bangsa ini benar-benar akan menjadi bangsa kuli, bangsa pemasok tenaga kerja murah, bahkan dimungkinkan akan menjadi bangsa bermental budak di zaman modern. Rasanya memang pahit kalau kita mengatakan bahwa bangsa ini masih terkena penyakit mental inlander, tetapi kenyataan di lapangan tak bisa kita pungkiri. Dalam sejarahnya perubahan untuk menjadikan mental bangsa yang kalah menjadi bangsa yang pemenang memang tidak mudah dan butuh waktu yang relatif lama.  Jika mau belajar dari para nabi-nabi atau dari para revolusioner di muka bumi ini, maka pembenahan harus dimulai dari penyadaran melalui pendidikan yang mencerahkan untuk pemimpin dan rakyatnya. Harus ada rekayasa sosial untuk generasi muda agar mereka menemukan jatidiri bangsa yang tercermin dalam nilai-nilai pancasila. Religiusitas, humanisme , nasionalisme, demokrasi, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia harus menjadi fondasi dalam menentukan arah nahkoda kapal dalam mengarungi samudra yang penuh tantangan besar ini. Tak ada sesuatu yang tidak mungkin, jika bangsa ini mau bekerja keras menggapai cita-citanya. Memang tidak mudah, tapi kita harus yakin dengan tujuan hidup berbangsa dan bernegara.. Jayalah Terus Nusantara!!!


Page 2

[caption id="attachment_110711" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Penyakit mental yang paling berbahaya yang diwariskan semasa zaman Penjajahan (1600-1945) adalah watak inlander dimana warga pribumi selalu dijadikan kelas paling bawah diantara golongan masyarakat Eropa, Arab dan Cina. Kekalahan yang diderita selama ratusan tahun telah membentuk watak pecundang bagi sebagian besar penduduk di Nusantara. Mental Inlander ditandai dengan tidak dimilikinya rasa percaya diri sebagai sebuah bangsa, memandang bangsa lain jauh lebih hebat dan maju. Tidak mampu membaca potensi bangsa yang begitu besar, bahkan berpikiran picik menyerahkan pengelolaan kekayaan bangsa kepada pihak lain karena menganggap bangsa ini tidak akan mampu mengatur dirinya sendiri. Walaupun bangsa ini sudah mendeklarasikan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, namun penyakit inlander tidak serta merta hilang dari bumi pertiwi. Mari kita lihat bagaimana sistem politik dan ketatanegaraan kita masih belum menemukan jatidirinya. Berbagai sistem politik  pernah dijalankan di bangsa ini mulai dari sistem demokrasi liberal (parlementer tahun 1949-1959), demokrasi terpimpin (tahun 1959-1965), sistem otoritarian (zaman orba tahun 1965-1998) hingga demokrasi multi partai (masa Reformasi 1998-sekarang). Watak inlander membuat bangsa ini gagal menemukan sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan Keindonesiaan. Sampai saat ini masih dirasakan adanya adopsi sistem ketatanegaraaan yang kebarat-baratan. Pada aras ekonomi sungguh tampak nyata betapa banyak perusaahaan asing yang bergerak di bidang pertambangan, telekomunikasi, transportasi, perkebunan, perikanan hingga pertanian. Cita-cita membangun ekonomi rakyat yang mandiri dan kuat sebagaimana harapan founding fathers seakan hanya mimpi yang tak kunjung tercapai. Nasib bangsa masih tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan, kue pembangunan hanya dinikmati segelintir priyayi sementara rakyat sebagai kawula alit hanya mendapatkan sisa-sisa pembangunan. Lagi-lagi ini dikarenakan watak inlander yang masih menggerogoti para pengusaha nasional sehingga industri nasional tidak pernah menjadi tuan di negeri sendiri. Dalam hal sosial budaya berkembang fenomena konsumerisme yang menggejala di seluruh pelosok nusantara. Bangsa yang memiliki penduduk lebih dari 230 juta ini hanya dijadikan sasaran iklan produk asing, baik produk yang berupa barang maupun jasa. Bisa dilihat mental anak bangsa bekas jajahan ini begitu bangga bergaya kebara-baratan, ke arab-araban, kecina-cinaan, atau apapun produk yang dari luar. Ini sungguh sangat membahayakan bangsa, sebab jika dibiarkan bangsa ini benar-benar akan menjadi bangsa kuli, bangsa pemasok tenaga kerja murah, bahkan dimungkinkan akan menjadi bangsa bermental budak di zaman modern. Rasanya memang pahit kalau kita mengatakan bahwa bangsa ini masih terkena penyakit mental inlander, tetapi kenyataan di lapangan tak bisa kita pungkiri. Dalam sejarahnya perubahan untuk menjadikan mental bangsa yang kalah menjadi bangsa yang pemenang memang tidak mudah dan butuh waktu yang relatif lama.  Jika mau belajar dari para nabi-nabi atau dari para revolusioner di muka bumi ini, maka pembenahan harus dimulai dari penyadaran melalui pendidikan yang mencerahkan untuk pemimpin dan rakyatnya. Harus ada rekayasa sosial untuk generasi muda agar mereka menemukan jatidiri bangsa yang tercermin dalam nilai-nilai pancasila. Religiusitas, humanisme , nasionalisme, demokrasi, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia harus menjadi fondasi dalam menentukan arah nahkoda kapal dalam mengarungi samudra yang penuh tantangan besar ini. Tak ada sesuatu yang tidak mungkin, jika bangsa ini mau bekerja keras menggapai cita-citanya. Memang tidak mudah, tapi kita harus yakin dengan tujuan hidup berbangsa dan bernegara.. Jayalah Terus Nusantara!!!


Mentalitas inlander itu mendarah daging arena dikembangkan oleh sistem yang juga melahirkannya yaitu

Lihat Sosbud Selengkapnya


Page 3

[caption id="attachment_110711" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Penyakit mental yang paling berbahaya yang diwariskan semasa zaman Penjajahan (1600-1945) adalah watak inlander dimana warga pribumi selalu dijadikan kelas paling bawah diantara golongan masyarakat Eropa, Arab dan Cina. Kekalahan yang diderita selama ratusan tahun telah membentuk watak pecundang bagi sebagian besar penduduk di Nusantara. Mental Inlander ditandai dengan tidak dimilikinya rasa percaya diri sebagai sebuah bangsa, memandang bangsa lain jauh lebih hebat dan maju. Tidak mampu membaca potensi bangsa yang begitu besar, bahkan berpikiran picik menyerahkan pengelolaan kekayaan bangsa kepada pihak lain karena menganggap bangsa ini tidak akan mampu mengatur dirinya sendiri. Walaupun bangsa ini sudah mendeklarasikan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, namun penyakit inlander tidak serta merta hilang dari bumi pertiwi. Mari kita lihat bagaimana sistem politik dan ketatanegaraan kita masih belum menemukan jatidirinya. Berbagai sistem politik  pernah dijalankan di bangsa ini mulai dari sistem demokrasi liberal (parlementer tahun 1949-1959), demokrasi terpimpin (tahun 1959-1965), sistem otoritarian (zaman orba tahun 1965-1998) hingga demokrasi multi partai (masa Reformasi 1998-sekarang). Watak inlander membuat bangsa ini gagal menemukan sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan Keindonesiaan. Sampai saat ini masih dirasakan adanya adopsi sistem ketatanegaraaan yang kebarat-baratan. Pada aras ekonomi sungguh tampak nyata betapa banyak perusaahaan asing yang bergerak di bidang pertambangan, telekomunikasi, transportasi, perkebunan, perikanan hingga pertanian. Cita-cita membangun ekonomi rakyat yang mandiri dan kuat sebagaimana harapan founding fathers seakan hanya mimpi yang tak kunjung tercapai. Nasib bangsa masih tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan, kue pembangunan hanya dinikmati segelintir priyayi sementara rakyat sebagai kawula alit hanya mendapatkan sisa-sisa pembangunan. Lagi-lagi ini dikarenakan watak inlander yang masih menggerogoti para pengusaha nasional sehingga industri nasional tidak pernah menjadi tuan di negeri sendiri. Dalam hal sosial budaya berkembang fenomena konsumerisme yang menggejala di seluruh pelosok nusantara. Bangsa yang memiliki penduduk lebih dari 230 juta ini hanya dijadikan sasaran iklan produk asing, baik produk yang berupa barang maupun jasa. Bisa dilihat mental anak bangsa bekas jajahan ini begitu bangga bergaya kebara-baratan, ke arab-araban, kecina-cinaan, atau apapun produk yang dari luar. Ini sungguh sangat membahayakan bangsa, sebab jika dibiarkan bangsa ini benar-benar akan menjadi bangsa kuli, bangsa pemasok tenaga kerja murah, bahkan dimungkinkan akan menjadi bangsa bermental budak di zaman modern. Rasanya memang pahit kalau kita mengatakan bahwa bangsa ini masih terkena penyakit mental inlander, tetapi kenyataan di lapangan tak bisa kita pungkiri. Dalam sejarahnya perubahan untuk menjadikan mental bangsa yang kalah menjadi bangsa yang pemenang memang tidak mudah dan butuh waktu yang relatif lama.  Jika mau belajar dari para nabi-nabi atau dari para revolusioner di muka bumi ini, maka pembenahan harus dimulai dari penyadaran melalui pendidikan yang mencerahkan untuk pemimpin dan rakyatnya. Harus ada rekayasa sosial untuk generasi muda agar mereka menemukan jatidiri bangsa yang tercermin dalam nilai-nilai pancasila. Religiusitas, humanisme , nasionalisme, demokrasi, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia harus menjadi fondasi dalam menentukan arah nahkoda kapal dalam mengarungi samudra yang penuh tantangan besar ini. Tak ada sesuatu yang tidak mungkin, jika bangsa ini mau bekerja keras menggapai cita-citanya. Memang tidak mudah, tapi kita harus yakin dengan tujuan hidup berbangsa dan bernegara.. Jayalah Terus Nusantara!!!


Mentalitas inlander itu mendarah daging arena dikembangkan oleh sistem yang juga melahirkannya yaitu

Lihat Sosbud Selengkapnya


Page 4

[caption id="attachment_110711" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Penyakit mental yang paling berbahaya yang diwariskan semasa zaman Penjajahan (1600-1945) adalah watak inlander dimana warga pribumi selalu dijadikan kelas paling bawah diantara golongan masyarakat Eropa, Arab dan Cina. Kekalahan yang diderita selama ratusan tahun telah membentuk watak pecundang bagi sebagian besar penduduk di Nusantara. Mental Inlander ditandai dengan tidak dimilikinya rasa percaya diri sebagai sebuah bangsa, memandang bangsa lain jauh lebih hebat dan maju. Tidak mampu membaca potensi bangsa yang begitu besar, bahkan berpikiran picik menyerahkan pengelolaan kekayaan bangsa kepada pihak lain karena menganggap bangsa ini tidak akan mampu mengatur dirinya sendiri. Walaupun bangsa ini sudah mendeklarasikan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, namun penyakit inlander tidak serta merta hilang dari bumi pertiwi. Mari kita lihat bagaimana sistem politik dan ketatanegaraan kita masih belum menemukan jatidirinya. Berbagai sistem politik  pernah dijalankan di bangsa ini mulai dari sistem demokrasi liberal (parlementer tahun 1949-1959), demokrasi terpimpin (tahun 1959-1965), sistem otoritarian (zaman orba tahun 1965-1998) hingga demokrasi multi partai (masa Reformasi 1998-sekarang). Watak inlander membuat bangsa ini gagal menemukan sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan Keindonesiaan. Sampai saat ini masih dirasakan adanya adopsi sistem ketatanegaraaan yang kebarat-baratan. Pada aras ekonomi sungguh tampak nyata betapa banyak perusaahaan asing yang bergerak di bidang pertambangan, telekomunikasi, transportasi, perkebunan, perikanan hingga pertanian. Cita-cita membangun ekonomi rakyat yang mandiri dan kuat sebagaimana harapan founding fathers seakan hanya mimpi yang tak kunjung tercapai. Nasib bangsa masih tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan, kue pembangunan hanya dinikmati segelintir priyayi sementara rakyat sebagai kawula alit hanya mendapatkan sisa-sisa pembangunan. Lagi-lagi ini dikarenakan watak inlander yang masih menggerogoti para pengusaha nasional sehingga industri nasional tidak pernah menjadi tuan di negeri sendiri. Dalam hal sosial budaya berkembang fenomena konsumerisme yang menggejala di seluruh pelosok nusantara. Bangsa yang memiliki penduduk lebih dari 230 juta ini hanya dijadikan sasaran iklan produk asing, baik produk yang berupa barang maupun jasa. Bisa dilihat mental anak bangsa bekas jajahan ini begitu bangga bergaya kebara-baratan, ke arab-araban, kecina-cinaan, atau apapun produk yang dari luar. Ini sungguh sangat membahayakan bangsa, sebab jika dibiarkan bangsa ini benar-benar akan menjadi bangsa kuli, bangsa pemasok tenaga kerja murah, bahkan dimungkinkan akan menjadi bangsa bermental budak di zaman modern. Rasanya memang pahit kalau kita mengatakan bahwa bangsa ini masih terkena penyakit mental inlander, tetapi kenyataan di lapangan tak bisa kita pungkiri. Dalam sejarahnya perubahan untuk menjadikan mental bangsa yang kalah menjadi bangsa yang pemenang memang tidak mudah dan butuh waktu yang relatif lama.  Jika mau belajar dari para nabi-nabi atau dari para revolusioner di muka bumi ini, maka pembenahan harus dimulai dari penyadaran melalui pendidikan yang mencerahkan untuk pemimpin dan rakyatnya. Harus ada rekayasa sosial untuk generasi muda agar mereka menemukan jatidiri bangsa yang tercermin dalam nilai-nilai pancasila. Religiusitas, humanisme , nasionalisme, demokrasi, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia harus menjadi fondasi dalam menentukan arah nahkoda kapal dalam mengarungi samudra yang penuh tantangan besar ini. Tak ada sesuatu yang tidak mungkin, jika bangsa ini mau bekerja keras menggapai cita-citanya. Memang tidak mudah, tapi kita harus yakin dengan tujuan hidup berbangsa dan bernegara.. Jayalah Terus Nusantara!!!


Mentalitas inlander itu mendarah daging arena dikembangkan oleh sistem yang juga melahirkannya yaitu

Lihat Sosbud Selengkapnya