Mengapa umat islam di indonesia pada masa pendudukan jepang menolak seikerei….

MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Selasa, (2/3) Pemerintah memutuskan mencabut aturan mengenai investasi industri minuman keras dalam lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021.

Keputusan tersebut diambil setelah Pemerintah mendapat desakan dan penolakan keras dari berbagai pihak termasuk Muhammadiyah. Muhammadiyah pun segera memuji keputusan tepat Pemerintah.

Sikap Muhammadiyah terhadap miras (minuman keras) telah teruji sejak lama. Pada Sidang Tanwir Muhammadiyah tanggal 16-20 Desember 1981 di Yogyakarta misalnya, Muhammadiyah mendukung penuh kebijakan pemerintah yang melarang pembuatan dan penjualan minuman keras.

Merunut ke belakang, sikap itu tercatat secara tegas oleh sikap Ketua Hoofdbestuur (sekarang disebut “Pimpinan Pusat”) Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo saat menemui Kaisar Tenno Haika di Jepang bersama Soekarno dan Hatta.

Ki Bagus Menolak Sake Pemberian Kaisar Hirohito

Ridho Al-Hamdi dalam Paradigma Politik Muhammadiyah mencatat bahwa Ki Bagus Hadikusumo, Soekarno dan Moh. Hatta mendapatkan undangan menghadap Kaisar Jepang pada 10 November 1943.

Rhien Soemohadiwidjojo dalam Bung Karno Sang Singa Podium (2013) menulis bahwa kunjungan tiga delegasi Indonesia ke Jepang tersebut berjalan selama 17 hari. Pertemuan utamanya dilakukan untuk mempercepat proses kemerdekaan Indonesia.

Setelah sampai di Jepang, tiga utusan Indonesia ini diminta mengikuti sembahyang di Kuil upacara termulia bersama Kaisar Jepang. Salah satu rukun upacara sakral itu adalah harus meminum air sake (arak) dalam cangkir.

“Beliau tidak mau minum sakai [sake, red] karena ajaran agama Islam mengharamkan minuman keras. Kemudian, Ki Bagus Hadikusumo menumpahkan arak itu ke lantai (karena tangannya gemetar). Tentu saja hadirin menjadi berdebar-debar, termasuk pembesar-pembesar militer Jepang,” demikian tulis Sutrisno Kutoyo dalam Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah (1998).

Kekhawatiran hadirin tentu saja berkaitan dengan sikap keras prajurit Jepang untuk memenggal siapa pun yang menolak perintah. Apalagi yang ditolak Ki Bagus bukan permintaan biasa, melainkan dari seorang Kaisar.

Sebelumnya, Ki Bagus adalah tokoh utama yang mengajak umat Islam Indonesia menolak ritual wajib dari kolonial Jepang untuk melakukan Seikerei, yaitu sikap ruku’ menghadap ke arah matahari terbit setiap pukul tujuh pagi sebagai tanda ketundukan pada Kaisar Jepang.

Seruan Ki Bagus menolak Seikerei meluas hingga ke Sumatera. Akibatnya, Ki Bagus berurusan dengan Gunsaikan atau gubernur militer Jepang di Yogyakarta. Namun atas kepandaiannya menjelaskan ajaran Islam, Gunsaiken memahami dan membolehkan umat Islam tidak melakukan Seikerei lagi.

Sama halnya dengan kasus Ki Bagus menolak Seikerei, Ki Bagus Hadikusumo menjelaskan alasannya menolak minum sake kepada Kaisar dan pejabat militer Jepang.

Atas kepandaiannya memberi penjelasan, Kaisar Hirohito pun tidak marah dan merasa takjub sehingga menghadiahkan cangkir dan cawan yang dipakai tempat Sake kepada Ki Bagus Hadikusumo.

Tak hanya mendapatkan hadian cawan, Ki Bagus Hadikusumo bersama Soekarno dan Hatta mendapatkan kehormatan untuk bertemu langsung dan berjabatan tangan dengan Kaisar.

Ki Bagus, Soekarno dan Hatta juga mendapatkan penghargaan Bintang Ratna Suci dari Kaisar. Soekarno mendapatkan lencana kelas dua (Kun Nito Juiho-Sho), sementara Ki Bagus Hadikusumo dan Hatta mendapatkan lencana kelas tiga (Kun Santo Juiho-Sho).

Lencana penghargaan itu bernilai sangat tinggi, karena penerimanya dianggap dekat dengan anggota keluarga Kekaisaran. Arniati Prasedyawati Herkusumo sendiri dalam Chūō Sangi-in: Dewan Pertimbangan Pusat pada masa pendudukan Jepang (1984) mencatat bahwa penghargaan itu utamanya diberikan atas jasa ketiga tokoh ini dalam membantu kebijakan Jepang di Indonesia.

Demikianlah sikap tokoh Muhammadiyah dalam menampakkan keteguhan dan kebersihan akidah. Selain tegas, tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus juga mengutamakan hikmah dan ilmu dalam menampakkan ketegasan imannya.

Editor: Fauzan AS

Mengapa umat islam di indonesia pada masa pendudukan jepang menolak seikerei….

Dhafi Quiz

Find Answers To Your Multiple Choice Questions (MCQ) Easily at Belajar.dhafi.link. with Accurate Answer. >>

Mengapa umat islam di indonesia pada masa pendudukan jepang menolak seikerei….

Mengapa umat islam di indonesia pada masa pendudukan jepang menolak seikerei….
Lihat Foto

IPPHOS

Perundingan Antara Presiden Soekarno dengan Pimpinan Masyumi, membicarakan Tentang Pembentukan Kabinet 23 Maret 1951

KOMPAS.com - Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tak menyukai umat Islam di tanah jajahannya.

Masalah ini dimanfaatkan oleh Jepang ketika mengambil alih Nusantara dari tangan Belanda. Jepang ingin mengambil simpati muslim agar mau mendukung Jepang dalam perang melawan negara-negara Barat.

Untuk itu, Jepang menghidupkan kembali MIAI, federasi ormas Islam yang didirikan oleh KH Mas Mansyur dan rekan-rekannya pada 1937 di Surabaya.

Namun MIAI akhirnya mati lagi. Jepang menggantikannya dengan Masyumi. Berikut sejarah singkat MIAI dan Masyumi seperti dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019):

Baca juga: Jawa Hokokai, Organisasi Pergerakan pada Masa Pendudukan Jepang

Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)

Pada Mei 1942, Kolonel Horie, pemimpin Bagian Pengajaran dan Agama yang dibentuk oleh Jepang mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemuka agama Islam dari seluruh Jawa Timur di Surabaya.

Horie ingin berkenalan dengan para pemuka agama Islam. Ia hendak meminta umat Islam tidak melakukan kegiatan politik.

Di Jawa Barat, Kolonel Horie mengerahkan para pembantunya, orang Jepang yang beragama Islam, seperti Abdul Muniam Inada serta Moh Sayido Wakas agar secara bergiliran mengunjungi beberapa masjid besar di Jakarta untuk mengadakan ceramah dan khotbah Jumat.

Sebagai gantinya, Jepang mengarahkan ulama dan umat Islam mencurahkan kegiatan keagamaan dan keumatannya lewat organisasi.

MIAI pada masa pendukung Jepang diperbolehkan berkembang karena Jepang membutuhkan bantuan dan tenaga umat Islam.

Baca juga: Putera, Organisasi Propaganda Jepang Pimpinan Empat Serangkai

MIAI bertujuan agar ormas-ormas Islam yang bernaung di bawahnya bisa memobilisasi umat untuk keperluan perang.

Jepang pun mengaktifkan kembali MIAI pada 4 September 1942. Markasnya di Surabaya dipindah ke Jakarta.

Adapun tugas MIAI saat itu yakni:

  1. Menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat
  2. Indonesia.
  3. Mengharmoniskan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman.
  4. Ikut membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

MIAI membuat sejumlah program yang berfokus pada pergerakan Islam. Mereka berencana membangun Masjid Agung di Jakarta dan mendirikan universitas.

Baca juga: Gerakan Tiga A dan Propaganda Jepang

Namun Jepang tak menyutujuinya. Jepang hanya menyetujui rencana MIAI membentuk baitulmal atau lembaga pengelola amal.

MIAI terus berkembang menjadi tempat pertukaran pikiran dan pembangunan kesadaran umat agar tidak terjebak pada perangkap kebijakan Jepang yang semata-mata untuk memenangkan perang Asia Timur Raya.

Pada bulan Mei 1943, MIAI juga berhasil membentuk Majelis Pemuda yang diketuai oleh Ir Sofwan dan juga membentuk Majelis Keputrian yang dipimpin oleh Siti Nurjanah.

Pada 1943, MIAI bahkan diperbolehkan menerbitkan majalahnya yaitu Soeara MIAI. MIAI pun mendapat simpati yang luar biasa dari umat Islam.

Baca juga: Pemerintahan Sipil Jepang di Indonesia

Melihat hal itu, Jepang menjadi waspada terhadap perkembangan MIAI. Dana yang terkumpul di Baitulmal disalurkan ke umat alih-alih diserahkan ke Jepang.

Para tokoh Islam di daerah sempat diawasi. Jepang sampai mengadakan pelatihan bagi para kiai selama satu bulan.

Dari hasil pelatihan kiai itu, pemerintah Jepang berkesimpulan bahwa para kiai tidak membahayakan kedudukan Jepang di Indonesia. Namun MIAI tidak berkontribusi terhadap perang Jepang.

MIAI akhirnya dibubarkan pada November 1943 dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Baca juga: Kedatangan Jepang di Indonesia, Mengapa Disambut Gembira?

Masyumi

Masyumi didirikan pada November 1943. Ketua Pengurus Besarnya KH Hasyim Asy'ari. Wakilnya dari Muhammadiyah antara lain KH Mas Mansyur, KH Farid Ma’ruf, KH Mukti, KH Wahid Hasyim, dan Kartosudarmo.

Sementara Wakil Masyumi dari Nahdatul Ulama yakni KH Nachrowi, Zainul Arifin, dan KH Muchtar.

Masyumi berkembang dengan cepat karena di setiap karesidenan ada cabangnya. Tugas Masyumi di antaranya meningkatkan hasil bumi dan mengumpulkan dana.

Masyumi jadi wadah bertukar pikiran antara tokoh-tokoh Islam sekaligus menjadi tempat penampungan keluh kesah rakyat.

Masyumi juga berani menolak budaya Jepang yang tak sesuai dengan ajaran Islam. Salah satunya yakni seikerei atau posisi membungkuk 90 derajat ke arah Tokyo.

Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan

Ayah Buya Hamka, Abdul Karim Amrullah menolak sebab umat Islam hanya melakukan posisi itu ketika rukuk saat shalat dan menghadap kiblat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.