Mengapa peristiwa sumpah pemuda menjadi peristiwa yang membangkitkan nasionalisme bangsa Indonesia

Dalam setiap sejarah bangsa di seluruh dunia, peran pemuda tidak dapat dilepaskan begitu saja. Kaum muda dengan kombinasi karakteristik mimpi-mimpi besarnya, gelora semangat, dan luapan darah muda yang mengalir dalam tubuhnya, kerap menjadi garda terdepan terhadap suatu perubahan, kemajuan, maupun lompatan besar perjalanan suatu bangsa. Tak ayal, sentuhan-sentuhan mereka selalu mewarnai goresan sejarah suatu bangsa, bahkan dunia.

Pun demikian dalam sejarah perjalanan Indonesia, deretan nama pemuda dengan segala kiprah maupun organisasi pergerakan yang dibentuk dan dimotorinya memainkan peran penting dalam menggoreskan tinta dalam lembaran buku sejarah bangsa ini. Era pergerakan milenial di awal tahun 1900-an yang dimulai dengan berdirinya organisasi kepemudaan Budi Utomo (1908), diikuti dengan organisasi gerakan lain seperti Sarekat Islam (1912), Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Ambon (1918) dan Jong Celebes (1919) membawa semangat yang sama, yaitu nasionalisme.

Dalam bayangan penulis, para milenial di era itu masing-masing membawa kegelisahan tersendiri pada saat mendirikan dan atau bergabung dengan organisasi kepemudaan. Pada saat itu kemungkinan mereka mempunyai kegelisahan yang identik yaitu “mau diapakan dan akan dibawa kemana bangsa ini”. Tidak dipungkiri, bahwa kehadiran kaum kolonial VOC dengan segala bentuk represivitasnya mempengaruhi kondisi dan kebebasan berkehidupan bangsa Indonesia kala itu. Sampai kemudian, tiba di satu titik di bulan Oktober 1928, para milenial yang gelisah tersebut disatukan dalam momentum konferensi dan mengikrarkan sumpah: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa persatuan.

Apakah kegelisahan itu berhenti sampai pengucapan ikrar saja? Tidak. Para milenial terus bergerak. Mereka tidak cepat berpuas diri dengan kesuksesan menggelar konferensi pemuda pada saat itu. Fakta sejarah membuktikan bahwa dengan seluruh daya upayanya, mereka aktif dalam setiap kemunculan dan penyuaraan gerakan-gerakan positif dan menjadi motor dalam setiap peristiwa besar yang dialami bangsa ini. Lihat saja peristiwa Proklamasi 1945, Revolusi 1966, serta Reformasi 1998. Para milenial itu menjadi pelopor dan pelumas dalam setiap gerakan-gerakan nasionalisme tersebut.

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah anak muda. Pernyataan ini tidaklah berlebihan jika melihat fakta sejarah bahwa dalam setiap peristiwa besar yang dialami oleh bangsa, selalu melibatkan pemuda. Lihat saja kebangkitan nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, Revolusi 1966, serta Reformasi 1998. Artinya meskipun masih belia, kaum milenial saat itu selalu dapat mengambil peran fundamental dan mampu menciptakan sejarah dengan melakukan perubahan. Semangat nasionalisme para milenial, yang kemudian menjadi founding fathers - pembawa perubahan maupun reformasi di negeri ini, selayaknya diteladani oleh para milenial di penjuru nusantara.

Bagi penulis yang merupakan kaum milenial, nasionalisme tidak cukup hanya dengan mengenal tokoh-tokoh pahlawan dan memahami sejarah. Sejarah keberhasilan perjuangan kaum milenial terdahulu seharusnya tidak hanya membentuk perasaan romantisme kejayaan masa lalu, namun harus menjadi bahan bakar bagi milenial zaman now untuk terus bergerak dinamis, kreatif dan kontributif bagi bangsa khususnya di era globalisasi ini.

Fenomena kaum milenial zaman now yang lebih berkonsentrasi dan disibukkan dengan travelling, discover the world, dan berburu konten untuk mengisi feed Instagram merupakan sesuatu yang wajar mengingat era telah berubah, nilai-nilai telah bergeser. Namun demikian, menanamkan rasa nasionalisme kepada para milenial perlu terus dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini merupakan proyek bersama (common project) dan tanggung jawab bersama (common responsibility) seluruh komponen bangsa, agar generasi penerus tidak kehilangan jati dirinya. Sah-sah saja jika sebagian pengamat menyatakan bahwa arus globalisasi yang begitu masif berpotensi menggerus persepsi dan kemandekan kebangsaan bagi para milenial. Namun pandangan-pandangan tersebut seharusnya tidak melulu menjadi suatu kekhawatiran dan sebaliknya harus menjadi variabel-variabel untuk menanamkan jiwa nasionalisme kepada generasi muda, penerus estafetisasi kebersinambungan bangsa dan negara ini.

Belajar dari sejarah, bahwa setiap masa mempunyai generasi, tren, dan tantangan tersendiri. Milenial era perjuangan menghadapi tantangan berupa kolonialisme, sedangkan milenial saat ini menghadapi tantangan berupa globalisasi, kompleksitas perekonomian, serta kemajuan teknologi dan informasi yang mengalami pergeseran sangat cepat dan bahkan tiba-tiba (disrupsi). Oleh karena itu, bagaimana milenial era saat ini mampu mengidentifikasi dan berkontribusi dalam mendobrak persepsi kejumudan jiwa nasionalisme perlu mendapatkan dukungan dan bimbingan dari seluruh pihak. Dengan memaknai kembali peringatan Sumpah Pemuda, penulis meyakini bahwa seluruh pihak memiliki harapan agar seluruh generasi milenial dapat kembali membentuk kesadaran nasional menurut apa yang kita identifikasikan sebagai tantangan dari common project bangsa Indonesia hari ini. Karena, masyarakat Indonesia telah menitipkan harapan besar di atas pundak milenial untuk selalu bersatu, bangkit, dan tumbuh. Satu hal yang pasti, keberagaman adalah kekuatan utama kita guna menciptakan kembali perubahan dan mengukir sejarah pemuda dan bangsa nan gemilang.

Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2021. Bersatu, Bangkit, dan Tumbuh.

Penulis: Mahmud Ashari, Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran

Sumpah Pemuda merupakan salah satu tonggak utama dalam sejarah Pergerakan Kemerdekaan Indonesia. Pada 28 Oktober diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda, hal ini mengingat Sumpah Pemuda di selenggarakan pada tanggal 27 – 28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Sumpah Pemuda merupakan hasil keputusan dari Kongres Pemuda II dan ikrar ini dianggap sebagai semangat untuk menegaskan sita-sita berdirinya negara Indonesia. Sumpah Pemuda sendiri di rumuskan dan ditulis oleh Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. pada selembar kertas.

Isi Sumpah Pemuda

Kongres Pemuda II ini diikuti oleh berbagai macam peserta yaitu Perwakilan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamienten Bond, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon dan lainnya.

Gedung yang terletak di Jl Keramat Raya 106 Jakarta Pusat, menjadi tempat Kongres tersebut berlangsung, yang saat ini gedung tersebut menjadi Museum Sumpah Pemuda.

Dalam Kongres tersebut terdapat 3 keputusan penting, yakni bernama Sumpah Pemuda yang berbunyi:

  1. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia.
  2. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu bangsa Indonesia.
  3. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Tujuan Sumpah Pemuda

Setelah mengetahui sejarah singkat dan isi dari Sumpah Pemuda, kita juga harus mengetahui apa tujuan sebenarnya dari Sumpah Pemuda.

Kali ini Geniora news akan merangkum apa tujuan dari Sumpah Pemuda:

  1. Membangkitkan jiwa dan sikap nasionalisme pemuda-pemudi Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia untuk melawan, mengusir dan menentang para penjajah.
  2. Memperluas usaha-usaha dan kegiatan agar tercapainya Kemerdekaan Indonesia.
  3. Melaksanakan cita-cita untuk mengumpulkan seluruh pemuda Indonesia.
  4. Memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Makna Sumpah Pemuda

Makna Sumpah Pemuda tentunya sangat penting ditanamkan dalam jiwa, isi dari Sumpah Pemuda menegaskan cita-cita akan adanya “Tanah Air Indonesia”, “Bangsa Indonesia”, “Bahasa Indonesia”.

Berikut beberapa makna Sumpah Pemuda yang telah Geniora News rangkum:

  1. Mengajarkan nilai-nilai persatuan bangsa.
  2. Wujud cinta tanah air.
  3. Mendorong semangat juang pemuda.
  4. Sebagai ajakan untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia.
  5. Menumbuhkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.
  6. Menekankan rasa bangga akan Bahasa Indonesia.

Baca juga : Tokoh Penting Sumpah Pemuda dan Perannya

Itulah beberapa penjelasan mengenai Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada pemuda dan pemudi Indonesia. Sebagai generasi penerus bangsa saat ini, tentunya kita juga harus tetap menjunjung tinggi rasa nasionalisme. Supaya dengan adanya Sumpah Pemuda ini membuat pemuda pemudi bangsa Indonesia memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi. Untuk melihat konten video pembelajaran tentang “Lahirnya Pancasila – Peristiwa Sumpah Pemuda”, bisa ditonton di Youtube Channel Geniora SayaBisa dan jangan lupa download aplikasi Geniora SayaBisa.

TEPAT 91 tahun yang lalu, pada 28 Oktober 1908, terjadi peristiwa bersejarah yang disebut Sumpah Pemuda. 51 tahun kemudian, pemerintah Indonesia menetapkan peringatan Sumpah Pemuda sebagai hari nasional dengan Keputusan Presiden No 316/1959, pada 16 Desember 1959. Better late than never.

Menjadi tonggak monumental sejarah pendirian bangsa, Sumpah Pemuda secara lantang menegaskan tiga pilar kebangsaan: tanah air, bangsa, dan bahasa. Ketiganya diberi nama ‘Indonesia’, yang berarti kepulauan Hindia atau India.

Kata ‘Indonesia’ sendiri pertama kali digunakan dalam terbitan ilmiah Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) pada 1850 oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang sarjana hukum Skotlandia. Konon, bagi pemerintah kolonial Belanda, kata ini baru menjadi menakutkan pada dekade 1920-an, yakni ketika tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan mulai secara luas menggunakannya sebagai simbol identitas kebangsaan.  

Sebagai contoh, pada 1922, Mohammad Hatta, yang sedang bersekolah di Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam, mengusulkan penggunaan kata ‘Indonesia’ bagi organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda. Karena itu, organisasi yang didirikan pada 1908 dengan nama Indische Vereeniging tersebut berubah menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia (PI). Seiring dengan itu, majalah yang diterbitkannya, Hindia Poetra, diganti menjadi Indonesia Merdeka.

Sumber ketakutan pemerintah kolonial Belanda tentulah karena kata ini ‘menyatukan’, menjadi simbol yang membuat banyak orang merasa berada di sebuah kapal yang sama. Kata ‘Indonesia’ menjadi bendera atau identitas yang membedakan, yang melahirkan pengelompokan ‘kita’ berbeda dari ‘mereka’. Jauh lebih dalam dan luas, kata ini menjadi benang merah yang menghubungkan dan membuat semakin banyak orang merasa senasib-sependeritaan dan pada akhirnya bersepakat untuk seperjuangan.

Dalam Imagined Communities (1983), seorang Indonesianis, Benedict Anderson, menyebut terjadinya rangkaian peristiwa seperti ini sebagai proses persemaian nasionalisme; bertumbuhnya paham dan rasa kebangsaan.

Satu Indonesia

Kembali pada Sumpah Pemuda. Kata Indonesia merupakan simbol yang menyatukan berbagai kelompok pemuda pada awal abad ke-20, yang terpisah oleh latar belakang pendidikan, ideologis, dan kedaerahan. Dalam rangkai­an Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda terdapat organisasi, seperti Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Jong Java, Jong Soematranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, dan Pemoeda Kaoem Betawi.

Dalam bahasa lain, Sumpah Pemuda menjadi wadah yang mempersatukan keberagam­an dan menjadi cikal bakal Bhineka Tunggal Ika. Identitas-identitas kultural, agama dan daerah—-yang selain merupakan kenyataan alamiah sering kali dijadikan alat untuk memecah-belah dalam kolonialisme—-diatasi oleh semacam sintesis, gagasan yang lebih besar yang disebut bangsa Indonesia.

Sebagai putra Indonesia kelahiran Bali, termasuk dalam penganut agama minoritas dan kemudian menjadi prajurit yang berkali-kali terlibat dalam penugasan mempertahankan kesatuan Indonesia sejak 1964, saya termasuk orang yang bolak-balik merenungkan paham kebangsaan ini dan mensyukurinya.

Dalam renungan demi renungan, saya sering berta­nya kenapa peristiwa seperti Sumpah Pemuda bisa terjadi, yang membuat berbagai kelompok berbeda paham dan asal-muasal bisa bersatu. Saya juga bertanya-tanya bagaimana persatuan itu bisa bertahan dan kemudian memungkinkan sebuah negara-bangsa yang bernama Indonesia berdiri. Lalu, bagaimana caranya supaya negara-bangsa ini bisa terus berlanjut, tanpa mesti tercerai-berai karena demikian beragamnya perbedaan di dalamnya.

Jawaban yang saya temukan bermula dari rangkaian peristiwa jauh berabad-abad di masa lampau, yakni dalam kisah kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-11 M) dan Sumpah Palapa oleh Gajah Mada di masa kerajaan Majapahit (1336 M).

Baik Sriwijaya maupun Majapahit ialah negara-kerajaan dengan pemerintahan yang bersandar pada kekuatan senjata dan armada perang. Dalam sejarah, kalau bacaan saya tidak salah, keduanya merupakan simbol kebesaran berbasis hegemoni atau bahkan tirani.

Sebagai kemaharajaan maritim, Sriwijaya menggunakan kekuatan armada laut untuk menguasai jalur pelayaran dan perdagangan. Dengan membangun atau merebut kawasan-kawasan strategis, kerajaan ini menggunakan armada perang untuk memberi perlindungan bagi kapal-kapal dagang, memungut cukai, dan mempertahankan kedaulatan dan kekuasaanya.

Demikian juga halnya dengan Majapahit. Sebagai Patih Amangkubhumi, Gajah Mada bersumpah untuk menundukkan seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Dia kemudian mengirim berbagai ekspedisi ke berbagai wilayah, tidak hanya dalam lingkup apa yang kini kita sebut sebagai Indonesia.  

Hal yang tidak ada dalam catatan sejarah jika dibandingkan dengan situasi di saat mana Sumpah Pemuda terlahir, baik pada Sriwijaya maupun Majapahit ialah keberadaan keduanya sebagai simbol pemersatu yang lahir karena rasa persamaan nasib dan penderitaan. Sebagai bangsa atau negara, keduanya tidak lahir karena kesepakatan bersama, tapi sebagai wujud dari tangan besi kedinastian.

Jawaban berikutnya ada pada latar belakang di saat Sumpah Pemuda dan negara Indonesia lahir. Rasa senasib-sepenanggungan dan kemudian kesepakatan untuk memperjuangkan Tanah Air yang satu mewujud karena ada ‘musuh bersama’, yakni penjajahan atau kolonialisme. Adalah keinginan untuk keluar dari tirani ketidakadilan dan hasrat kemerdekaan yang membuat para pendiri bangsa duduk bersama.

Pembaruan

Dalam pengalaman sebagai prajurit, saya merasakan betul gegap gempita semangat ketika mendengar kata ‘musuh’ atau ‘lawan’. Berbagai perbedaan dan perselisihan, yang bisa membesar dan awet dalam situasi normal akan terlupa dan sirna di saat semangat tempur membara. Kerja sama dengan begitu saja menjadi mudah dilakukan.

Saat ini, dalam usia yang ke-78, pertanyaan yang masih belum kunjung terjawab oleh saya ialah bagaimana api nasionalisme dalam Sumpah Pemuda bisa bertahan, dan tetap menjadi matahari bagi bangsa Indonesia. Bagaimanakah, saya bertanya-tanya, kesetiaan terhadap kesepakatan bersama para pendiri bangsa tetap berlanjut oleh generasi demi generasi? Bagaimanakah, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bangsa bernama Indonesia ini tetap hidup dan menjadi tempat hidup yang layak dan bermartabat?

Sejauh ini, jawaban yang saya temukan tidak berbeda dari apa yang mendasari Sum­pah Pemuda, dan akar kelahiran rasa kebangsaan, yakni perasaan senasib-sepenanggungan. Dalam bahasa lain, kita bisa sebut sebagai semangat kebersamaan. Hanya saja kita memerlukan pembaruan.

Pertama-tama, rasa senasib-sepenanggungan memerlukan pemicu, seperti ‘musuh bersama’ dalam masa perang. Ketika kini peperangan fisik tidak lagi terjadi, apa yang bisa menjadi motif yang kuat?

Sebagai prajurit dan bertahun-tahun terlibat dalam pengelolaan olahraga, terutama sepak bola dan wushu, saya berharap dan terus memperjuangkan olahraga sebagai salah satu unsur pemersatu. Hanya saja, saya menyadari, ini masih terbatas dan bahkan kadang kala dalam berbagai kasus menjadi sumber perpecahan.

Dalam keterbatasan bacaan, saya kemudian menemukan apa yang disebut sebagai paham dan rasa welas asih (compassion), seperti yang diajarkan dalam agama-agama. Welas asih sendiri terlahir karena kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, kepekaan terhadap sesama, atau kini juga disebut sebagai kecerdasan sosial.

Kemampuan untuk peka tersebut, jika menjadi cukup kuat, akan melahirkan tindak­an untuk berbuat baik bagi orang lain, atau menjadi apa yang disebut sebagai altruisme. Namun, ini baru satu arah. Supaya menjadi dua arah, dalam budaya kita terdapat apa yang disebut sebagai gotong royong, yakni laku untuk saling menolong dan bekerja sama.