Mengapa manusia purba memiliki sikap tertutup

Ditulis tanggal 29 Sep 2021 | Dibaca 878 kali

Oleh: Felin Angkat, Afri Mudirianti, dan Fadran Hasan

1.    Pengantar

“Man is born free, but everywhere he is in chains”. Kalimat pembuka dalam karya termasyur Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, ini tidak hanya merupakan kata-kata filosofis tetapi juga menggambarkan hampir seluruh kenyataan hidup manusia. Setiap anak manusia dilahirkan ke tengah dunia dalam keadaan telanjang dan tabula rasa. Namun demikian, kelahiran itu tidak pernah menjadi proses yang teralienasi dari suatu konteks lingkungan tertentu. Kelahiran selalu dijemput oleh sebuah ruang hidup yang sudah ada dan sudah dibentuk oleh manusia. Ruang hidup itulah yang kita sebut sebagai konteks kultural (budaya) dan keagamaan.

Situasi pasca kelahiran adalah situasi di mana manusia bertumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan anak manusia terjadi dalam konteks budaya dan agama yang memiliki kaidah-kaidah dan norma-norma hidup tertentu. Di dalam konteks tersebut, terdapat perintah dan larangan, kebiasaan-kebiasaan yang mapan dan menjadi adat, serta dorongan-dorongan moral lain yang berusaha membentuk kepribadian seseorang. Dengan demikian, meski terlahir bebas dan telanjang, manusia ditempatkan dalam suatu mal yang membentuk kerangka berpikir, bertidak,dan berperasaan sesuai dengan kultur yang sudah mapan sejak lama.

Kisah Rijal dalam novel Semasa Kecil Di Kampung (SKdK) karya Muhamad Radjab menunjukan betapa kuatnya pengaruh tradisi dan agama dalam pembentukan karakter manusia, terutama dalam kaitan dengan hasrat menemukan tantangan baru (modernisasi). Hal tersebut menyebabkan turbulensi antara keyakinan purba dan pengetahuan modern. Demikianlah manusia yang terlahir dan mendapatkan didikan dalam masyarakat yang memegang teguh keyakinan-keyakinan purba. Kompleksnya problematika ini seakan mengingatkan pada tesis Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul The Clash of Civilization (1996) “Dunia ini tidak akan damai karena dunia akan ditandai oleh pertentangan antarperadabaan.” Sebagai konsekuensi logisnya, Rijal yang hanya bereksplor dan berkutat pada struktur mal yang sudah ada mengalami benturan internal dalam dirinya.

Rijal adalah seorang anak yang hidup penuh dengan pergulatan sebagai anak Minang. Bahkan dia lahir ketika Minangkabau dan sebagian daerah lainnya diserang wabah kolera yang tentu saja siap merenggut kematian setiap harinya. Di usianya yang masih bayi, wabah ini merenggut nyawa ibunya. Rijal kemudian hanya hidup bersama ayah dan kakeknya dalam ruang lingkup tradisi dan agama Minangkabau. Namun, kehidupan tanpa istri rasanya hampa bagi sang ayah, lalu ia mengawini 3 orang perempuan dari kampung yang berbeda. Kehidupan Rijal yang barupun dimulai bersama 3 ibu tirinya.

Sebagai anak Minangkabau yang tumbuh, kembang, dan hanya bertumpu pada kebudayaan Minangkabau, Rijal selalu mengisi pengalaman masa kecilnya dengan mengundang pandangangan kritis terhadap semua hal. Rijal kecil tak cuma menghabiskan waktu untuk bermain-main saja, melainkan selalu menggali banyak hal terkait perilaku sosial, pendidikan, dan agama. Rijal yang kerap menemukan hal yang bertolak belakang dengan kebudayaan Minang menuntunnya mendapatkan gelar kafir dari guru ngajinya. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Rijal, cenderung berifat skeptis terhadap agama. Meski begitu Rijal tidak pernah berhenti untuk menggali dan mendalami banyak hal . Semakin dalam Rijal mencari, semakin banyak pula pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa terjawab, sehingga muncul hasrat untuk merantau yang dinilainya mampu membuka tirai berpikir.

Novel Pater Pancali  yang ditulis oleh Bibhutibhushan Banerji bercerita tentang kehidupan di desa Nischindipur, Bengali, di lanskap terpencil tahun 1910-an  yang jauh dari peradaban.  Dalam cerita ini, Durga  merupakan tokoh utama bersama adiknya Apu. Awal Novel menceritakan Durga, bersama anak-anak lainya, yang kerap mencuri buah dari kebun tetangga. Akibat ulahnya itu, Sharvajaya, sang ibu, sering pusing dengan kelakuan anak gadisnya itu. Sebenarnya Durga punya alasan mencuri buah tersebut, yaitu demi sang bibi, Indir (seorang jompo yang tidak memiliki keluarga, selain Sharvajaya, ibu Durga). Ibu Sharvajaya sendiri acapkali menelantarkan kakaknya itu, karena dianggap menjadi beban keluarga. Tetapi di balik itu, kekesalan ibu Sharvajaya juga dilatarbelakangi oleh kehidupan keluarganya yang tidak dinafkahi oleh sang suami. Dia membesarkan kedua anaknya seorang diri.

Aktivitas masyarakat di desa Nischindipur nyatanya tidaklah terpaku dengan harta benda melainkan kehidupan dengan berbagai persoalan ekonomi sehingga  mereka  hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagai anak desa, Durga dan Apu menjalani keseharian dalam kesederhanaan. Meskipun kehidupan mereka serba kekurangan dengan kondisi tempat tinggal yang tidak layak ditempati, mereka justru memciptakan sudut pandang yang berharga. Sudut pandang mereka berbanding terbalik dengan masyarakat lainnya yang berkembang di daerah tersebut yang masih tergolong sempit yang. Ayah mereka, Harihar, juga menganut sudut pandang yang serupa dengan kedua anaknya yaitu bahwa pendidikan akan mampu mengubah kehidupan. Ayah Harihar merupakan seorang Brahmana, yaitu golongan kasta tertinggi. Di desa Nishchindipur, menjadi seorang Brahmana adalah keistimewaan, sekalipun tidak sanggup menjamin kehidupan ekonomi yang baik.

Gambaran kondisi masyarakat yang terasing dari ilmu pengetahuan melahirkan daya pikir yang terikat tradisi seperti masih menerapkan sistem patriarki. Pemberlakuan sistem ini memenjarakan kebebasan kaum wanita. Implementasi dari sistem ini ialah Durga yang tidak diperbolehkan bersekolah karena merupakan seorang wanita. Sistem ini justru hanya menempatkan kodrat laki-laki selaku warga nomor satu. Apu yang seorang laki-laki sekalipun karena merupakan anak yang terlahir dari keluarga tidak mampu terpaksa menyimpan cita-citanya untuk bersekolah dan hanya bisa bersekolah di rumah bersama ayahnya. Hal ini menunjukkan bahwa seolah-olah kaum wanita dan kaum miskin harus terpenjara dalam hak yang terkunci dikarenakan memilih bukan lagi sesuatu yang bisa di lakukan secara independen. Dalam hal ini, wanita diharuskan untuk menjalin ikatan pernikahan, bukan semata-semata karena umur telah matang tapi hal ini dapat menjadi solusi dalam meringankan beban keluarga.

Dalam petualangan Durga dan Apu yang konsisten memburu ilmu pengetahuan, Apu harus ikhlas kehilangan sosok kakaknya. Sebelumnya Durga terserang penyakit hingga kemudian dirinya wafat. Setelah kepergian kakaknya,  Apu dihadapkan dengan sepupunya yang berasal dari keluarga yang berharta. Dia adalah Shuresh anak lelaki yang lebih besar dari sepupu ayahnya yang bernama Nilmani Ray. Shuresh bersekolah di Kalkutta dan mengambil sekolah Inggris. Karena perbedaan materi keluarga, Apu dan Shuresh pada akhirnya tidak bisa menjadi teman. Keluarga Apu yang sudah tidak tahan lagi tinggal di Nishchindipur pun berencana pindah ke Benares berharap disana bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Disisi lain Apu selalu mengingat kenangan-kenangannya bersama sang kakak, Apu merupakan sosok yang sangat mencintai kakaknya melebihi sang ibu sekalipun.

2.    Kemapanan Agama dan Budaya; Konteks Dunia Timur

Suatu ketika, rombongan makhluk luar angkasa (alien) datang mengunjungi bumi. Para pejabat bumi dengan senang hati menyambut mereka, lalu mempersilakan mereka melihat-lihat kondisi bumi selama beberapa hari. Menjelang pulang ke planetnya, seorang makhluk luar angkasa berkata; ‘Ada sesuatu yang aneh selama saya berkeliling di sini. Saya tidak pernah menemukan perempuan pada malam hari.’ Seorang pejabat bumi dengan santai menjawab; ‘Kami menjaga perempuan pada malam hari untuk menghindari mereka dari para penjahat.’ Alien itu balik berkata; ‘Oh, ya, ternyata berbeda. Di planet kami, binatang buas yang dipenjarakan dalam kandang agar tidak menimbulkan kekacauan dalam hidup bersama.’

Tesis Samuel Huntington dalam karyanya The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order menyebutkan adanya garis-garis tegas yang membedakan peradaban dunia Barat dan Timur. Menurut Huntington, setelah berakhirnya Perang Dingin pada awal 1990-an, benturan yang terjadi di dunia bukan lagi berciri ideologis (kapitalisme dan komunisme), melainkan bercorak kultural (1996:21). Di satu sisi, Barat digambarkan sebagai dunia maju yang sekular, profan, dan sejahtera secara ekonomi. Sementara itu, di sisi lain, Timur adalah belahan dunia yang terbelakang, miskin, sarat akan keyakinan mitis-magis, dan kental dengan tradisi dan agama.

Dikotomi Barat dan Timur kemudian dijelaskan dalam sudut pandang hak asasi manusia (HAM). Liberalisme yang berkembang di dunia Barat membentuk corak kultural yang menghargai hak-hak asasi manusia dan menjunjung tinggi kebebasan, termasuk dalam hal kesetaraan gender. Dalam kaitan dengan hal ini, terdapat dua faktor utama yang menghambat perubahan sosial menuju kebebasan dan kultur hak asasi manusia di belahan dunia Timur.

a.    Kemapanan Religius

Secara umum, pembicaraan tentang dunia Timur tidak akan lengkap tanpa penggambaran mengenai adanya agama-agama. Atmosfer dunia Timur amat kental dengan pengaruh yang besar agama dalam seluruh bidang kehidupan umat manusia. Berbeda dengan konteks masyarakat di belahan bumi Barat, masyarakat dunia Timur cenderung mementingkan keberadaan agama dan ajaran-ajaran teologinya. Ajaran agama dipandang sebagai panduan yang paling penting dalam hidup sosial bermasyarakat. Nafas agama yang amat kuat itu pada suatu waktu menyebabkan adanya kemapanan ajaran, nilai, bahkan pemuka agama. Ajaran agama dianggap sebagai panduan satu-satunya yang harus dipatuhi oleh semua orang dan nilai-nilai kehidupan tidak akan ada dalam ajaran di luar agama. Lebih dari itu, para pemuka agama menjadi manusia nomor satu yang steril dari dosa dan kesalahan alias serba benar.

1.    Fundamentalisme Agama sebagai Akar Sikap Eksklusif

Menurut Collins Dictionary, fundamentalisme adalah keyakinan pada bentuk asli suatu agama atau teori tanpa keterbukaan pada gagasan-gagasan baru. Dalam kaitan dengan agama Fundamentalisme merujuk pada, pertama keyakinan pada ajaran purba dan kedua sikap eksklusif terhadap perubahan dan kebaruan. Fundamentalisme adalah paham yang memegang teguh basis ajaran agama dengan kebenarannya diletakkan pada konsep-konsep fundamen agama tersebut. Fundamentalisme menjadi akar permasalahan, ketika umat beragama yang bersangkutan memiliki sikap radikal, eksklusif, anarkis, dan tidak mau menerima perbedaan. Fenomena inilah yang terjadi dalam novel Semasa Kecil di Kampung.

“Pada suatu hari, sedang mengajarkan langit dan bumi, paman saya menerangkan bahwa langit pertama terbuat dari tembaga, langit kedua dari perak, langit ketiga dari emas, langit keempat dari intan, dan di atas inilah matahari berguling-guling, ditarik dengan rantai emas oleh malaikat beribu-ribu. Manurut kata beliau, matahari mengelilingi bumi, bukan bumi mengelilingi matahari, seperti yang diajarkan di sekolah (SKdK hal. 99).

Kutipan ini menunjukan, kelompok fundamentalis selalu berusaha melibas keberadaan ajaran lain. Sebab ajaran lain dianggap selalu identik dengan kafir dan haram. Kaum fundamentalis, selalu menjaga ajaran iman agar selalu suci dan murni(puritanisme), sambil bersikap tertutup(eksklusif) terhadap kaum/ajaran lain.

Bahaya fundamentalisme agama terletak pada sikap memusuhi ilmu pengetahuan. Padahal ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir sebagai jawaban atas problem hidup manusia yang kompleks. Ketika orang beragama menutup diri terhadap ilmu pengetahuan maka ia dikendalikan oleh takhayul yang tidak rasional dan membatasi kebebasannya. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan hakikat manusia yang bebas dan bermartabat.

Konteks fundamentalisme agama di India dikisahkan secara amat gamblang dalam Pater Pancali. “Gerombolan para perampok itu sebagian besar dari orang-orang kasta rendah, orang-orang Govala, Bagdi, dan Bauri. Mereka adalah orang yang kuat dan ulet,yang mahir menggunakan pentungan kayu dan tombak. Mereka menyembah dewi yang dikenal sebagai Kali para perampok, dan mereka mendirikan kuil-kuil untuk menghormat dewi itu”(PP, hal.13). Kutipan ini mendeskripsikan sekelompok kecil masyarakat, yang masih terikat pada keyakinan purba. Keterikatan yang sangat erat ini tentu saja akan berpotensi memunculkan tindakan yang menyimpang, dikarenakan kelompok fundamentalis akan berusaha untuk selalu mempertahankan kemurnian ajarannya, sambil bersikap tertutup terhadap ajaran lain.

2.    Ironi Agama Eskatologis

Menurut Merriam-Webster Dictionary, eskatologi adalah cabang ilmu teologi yang berkonsentrasi pada kejadian-kejadian akhir sejarah dunia atau manusia. Dengan kata lain eskatologi berhubungan dengan kematian, akhir dunia, atau nasib akhir kehidupan manusia. Selain itu, Cambridge Dictionary secara singkat mendefinisiskan eskatologis sebagai bagian teologi yang berurusan dengan kematian atau kiamat. Eskatologi secara religious semua agama tentu saja memilikiki orientasi pada keselamatan kekal setelah kematian, meski demikian orientasi tersebut akan menjadi kejanggalan ketika janji-janji masa depan setelah kematian bersifat tidak rasional dan mengekang manusia yang masih hidup. Surga dan neraka adalah dua lokus eskatologis yang seringkali dijadikan alat oleh agama-agama untuk membatasi kebebasan manusia dalam mencapai kebahagian dan kesejahtraan nyata di tengah dunia.

“Menurut takhayul yang di pusakainya dari nenek moyangnya, siapa yang pandai menulis, jarinya akan dikerat-kerat di dalam neraka (SKdK hal. 18). Kutipan ini secara jelas menunjukan bahwa janji eskatologis agama membatasi akses manusia pada ilmu pengetahuan, dengan kata lain, manusia dipaksa untuk memusuhi ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan demi janji keselamatan yang tidak rasional.Tidak tanggung-tanggung agama eskatologis memberikan gambaran yang paling angker, yang membuat orang takut hidup secara rasional.

Selain gambaran yang paling menyeramkan surga yang paling membahagiakan juga diumbar sebagai janji yang tidak masuk akal. Hak Asasi Manusia, kebebasan, dan kesetaraan gender, dikorbankan demi mencapai janji kebahagiaan yang muluk-muluk itu. ‘Seorang dari kiai-kiai itu pernah berkata kepada pengikutnya, “Istri saya tidak akan jatuh kedalam neraka, seketika melalui jambatan siratalmustakim di akhirat, sebab dia boleh bergantung kepada ujung serban saya”. Dengan perkataan lain ia bermaksud, celakalah orang yang tiada kiai yang akan menolongnya”. Sebab itulah kiai-kiai banyak yang berbini empat, atau lebih’ (SKdK hal. 222).Dalam hal ini,dengan menggunakan neraka sebagai ancaman menyeramkan martabat perempuan direndahkan dan kesetaraan gender sama sekali tidak berarti.

b.   Kemapanan Budaya

Selain agama, salah satu pranata sosial yang berperan penting dalam proses penindasan manusia menurut kedua novel ini adalah sistem budaya. Berjalan bersamaan dengan praktik sistem agama, budaya setempat turut membentuk manusia menjadi laki-laki yang serba berkuasa dan perempuan yang penurut, pekerja, pelayan, dan warga kelas dua. Institusi budaya di Minangkabau dan desa Nischindipur menjadi panduan bagi gerak-gerik masyarakat yang acapkali menempatkan perempuan pada posisi warga kelas dua.  

1.    Privilese Laki-laki

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), privilese diartikan sebagai hak istimewa. Istilah ‘privilese laki-laki’ tidak berlaku untuk penggunaan kekuasan yang terjadi sendirian, melainkan menggamabarkan salah satu dari banyak struktur kekuasaan sistemik yang saling bergantung dan saling terkait di seluruh masyarakat dan budaya.  Keistemewaan dan status khusus ini diberikan kepada laki-laki dalam masyarakat Patriarki. Ini adalah masyarakat yang didefinisikan oleh sepremasi laki-laki, di mana laki-laki memegang kekuasaan utama dan mendominasi peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak istimewa sosial, dan kontrol properti. Dengan subordinasi terhadap perempuan, laki-laki memperoleh keuntungan ekonomi, sosial, pendidikan, dan praktis yang tidak tersedia bagi perempuan.

Di bidang sosiologi, hak istimewa laki-laki terlihat tertanam dalam struktur institusi . Namun keistimewaan tidak dimiliki secara merata oleh semua laki-laki. Mereka yang paling cocok dengan norma maskulin ideal mendapat manfaat paling besar dari hak istimewa. “Sebab itulah kiai-kiai banyak yang berbini empat, atau lebih. Semua orang ingin bermenantukannya, sedang kiai belum banyak jumlahnya. Supaya yang menjemput mendapat bagian sama rata, kiai itu dengan segala senang hati dan keiklasan menceraikan bininya yang tertua, supaya lowong yang terjadi karena itu dapat diisi dengan gadis yang ditawarkan tadi, yang masih segar.”  Kutipan ini menunjukan laki-laki yang ditempatkan pada posisi yang tidak setimbang dengan perempuan. Kondisi ini menggambarkan implementasi privilese laki-laki dalam lingkup kehidupan masyarakat.   Privilese ini tentu saja hanya menguntungkan pihak laki-laki.

2.    Keyakinan Konservatif dan Sikap Anti-Ilmiah

SKdK dan PP secara bersamaan menampilkan cerita tentang dominasi budaya yang menyebabkan ketertutupan masyarakat. Budaya yang amat kental dan dominatif menggiring masyarakat untuk memelihara mitos sebagai kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat. Akibatnya, ilmu pengetahuan tidak mendapatkan tempat, dan dengan demikian, tidak dapat menjadi penunjuk arah kemajuan bagi masyarakat.

Secara amat eksplisit, Rijal menggambarkan generasi Minangkabau dengan mengatakan, “Saya tahu bahwa nenek moyang orang Minangkabau buta huruf, dan anak cucunya bodoh, banyak sekali yang tidak mau bersekolah, dan karena itu tidak tahu dan tidak mengerti apa yang terjadi dan bakal terjadi di dunia dan negerinya” (SKdK, hlm. 228).

Sikap konservatif dan anti-ilmiah tampak dalam kegigihan memegang erat tradisi kebenaran yang tidak ilmiah. Masyarakat Minangkabau sangat sulit menerima kebenaran lain yang bersumber dari hasil penelitian ilmiah ilmu pengetahuan. Mereka hidup berdasarkan keyakinan-keyakinan kuno yang diajarkan sebagai kebenaran tunggal oleh nenek ,oyang dan orang-orang tua yang dihormati di tengah masyarakat. “Kami sudah tahu bahwa Berlin itu jauh dari Makkah, tetapi datuk kami bersikeras kepala mengatakan kedua kota itu berdekatan. Kami sudah banyak makan garam, katanya” (SKdK hlm. 228).

Konservatisme budaya juga tampak dalam anggapan-anggapan kuno yang menyubordinasi perempuan. Sayangnya, kondisi perempuan sebagai warga kelas dua diterima begitu saja oleh kaum perempuan itu sendiri. Anggapan kuno tentang syarat menjadi anak perempuan brahmana, misalnya dilontarkan oleh Sharvajaya; “Siapa yang akan menyangka bahwa kamu anak brahmana? Kamu sama saja kelihatannya dengan gadis dari keluarga kasta yang rendah dan kalaupun kamu kawin, keluarga macam itu jugalah yang akan kamu kawini. Lalu harta apa yang kamu ikat dengan saarimu itu?” (PP hlm. 90).

Dalam kenyataan, konteks sosial masyarakat Minangkabau dan desa Nischindipur tidak hanya dibingkai oleh kemapanan agama saja atau budaya saja. Agama dan budaya berhubungan sangat dekat. Keduanya saling bekerja sama dalam proses penindasan terhadap masyarakat, terutama kaum perempuan dan anak-anak. Dalam konteks SKdK dan PP, kaum agamawan dan pemangku adat sama-sama memiliki peran dominan dalam mengondisikan pemikiran fundamentalis, penganugerahan privilese bagi laki-laki, kampanye agama eskatologis, dan kultur konservatif yang anti-ilmiah di tengah masyarakat.

3.    Membaca Sastra sebagai Perjuangan Emansipatif; Analisis SKdK dan Pater Pancali

“As soon as we renounce fiction and illusion, we lose reality itself; the moment we subtract fictions from reality, reality itself loses its discursive-logical consistency” (Slavoj Žižek).

a.    Relasi Timbal Balik antara Sastra dan Realitas

Karya sastra yang dihasilkan oleh manusia tentu saja tidak terlepas dari suatu konteks kehidupan tertentu. Karya sastra menggambarkan secara estetis realitas hidup manusia dengan menggunakan gaya bahasa sastrawi yang tidak tidak eksplisit. Meskipun tidak tampak seperti karya ilmiah atau berita (straight news), sastra adalah cerminan dari kenyataan hidup yang dialami oleh manusia di suatu tempat pada suatu masa.

Hubungan antara sastra dan realitas amat dekat dan bersifat timbal balik. Di satu sisi, karya sastra dilahirkan dari pengalaman hidup masyarakat di mana penciptanya tinggal. Sementara itu, di lain pihak, pengalaman hidup masyarakat dapat diperkaya oleh pembacaan atas karya sastra. Dalam hal karya sastra sebagai cerminan kehidupan sosial masyarakat, sebagaimana ditulis Okky Madasari (2019), kita bisa membandingkan karya sastra Rusia yang lebih menonjolkan aspek perjuangan dan perlawanan dengan sastra Prancis atau Amerika Serikat yang tampak sangat individualis, menonjolkan kesepian hidup manusia, dan pencarian jati diri individu. Di Indonesia, karya sastra era kolonial (para pengarang dari era Balai Pustaka dan Pujangga Baru) berbeda dengan karya sastra Angkatan 45, apalagi dengan karya sastra Orde Baru (era Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra).

Novel SKdK ditulis oleh Radjab pada tahun 1950 untuk mengenang kembali konteks sosial masyarakat Minangkabau pada masa kecilnya, yaitu antara tahun 1913 dan 1928. Rijal, tokoh anak dalam novel tersebut tampil sebagai representasi masyarakat yang merasa terusik oleh suatu konteks sistem religi dan budaya yang amat rigid. Agama yang memberikan gambaran serba eskatologis dan budaya yang tidak menghargai kaum perempuan membuat si kecil Rijal merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Dalam cara yang kurang lebih sama, Bibhutibhushan Banerji mendeskripsikan konteks daerah pedalaman India pada awal 1900-an. Kehidupan masyarakat yang serba kekurangan atau miskin di wilayah itu berjalan secara berdampingan dengan hiruk pikuk kehidupan beragama dan berbudaya yang amat merugikan kelompok rentan (khususnya perempuan dan anak-anak).   

Dalam cara pandang yang emansipatif, SKdK dan PP tentu saja tidak hanya menyediakan secara deskriptif kisah kemiskinan, kemapanan agama dan budaya, kekerasan gender, dan kasus kemanusiaan lainnya. Dua karya besar ini membawa kita pada refleksi yang mendalam tentang bagaimana dunia seharusnya dibentuk atau ke mana manusia diarahkan demi kehidupan yang lebih baik.

b.   Nilai Emansipasi dalam Novel SKdK dan Pater Pancali

Kisah serba kekurangan dalam Semasa Kecil di Kampung dan Pater Pancali pada dasarnya mengandung aspek emansipatif. Menurut kami, terdapat hubungan yang saling mengandaikan antara gambaran konteks sosial budaya dalam dua novel dengan aspek emansipasi sastra. Meskipun agama dan budaya menekan martabat manusia sedemikian rupa, tujuan utama novel tersebut, hemat kami, adalah untuk menunjukkan bahwa masih ada Rijal, Apu, dan Durga yang berusaha melawan sistem yang tidak adil.

SKdK menceritakan realitas masyarakat Minangkabau yang amat rumit oleh aturan-aturan agama dan budaya. Dalam kisah itu, terdapat seorang Rijal yang tampil sebagai penggugat yang merasa bahwa sistem tersebut tidak mengantar manusia ke arah kemajuan.

Perlawanan Rijal tampak secara sangat gamblang dalam kutipan berikut;“Apakah kami anak-anak muda tidak akan bodoh dan sengsara nanti, bila kami tuturkan kehendak orang-orang tua yang tidak punya pengertian dalam hidup ini? Apakah jadinya kami pemuda-pemuda jika kami turutkan petunjuk dan ajaran kiai-kiai di pesantren, seperti pernah saya alami hampir dua tahun lamanya masa yang paling gelap dalam hidup saya? Apalagi jadinya kami pemuda, jika kami turutkan nasihat mamak dan datuk kami, yang antara lain tidak tahu ilmu bumi, yang mengatakan kepada kami bahwa Berlin itu dekat Makkah, karena dalam Perang Dunia, jerman membantu Turki? (SKdK hlm. 228).

Pernyataan yang dilontarkan oleh Rijal ini menunjukkan adanya dimensi perlawanan dari seorang anak kecil yang kritis. Dalam hal ini, keterbukaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi membuat si anak kecil merasa tidak puas dengan mitos-mitos yang diajarkan sebagai kebenaran mutlak oleh kaum tua. Novel SKdK secara amat mendalam memperhadapkan anak-anak dan orang tua. Kaum anak-anak, dalam hal ini mewakili kelompok masyarakat kecil yang suaranya seringkali tidak didengarkan atau menjadi korban penindasan oleh agama dan budaya. Sementara itu, kaum tua adalah wakil dari kelompok masyarakat yang selalu berusaha membodohi dan menindas orang lain dengan menggunakan kekuatan status sosialnya.

Rijal, si anak kecil, bahkan secara berani mengatakan; “Bolehkan kita menyerahkan hidup dan nasib kita kepada orang-orang yang dalam kegelapan begitu?”(SKdK hlm. 228). Ilmu pengetahuan, dengan demikian, sangat menentukan nasib manusia. Jika masyarakat bersikap tertutup terhadap ilmu pengetahuan, nasibnya tidak akan berubah menuju kemajuan. Sebaliknya, jika ilmu pengetahuan diterima sebagai kekayaan, kehidupan masyarakat akan berkembang menuju kesejahteraan.

Di samping itu, Pater Pancali memberikan kepada kita gambaran tentang betapa kerasnya kehidupan masyarakat kampung di India pada masa itu. Meskipun demikian, sebagai karya sastra, novel itu menyuarakan kerinduan masyarakat akan kehidupan yang baik dan sejahtera, bebas dari kemsikinan dan tetek bengek agama serta budaya yang menindas.

Banerji menulis; “Sialnya banyak sekali orang di dunia ini yang begitu tidak perasa, sehingga mereka tidak mengerti kecintaan anak-anak terhadap buah ranti ‘nona toko’, demikianlah Durga menamakannya” (PP hlm. 90). Kalimat ini menunjukkan ketidakpuasan terhadap sikap orang tua yang senantiasa mendikte dan mengontrol setiap inci tingkah laku dari anak-anaknya. Sikap orang tua seperti itu tidak dibaca sebagai usaha untuk membuat anak-anak patuh tetapi memenjarakan anak dari partisipasi dalam kehidupan nyata yang bebas. Sejak dini, seorang anak manusia dipaksa untuk menjadi penurut belaka berkembang tanpa pertimbangan kasih sayang orang tua.

Dimensi emansipatif dalam PP juga tampak dalam sikap Durga dan Apu yang menolak diperlakukan secara berbeda dengan kaum dari kasta yang lebih rendah. Durga dan Apu tidak peduli dengan aturan tentang penggunaan gelas air minum. “Minum saja dari gelas itu. Tak apa-apa buatku”, kata Apu kepada Bini, seorang anak brahmana yang berasal dari golongan rendah dan tidak memiliki pamor sosial. Sikap dua orang anak kecil, Durga dan Apu, adalah bentuk perlawanan terhadap diskriminasi sosial yang dikondisikan oleh agama dan budaya. Dengan melakukan tindakan tersebut, dua orang anak kecil ini menunjukkan bahwa aturan agama dan budaya tidak serta merta harus ditaati jika tidak mengandung nilai kemanusiaan.

4.    Penutup

 Dominasi agama dan budaya membentuk masyarakat Timur yang sangat religius dan berbudaya. Dalam banyak hal, novel SKdK dan PP menceritakan kepada kita bahwa masyarakat Minangkabau dan Nischindipur, Bengali, hidup dalam berbagai macam mitos buatan agama dan budaya. Mitos-mitos tersebut tidak hanya menjadi cerita, tetapi juga membentuk sikap masyarakat terhadap segala sesuatu. Sikap tersebut, sayangnya, berhubungan dengan hak asasi dan martabat manusia. Dalam hal ini, budaya dan agama membingkai sikap masyarakat yang tidak menghargai martabat manusia yang berasal dari golongan (kasta) atau gender yang lain (perempuan).

Meskipun demikian, sebagai karya sastra yang memiliki dimensi emansipatif, kedua novel ini mengandung upaya untuk keluar dari konteks masyarakat kuno menuju masyarakat yang terbuka, demokratis, dan menghargai martabat manusia. Durga dan Apu, dua orang anak kecil dalam PP, menjadi wakil dari usaha-usaha untuk melawan penindasan yang dibuat oleh agama dan budaya di pedalaman India. Dalam cara yang bersamaan, Rijal, anak kecil dalam SKdK, berusaha untuk melawan mitos agama dan budaya yang menindas, terutama kaum perempuan dan anak-anak. Dengan melawan mitos, Rijal mengajak kita untuk menerima perubahan yang dibawa oleh ilmu pengetahuan agar kehidupan masyarakat bergerak menuju kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Daftar Pustaka

Hardiman, F. Budi. "Konsep Habermas Tentang Masyarakat Postsekuler Serta Diskursus Tentang Relasi Agama Dan Negara Di Indonesia" dalam Jurnal Ledalero, Vol. 10, No. 1, Juni 2011.

https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/eschatology

https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/fundamentalism

https://www.merriam-webster.com/dictionary/eschatology

Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilization and the Remaking of World Order. New York. SIMON & SCHUSTER.

Madasari, Okky. 2019. Genealogi Sastra Indonesia; Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan. Publikasi daring.

Malaka, Tan. 2010. Madilog. Yogyakarta: Narasi.

Selamat, Kristo Depatri. "Perempuan Dalam Negara Demokrasi Moderen (Sebuah Tinjauan Dari Perspektif Dalam Tanggung Jawab Untuk Yang Lain)" dalam BIDUK, Ed. I. XLXII. Juli - Desember 2012.

Susabun, Anno. "Tantangan Fundamentalisme Agama Dalam Negara Demokrasi" dalam Biduk, Ed. II. LXXIII. Januari - Juni 2018.

Udu, Yohanes Damaiko. "Turbulensi Islam-Barat: Tantangan Perenial Bagi Peradaban Global?" dalam Akademika, Vol. XL. No. 2, Januari - Juni 2017.