Amar maruf nahi mungkar penting diingatkan. Ahad , 20 Dec 2020, 14:30 WIB Peringatan Pentingnya Amar Maruf Nahi Mungkar. Foto: Dakwah/ilustrasi Rep: Ali Yusuf Red: Muhammad Hafil REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Saling mengingatkan antar kaum muslimin betapa pentingnya amar ma'ruf nahi munkar. Syaikhul hadits Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi Rah.a dalam kitabnya Fadhilah Amal Baginda Nabi Muhammad SAW mengatakan, betapa kerasnya ancaman jika kita meninggalkan saling mengingatkan pentingnya amar ma'ruf nahi munkar. Baca Juga Hadits mafhum yang diriwayatkan Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Nasa'i dari kitab At-Targhib mengatakan bahwa jika seseorang dapat mencegah kemungkaran dengan lidah lidahnya, maka lakukanlah. Jika tidak, maka yakinlah di dalam hati bahwa perbuatan itu merupakan suatu kemungkaran. "Dengan demikian, ia terbebas dari tanggung jawab," kata Maulana Zakariyya. Dari Sayydina Ibnu Mas'ud radhiallahu Anhu ia mengatakan bahwa Baginda Rasulullah SAW bersabda, penyebab pertama kemerosotan Bani Israil adalah jika orang saleh di antara mereka bertemu dengan pelaku maksiat, ia berkata, takutlah kamu kepada Allah SWT. Janganlah kamu berbuat begitu, karena hal itu tidak halal bagimu! "Kemudian esoknya orang Saleh tersebut bertemu kembali dengan orang itu dalam keadaan yang sama, tetapi hal itu tidak menghalangi orang saleh tersebut untuk makan minum dan duduk bersamanya. Maka ketika mereka berbuat demikian Allah SWT menyatukan hati mereka hati orang saleh tersebut dijadikan sama dengan hati pelaku maksiat." Kemudian masih lanjutan dari hadits di atas Baginda Nabi SAW membaca ayat, telah dilaknat orang-orang kafir dari kaum Bani Israil melalui lisan Daud dan Isa bin Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui bata. Mereka tidak saling melarang kemungkaran yang mereka lakukan. Sungguh sangat buruk apa yang mereka lakukan. Engkau lihat kebanyakan mereka tolong menolong dengan orang-orang kafir. Sungguh amat buruk apa yang mereka sediakan bagi diri mereka yaitu kemurkaan Allah terhadap mereka dan mereka kekal dalam azab. Jika mereka beriman kepada Allah kepada Nabi dan apa-apa yang diturunkan kepadanya, tentu mereka tidak akan mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin, tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik. Kemudian Baginda Nabi shallallahu wasallam bersabda. "Ingatlah, demi Allah, kalian harus mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan. Jagalah mereka yang berbuat zalim dari kezaliman nya dan tariklah mereka dengan kuat kepada kebenaran.(HR Abu Dawud dan Tirmidzi dari kitab At. Targhib). Maulana Muhammad Zakariyya mengatakan bahwa ada hadits lain menyatakan bahwa ketika baginda Rasulullah SAW sedang duduk bersandar bantal, tiba-tiba beliau bangkit dengan penuh semangat, lalu bersabda seraya bersumpah. "Demi Allah, kamu idak akan mencapai keselamatan, selama kamu tidak mencegah penzhalim dari kezhalimannya." Beliau juga bersabda dengan bersumpah, "Kalian hendaklah selalu mengajak kepada kebenaran, dan mencegah kemungkaran dan menghentikan penzhalim dari kezalimannya, dan menarik mereka dengan kuat kepada kebenaran. "Jika tidak, hati kalian akan disatukan dengan hati mereka, dan kalian akan dilaknat oleh Allah SWT sebagaimana Allah telah melaknat Bani Israil," katanya. Kemudian beliau membaca ayat alquran yang menegaskan bahwa Bani Israil telah dilaknat salah satu sebabnya adalah karena mereka tidak saling mencegah dari perbuatan yang mungkar. Dewasa ini kata dia, dipandang sebagai kebaikan apabila seorang selalu berdamai dengan menggembirakan setiap orang pada setiap waktu dan keadaan. "Itu dianggap sebagai kebaikan dan akhlak yang terpuji," katanya. Padahal itu adalah pendapat yang tidak benar. Bahkan, jika kita sudah memastikan bahwa Amar ma'ruf nahi munkar tidak akan di dihiraukan sama sekali, maka diam itu (lebih baik daripada selalu mengiyakan dan bermuka manis terhadap kemungkaran. Sebaliknya jika kita memperkirakan usaha Amar ma'ruf nahi munkar akan diperhatikan misal kepada bawahan kita, istri dan anak atau kenalan kita maka di saat itu dalam diam bukanlah Akhlak yang Mulia. Bahkan, kata dia, orang yang diam dalam kondisi seperti itu dianggap telah berbuat dosa menurut syariat dan adat. Sufyan ats Tasauri berkata barangsiapa disukai oleh semua tetangganya, dan dipuji oleh semua sanak saudaranya, Kebanyakan orang semacam itu adalah mudahin (penjilat atau pencari muka)
Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...
Penerapan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Sesungguhnya, dalam membangun serta membina akidah dan akhlak seorang muslim, Islam tidak sekadar menjadikannya sebagai pribadi yang saleh. Akan tetapi, juga mendorongnya untuk menjadi pribadi yang mushlih (selalu mengupayakan terciptanya perbaikan), saleh bagi dirinya dan mengupayakan kesalehan bagi selainnya. Prinsip amar ma’ruf nahi mungkar mengajarkan kepada setiap muslim untuk menjadi pribadi yang saleh dan mushlih. Untuk itu, menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar haruslah mengetahui tahapan-tahapannya, dari mana memulainya dan apa yang mesti diperhatikannya. Memulai dari yang Paling Penting Kemudian yang Penting Berikutnya Kemudian ia memerintahkan menegakkan shalat, menunaikan zakat, serta kewajiban-kewajiban lainnya. Lalu ia memerintahkan meninggalkan perkara-perkara haram. Berikutnya, ia memerintahkan perkara-perkara yang sunnah, diikuti dengan meninggalkan hal-hal yang makruh. Demikianlah metode dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar yang diterapkan oleh seluruh rasul Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka memberikan porsi yang lebih terhadap pembenahan akidah tanpa mengesampingkan perkara-perkara penting lainnya, karena pada dasarnya tidak ada masalah yang tidak penting dalam Islam. Melihat Maslahat dan Mafsadah Ada satu kaidah yang tidak boleh diabaikan oleh orang yang hendak menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar, yaitu ‘menolak mafsadah (kerusakan) lebih diutamakan daripada mengambil maslahat’. Oleh karena itu, menjadi keharusan mengetahui maslahat yang dihasilkan dan mafsadah yang ditimbulkan dari penerapan amar ma’ruf nahi mungkar. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut. Pertama: Apabila kemaslahatan yang dihasilkan lebih besar dibandingkan mafsadahnya, wajib beramar ma’ruf nahi mungkar. Kedua: Apabila yang terjadi kebalikannya, yakni mafsadahnya lebih besar dari maslahatnya, menjadi tidak wajib menegakkannya bahkan diharamkan. Ketiga: Jika keadaannya seimbang antara maslahat dan mafsadahnya, atau yang ma’ruf dan yang mungkar sama-sama dilakukan, maka tidak boleh memerintah kepada yang ma’ruf, tidak pula mencegah yang mungkar. Artinya, dalam kondisi ini, menghindari terjadinya mafsadah yang lebih besar diutamakan daripada mengambil maslahat. Keempat: Apabila bercampur antara yang ma’ruf dengan yang mungkar, langkah yang diambil adalah menyampaikan seruan/dakwah secara khusus kepada yang ma’ruf dan menyampaikan ajakan secara khusus agar menjauh dari segala hal yang mungkar. Sebenarnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjelaskan kaidah ini dengan gamblang. Beliau mengatakan, “Apabila maslahat dan mafsadah, kebaikan dan kejelekan, sama-sama mencuat atau sama-sama menguat, yang wajib adalah mendahulukan mana yang lebih dominan. Hal ini karena amar ma’ruf nahi mungkar, sekalipun membawa misi untuk mewujudkan maslahat dan menolak mafsadah, tetap harus mempertimbangkan apa yang menjadi rintangannya. Jika maslahat yang hendak dicapai tidak sebesar mafsadah yang akan muncul, tidak boleh menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar, bahkan menjadi haram dalam kondisi tersebut. Tetapi, mengukur maslahat dan mafsadah itu harus dengan timbangan syariat. Artinya, kapan seseorang itu punya kemampuan untuk mengikuti dalil, maka tidak boleh berpaling darinya. Kalau tidak, maka berijtihad dengan pendapatnya jika ia termasuk ahli ijtihad. Namun, sangat sedikit orang yang berkemampuan seperti di atas. Intinya, ini adalah bagian yang dikembalikan kepada ahlul ilmi dan ulama. Apabila jumlah yang ma’rufnya lebih banyak dilakukan, maka sampaikan perintah kepada (yang ma’ruf). Meskipun masih terjadi kemungkaran yang jumlahnya lebih sedikit, tidak boleh dicegah dari melakukannya (nahi mungkar), karena hal tersebut justru akan menyebabkan hilangnya yang ma’ruf yang secara kuantitas jauh lebih banyak. Bahkan, mencegahnya (nahi mungkar) ketika itu sama saja dengan menghalang-halangi dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala, mengusahakan hilangnya ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya, serta dianggap menghilangkan perbuatan baik. Kemudian, kalau kedua-duanya sama-sama dilakukan, baik yang ma’ruf maupun yang mungkar dan keduanya saling terkait, maka tidak boleh menerapkan amar ma’ruf, tidak pula nahi mungkar. Kadang-kadang amar ma’ruf lebih tepat, tapi kadang juga sebaliknya nahi mungkar yang lebih tepat. Atau justru lebih tepat untuk tidak menerapkan (menahan dulu) amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini bisa terjadi dalam perkara tertentu yang nyata.” Meneliti dan Memastikan Kemungkaran Di antara yang membawa keberhasilan dalam menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar adalah meneliti dan memastikan kemungkaran yang hendak diubah dan ditiadakan. Karena itu, memiliki ilmu tentang yang ma’ruf dan yang mungkar menurut kacamata syariat adalah penting. (lihat kembali pembahasan ini di rubrik ”Manhaji” edisi ini) Oleh sebab itu, pastikanlah bahwa kemungkaran yang akan dicegah benar-benar perkara mungkar yang diingkari oleh Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika sebagian orang melihat suatu perbuatan atau mendengar suatu ucapan, terkadang dianggapnya sebagai suatu kemungkaran karena berpatokan kepada kebiasaan yang berlaku dan adat istiadat manusia pada umumnya. Ternyata menurut syariat Islam ternyata bukan sesuatu yang mungkar, bahkan boleh jadi malah sesuatu yang ma’ruf. Atau bahkan sebaliknya, melihat sesuatu yang sebenarnya ma’ruf menurut syariat, tetapi dianggapnya sebagai sesuatu yang mungkar. Inilah fenomena yang sering terjadi dan tampak di sebagian wilayah Islam. Semua itu terjadi semata-mata karena kebodohan yang melekat dalam diri umat Islam. Hal lain yang wajib diperhatikan adalah jangan tergesa-gesa untuk mencegah seseorang atau sekelompok orang dari suatu kemungkaran, jika dasarnya hanya prasangka tanpa melalui proses mencari kepastian (tabayyun dan tatsabbut). Apabila seseorang mendapatkan informasi tentang adanya kemungkaran, maka hendaknya ia mencari kepastian tentang keadaan si pembawa informasi. Mungkin saja ia seorang munafik, orang yang fasik, penyebar fitnah, atau tukang ghibah yang ingin menciptakan kerusakan dan tidak membuat perbaikan. Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan kepada kita tentang orang-orang munafik, penyebar fitnah dan tukang ghibah, serta orang-orang fasik dalam firman-Nya: “Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina, suka mencela, yang kian kemari menyebarkan fitnah.” (al-Qalam: 10—11) “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatan kamu itu.” (al-Hujurat: 6) “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19) (al-Amru bil Ma’ruf wan Nahi ‘anil Mungkar fi Dha’ui Kitabillah) Ditulis oleh al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari |