Mengapa kita harus memupuk rasa toleransi pada diri kita?

Mengapa kita harus memupuk rasa toleransi pada diri kita?

KETIKA gejala kebencian bermunculan, bahkan dengan entengnya dipasang di status media sosial seseorang yang secara terbuka untuk dibaca siapa saja, banyak dari kita yang langsung mengingat-ingat masa lalu, di mana toleransi menjadi warna hubungan yang guyub dan bahkan merupakan bunga-bunga dari kebersamaan dalam keberbedaan.

Banyak teman yang menggambarkan kegembiraan ketika dulu mereka ikut terlibat dalam perayaan keagamaan dari tetangga yang beragama ataupun bersuku bangsa lain.  Pada masa lalu, sikap toleransi sudah dikenal dan menjadi hal yang biasa saja di masyarakat. Di masa kini, di mana dinding kotak-kotak fanatisme semakin tebal, terbit kerinduan kita untuk mengembalikan kemesraan dari keberbedaan tadi. Namun, walaupun kita sudah merasakan dan menyaksikannya, saat sekarang ini seringkali kita tidak tahu dari mana harus memulai pengembangan sikap toleransi. Mengingat ingat masa lalu yang indah pun rasanya tidak ada gunanya. Sebenarnya, apa toleransi itu?

Ketika manusia merasa dirinya berada dalam sebuah kotak, dan menikmati persamaan dengan orang-orang di dalam kotak itu, timbullah istilah “orang lain” bagi mereka yang berada di luar kotak. “Orang lain” itu kemudian dianggap berbeda, dengan perbedaan baik yang bisa diterima maupun yang tidak. Toleransi sebenarnya bisa dimulai dari satu pihak, ketika ada inisiatif untuk membuka diri dan mengkoreksi penilaian ataupun sikap ke pihak lain. Namun, sebagaimana bentuk hubungan yang lain, hal ini membutuhkan sikap timbal balik agar bisa semakin menguat. Karenanya, hal ini lebih mudah dikatakan daripada dipraktikkan. Dibutuhkan keterbukaan yang sangat kuat untuk berempati dan menerima keberbedaan. Inilah toleransi.

Dari manakah sikap intoleran itu tumbuh dalam pribadi seorang individu? Prinsip berpikir ini bisa berasal dari pengalaman buruk pribadi, maupun ditularkan dari keluarga dan lingkungan. Pikiran bahwa suatu golongan lebih superior daripada golongan yang lain dapat memiskinkan sikap empati individu terhadap sesamanya yang lain. Masukan terus-menerus pada individu dapat merasuk sampai ke alam bawah sadarnya dan terwujud dalam sikap, pendapat bahkan caranya berbahasa yang dianggapnya sudah benar, dan orang lain, kurang benar.

Kalau mindset ini kemudian dibiarkan hidup subur maka pendapat ini akan merasuk ke hati. Timbul stereotip tertentu terhadap golongan tertentu, dan sikap yang ada bukan lagi dilatarbelakangi oleh pendapat tetapi oleh rasa atau sentimen tidak suka bahkan benci. Pada saat ini kita tidak bisa lagi menimbang gejala ini dari aspek rasionalitasnya, logikanya, fairness-nya, karena perasaanlah yang bermain. Hal yang lebih terasa adalah kemarahan, kebencian, kekeras kepalaan.  

Pikir vs Rasa

Rasa atau sentimen individulah yang membentuk dinding imajiner yang tebal terhadap golongan lain. Jadi, membangun sikap toleran perlu diawali dengan mengembangkan rasa respek dan rasa kesejajaran bahwa tidak ada manusia yang berkodrat lebih tinggi dari manusia lain, meskipun ia memiliki golongan ekonomi, kelompok sosial, suku, ras ataupun agama yang berbeda, maupun jumlah yang lebih banyak sekalipun. Bila penerimaan dan penghargaan terhadap keberbedaan telah tumbuh, saat itu lah rasio mulai kita kembangkan dengan mempelajari dan memahami keindahan akan kekhasan masing-masing pihak lain.

Kita mempelajari bahwa ada banyak gaya hidup, keyakinan yang tidak bisa dihakimi benar salahnya. Kitapun kemudian perlu belajar menyukai perbedaan dan menjaga rasa hormat, meskipun mungkin timbul konflik karena perbedaan itu.

Beberapa hari yang lalu saja, dunia dihebohkan dan menyaksikan betapa tata krama monarki Inggris berhasil ditembus oleh seorang janda cantik melalui kesederhanaannya yang memukau. Situasi cair seperti ini bisa berlanjut pada engagement yang kita anggap ideal untuk situasi toleransi: saling tolong, bekerja tim, sampai mengakui kelebihan dan menerima kelemahan orang. Di sini berlaku apa yang sudah dikemukakan Dale Carnegie, “When dealing with people, let us remember we are not dealing with creatures of logic. We are dealing with creatures of emotion, creatures bristling with prejudices and motivated by pride and vanity.”

Perasaan bisa jadi malah lebih kuat dalam menentukan perilaku kita ketimbang pikiran. Inilah sebabnya tentara juga menjalani latihan fisiknya, mengasah aspek kinestetikanya, sambil menyanyikan lagu-lagu patriotisme, untuk menguatkan perasaan positif terhadap negara yang ia bela. Rasa cinta terhadap bangsa, negara dan sesama tidak hanya bisa dipupuk melalui wacana-wacana saja, tetapi seharusnya menyentuh sisi afeksi kita semua.

Toleransi bukan sekadar aksesori kehidupan sosial

Di beberapa perusahaan yang maju, inklusivitas, penyertaan orang-orang dengan latar belakang profesi maupun keyakinan yang berbeda sudah merupakan suatu keharusan. Kalau  dalam beberapa dekade lalu, baru golongan wanita saja yang diperhatikan, yang diusung untuk mendapatkan respek dan hak yang sama dengan pria, saat sekarang semua kelompok individu, mulai dari para penyandang disabilitas bahkan sampai kelompok LGBT sekalipun perlu mendapatkan kesempatan yang sama.

Di sinilah peran pimpinan puncak menentukan. Apakah ia sendiri menggaungkan toleransi, dan menunjukkan dalam aksi nyata bahwa keragaman adalah hal yang terpenting? Apakah ia tidak pernah berat sebelah dalam mengambil keputusan? Apakah pemimpin menunjukkan kebijaksanaan dalam pembuatan kebijakan?  

Sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh sebuah universitas ternama menyatakan bahwa paham intoleransi banyak sekali diajarkan sejak sekolah dasar, disusupkan melalui pendidikan agama. Bisa kita bayangkan sulitnya mengembangkan toleransi bila dalam usia dini ketika anak masih seperti tabula rasa pun sudah ditanamkan bibit-bibit separasi.

Di sinilah pemimpin harus bekerja keras, mewujudkan dalam tindakan nyata mengenai penerimaan terhadap segala macam nilai, kebiasaan dan keberbedaan. Tengok betapa pemimpin negara Canada bekerja keras mulai dari daftar mentri kabinetnya yang mewakili segala golongan, sampai caranya menyambut kedatangan para pengungsi. Pengamalan Bhineka Tunggal Ika negara kita nampaknya juga perlu diikuti dengan tindakan-tindakan kongkrit, konsisten dan merata, yang bisa menjadi role model bagi semua lapisan.

Dimuat dalam harian Kompas, 26 Mei 2018

Sebutkan 3 hal yg menyebabkan masyarakat membutuhkan norma hukum.

Berikan contoh tindakan menghargai dan menghormati keragaman suku bangsa kecuali.

hak: meminjam bukukewajiban:Hak: belajar nyaman bersih dan aman kewajiban: Hak: mendapat istirahatkewajiban:hak: memproleh tempat duduk dan mejakewaji … ban:​Bantu Jawab DonggBesok Di Kumpulin

Apakah kehidupan masyarakat di sekitar sudah sesuai dengan nilai Pancasila.

Prinsip – prinsip dalam hierarki peraturan perundang - undangan

Perbedaan merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Keberagaman suku, agama, bahasa, ras, budaya, hingga perbedaan gender dan kondisi fisik merupakan salah satu bukti kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Namun, di sisi lain perbedaan juga dapat memicu diskriminasi, perpecahan, dan berbagai konflik lain. Karenanya, menumbuhkan sikap dan rasa toleransi mulai dari diri sendiri diperlukan oleh setiap orang. Tindakan toleransi sendiri tidak hanya terbatas pada toleransi pada perbedaan agama, ras, atau suku saja. Kita juga perlu bersikap toleran terhadap perbedaan ide, pola pikir, dan prinsip orang lain yang berbeda dengan kita.

Sikap toleransi penting untuk ditanamkan pada setiap masyarakat supaya keberagaman tidak menjadi faktor terjadinya perpecahan dan konflik. Menurut KBBI, toleransi adalah sifat atau sikap toleran. Sedangkan menurut W.J.S. Purwadarmita, toleran memiliki makna sikap atau sifat memperbolehkan suatu pendapat, pendirian, pandangan, dan kepercayaan yang berbeda dengan pendirian sendiri. Lantas, bagaimana cara menumbuhkan sikap toleransi?

Pertama, memahami perbedaan. Perbedaan ada bukan untuk mengkotak-kotakkan. Justru, perbedaan itu indah dan membuat kita kaya akan sudut pandang dan pola pikir. Kita harus menyadari bahwa tidak mungkin setiap orang dapat menjadi apa yang kita inginkan.

Kedua, menjalin pertemanan dan relasi dengan orang yang berbeda. Jika selama ini kita tinggal di lingkungan yang homogen, tak ada salahnya untuk mencoba menjalin pertemanan dengan orang yang berbeda. Itu adalah langkah yang bagus untuk membangun sikap toleransi. Perbedaan budaya, agama, suku, hingga kondisi fisik bukanlah sebuah halangan untuk menjalin pertemanan atau persahabatan. Dengan bersahabat dengan orang yang berbeda dengan kita akan membuat kita lebih menghargai perbedaan.

Ketiga, menumbuhkan empati. Kita tak selalu dapat mengutamakan keinginan pribadi dan memaksa orang lain yang kita anggap berbeda untuk setuju dengan keinginan dan pemikiran kita. Cobalah untuk memposisikan diri dan membayangkan bagaimana jika kita di posisi mereka yang berbeda? Menjadi berbeda bukan hal yang harus dihindari atau hal yang harus dijauhi. Justru, kita harus memperlakukan orang yang berbeda dengan kita dengan baik—sebagaimana kita ingin diperlakukan. Memposisikan diri kita di posisi orang lain adalah cara yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan empati dan rasa toleransi.

Keempat, menyampaikan apresiasi dan kritik sewajarnya. Memiliki perbedaan pendapat atau pola pikir—misalnya dalam sebuah diskusi—adalah sebuah hal yang wajar. Kita juga bebas mengutarakan kritik atau pendapat yang ingin kita paparkan. Yang terpenting adalah bagaimana kita mengutarakan pendapat tanpa menghakimi orang lain. Jika ingin menyanggah misalnya, atau menyatakan ketidaksetujuan, kita bisa mengawalinya dengan memberikan apresiasi terhadap lawan bicara, baru kemudian menuturkan pendapat dengan baik dan sopan. Di sisi lain, kita juga harus mau menerima kritikan dari orang lain. Kuncinya, sama-sama saling menerima dan menjaga kenyamanan hati masing-masing.

Kelima, bergabung dengan gerakan atau komunitas yang mendukung iklim toleransi. Kita dapat memperluas networking dan meningkatkan rasa toleransi dari dalam diri dengan bergabung di gerakan atau komunitas tertentu yang mewadahi orang-orang yang berfokus dalam membangun toleransi dan perdamaian. Dengan bergabung di komunitas atau gerakan tersebut, kita bisa mendapat inspirasi serta terlibat dalam aksi konkret yang memiliki dampak signifikan.

Perempuan dan Toleransi

Perempuan mempunyai peran yang signifikan dalam menumbuhkan sikap toleransi. Perempuanlah yang dapat menanamkan sikap inklusif sejak dini di dalam keluarga, khususnya di dalam pendidikan dan pola asuh di rumah maupun di sekolah. Perempuan juga memiliki potensi menjadi agen perdamaian. Dilansir dari Media Indonesia, Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid mengatakan bahwa perempuan lebih toleran, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Wahid Foundation, UN Women, dan Lembaga Survei Indonesia (LSI). Menurutnya, kaum perempuan perlu menyadari potensi tersebut. Potensi perempuan sebagai agen perdamaian memiliki tingkat yang tinggi karena kecenderungannya yang lebih toleran.

Insting nurturing atau mengasuh pada perempuan membuat mereka lebih peka. Selain itu, insting tersebut dapat menjadi alat pendeteksi utama saat terdapat masalah radikalisme dalam lingkup keluarga dan komunitas. Hal tersebut dikarenakan mereka lebih mengetahui dinamika yang terjadi di dalamnya. Menurut Yenny, dengan kecenderungan toleran tersebut, perempuan dapat menjadi aktor kunci dalam menangkal intoleransi.

Salah satu contoh konkret perempuan-perempuan yang berperan aktif dalam membangun toleransi dan perdamaian di akar rumput adalah mereka yang tergabung dalam organisasi Srikandi Lintas Iman di Yogyakarta. Sesuai dengan namanya, organisasi ini merupakan perkumpulan dari perempuan-perempuan yang berasal dari latar belakang agama, pendidikan, dan profesi yang berbeda-beda. Para anggota organisasi ini bergabung dengan komitmen, spirit dan intensi yang sama, yaitu membangun iklim toleransi dan perdamaian di masyarakat.

Nah itulah pembahasan mengenai cara menumbuhkan sikap toleransi dari mulai diri sendiri dan bagaimana peran perempuan dalam membangun toleransi. Kita bisa turut membangun atmosfer perdamaian dan toleransi dengan mengikuti komunitas-komunitas yang berkaitan dengan hal tersebut. Akan tetapi, jika belum bisa, kita tetap dapat dan harus menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai keberagaman mulai dari diri sendiri dan atau dari dalam keluarga.

_______________

Artikel ini adalah hasil kerja sama neswa.id dengan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Ayu Larasati