Konsep pendidikan K.H. Ahmad Dahlan yang manakah yang masih relevan dengan pendidikan saat ini?

AKURAT.CO, Jika mendengar KH Ahmad Dahlan, barangkali kita akan spontan mengidentikkannya sebagai pendiri Muhammadiyah, sebuah organisasi kelahiran 18 Desember 1912 yang bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, dan sosial. Sejak muda, Ahmad Dahlan (1868-1923) yang hidup di era prakemerdekaan memang punya kegelisahan pada teologi pasrah yang dianut masyarakat saat tengah dibelenggu penjajahan. Mereka lari dari dunia nyata menuju pada hal bersifat mistik/supranatural.

Ahmad Dahlan pernah mencermati cara penanganan kaum barat vs pribumi ketika ada seseorang sakit. Kaum penjajah kala itu, membawa orang sakit ke tenaga yang ahli di bidangnya yakni dokter, untuk menganalisis penyebab dari dalam tubuh yang memicu perubahan kondisi tubuh. Sementara, masyarakat kita lebih memilih membawa si sakit ke dukun/paranormal untuk mencari penyebab dari luar, seperti kekuatan/roh jahat.

Dalam kacamata Ahmad Dahlan, perbedaan pola dalam berpikir ini dikarenakan kurang tingginya pendidikan masyarakat nusantara kala itu. Maka menurutnya, satu cara efektif untuk melepaskan kaum nusantara dari ketertindasan adalah dengan meningkatkan level pendidikan. Ia pun mencermati, metode klasikal yang diterapkan di sekolah efektif mencetak orang-orang berilmu dibanding metode tradisional, sehingga dia mendirikan sekolah sendiri.

Menurut Juwariyah, dosen Jurusan Kependidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga (kini Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta dalam paper berjudul "Ciri-Ciri Pendidikan Islam Tradisional: Potret Kehidupan Pesantren di Pulau Jawa", metode tradisional berupa halaqah atau sorogan yang diterapkan pesantren era awal terbilang kurang terorganisir. Ketika itu, para kiai menyediakan diri untuk diserap ilmunya oleh para santri yang datang.

Dengan mengutip Zubaidi Habibullah Asy'ari dalam buku "Moralitas Pendidikan Pesantren", Juwariyah menuliskan, "Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, memiliki ciri-ciri khusus, yang barangkali tidak dimiliki lembaga pendidikan lain di luar pesantren secara umum. Sedangkan, istilah tradisional yang menjadi predikat lembaga pendidikan semacam pesantren itu, menurut Zamakhsyari Dhofier adalah suatu kondisi yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para ulama ahli fiqh, hadits, tafsir, kalam serta tasawuf, yang hidup antara abad ke tujuh sampai abad ke tiga belas. Walaupun hal itu bukan berarti bahwa pesantren-pesantren tradisional yang hidup dewasa ini tetap terbelenggu dalam bentuk-bentuk pikiran dan aspirasi yang diciptakan ulama pada masa itu. Sebab walaupun semenjak abad 13 sampai akhir 19 perumusan tradisional sedikit sekali mengalami perubahan, namun dalam kenyataannya struktur kehidupan pesantren telah banyak mengalami perubahan."

Sebelum membahas berbagai gagasan pembaruannya, mari kita mengenali lebih dekat sosok yang membuat nama Kauman, sebuah kampung di sebelah barat Alun-Alun Utara Yogyakarta, menjadi begitu tenar. Ahmad Dahlan adalah putra keempat dari tujuh bersaudara pasangan KH Abu Bakar (ulama Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (putri H Ibrahim, penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat). Semua saudaranya perempuan, kecuali sang adik bungsu. Ia juga merupakan generasi ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), generasi paling awal Walisongo yang dikenal sebagai pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Sosok yang diperkirakan lahir di Samarkand (Uzbekistan) pada awal abad ke-14 ini adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad.

Nama kecilnya adalah Muhammad Darwisy, sedangkan Ahmad Dahlan ialah nama barunya yang mulai dipakai saat umur 20 tahun (1888), tepatnya ketika tiba di kampung halaman usai dari menunaikan haji. Menjadi suatu kebiasaan masyarakat kala itu, orang yang pulang haji selalu mendapat nama baru sebagai pengganti nama kecilnya. Ahmad Dahlan muda sebenarnya berangkat haji saat ia berusia 15 tahun (1883). Namun usai berhaji, ia lanjut menimba ilmu di Makkah, hingga ia berkenalan dengan pemikiran-pemikiran para pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Ia pun menjadi ulama terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta (Masjid Gedhe Kauman). Pada 1902, ia kembali ke Makkah untuk menimba ilmu pada beberapa guru, termasuk Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH Hasyim Asyari.

"Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwis. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis," tulis situs Muhammadiyah dalam artikel berjudul "KH Ahmad Dahlan (Ketua 1912 - 1922)".

Sebagai pendidik, KH Ahmad Dahlan punya terobosan besar pada masanya di bidang pendidikan, yakni sebagai berikut, seperti tuturan Fahruddin Faiz dan beberapa sumber internet.

1. Mencetak ulama-intelek atau intelek-ulama

KH Ahmad Dahlan bercita-cita menciptakan ulama yang punya wawasan keilmuan luas atau ilmuwan yang punya wawasan keagamaan memadai. Gagasan ini memberi jawaban bagi kita bahwa kesadaran untuk tidak mendikotomikan ilmu dan agama sudah hadir sejak lama. Cara yang diterapkan ialah menyisipkan agama saat mengajar di sekolah-sekolah Belanda serta mendirikan madrasah sendiri aupaya pengetahuan umum dan pengetahuan agama sama-sama diajarkan di tiap sekolah.

2. Menganjurkan pendayagunakan akal

Menurut Kiai Dahlan, salah satu kelemahan umat Islam adalah jarang mendayagunakan akal. Padahal, akal merupakan instrumen penting, sehingga tidak sempurna orang yang menuntut ilmu tanpa menggunakan akalnya. Sebab, memahami apa pun dalam alam semesta selalu memerlukan logika. Oleh karenanya, pendidikan juga harus memberikan bimbingan yang baik agar fungsi akal manusia dapat berkembang. Ia pun menganjurkan agar di pesantren diajarkan ilmu mantik (logika) yang berfungsi mengelola teori-teori dalam berbagai bidang baik itu fisika, biologi, geografi, sejarah, termasuk agama, supaya bisa menerapkannya secara pas dalam kehidupan sehari-hari.

"Watak akal itu menerima segala pengetahuan dan memang pengetahuan itulah yang menjadi kebutuhan akal, sebab akal itu seperti biji yang terbenam di dalam bumi. Agar biji itu dapat tumbuh menjadi pohon yang besar, tentu perlu disiram secara ajek dan dipenuhi kebutuhan lainnya. Demikian juga akal manusia, niscaya tidak dapat bertambah sampai kepada kesempurnaannya, apabila tidak diberi siraman dengan pengetahuan. Dan semuanya itu mesti sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Kuasa," bunyi petikan pidato KH Ahmad Dahlan dalam Pidato Muktamar Muhammadiyah tahun 1922, dilansir laman Aisyiyah.

"Sesungguhnya pengajaran yang berguna dalam mengisi akal itu lebih dibutuhkan oleh manusia daripada makanan yang mengisi perutnya, sebab pengajaran tu lebih cepat menambah besarnya akal daripada makanan yang membesarkan badan. Dan mencari harta benda dunia itu tidak lebih payah dari mencari pengetahuan yang berguna dalam memperbaiki perbuatan dan kelakuan, Sebab apabila dipikir dan diteliti, manusia itu banyak yang hanya ngawur (membuta-tuli) daripada yang memang setiti, hati-hati dan mengerti. Dan orang yang mengerti itu lebih banyak daripada orang yang menjalankan pengertiannya. Maka dari itu orang yang mempunyai akal yang sempurna, harus melihat dan meneliti dirinya sendiri di manakah dirinya sendiri itu," tambah KH Ahmad Dahlan dalam pidato tersebut.

3. Pendidikan mesti meliputi moral, individu, dan kemasyarakatan

Menurut Kiai Dahlan, pendidikan harus mencakup tiga wilayah tersebut. Pertama, pendidikan moral (akhlak) untuk membentuk karakter manusia yang didasari Al-Qur'an dan As-Sunah. Kedua, pendidikan individu yang kita kenal dengan istilah 'profesional di bidang masing-masing', sebagai penyadaran individu yang seimbang antara mental-jasmani, agama-intelektual, perasaan-akal pikiran, serta dunia-akhirat. Ketiga, pendidikan kemasyarakatan tentang bagaimana membawa ilmu ke tengah-tengah masyarakat, sebagai wujud pengabdian yang sesuai dengan keadaan sekitar. Dengan kata lain, ilmu tinggi tak selalu menjadikan seseorang produktif jika pendidikan kemasyarakatannya minim. Bisa jadi, kehadirannya di masyarakat justru kontraproduktif bahkan melahirkan konflik.

4. Metode pendidikan kontekstual

Dituturkan sang murid sekaligus teman seperjuangan, KH Mas Mansur, Kiai Dahlan adalah seorang yang pandai ilmu tafsir. Saat menafsirkan ayat, Kiai Dahlan memahami tiap kata, melihat kekuatan atau perasaan yang dikandung kata itu dalam ayat lain, lalu menarik relevansinya dengan keadaan. Dengan metode itu, Kiai Dahlan mampu memberi penjelasan yang dalam dan relevan dengan keadaan. Metode ini juga pas diterapkan pada teori-teori bidang apa pun, sehingga memudahkan kita dalam memahami.

5. Metode pendidikan amal ilmiah

Suatu kali muridnya, Soedja, bertanya kenapa pelajaran tidak ditambah, tidak tentang surah Al-Maun terus. Lalu Kiai Dahlan menimpali dengan pertanyaan, "Apakah sudah kamu pahami betul?" dan dijawab Soedja bahwa dirinya sudah hafal. Lalu Kiai Dahlan menyambung, "Apakah sudah kamu amalkan?" dan Soedja menjawab bahwa sudah diamalkan saat salat. Pengamalan ala Soedja itu dianggap belum tepat oleh Kiai Dahlan. Lalu Kiai Dahlan mengajak para muridnya mengamalkan surah itu dengan mendatangi fakir miskin di pasar untuk diberi santunan.

6. Metode pendidikan dialog

Dalam satu kesempatan mengajar, Kiai Dahlan mengawali forumnya dengan pertanyaan, "Kalian mau pengajian apa?" Lalu salah seorang murid yang agak heran menimpali bahwa biasanya bahan pengajian ditentukan oleh kiainya. Lantas, Kiai Dahlan menjawab, "Kalau begitu, nanti yang pintar hanya guru ngajinya,"

Kiai Dahlan melanjutkan, "Kalau pengajian di sini, kalian yang menentukan apa yang ingin diketahui. Dimulai dengan bertanya. Pertanyaan itu kunci gerbang memasuki dunia ilmu pengetahuan."

Begitulah salah satu metode yang diterapkan sehingga para murid menjadi lebih mudah dalam memahami ilmu yang disampaikan.

Di kesempatan lain, sang kiai ditanya muridnya tentang apa itu agama. Lalu kiai memperdengarkan alunan biola, setelahnya meminta sang murid ganti memainkan. Pengibaratan dari Kiai Dahlan itu menjelaskan bahwa agama akan bersifat indah dan menenteramkan jika didasari dengan ilmu. Sedangkan alunan yang kacau adalah gambaran agama tanpa ilmu pengetahuan, digunakan secara ngawur sehingga mengacaukan harmoni.

Itulah beberapa gagasan besar tentang pendidikan dari KH Ahmad Dahlan. Sebagai penutup mari kita menyimak nasihat sang kiai berikut ini.

“Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama dengan menyumbangkan jiwamu. Jiwamu tak usah kamu tawarkan. Kalau Tuhan menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu kamu akan mati. Tapi, beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini. Umat Islam dan Muhammadiyah sangat membutuhkan uluran tangan dari dermawan Islam untuk memajukan perkembagan umat Islam.”[]