Kolase dapat dibuat dengan beberapa perpaduan bahan selama bahan itu dapat dipadukan dengan

A.   Pendahuluan

Suatu karya seni rupa tercipta dari sebuah konsep. Konsep merupakan suatu pemikiran mendalam untuk menciptakan sebuah karya seni rupa. Berdasarkan hal tersebut dapat ditentukan bahan, alat, dan teknik yang akan digunakan untuk membuat karya seni rupa. Bahan adalah material yang diolah sehingga menjadi barang yang kemudian disebut dengan karya seni. Bahan dapat berasal dari alam misalnya batu, kayu, pasir dan zat warna dari tumbuh-tumbuhan. Selain itu, ada bahan material yang berasal dari olahan manusia misalnya kertas, kain, cat minyak, dan cat air.

Dalam tulisan kali ini, penulis ingin menyampaikan tentang seni rupa yang disebut kolase. Kolase merupakan teknik dalam berkarya seni dengan cara menempel bahan pada bidang datar. Berkarya kolase yang dimaksud adalah berkarya dengan menggunakan bahan nonkonvensional yaitu kain perca. Karakteristik kain perca ini bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu karya seni yang unik, salah satunya adalah berkarya seni lukis dengan menggunakan teknik kolase.

Dalam pelaksanaan pembuatan seni lukis dengan teknik kolase tidak diperlukan bahan-bahan yang mahal atau sulit dicari. Pembuatan seni lukis dengan teknik kolase dapat dibuat dengan menggunakan bahan-bahan limbah yang ada di sekitar lita seperti kain perca, pelepah pisang, daun-daun kering, ranting-ranting, atau mungkin juga pecahan kaca atau keramik, dan lain-lain. Dalam pelksanaanya, pembuatan kolase ini memerlukan suatu media yang dapat merangsang kreativitas anak terutama dalam hal ini adalah membuat kolase. Salah satu upaya pemilihan media berkarya seni rupa dapat dilakukan melalui pengembangan dari pembelajaran seni lukis cat air yang dipadukan teknik kolase dengan memanfaatkan barang limbah kain perca sebagai bahan berkarya seni lukis.

Pemanfaatan pelepah pisang masih jarang dilakukan oleh guru seni rupa, namun sudah ada beberapa orang yang menjadikannya sebuah karya seni yang bernilai ekonomis. Menurut Mulyono (2007), pelepah pisang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan berkarya seni. Pelepah pisang digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan hiasan dinding, rumah miniatur, kanvas, souvenir, dan sebagainya. Demikian halnya dengan Erman dan Ismiatun (2004) yang menjadikan pelepah pisang sebagai bahan dalam membuat rangkaian bunga, kotak tissue, boneka, dan lain-lain.

Selain pelepah pisang, daun-daun kering juga dapat dipilih sebagai media berkarya kolase dengan pertimbangan bahwa daun-daun kering mudah diperoleh pada lingkungan sekolah, sehingga memudahkan bagi guru maupun siswa untuk memperolehnya. daun-daun kering juga memilki variasi warna yang berbeda antara daun-daun kering yang satu dengan daun-daun kering lain nya. Variasi warna pada daun-daun kering antara lain terdiri dari warna coklat muda, coklat tua, coklat kemerahan, dan coklat abu-abu, sehingga kondisi daun jati kering tersebut dapat dijadikan variasi warna dalam berkarya. Hal ini membuat penggunaan daun-daun kering memiliki keunggulan dibandingkan media daun yang umum digunakan dalam berkarya kolase, seperti daun pisang, daun mangga, dan lainnya karena setiap daun-daun kering memiliki bentuk karakteristik yang berbebeda-beda.

Di samping menggunakan pelepah pisang dan daun-daun kering, seni rupa kolase juga dapat menggunakan kain perca. Kain perca yang kurang diperhatikan oleh masyarakat, sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam sebuah karya seni. Salah satunya yakni karya seni rupa dua dimensi dengan teknik kolase. Kolase merupakan teknik dalam berkarya seni dengan cara menempel bahan pada bidang datar. Seperti yang dijelaskan oleh Susanto (2002:63) bahwa kolase adalah salah satu teknik dalam berkarya seni dengan cara menempel bahan-bahan selain cat seperti kertas, kaca, logam dan sebagainya pada bidang datar.

Bermodalkan keterampilan dan kreativitas, limbah tersebut dapat digunakan sebagai bahan atau media dalam berkarya seni. Dengan memanfaatkan kembali limbah yang sudah tidak terpakai lagi, secara tidak langsung sudah menunjukkan kepedulian untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Alternatif pemanfaatan limbah yang dimaksud di sini adalah limbah yang digunakan sebagai media berkarya yang tidak mahal, mudah diperoleh, sehingga semua kalangan ekonomi orang tua siswa sanggup untuk mendapatkannya. Selain itu, media tersebut dapat menghasilkan karya yang unik dan menarik dan dapat menghasilkan karya yang kreatif dan inovatif.

B.   Media Karya Seni Rupa

1.    Pengertian Media Karya Seni Rupa

Media berasal dari kata medium yang artinya tengah. Medium dalam konteks ilmu bahan berarti bahan pengikat, yaitu bahan yang berfungsi untuk mengikat bahan lain agar menjadi satu (Rondhi 2002: 22). Menurut Haryanto (2007: 2) secara umum media terbagi menjadi media desain, yaitu pengetahuan tentang bahan, alat, dan proses dalam desain dan produk desain; media komunikasi yaitu mengenai bahan, alat, dan proses dalam komunikasi dan jenis produknya; dan media seni rupa yaitu tentang pengetahuan bahan, alat, dan proses atau teknik dalam seni rupa dan jenis produk seni rupa. Jadi, media dalam konteks berkarya seni rupa mencakup pengertian bahan, alat, dan teknik tertentu.

Media dalam pengertian seni rupa berbeda dengan media dalam pengertian sebagai alat komunikasi. Seperti dikatakan dalam Rondhi (2002: 22) media dalam dunia komunikasi adalah sarana atau alat untuk menyampaikan pesan atau alat yang berfungsi sebagai penghubung antara pengirim pesan dan penerima pesan. Jadi dapat disimpulkan bahwa media berkarya seni rupa adalah sarana yang berupa bahan, alat, dan teknik yang digunakan dalam berkarya seni rupa. Dalam kaitannya dengan karya seni rupa dua dimensi, maka media berkarya seni rupa dua dimensi adalah segala sarana yang digunakan untuk membuat suatu karya seni rupa yang berwujud dua dimensi.

Media yang digunakan untuk berkarya seni rupa bisa berupa media konvensional dan media nonkonvensional. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 752) konvensional berarti berdasarkan konvensi (kesepakatan) umum (seperti adat, kebiasaan kelaziman). Dalam pengertian ini, media berkarya seni rupa adalah media yang pada umumnya atau secara lazim digunakan dalam pembuatan karya seni rupa. Sedangkan media nonkonvensional merupakan media yang tidak biasanya digunakan untuk membuat suatu karya seni.

Bahan adalah material yang diolah atau diubah sehingga menjadi barang yang kemudian disebut karya seni (Rondhi 2002: 25). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 50) bahan adalah barang yang hendak dijadikan barang lain yang baru. Jadi bahan dalam kaitannya dengan kegiatan berkarya seni adalah barang atau material yang diolah sehingga menghasilkan suatu barang barang baru yaitu karya seni.

Bahan yang digunakan dalam berkarya seni rupa ada yang berasal dari alam dan ada bahan yang merupakan hasil olahan manusia. Bahan yang berasal dari alam misalnya batu, kayu, pasir, zat warna dari tanah atau dari tumbuh-tumbuhan. Bahan yang dibuat atau diolah manusia misalnya kertas, kain kanvas, pensil, cat minyak, cat air, dan sebagainya.

Alat (tool) adalah perkakas untuk mengerjakan sesuatu yang material (Rondhi 2002: 25). Caniago (1995: 22) mengemukakan bahwa alat atau perkakas adalah sesuatu yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu. Sejalan dengan pengertian tersebut Poerwadarminta (1993: 5) menyatakan bahwa alat adalah barang yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu. Jadi dapat disimpulkan alat adalah perkakas untuk mengerjakan material sehingga menghasilkan suatu benda.

Di samping bahan dan alat, teknik juga termasuk ke dalam media berkarya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1473) teknik adalah cara membuat atau melakukan sesuatu yang berhubungan dengan seni. Teknik (technique) adalah cara seniman dalam memanipulasi bahan dengan alat tertentu (Rondhi 2002: 26). Teknik yang baik adalah cara berkarya yang sesuai dengan sifat bahan dan peralatan yang digunakan. Jadi dengan perkataan lain, teknik adalah cara memanipulasi bahan atau mengolah bahan dengan alat tertentu untuk membuat suatu karya seni.

Media yang digunakan untuk berkarya seni rupa bisa berupa media konvensional dan media nonkonvensional. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:752) konvensional berarti berdasarkan konvensi (kesepakatan) umum (seperti adat, kebiasaan kelaziman). Dalam pengertian ini, media berkarya seni rupa adalah media yang pada umumnya atau secara lazim digunakan dalam pembuatan karya seni rupa. Sedangkan media nonkonvensional merupakan media yang tidak biasanya digunakan untuk membuat suatu karya seni. Bahan adalah material yang diolah atau diubah sehingga menjadi barang yang kemudian disebut karya seni (Rondhi 2002:25). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:50) bahan adalah barang yang hendak dijadikan barang lain yang baru. Jadi bahan dalam kaitannya dengan kegiatan berkarya seni adalah barang atau material yang diolah sehingga menghasilkan suatu barang barang baru yaitu karya seni.

Berdasarkan dari beberapa pengertian media tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa media dalam berkarya seni rupa merupakan suatu bentuk perantara yang terdiri dari berbagai bahan, alat, dan teknik yang digunakan untuk menciptakan suatu karya seni rupa, dan digunakan untuk menyampaikan pesan, ekspresi, atau ungkapan gagasan yang ingin disampaikan kepada penikmat atau apresiator melalui karya tersebut.

2.   Jenis Media Berkarya Seni Rupa

Bahan dan alat sebagai media dalam berkarya seni rupa memiliki berbagai jenis, dan masing masing memiliki karakteristik tertentu. Tiap karakteristik bahan dan alat ini disesuaikan dengan jenis karya yang akan dibuat. Menurut Rondhi (2002: 25) bahan adalah material yang diolah atau diubah menjadi barang yang dapat berupa karya seni dan barang lainnya. Bahan itu sendiri merupakan material yang berasal dari alam, misalnya batu, kayu, pasir, zat warna dari tanah atau dari tumbuh-tumbuhan. Di samping itu, ada juga material hasil olahan manusia, misal kertas, kain kanvas, pensil, cat air, berbagai jenis logam, fiberglass, semen, dan plastik.

Menurut Bastomi (2003: 92) setiap bahan memiliki sifat khusus yang menjadi karakteristiknya. Karakterisitik bahan ditentukan oleh beberapa aspek, yaitu :

a. Keindahan yang terkandung didalam bahan. Setiap bahan memiliki keindahan sendiri, terutama pada warna. Warna asli yang ada dalam bahan banyak mempengaruhi keindahan hasil karya seni.

b. Tekstur, barik, atau kesan permukaan bahan. Tekstur itu dapat ditentukan oleh warna. Deretan warna bergelombang dapat memberi kesan permukaan yang tidak rata, sedangkan warna polos cenderung memberi kesan permukaan rata.

c. Keras dan lunaknya bahan. Bahan yang keras memberi kesan berat, dan bahan yang lunak memberi kesan ringan. Topeng yang terbuat dari besi akan terkesan keras daripada topeng yang terbuat dari karet.

Pada dasarnya, bahan yang digunakan untuk berkarya seni pada anak sangat banyak tergantung dari kemampuan dalam memilihnya. Bahan-bahan tersebut dapat diperoleh dari alam lingkungan atau dari toko yang sudah menjual bahan-bahan praktis, bahkan dapat pula menggunakan bahan-bahan limbah atau daur ulang.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa jenis media berkarya seni rupa beraneka ragam jika dipilah berdasarkan bahan, alat, dan teknik yang digunakan. Berbagai bahan dan alat yang digunakan bisa merupakan bahan dan alat yang berasal dari alam atau bahan dan alat praktis yang sudah tersedia di toko. Teknik yang digunakan pun bervariasi, dan hendaknya disesuaikan dengan jenis bahan dan alat yang digunakan. Karakteristik tiap media harus diperhatikan dan disesuaikan dengan jenis karya yang akan dibuat. Bahan, alat, dan teknik saling berkaitan dan saling mendukung untuk menghasilkan suatu karya yang maksimal.

3.   Pelepah Pisang sebagai Media Berkarya Dua Dimensi Teknik Kolase

Erman dan Ismiatun (2004: 3) menyatakan bahwa pohon pisang mempunyai nama latin Musa paradisiaca ditemukan kurang lebih pada tahun 63-14 sebelum Masehi. Tanaman pisang memiliki ciri spesifik yang berbeda dari jenis tanaman lainnya. Tanaman ini mempunyai bagian-bagian yang terdiri dari daun, batang (bonggol), batang semu, bunga, dan buah. Pisang merupakan tanaman semak berbatang semu dengan tinggi bervariasi dari 1 sampai dengan 4 meter, tergantung varietasnya. Daunnya lebar dan panjang, batang daun besar, tepi daun tidak mempunyai ikatan kompak (mudah robek), batang mempunyai bonggol (umbi) yang besar dan terdapat banyak mata tunas pada permukaannya (Erman dan Ismiatun 2004: 4).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) pelepah adalah tulang daun yang terbesar (tentang daun pisang, daun pepaya, dan sebagainya); bagian pangkal atau bawah daun yang membungkus batang. Jadi pelepah pisang adalah bagian yang membungkus batang pohon pisang. Sebagian besar orang hanya memanfaatkan buah dan daun pisangnya, tetapi menganggap pelepah pisangnya sebagai sampah tidak berguna. Banyak pelepah pisang yang sudah mengering atau layu dibiarkan saja menempel pada batang pohon pisang atau bahkan dibakar karena dianggap hanya mengotori kebun.

Pelepah pisang yang sudah mengering dapat digunakan sebagai media dalam berkarya dua dimensi dengan teknik kolase. Kata kolase berasal dari bahasa Inggris (collage) dan dalam bahasa Perancis (coller) yang artinya merekatkan. Seperti yang dijelaskan dalam Sunaryo (2009) bahwa kolase adalah teknik dalam berkarya seni dengan cara merekatkan atau menempelkan serpihan bahan-bahan limbah atau barang bekas. Menurut Susanto (2002: 63) kolase adalah salah satu teknik seni dengan cara menempel bahan-bahan selain cat seperti kertas, kaca, logam dan sebagainya pada bidang datar. Jadi kolase adalah salah satu teknik dalam berkarya seni rupa dengan cara merekatkan bahan-bahan selain cat pada bidang datar dengan menggunakan perekat sesuai bahan yang digunakan.

Bahan yang digunakan dalam pembuatan karya dua dimensi teknik kolase ini adalah pelepah pisang. Pelepah pisang digunakan karena banyak terdapat pohon pisang di desa maupun di kota. Alat yang dapat digunakan yaitu gunting kain atau kertas, cutter, lem kertas, dan lem kayu. Karya seni dua dimensi teknik kolase dengan media pelepah pisang dibuat dengan cara menempelkan sobekan-sobekan pelepah pisang pada bidang datar. Pelepah pisang yang dapat digunakan adalah pelepah pisang yang sudah mengering. Mulyono (2007: 13) menjelaskan langkah-langkah membuat hiasan atau karya dua dimensi teknik kolase dengan media pelepah pisang, yaitu:

1) merekatkan selembar karton pada triplek dengan menyesuaikan panjang dan lebarnya,

2) membuat pola pada kertas karton dengan pensil,

3) menggunting pelepah pisang sesuai dengan pola,

4) memberi lem pada pelepah pisang yang sudah dibentuk, dan

5) menempelkan pelepah pada kertas karton sesuai dengan pola yang sudah dibuat sampai menjadi sebuah karya seni.

Pemanfaatan pelepah pisang sebagai media berkarya tidak juga bebas dari berbagai kendala (dalam Sulistyowati 2007) yaitu pelepah pisang mudah robek dan mudah berjamur saat disimpan maupun setelah karya selesai dibuat, namun kendala-kendala tersebut bukan berarti tidak bisa di atasi. Pelepah pisang sebaiknya tidak dijemur di tempat yang terlalu panas, tetapi cukup diangin-anginkan saja di tempat yang teduh. Bila menginginkan pelepah menjadi lebih rata atau halus bisa menggunakan setrika, tetapi dalam menggunakannya tidak boleh terlalu kasar dan penyetrikaan dilakukan dari satu arah saja.

Pelepah yang mudah berjamur sebaiknya dijemur atau dikeringkan sampai benar-benar kering. Pelepah pisang disimpan di tempat kering dan tidak lembab. Pelepah pisang yang sudah menjadi lukisan sebaiknya dilapisi dengan silica gel, yaitu butiran-butiran kecil (bahan kimia) yang mampu menyerap kelembaban atau dengan cara dilapisi lem kayu atau vernis sehingga mengurangi kemungkinan berjamur.

4.   Kain Perca sebagai Media Berkarya Lukis dengan Teknik Kolase

Perca adalah sisa sisa guntingan kain yang ada setelah membuat pakaian atau karya kerajinan tekstil lainnya. Kain perca adalah kain-kain kecil sisa dari pemotongan kain pada proses pembuatan pakaian jadi. http://qoyyim.blogspot.com Kain perca yang dihasilkan dari limbah konveksi dapat digunakan sebagai media dalam berkarya lukis dengan teknik kolase. Bahan yang digunakan dalam pembuatan karya lukis dengan teknik kolase ini adalah kain perca. Karena limbah kain perca dari limbah konveksi di daerah lokasi penelitian. Alat dan bahan berkarya yang digunakan adalah kertas gambar ukuran A3, lem kayu, lem kertas, dan kain perca.

5.   Daun Jati sebagai Media Berkarya Lukis dengan Teknik Kolase

Daun jati pada umumnya memiliki ukuran yang lebar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun jati pada anakan pohon berukuran sekitar 60 cm – 70 cm × 80 cm – 100 cm, sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi sekitar 15 cm × 20 cm, berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun jati yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas, ranting yang muda berpenampang segi empat, dan berbonggol (Jati http://id.wikipedia.org/wiki/Jati).

Daun jati merupakan media pembelajaran berkarya seni kolase yang nantinya digunting, dan potongan-potongan tersebut disusun dan dikomposisikan di atas permukaan datar. Sunaryo (2009: 34) mengemukakan bahwa bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membuat kolase dalam pembelajaran seni rupa antara lain ialah: bahan alam (kulit kayu, daun kering, biji-bijian, pelepah pisang, kulit kerang, dsb.) bahan limbah (bulu ayam, spons, karet, serpihan kayu, triplek, hardboard, rongsok, dsb) kertas (kertas warna, tissue, kertas pembungkus, dan kertas koran), kemasan (dus, kotak karton, botol plastik, bungkus rokok, dan korek api), benang dan tali, kain perca, kasa, benik, dan mote.

Gagasan dikembangkan dari inspirasi yang diperoleh dari bahan-bahan yang akan dipakai. Kadang-kadang sebuah gagasan juga muncul beberapa saat setelah menyusun beberapa komponen. Dapat pula ditentukan temanya, misalnya alam benda, pemandangan alam, pelabuhan, jembatan, perkotaan, atau bahkan hanya bentuk-bentuk abstrak.

Dalam berkarya kolase dengan bahan daun jati ini, diharapkan siswa dapat memunculkan ide-ide kreatif yang segar yang bisa menghasilkan kreasi-kreasi yang unik dan bermanfaat sesuai tema yang telah ditentukan. Selanjutnya, bahan yang sudah tersedia dipotong-potong sesuai ukuran dan bentuk yang diinginkan. Bahan-bahan tersebut lalu ditempelkan menurut bentuk dan komposisi yang dikehendaki hingga karya kolase selesai dan bisa dinikmati hasilnya.

Muharrar dan Verayanti (2013: 30-31) menjelaskan bahwa untuk mendapatkan hasil kolase yang lebih baik, maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut.

a.  Usahakan semua bidang tertutup oleh bahan yang ditempelkan (tidak banyak bidang kosong).

b.  Perhatikan prinsip-prinsip rancangan dalam menyusun bahan-bahan.

c.  Gunakan perekat yang sesuai dengan jenis bahan yang akan ditempel. Untuk merekatkan kertas tipis cukup menggunakan lem kertas, tetapi bila bahan yang direkatkan tebal, atau gampang lepas, maka gunakan lem yang lebih kuat, yakni lem putih atau lem Alteco.

d. Gunakan bahan yang agak tebal dan kaku untuk bidang dasar yang akan ditempel, misalnya kertas karton, dupleks, atau bahan lain yang sejenis.

Karya kolase yang kurang memaksimalkan pemanfaatan bidang yang tersedia, yaitu tidak semua bidang diisi tempelan, terkesan belum selesai dan terlalu sederhana. Oleh karena itu, untuk menghasilkan karya kolase yang baik, usahakan semua bidang yang tersedia diisi tempelan secara optimal dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip rancangan.

C.   Seni Rupa

1.   Pengertian Seni Rupa

Ada banyak ahli yang mendefinisikan arti kata seni. Tinjauan tentang seni yang dipakai oleh para ahli berbeda-beda sehingga definisi tentang seni pun beragam. Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Susanto 2002: 101) bahwa seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, sehingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia. Sedangkan menurut Rondhi (2002: 4), seni atau kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia atau masyarakat terhadap nilai-nilai keindahan. Berdasarkan kedua pernyataan tersebut ada kesamaan bahwa seni berkaitan dengan manusia dan keindahan. Manusia hidup di dalam suatu masyarakat yang memiliki kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil ciptaan manusia yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses belajar. Keberadaan seni seiring dengan lahirnya sebuah kebudayaan.

Pendapat lain menyatakan bahwa seni adalah suatu keterampilan yang diperoleh dari pengalaman, belajar, atau pengamatan-pengamatan (Bahari 2008: 62). Dalam Bahari (2008: 63) dikatakan bahwa kata seni atau seniman tidak dikenal oleh orang Yunani. Seni dalam pengertian orang Yunani disebut teknik dan seniman disebut artisan, tukang, atau perajin. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa seni merupakan suatu keterampilan yang diperoleh dari hasil pengalaman, belajar, pengamatan, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan nilai-nilai keindahan dan menjadi salah satu unsur kebudayaan.

Seni rupa merupakan salah satu bagian dari seni. Seni rupa dapat nikmati melalui indera penglihatan. Seperti yang dijelaskan dalam Bastomi (1985: 25) bahwa seni rupa merupakan salah satu cabang seni yang pengamatannya melalui indera mata karena seni rupa adalah seni yang manifestasinya kasat mata. Karya seni rupa selain dapat dilihat, dapat pula diraba wujudnya untuk dinikmati keindahannya.

Menurut Rondhi (2002: 6) bahwa seni rupa adalah seni yang menggunakan unsur-unsur rupa sebagai media ungkapnya. Dalam pengertian ini, terdapat unsur-unsur rupa yang digunakan untuk membuat suatu karya seni rupa. Unsur-unsur rupa tersebut disusun sedemikian rupa berdasarkan prinsip-prinsip komposisi untuk menjadi suatu bentuk karya seni rupa (Rondhi 2002: 34).

Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa seni rupa adalah salah satu cabang seni yang keindahannya dinikmati oleh indera penglihatan dan indera rabaan yang terdapat unsur-unsur rupa di dalamnya dan disusun berdasarkan prinsip-prinsip komposisi sehingga menjadi sebuah karya seni rupa yang dapat mengungkapkan perasaan seseorang dan menimbulkan pengalaman batin bagi orang yang menghayatinya.

2.   Karya Seni Rupa Dua Dimensi

Menurut Rondhi (2002: 13), karya seni rupa dua dimensi adalah karya seni rupa yang hanya mempunyai ukuran panjang dan lebar atau karya yang hanya bisa dilihat dari satu arah pandang. Pengertian serupa dijelaskan pula oleh Garha dan Bongsoe (1975: 14) bahwa karya seni rupa dua dimensi merupakan karya seni rupa yang diwujudkan dalam bidang datar yang hanya memiliki ukuran panjang dan lebar. Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa karya seni rupa dua dimensi adalah karya seni rupa yang hanya bisa dinikmati atau dilihat dari satu arah pandang dan hanya memiliki ukuran panjang dan lebar.

Karya seni rupa dua dimensi tersebut berupa sebuah bidang atau permukaan yang pengamatannya cukup dari satu arah pandang saja. Contoh karya seni rupa dua dimensi antara lain lukisan, gambar ilustrasi, sketsa, grafis, poster, dan berbagai karya desain grafis lainnya.

3.   Unsur-unsur Rupa

Sebuah karya seni rupa mengandung perpaduan unsur-unsur visual atau unsur-unsur rupa. Unsur-unsur rupa tersebut yang menyusun suatu karya dan dalam penyusunannya dipadukan dengan komposisi yang baik. Unsur-unsur rupa merupakan aspek-aspek bentuk yang terlihat, konkret, yang dalam kenyataannya jalin-menjalin dan tidak mudah diceraikan satu dengan yang lainnya (Sunaryo 2002: 5). Secara umum unsur-unsur rupa terdiri dari:  (1) garis (line), (2) raut atau bangun (shape), (3) warna (colour), (4) gelap terang atau nada (light-dark, tone), (5) tekstur atau barik (texture), dan (6) ruang (space). Sedangkan Bates dalam Sunaryo (2002) menyatakan spot (noktah atau titik), garis, dan raut, sebagai unsur-unsur rupa yang sederhana. Unsur-unsur rupa yang terdapat pada karya seni rupa antara lain:

a.    Garis

Unsur rupa garis dapat dihasilkan melalui rangkaian titik. Jadi pada dasarnya sebuah garis diawali dan diakhiri dengan titik. Pengertian garis menurut Sunaryo (2002: 7) adalah (1) tanda atau markah yang memanjang yang membekas pada suatu permukaan dan mempunyai arah (2) batas suatu bidang atau permukaan, bentuk atau warna (3) sifat atau kualitas yang melekat pada objek memanjang. Dalam pengertian pertama, garis merupakan garis yang benar-benar nyata atau konkret, yang sengaja dibuat menggunakan alat tertentu, misalnya garis yang dibuat dengan kuas di atas kanvas.

Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Sanyoto (2009: 87) yang mengartikan garis sebagai: (1) suatu hasil goresan yang disebut garis nyata dan (2) garis sebagai batas atau limit suatu benda, batas sudut ruang, batas warna, dan lain-lain yang disebut sebagai garis semu atau maya. Jadi unsur rupa garis dapat dikatakan sebagai suatu tanda atau goresan yang memanjang pada suatu permukaan dan bersifat nyata serta dapat dikatakan pula sebagai batas suatu bidang dan bersifat semu.

Unsur rupa garis dalam karya dua dimensi dengan teknik kolase ini lebih banyak ditemukan sebagai batas suatu bidang atau permukaan, bentuk dan warna pelepah pisang. Garis yang demikian lebih bersifat konsep, karena hanya dapat dirasakan keberadaannya. Garis dalam pelepah pisang juga terlihat sebagai sesuatu yang memanjang. Hal ini tampak dari serat-serat pelepah yang memanjang. Bila ditinjau dari segi jenismya, terdapat garis lurus, garis lengkung, garis tekuk, atau zigzag. Ditinjau dari segi arah, ada garis tegak, garis datar, dan garis serong.

b.    Raut

Raut dalam bahasa Inggris disebut sebagai shape. Istilah raut sering dipadankan dengan istilah bangun, bidang, atau bentuk. Sunaryo (2002: 10) memandang raut sebagai perwujudan yang dikelilingi oleh kontur, baik menyatakan sesuatu yang pipih dan datar, seperti pada bidang, maupun yang padat bervolume, seperti pada gumpal atau gempal (mass), tetapi raut juga dapat terbentuk oleh sapuan-sapuan bidang warna. Bila ditinjau dari segi perwujudannya, raut dibedakan menjadi (1) raut geometris, (2) raut organis, (3) raut bersudut banyak, dan (4) raut tak beraturan.

Unsur raut dalam karya dua dimensi dengan teknik kolase ini dapat dibuat dari sobekan-sobekan pelepah yang ukuran besar kecilnya sobekan disesuaikan dengan kebutuhan. Unsur raut yang dibuat dari sobekan pelepah disebut sebagai raut positif, sedangkan latar belakang lukisan atau bagian ruang bidang yang ditempati raut positif disebut sebagai raut negatif.

c.    Warna

Warna adalah kualitas rupa yang dapat membedakan kedua objek atau bentuk yang identik raut, ukuran, dan nilai gelap terangnya (Sunaryo 2002: 12). Sedangkan Sanyoto (2009: 11) mendefinisikan warna secara objektif/fisik sebagai sifat cahaya yang dipancarkan, atau secara subjektif/psikologis sebagai bagian dari pengalaman penginderaan.

Berdasarkan kedua pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa warna adalah suatu sifat cahaya atau kualitas rupa yang dipancarkan dan ditangkap oleh indera penglihatan sehingga dapat membedakan beberapa objek atau bentuk yang identik raut, ukuran, atau nilai gelap terangnya.

Dalam unsur rupa warna dikenal istilah warna pokok atau disebut warna primer, yaitu warna yang bebas dari unsur-unsur warna yang lain. Hasil percampuran warna pokok disebut warna skunder atau warna kedua dan warna tersier adalah warna ketiga sebagai hasil percampuran yang mengandung ketiga warna pokok.

Warna-warna yang berlainan disusun sedemikian rupa untuk menghasilkan paduan warna yang harmonis atau dikenal dengan istilah kombinasi warna. Corak warna pada pelepah pisang yang kering termasuk ke dalam kombinasi warna monokromatik. Susunan warna monokromatik (monochromatic harmony) merupakan keserasian paduan warna (rona) tunggal (Sunaryo 2002: 27). Variasi warna dalam kombinasi monokromatik ini terlihat dari keberagaman value atau intensitasnya. Pada pelepah pisang yang kering memiliki corak warna yang alami. Warna alami tersebut terdiri atas warna coklat gelap sampai dengan warna coklat terang. Ada pula warna kuning yang kecoklat-coklatan.

d.    Tekstur

Tekstur atau barik merupakan nilai atau sifat permukaan suatu benda, sifat permukaan benda itu bisa halus, kasap, polos, licin, mengkilap, lunak, keras, dan sebagainya (Sunaryo 2002: 17). Menurut Sanyoto (2009: 120) tekstur adalah nilai atau ciri khas suatu permukaan atau raut. Jadi Tekstur adalah nilai atau ciri khas suatu permukaan yang bisa terasa halus, kasar, licin, dan sebagainya.

Kesan tekstur dapat dicerap melalui indera penglihatan maupun indera peraba. Oleh karena itu, tekstur dibedakan menjadi tekstur nyata dan tekstur semu. Tekstur nyata (aktual) menunjukkan adanya kesamaan kesan yang diperoleh dari hasil penglihatan maupun rabaan. Sedangkan pada tekstur semu (ilusi) tidak diperoleh kesan yang sama antara hasil penglihatan dan rabaan. Pelepah pisang memiliki tekstur yang kasar, tetapi juga ada bagian yang bertekstur halus.

e.    Gelap Terang

Gelap terang atau dikenal dengan istilah nada (tone). Namun, ada pula yang menyebutnya sebagai unsur cahaya. Sunaryo (2002: 20) menyatakan bahwa ungkapan gelap-terang sebagai hubungan pencahayaan dan bayangan dinyatakan dengan gradasi mulai dari yang paling putih untuk menyatakan yang sangat terang, sampai kepada yang paling hitam untuk bagian yang sangat gelap.

Karya dua dimensi dengan teknik kolase yang berbahan pelepah pisang dapat menunjukkan unsur gelap-terang dengan menggunakan warna alami pelepah, dari warna coklat yang paling terang sampai dengan warna coklat yang paling gelap. Penggunaan unsur gelap-terang dalam sebuah karya bertujuan untuk: (1) memperkuat kesan trimatra suatu bentuk, (2) mengilusikan kedalaman atau ruang, dan (3) menciptakan kontras atau suasana tertentu.

f.     Ruang

Di atas telah dijelaskan bahwa kesan ruang dapat diciptakan melalui penggunaan unsur gelap-terang. Menurut Sunaryo (2002: 21) ruang adalah unsur atau daerah yang mengelilingi sosok bentuknya. Ruang sebenarnya tak terbatas, dapat kosong, terisi sebagian, atau dapat pula terisi penuh. Ruang dalam dimensi dwimatra merupakan ruang maya. Ruang maya bersifat pipih dan datar, tetapi berkesan trimatra dan terdapat kesan jauh-dekat atau disebut pula kedalaman. Ruang yang terisi disebut sebagai ruang negatif, sedangkan ruang yang kosong disebut ruang positif.

4.    Prinsip-prinsip Komposisi dalam Karya Dua Dimensi

Nilai-nilai estetis suatu karya seni dapat dirasakan melalui bentuk yang menarik, memuaskan, atau membangkitkan pengalaman visual tertentu. Sehingga seseorang dalam penyusunan unsur-unsur visual meletakkannya sedemikian rupa dalam bidang datar, memadukan berbagai unsurnya, serta mengkomposisikannya agar mendapatkan hasil yang menarik dan memuaskan. Sesungguhnya seseorang itu telah menggunakan sesuatu yang disebut sebagai prinsip-prinsip komposisi.

Prinsip-prinsip komposisi yaitu cara atau asas dalam mengatur, menata unsur-unsur rupa dan mengkombinasikannya dalam menciptakan bentuk suatu karya sehingga mengandung nilai-nilai estetis dan dapat membangkitkan pengalaman visual yang menarik (Sunaryo 2002: 6). Pada umumnya prinsip-prinsip rupa tersebut adalah:  (1) kesatuan (unity), (2) keserasian (harmony), (3) irama (rhythm), (4) dominasi (domination), (5) keseimbangan (balance), dan (6) kesebandingan (proportion).

a.    Prinsip Kesatuan (Unity)

Kesatuan merupakan prinsip rupa yang paling mendasar dan merupakan tujuan akhir dari penerapan prinsip-prinsip komposisi yang lain seperti keserasian, irama, dominasi, keseimbangan, dan kesebandingan, serta nilai dalam suatu kesatuan lebih menunjuk pada kualitas hubungan bagianbagian dalam suatu bentuk (Sunaryo 2002: 31). Kartika (2007) mengemukakan bahwa kesatuan adalah kohesi, konsistensi, ketunggalan, atau keutuhan, yang merupakan isi pokok dari komposisi. Kesatuan dalam arti ini merupakan efek yang dicapai dalam suatu susunan atau komposisi di antara hubungan unsur pendukung karya, sehingga secara keseluruhan menampilkan kesan tanggapan secara utuh.

Menurut Rondhi (2002) kesatuan mengandung arti bahwa unsur-unsur visual harus ditata sedemikian rupa sehingga tampak menyatu sesuai dengan tema tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa kesatuan adalah isi pokok dari komposisi yakni perpaduan dari penerapan prinsip-prinsip komposisi seperti keserasian, keseimbangan, irama, dominasi, dan kesebandingan.

b.    Prinsip Keserasian (Harmony)

Keserasian dalam Sunaryo (2002: 32) adalah prinsip yang mempertimbangkan keselarasan dan keserasian antarbagian dalam suatu keseluruhan sehingga cocok satu dengan yang lain dan terdapat keterpaduan yang tidak saling bertentangan. Sementara Kartika (2007) mengartikan harmony sebagai keselarasan merupakan paduan unsur-unsur yang berbeda dekat, jika unsur-unsur rupa dipadu secara berdampingan maka akan timbul kombinasi tertentu dan timbul keserasian. Jadi dengan perkataan lain keserasian dan keselarasan merupakan kecocokan antarbagian yang saling berdampingan dalam suatu keseluruhan karya seni dan tidak ada bagian yang saling berlawanan.

Menurut Graves (dalam Sunaryo 2002) keserasian mencakup dua jenis, yaitu keserasian fungsi dan keserasian bentuk. Keserasian fungsi menunjukkan adanya kesesuaian antara objek-objek yang berbeda, karena berada dalam hubungan simbol, atau karena adanya hubungan fungsi. Keserasian bentuk menunjukkan adanya kesesuaian raut, ukuran, warna, tekstur, dan aspek-aspek bentuk lainnya.

c.    Prinsip Irama (Rhythm)

Irama adalah penyusunan unsur-unsur rupa secara berulang dan berkelanjutan sehingga bentuk yang tercipta memiliki kesatuan arah dan gerak yang bagian-bagiannya memiliki keterpaduan (Sunaryo 2002: 35). Rondhi (2002) menyatakan bahwa unsur-unsur visual yang ditata dengan cara diulang-ulang bisa menimbulkan irama. Kartika (2007) menambahkan bahwa irama merupakan perulangan unsur-unsur pendukung karya seni. Jadi dapat disimpulkan bahwa irama adalah penyusunan unsur-unsur visual secara berulang dan berkelanjutan agar tercipta kesatuan arah dan gerak dari setiap bagian dalam suatu karya.

Irama dalam suatu karya dapat diciptakan melalui:  (1) repetitif, (2) alternatif, (3) progresif, dan (4) flowing. Irama repetitif adalah irama yang diperoleh secara berulang dan menghasilkan irama yang sangat tertib dan monotone karena unsur-unsurnya memiliki kesamaan bentuk, ukuran, dan warna. Irama alternatif adalah perulangan unsur-unsur rupa yang berbeda secara bergantian. Irama progresif adalah irama yang menunjukkan perulangan unsur-unsur rupa dalam perubahan dan perkembangan secara berangsur-angsur atau bertingkat. Irama flowing adalah irama yang mengalun, yang terjadi karena penyusunan unsur-unsur yang berombak, berkelok, mengalir, dan berkesinambungan.

d.    Prinsip Dominasi (Domination)

Prinsip dominasi adalah pengaturan peran atau penonjolan bagian atas bagian lainnya dalam suatu keseluruhan (Sunaryo 2002: 36). Dominasi dalam suatu karya dapat diciptakan melalui:  (1) pengelompokan bagian, (2) pengaturan arah, (3) kontras atau perbedaan, dan (4) perkecualian. Perulangan yang seragam akan terhindar dari irama yang menjemukan dengan adanya dominasi.

e.    Prinsip Keseimbangan (Balance)

Prinsip keseimbangan (Sunaryo 2002: 39) merupakan prinsip visual yang berkaitan dengan pengaturan ‘bobot’ akibat ‘gaya berat’ dan letak kedudukan bagian-bagian, sehingga susunan dalam keadaan seimbang. Bobot visual ini ditentukan oleh letak atau kedudukan, warna, ukuran, bentuk dan jumlah bagian-bagian dalam suatu komposisi. Sedangkan Kartika (2007) menyatakan bahwa keseimbangan dalam penyusunan adalah keadaan atau kesamaan antara kekuatan yang saling berhadapan dan menimbulkan adanya kesan seimbang secara visual ataupun secara intensitas kekaryaan.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat ditarik simpulan bahwa keseimbangan merupakan keadaan bagian-bagian dalam suatu karya yang letak kedudukannya diatur sedemikian rupa agar susunan menjadi seimbang. Beberapa bentuk keseimbangan dibedakan menjadi tiga yaitu: (1) keseimbangan setangkup (symmetrical balance), (2) keseimbangan senjang (asymmetrical balance), dan (3) keseimbangan memancar (radial balance).

Keseimbangan setangkup (simetris) dapat diperoleh bila bagian belahan kiri dan kanan, atau atas dan bawah memiliki kesamaan bentuk, ukuran atau jarak. Sedangkan keseimbangan senjang (asimetris) merupakan keseimbangan yang letak atau bentuk antara bagian kiri dan kanan, atas dan bawah berbeda, tetapi tidak berat sebelah. Keseimbangan radial atau memancar merupakan keseimbangan yang diperoleh melalui penempatan bagian-bagiannya di sekitar poros gaya berat.

f.     Prinsip Kesebandingan (Proportion)

Kesebandingan atau proporsi (Sunaryo 2002: 40) adalah hubungan antarbagian dan antara bagian terhadap keseluruhannya. Hal ini ditegaskan oleh Rondhi (2002) bahwa proporsi mengacu pada perbandingan ukuran antarbagian atau bagian dengan keseluruhan. Kesebandingan yang dimaksud misalnya ukuran besar kecilnya bagian, luas sempitnya, panjang pendeknya, atau tinggi rendahnya bagian.

D.   Kolase

1.    Pengertian Kolase

Kata kolase berasal dari bahasa Inggris (collage) dan dalam bahasa Perancis (coller) yang artinya merekatkan. Seperti yang dijelaskan dalam Sunaryo (2006) bahwa kolase adalah teknik dalam berkarya seni dengan cara merekatkan atau menempelkan serpihan bahan-bahan limbah atau barang bekas. Kolase merupakan perkembangan lebih lanjut dari seni lukis. Pada awal abad ke-20 para perupa sering menambahkan (menempelkan) unsur-unsur yang berbeda ke dalam lukisan mereka seperti potongan-potongan kain, kayu ataupun kertas koran, namun memang ada perbedaan yang sangat signifikan antara seni kolase dan seni lukis.

Kolase adalah sebuah teknik menempel berbagai macam unsur ke dalam satu frame sehingga menghasilkan karya seni yang baru. Dengan demikian, kolase adalah karya seni rupa yang dibuat dengan cara menempelkan bahan apa saja ke dalam satu komposisi yang serasi sehingga menjadi satu kesatuan karya. Kata kunci yang menjadi esensi dari kolase adalah “menempel atau merekatkan” bahan apa saja yang serasi. Karya kolase bisa berwujud sebuah karya utuh atau hanya merupakan bagian dari sebuah karya, misalnya lukisan yang menambahkan unsur tempelan sebagai elemen estetis (Muharrar dan Verayanti 2013: 8).

Di dalam karya seni kolase selain aspek formal seni yang dikedepankan meliputi nilai-nilai dasar keindahan, tata penyusunan objek ke dalam frame (layout), kontur, bentuk objek dan warna sebagaimana yang biasa disodorkan oleh karya seni lukis dan desain grafis tetapi juga aspek ilustratif yaitu meliputi aspek konten material dan bentuk gambar kolase itu sendiri. http://www.e-dukasi.net.

2.   Teknik dan Metode Kolase

Berbagai jenis kolase baik yang berbentuk dua dimensi dan tiga dimensi umumnya dibuat dengan teknik yang bervariasi seperti: teknik sobek, teknik gunting, teknik potong, teknik rakit, teknik rekat, teknik jahit, teknik ikat dan sebagainya. Dalam membuat kolase dapat memanfaatkan lebih dari satu teknik untuk membuat karya kolase, bahkan teknik campuran bisa dieksplorasi menjadi sentuhan artistik pada karya kolase. http://belajar.kemdiknas.go.id/index5. Berbagai metode yang dipergunakan untuk membuat kolase antara lain :

a. Tumpang-tindih atau saling tutup (overlapping) merupakan metode kolase dengan cara menyusun kembali potongan kain perca secara tumpang tindih.

b.  Penataan ruang (spatial arrangement)

c.  Repetisi/perulangan (repetition)

d.  Komposisi/kombinasi beragam jenis tekstur dari berbagai material.

3.   Bahan-bahan Pembuat Kolase

Dalam sejarahnya, seni kolase berkembang pesat di Venice, Italia, kirakira pada abad 17. Selanjutnya seni ini kian berkembang di Perancis, Inggris, Jerman, dan kota-kota lain di Eropa. Kolase menjadi media yang digemari kalangan seniman karna unik dan menuntut kreativitas tinggi. Pelukis Pablo Picasso, Georges Braque dan Max Ernst terkenal dengan karya lukis memakai teknik kolase kertas, kain dan bermacam-macam objek lainnya. Henri Mattise adalah salah satu seniman yang beralih kepada seni kolase saat jari-jari tangannya terserang arthritis sehingga tidak mampu melukis lagi.

a.    Serutan Kayu

Untuk bahan kolase dapat digunakan serutan kayu yang wajib dikeringkan dahulu. Hal ini dimaksudkan agar warnanya tidak berubah, lalu serutan kayu dipotongpotong sesuai dengan ukuran yang diinginkan dan siap untuk ditempel.

b.    Kaca

Kaca yang digunakan adalah bekas potongan kaca yang biasa didapat di tempat orang yang memasang bingkai untuk gambar pajangan yang sudah tidak digunakanlagi. Agar kaca berwarna, dapat digunakan kaca biasa yang dicat. Kalau pemotong kacatidak ada, kaca dapat dibentuk dengan cara mengetok atau menghempaskan ke atas permukaan yang keras. Dengan cara ini akan diperoleh ukuran kaca yang tidak teratur dan tidak sama besar. Dalam pengolahan kaca diharapkan berhati-hati agar tidak terluka.

c.    Batu

Batu yang cocok adalah batu akik sebab memiliki bermacam-macam warna, lalu diasah sehingga warnanya akan kelihatan lebih cemerlang.

d.    Logam

Untuk kolase sebaiknya dipilih bekas-bekas logam yang gampang didapat, seperti seng, kuningan, dan aluminium. Plat logam dapat dipotong-potong dengan ukuran yang dikehendaki, lalu baru didatarkan ke bidang dasar kolase.

e.    Keramik

Keramik mempunyai warna yang cukup banyak. Untuk keperluan membuat kolase dapat digunakan bekas potongan keramik untuk lantai rumah. Bahan ini dapat dipotongpotong, sesuai ukuran yang dikehendaki.

f.     Tempurung (batok kelapa)

Untuk bahan kolase sebaiknya dipilih tempurung dari kelapa setengah tua sampai kelapa tua, lalu dibersihkan dari serat-serat sabut itu dihaluskan dengan ampelas. Setelah halus, baru dipotong dengan ukuruan yang dikehendaki.Tempurung dapat dipotong-potong dengan gergaji besi sesuai dengan ukuran yang dikehendaki.

g.    Biji-Bijian

Biji-bijian diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, biji-bijian ini banyak pula macamnya, demikian pula bentuk, ukuran, warna, dan teksturnya. Biji-bijian ini hendaknya dikeringkan terlebih dahulu agar warnanya tidak berubah lagi demikian pula penyusutannya. Bila perlu, dapat pula digoreng tanpa minyak.

h.    Daun-daunan

Daun-daunan adalah bahan kolase yang sangat gampang diperoleh. Untuk dijadikan bahan kolase, diambil daun kering atau daun yang sudah gugur. Pilihlah warna daun kering yang berbeda-beda agar dalam penyusunannya menjadi sebuah lukisan atau desain akan lebih mudah.

i.     Kulit-kulitan

Kulit-kulit berasal dari kulit buah dan kulit batang tumbuh-tumbuhan. Tidak semua kulit buah dapat dijadikan bahan kolase, demikian pula dengan kulit batang, kulit salak, kulit kacang tanah, kulit jeruk, dan kulit rambutan. Kulit batang yang dapat dijadikan kolase di antaranya: rambutan, kulit pisang, dan kelopak bambu. Semua kulit-kulitan haruslah dikeringkan dahulu sebelum digunakan sebagai bahan kolase, lalu dipotong-potong sesuai dengan ukuran yang dikehendaki.

j.     Kertas Bekas

Untuk bahan kolase sebainya dipilih kertas yang berwarna. Semua kertas berwarna pada dasarnya dapat dijadikan bahan kolase. Kertas-kertas bekas sampul, majalah, poster-poster, almanak-almanak, kemasan rokok atau kemasan produk-produk industri dapat pula digunakan sebagai bahan kolase. Dalam pemakaian, kertas dipotong-potong sesuai dengan ukuran yang dikehendaki.

Seni kolase berlawanan sifatnya dengan seni lukis, pahat atau cetak dimana karya yang dihasilkan tidak lagi memperlihatkan bentuk asal material yang dipakai. Pada seni lukis, misalnya, dari kanvas putih menjadi lukisan yang berwarna-warni. Dalam seni kolase bentuk asli dari material yang digunakan harus tetap terlihat. Jadi kalau menggunakan kerang-kerangan atau potongan-potongan foto, material itu wajib masih dapat dikenali bentuk aslinya meskipun sudah dirakit menjadi satu kesatuan.

Pemanfaatan bahan baku kolase yang bermacam-macam akan menghasilkan karakter bentuk kolase yang unik dan menarik yang dapat dibedakan menjadi : kolase dua dimensi dan kolase tiga dimensi untuk fungsi yang berbeda.

4.   Jenis-jenis Kolase

Kolase adalah komposisi artistik yang dibuat dari bermacam-macam bahan, seperti kertas, kain, kaca, logam, kayu, dan lainnya yang ditempelkan pada permukaan gambar. Kolase adalah karya seni rupa dua dimensi yang menggunakan bermacam-macam macam paduan bahan. Selama bahan itu dapat dipadukan dengan bahan dasar, akan menjadi karya seni kolase yang dapat mewakili persaan estetis orang yang membuatnya. Menurut Muharrar dan Verayanti (2013: 14-18) karya kolase dapat dibedakan menjadi beberapa segi, yaitu segi fungsi, matra, corak, dan material.

a.    Menurut Fungsi

Dari segi fungsi, kolase dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu seni murni (fine art) dan seni pakai/terapan (applied art). Seni murni adalah suatu karya seni yang dibuat semata-mata untuk memenuhi kebutuhan artistik. Orang menciptakan karya seni murni, umumnya untuk mengekspresikan cita rasa estetis. Dan, kebebasan berekspresi dalam seni murni sangat diutamakan. Fungsi kolase sebagai karya murni, semata untuk menampilkan keindahan atau nilai estetisnya tanpa adanya pertimbangan fungsi praktis. Karya ini mungkin hanya digunakan sebagai pajangan pada dinding atau penghias dalam ruangan. Sedangkan seni terapan atau seni pakai (applied art) adalah karya seni rupa yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan praktis. Kolase sebagai seni terapan berarti dibuat pada benda pakai yang mempunyai fingsi praktis.

Aplikasi kolase sebagai seni terapan umumnya lebih menampilkan komposisi dengan kualitas artistik yang bersifat dekoratif. Sedangkan aplikasi kolase yang lebih bebas, sebagai seni murni, tampak lebih berani dalam mengeksplorasi ide-ide kreatif, bahan, dan teknik untuk menghasilkan karya kolase yang unik.

b.    Menurut Matra

Berdasarkan matra, jenis kolase dapat dibagi dua, yaitu kolase pada permukaan bidang dua dimensi (dwimatra) dan kolase pada permukaan bidang tiga dimensi (trimatra). Karya kolase untuk menghias kendi merupakan kolase pada permukaan bidang tiga dimensi. Sedangkan karya kolase pada permukaan datar untuk membuat hiasan dinding, misalnya dengan biji-bijian atau potongan perca, tergolong kolase dua dimensi.

c.    Menurut Corak

Berdasarkan coraknya, wujud kolase dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu representatif dan nonrepresentatif. Representatif artinya menggambarkan wujud nyata yang bentuknya masih bisa dikenali. Sedangkan nonrepresentatif artinya dibuat tanpa menampilkan bentuk yang nyata, bersifat abstrak, dan hanya menampilkan komposisi unsur visual yang indah.

d.    Menurut Material

Material (bahan) apapun dapat dimanfaatkan dalam pembuatan kolase asalkan ditata menjadi komposisi yang menarik atau unik. Berbagai material kolase tersebut akan direkatkan pada beragam jenis permukaan, seperti kayu, plastik, kertas, kaca, keramik, gerabah, karton, dan sebagainya asalkan relatif rata atau memungkinkan untuk ditempeli.

Secara umum, jenis bahan baku kolase dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bahan-bahan alam (daun, ranting, bunga kering, kerang, biji-bijian, kulit, batu-batuan), dan bahan-bahan bekas seperti (kertas bekas, plastik, serat sintetis, logam, tutup botol, bungkus permen/cokelat, kain perca). Jika dikaitkan dengan kurikulum, dalam hal ini standar kompetensi dan kompetensi dasar kreasi pada pembelajaran seni rupa, salah satu contohnya adalah kompetensi dasar poin 2.3 yaitu mengekspresikan diri melalui karya seni lukis/gambar.

Dalam implementasinya, salah satu materi yang dapat diterapkan adalah karya seni kolase. Disebut sebagai kegiatan kreasi, karena dalam berkarya seni kolase siswa mempraktikkan cara membuat karya seni kolase secara langsung disesuaikan dengan tema yang telah ditentukan. Siswa dapat membuat karya sesuai dengan gagasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, siswa mengerjakannaya dapat bersifat individual maupun kelompok. Meski demikian, siswa memiliki karakteristik masing-masing, sehingga karya yang dihasilkan antara siswa yang satu dengan lainnya pasti memiliki perbedaan. Berdasarkan impelementasi SK KD kreasi poin 2.3 tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegaitan kreasi dalam konteks kurikulum dalam hal ini contohnya adalah dengan berkarya seni kolase.

Berdasrkan beberapa uraian di atas, maka dapat diambil simpulan bahwa seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang dapat ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Salah satu cabang seni rupa adalah seni kolase, yang dapat diartikan semua kegiatan merakit dan merekatkan beraneka bahan menjadi sebuah karya seni dalam satu komposisi yang serasi sehingga menjadi satu kesatuan karya. Dalam hal ini, karya kolase dapat dibedakan menjadi beberapa segi, yaitu segi fungsi, matra, corak, dan material.

Selain itu, manfaat kolase kiranya dapat disampaikan untuk membantu kemampuan berbahasa dengan jalan siswa bisa menjelaskan makna dibalik hasil karyanya dan melatih kepekaan estetis serta berempati pada barang-barang yang sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari.

E.   Pembelajaran Seni Rupa

1.    Pengertian Pembelajaran

Gerlach dan Ely (dalam Ani, dkk, 2009: 85) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran merupakan deskripsi tentang perubahan perilaku yang diinginkan atau deskripsi produk yang menunjukkan bahwa belajar telah terjadi. Tujuan pembelajaran tidak dapat diukur secara langsung, karena hal ini berkaitan dengan hasil belajar yang ingin dicapai siswa. Maka dari itu perumusan tujuan pembelajaran sangat penting untuk memberikan arahan kegiatan sehingga dapat diketahui tingkat keberhasilan belajar siswa dari kemajuan belajar siswa selama proses pembelajaran berlangsung.

Pembelajaran adalah seperangkat peristiwa (events) yang mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa sehingga peserta didik itu memperoleh kemudahan (Briggs dalam Rifai 2009: 191). Pendapat lain menyatakan bahwa pembelajaran merupakan serangkaian peristiwa eksternal peserta didik yang dirancang untuk mendukung proses internal belajar (Gagne dalam Rifai 2009: 192). Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat diketahui adanya suatu rancangan peristiwa yang sengaja dibuat kemudian dilaksanakan agar siswa memperoleh kemudahan dalam belajar.

Definisi pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono (dalam Sobandi 2008: 152) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada ketersediaan sumber belajar. Pembelajaran pada hakikatnya berintikan interaksi antara murid dengan guru dan lingkungannya (Ismiyanto 2009).

Senada dengan pernyataan tersebut Djamarah (2010:18) menyatakan, pembelajaran sebagai alat untuk mencapai tujuan, memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan. Komponen inti dari pembelajaran yakni guru dan siswa, keduanya memiliki tugas dan tanggung jawab berlandaskan interaksi normatif untuk bersama mencapai tujuan. Selain itu, tujuan, metode pembelajaran, sumber dan media pembelajaran, bentuk serta alat evalusasi pembelajaran menjadi komponen yang turut mendukung sistem pembelajaran. Keseluruhan komponen tersebut memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling berkaitan dalam sebuah sistem pembelajaran di sekolah. Sistem pembelajaran bisa saja berbeda antara satu sekolah dengan yang lainnya, hal ini disebabkan oleh tujuan, kondisi lingkungan, serta sarana pendukung yang beragam di setiap sekolah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:950) sistem merupakan, seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Demikian pula Campell (dalam Munib, 2009:40) menyatakan, sistem merupakan himpunan komponen atau merupakan bagian yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan tertentu. Lebih lanjut, Johnson dan Rozenweig menyatakan, bahwa sistem merupakan suatu kebulatan yang kompleks dan terorganisir, terdiri atas perpaduan bagian-bagian yang membentuk kesatuan yang utuh.

Sementara itu Syafii (2006: 45) menyatakan bahwa pembelajaran sebagai suatu sistem, terdiri atas bagian yang lebih kecil atau komponen sistem. Sejumlah komponen tersebut yakni siswa, guru, lingkungan, tujuan, materi, strategi, dan evaluasi. Hal ini ditegaskan oleh Knirk dan Gustafson (dalam Sobandi 2008: 152) bahwa pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematis melalui tahapan rancangan, pelaksanaan dan evaluasi.

Pendapat serupa seperti yang dikemukakan oleh Sugandi (2005: 28) bahwa pembelajaran bila ditinjau sebagai suatu sistem maka di dalam pembelajaran terdapat berbagai komponen yang saling berkaitan. Komponen-komponen tersebut adalah: tujuan, subjek belajar, materi pelajaran, strategi, media, evaluasi, dan penunjang. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan yang telah disusun yang terdiri dari rancangan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, dan evaluasi kegiatan yang di dalamnya terjadi interaksi antara guru dengan murid untuk mencapai tujuan pembelajaran.

2.   Pembelajaran Seni Rupa

Pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan yang telah dirancang guna memudahkan siswa dalam proses belajar. Demikian juga dalam dunia pendidikan seni rupa. Menurut Linderman dan Linderman dalam Syafii (2006: 12) bahwa pendidikan seni rupa sebagai pendidikan estetis dapat dilakukan dengan jalan memberikan pengalaman perseptual, kultural, dan artistik. Dalam belajar artistik terdapat tiga aspek utama yakni kemampuan produktif, kritis, dan kultural (Eisner dalam Syafii 2006: 12). Bila ditinjau dari pendapat di atas maka secara ideal lingkup pendidikan seni rupa di sekolah meliputi aspek pemahaman, apresiasi seni, dan pengalaman kreatif.

Seni atau kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia atau masyarakat terhadap nilai-nilai keindahan (Rondhi dan Sumartono, 2002: 4). Seni rupa adalah seni yang menggunakan unsur-unsur rupa sebagai media ungkapnya (Rondhi dan Sumartono, 2002: 6). Unsur-unsur rupa yaitu unsur-unsur yang kasat mata atau unsur-unsur yang dapat dilihat dengan indera mata, seperti: garis, bidang, bentuk, ruang, warna, dan tekstur. Bentuk seni rupa merupakan susunan unsur-unsur rupa dalam kesatuan yang utuh. Seni rupa adalah hasil interpretasi dan tanggapan pengalaman manusia dalam bentuk visual dan rabaan. Dalam pembelajaran, seni rupa berperanan dalam memenuhi tujuan-tujuan tertentu dalam kehidupan manusia maupun semata-mata memenuhi kebutuhan estetik.

Kebutuhan personal yang bersifat psikologis, terkait erat akan kebutuhan ekspresi pribadi dan aktualisasi diri seorang anak didik. Dalam rangka pembentukan manusia ideal, pendidikan seni disekolah dimaksudkan agar siswa menjadi terampil, kreatif, sadar budaya dan peka rasa. Peran dalam pembentukan siswa agar sadar budaya dan peka rasa menjadi bagian yang penting dari pendidikan seni di sekolah umum.

Untuk menjadi terampil dan kreatif, tentu diperlukan waktu yang cukup untuk berlatih dalam berolah seni serta proses pembelajaran yang memungkinkan pengembangan daya cipta secara optimal. Sementara pengembangan kesadaran budaya dan kepekaan rasa di samping melalui terpenuhinya semua tahapan dalam proses penciptaan karya seni, teristimewa adalah melalui program-program pembelajaran apresiasi seni yang memadai. Kenyataan di lapangan, pendidikan seni di banyak sekolah sering tidak mendapat perhatian, dan kalaulah diberikan, ia menjadi sekadar mata pelajaran pelengkap.

Pengalaman yang berkaitan dengan aspek pemahaman atau pengetahuan ini misalnya tentang karakteristik suatu karya seni yang berbeda-beda. Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui deskripsi konseptual dan melalui sejarah seni rupa. Lingkup pengalaman apresiasi seni berkaitan dengan tanggapan siswa atas karya siswa yang lain atau terhadap karya seniman. Kegiatan ini tidak hanya melalui pembelajaran pameran, tetapi juga bisa melalui media lain seperti televisi, video, dan lain-lain. Pengalaman kreatif berkaitan dengan pembelajaran pembuatan suatu karya seni rupa secara langsung. Siswa diharapkan mampu menemukan ide-ide baru selama proses pengalaman kreatif.

Ismiyanto (2009) menyatakan bahwa dalam konteks pembelajaran seni rupa, hendaknya benar-benar diperhatikan perbedaan setiap individu karena setiap individu berbeda-beda dalam mengekspresikan feeling dan emotions. Dalam pembelajaran seni rupa harus diperhatikan tahap perkembangan anak. Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik anak merupakan salah satu komponen dalam pembelajaran seni rupa. Komponen komponen tersebut seperti yang dijelaskan dalam Syafii (2006) yaitu: siswa, guru, lingkungan, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Pembelajaran seni rupa sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan.

Pendidikan seni rupa sebagai sarana member kesempatan berekspresi kepada setiap individu untuk mengembangkan segenap potensi jiwanya ke arah dewasa, dewasa secara rohani berarti berkembang sikap sosialnya, tenggang rasanya, tanggung jawabnya kepada masyarakat dimana dia tinggal dan dewasa secara fisik berarti telah berkembang aspek-aspek ketrampilan, yang tentu akan berguna dalam kehidupan kelak. Untuk mencapai tujuan pengembangan secara optimal sangat diperlukan strategi pembelajaran yang tepat guna (Utomo 2009: 5).

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ismiyanto (2009) dalam pembelajaran seni rupa agar tercipta belajar kreatif hendaknya memperhatikan berbagai hal sebagai berikut:  (1) tujuan pembelajaran seni rupa; (2) karakteristik anak; (3) sumber dan media pembelajaran; (4) strategi dan metode pembelajaran; (5) bahan ajar seni rupa; (6) bentuk dan alat evaluasi pembelajaran seni rupa; dan (7) situasi lingkungan belajarnya.

Secara garis besar pembelajaran seni rupa seperti pembelajaran pada umumnya meliputi tiga tahapan yakni perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Berikut ini penjelasan mengenai tiga tahapan tersebut:

a.    Perencanaan Pembelajaran Seni Rupa

Gunningham (dalam Uno 2010: 2) mengemukakan bahwa perencanaan adalah suatu kegiatan menyeleksi dan menghubungkan pengetahuan, fakta-fakta, imajinasi-imajinasi, dan asumsi-asumsi untuk masa depan yang akan datang dengan tujuan untuk memvisualisasi dan memformulasi hasil yang diinginkan, urutan kegiatan yang diperlukan, dan perilaku dalam batas-batas yang dapat diterima yang akan digunakan dalam penyelesaian. Menurut Uno (2010: 4), perencanaan dapat didefinisikan sebagai suatu cara untuk membuat suatu kegiatan dapat berjalan dengan baik, disertai dengan berbagai langkah antisipatif guna memperkecil kesenjangan yang terjadi sehingga kegiatan tersebut mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perencanaan merupakan rancangan yang dibuat berdasarkan fakta-fakta di lapangan dengan mempertimbangkan berbagai hal yang mendukung dan mungkin yang akan menghambat dalam mencapai tujuan tertentu sehingga dengan rancangan tersebut diharapkan suatu kegiatan dapat berjalan efektif.

Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyusunan rencana pembelajaran seni rupa seperti yang dijelaskan dalam Ismiyanto (2009), yakni:  (1) aspek kurikulum; (2) aspek kedudukan guru; (3) aspek kedudukan murid; dan (4) aspek lingkungan belajar.

1)   Aspek kurikulum

Kurikulum sebagai alat pendidikan disusun dan dikembangkan bagi kepentingan peserta didik dan sekaligus merupakan panduan bagi guru dalam merencanakan pembelajaran. Ketika guru merancang pembelajaran dapat dengan serta merta mempertimbangkan determinan-determinan psikologis, sosiologis, dan IPTEKS yang berkembang di sekolah masing-masing.

Berdasarkan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD), guru dapat memilih, menetapkan, dan mengembangkan bahan ajar. Selanjutnya hasil pengembangan dan pengorganisasian bahan ajar dapat dijadikan pedoman bagi perumusan tujuan pembelajaran dan indikator pencapaian hasil belajar, pemilihan dan penetapan metode berikut kegiatan belajar mengajar, penyusunan alat evaluasi, pemilihan media pembelajaran, penetapan waktu belajar mengajar, sampai pada penetapan biaya yang dibutuhkan.

2)   Aspek kedudukan guru

Guru merupakan salah satu unsur dalam pembelajaran yang harus berperan aktif, bekerja secara profesional sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat. Sebagai perencana pembelajaran, guru berkewajiban mengkaji kurikulum yang dijadikan panduan. Dalam artian guru harus melakukan telaah kritis terhadap kurikulum, untuk selanjutnya mengidentifikasi pengalaman-pengalaman belajar yang sesuai dengan tingkat maturitas siswa, kemudian merumuskan, dan mengembangkan bahan ajar.

3)   Aspek kedudukan murid

Penyusunan skenario pembelajaran, keluasan dan kedalaman bahan ajar serta aktivitas belajar hendaknya disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan anak agar bahan ajar dan cara belajar sesuai dengan kondisi anak.

4)   Aspek lingkungan belajar

Pembelajaran dalam konteks pendidikan formal dilaksanakan di sekolah, maka dalam hal ini yang dimaksudkan lingkungan belajar adalah sekolah dengan iklim dan sarana-prasarana yang diasumsikan mewarnai kegiatan pembelajaran. Mulai dari bangunan gedung sekolah, lingkungan alam, dan sosial-budaya sekolah, media pembelajaran, dan sarana-sarana lainnya. Pentingnya pemahaman mengenai aspek-aspek dalam pembelajaran oleh guru seni rupa dapat membantu guru ketika menyusun rencana pembelajaran. Guru tidak boleh mengabaikan salah satu dari beberapa hal tersebut termasuk juga pemahaman terhadap komponen-komponen pembelajaran.

Tujuan pembelajaran atau disebut pula sasaran belajar, merupakan komponen utama dan paling awal yang harus dirumuskan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran (Ismiyanto 2009). Rumusan tujuan pembelajaran yang dibuat diharapkan dapat menggambarkan perilaku hasil belajar siswa setelah mengikuti kegiatan belajar-mengajar.

Perumusan tujuan pembelajaran disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku. Dalam KTSP terdapat Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang menjadi dasar dalam perumusan tujuan pembelajaran dan indikator pencapaian hasil belajar. Rumusan tujuan pembelajaran tersebut harus terukur sehingga dapat dijadikan panduan dalam pemilihan bahan ajar, pemilihan media pembelajaran, perumusan KBM, dan penyusunan alat evaluasi.

Bahan ajar (Ismiyanto 2009) adalah sesuatu yang harus diolah dan disajikan oleh guru yang selanjutnya agar dipahami oleh murid, dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran yang diharapkan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan bahan ajar, yaitu: (1) dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran, (2) disesuaikan dengan tingkat maturitas murid, (3) bahan ajar terorganisasi secara sistematis, dan (4) bahan ajar sebaiknyam mengandung hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual. Dengan demikian, pemahaman mengenai aspek-aspek dalam perencanaan pembelajaran dan pemahaman mengenai komponen-komponen pembelajaran sangat penting untuk diperhatikan. Perencanaan pembelajaran yang baik dan sistematis diharapkan dapat mengefektifkan KBM.

b.   Pelaksanaan Pembelajaran Seni Rupa

Pelaksanaan pembelajaran dapat dikatakan berjalan efektif jika tujuan pembelajaran tercapai. Namun, berbagai hal yang tidak diduga kerap terjadi selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Dalam rangka menyusun dan mengembangkan kegiatan belajar mengajar (KBM), penting dipahami terlebih dahulu tentang pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran (Ismiyanto 2009).  Berdasarkan pemahaman guru terhadap pilihan pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran tersebut, akan dapat membantu menetapkan kegiatan belajar mengajar sebagaimana yang diharapkan dapat mencapai sasaran belajar secara efektif dan optimal.

1)    Pendekatan dan strategi pembelajaran

Secara garis besar ada dua pendekatan pembelajaran, yaitu pendekatan ekspositorik dan pendekatan heuristik. Pendekatan ekspositorik merupakan pendekatan pembelajaran yang menempatkan dominasi guru dalam kegiatan pembelajaran. Sementara pendekatan heuristik atau pendekatan humanistis merupakan pendekatan pembelajaran yang memposisikan anak sebagai pusat kegiatan.

Pendekatan-pendekatan tersebut melahirkan strategi-strategi pembelajaran. Seperti yang telah dijelaskan di atas, strategi merupakan salah satu komponen dalam pembelajaran. Strategi berkaitan dengan upaya untuk mencapai sasaran pembelajaran. Menurut Ismiyanto (2009) ada tiga macam strategi yaitu:

a) Teacher Centered Strategies, merupakan strategi pembelajaran yang berorientasi pada dominasi guru dalam kegiatan pembelajaran,

b) Material Centered Strategies, merupakan strategi pembelajaran yang berorientasi pada ketuntasan material dalam pembelajaran, dan

c) Child Centered Strategies, merupakan strategi pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas anak.

Sementara Uno (2010: 80) menyatakan pula ada tiga jenis strategi yang berkaitan dengan pembelajaran, yakni:

a)  strategi pengorganisasian pembelajaran,

b)  strategi penyampaian pembelajaran, dan

c) strategi pengelolaan pembelajaran. Strategi pengelolaan menekankan pada penjadwalan penggunaan setiap komponen strategi pengorganisasian dan strategi penyampaian pengajaran, termasuk pula pembuatan catatan tentang kemajuan belajar siswa.

Pemilihan strategi akan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana bentuk interaksi belajar-mengajar yang diharapkan oleh guru, memilih dan menetapkan metode pembelajaran dan merancang kegiatan belajar mengajar.

2)   Metode Pembelajaran

Pemilihan metode selain harus relevan dengan pilihan strategi, juga perlu dipertimbangkan dan disesuaikan dengan sasaran belajar, ketersediaan waktu, sarana-prasarana pembelajaran dan sebagainya. Metode yang dipilih diharapkan mampu membantu mewujudkan interaksi komunikatif dalam kegiatan belajar mengajar. Kesesuaian metode pembelajaran dengan sasaran belajar dapat diidentifikasi dari terpenuhinya pencapaian indikator keberhasilan. Kesesuaian metode dengan waktu dan sarana-prasarana yang tersedia juga patut dipertimbangkan oleh guru.

3)   Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)

Setelah guru memilih pendekatan, strategi, dan metode kemudian guru perlu merancang kegiatan belajar mengajar (KBM), yaitu kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh guru dan murid. Kegiatan guru dan murid dalam pembelajaran dirumuskan secara spesifik dan jelas, sehingga dapat menggambarkan interaksi guru-murid, murid-murid, murid-guru-lingkungan sesuai dengan konsep belajar dan menggambarkan pengalokasian waktu.

4)   Sumber dan Media Pembelajaran

Sumber dan media pembelajaran merupakan pendukung kegiatan belajar mengajar. Sumber belajar dapat digunakan oleh guru untuk membantu mengembangkan bahan ajar dan bagi murid sebagai media belajar dan pengayaan hasil belajar (Ismiyanto 2009). Sumber belajar bukan hanya berupa buku, namun dapat juga berupa manusia, lingkungan, benda, tumbuhan, dan sebagainya.

Media pembelajaran dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan pembelajaran, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan berbagai kemampuan murid, sehingga dapat lebih mengoptimalkan proses belajar mengajar (Ismiyanto 2009). Sedangkan menurut Iswidayati (2010) media merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan informasi dan dapat memperjelas materi atau mencapai tujuan pembelajaran, memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar, serta dapat menimbulkan motivasi belajar siswa.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang berguna untuk menyampaikan informasi atau materi pembelajaran kepada siswa sehingga dapat memperlancar proses belajar, memotivasi siswa dan meningkatkan hasil belajar.

Media pembelajaran antara lain bisa berupa gambar, film, video, papan tulis, televisi, komputer, LCD proyektor, dan lain-lain. Dalam pembelajaran seni rupa, perlu dibedakan antara media pembelajaran dan alat peraga. Alat peraga berfungsi sebagai alat bantu pembelajaran, misalnya seorang guru akan menyampaikan materi seni lukis, maka ketika guru akan mendemonstrasikan membuat karya seni lukis, guru memerlukan alat peraga berupa kertas, cat, kuas, air, dan sebagainya.

Media pembelajaran merupakan bagian integral dari seluruh proses pembelajaran, misalnya seperti contoh sebelumnya, saat guru menyampaikan materi tentang seni lukis guru menggunakan media berupa LCD proyektor untuk menampilkan contoh-contoh karya seni lukis kepada siswa. Jadi dapat dikatakan bahwa media pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pembelajaran.

c.   Evaluasi Pembelajaran Seni Rupa

Menurut Syafii (2010: 3) evaluasi merupakan kegiatan atau proses yang sistematik untuk menentukan nilai bagi siswa yang telah mengalami proses pembelajaran. Evaluasi merupakan salah satu komponen proses pembelajaran. Fungsi utamanya seperti yang dijelaskan dalam Soehardjo (2011: 313) adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses pembelajaran dan fungsi selanjutnya sebagai balikan, jika dalam fungsi utamanya menunjukkan hasil rerata pada tingkat ketidakberhasilan.

Evaluasi hasil pembelajaran sebaiknya dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah pelaksanaan pembelajaran (Ismiyanto 2009). Evaluasi sebelum pelaksanaan pembelajaran (pretest) bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal murid berkenaan dengan materi pembelajaran, sehingga hasil evaluasi awal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan guru dalam menetapkan cara penyampaian, mengidentifikasi isi pembelajaran yang masih perlu atau tidak perlu diberi penekanan khusus.

Evaluasi setelah pembelajaran (posttest) bertujuan untuk mengetahui hasil kemampuan murid setelah melalui proses pembelajaran yang kemudian hasil evaluasi tersebut digunakan guru untuk dibandingkan dengan hasil evaluasi awal. Berkenaan dengan pembelajaran seni rupa, evaluasi terkait dengan sasaran pembelajaran yaitu pencapaian kompetensi apresiasi dan kreasi. Guru dalam melaksanakan evaluasi, khususnya dalam pengumpulan data, dapat menggunakan berbagai instrument, yang pada dasarnya digolongkan ke dalam dua golongan besar, yakni tes dan non tes (Syafii 2010: 17). Tes diartikan sebagai tugas yang harus dikerjakan oleh siswa untuk menampilkan kemampuannya, sedangkan non tes digunakan oleh guru untuk mendapatkan informasi khususnya yang terkait keadaan siswa, selain kemampuannya.

Salah satu jenis teknik tes adalah tes penilaian produk. Penilaian produk (Syafii 2010: 32) adalah penilaian terhadap proses pembuatan dan kualitas suatu produk. Penilaian produk meliputi tiga tahap penilaian, yaitu:

a) tahap persiapan, tahap ini berkenaan dengan penilaian kemampuan siswa dalam merencanakan, mengembangkan ide, dan mendesain produk,

b) tahap pembuatan produk, tahap ini berkenaan dengan penilaian kemampuan siswa dalam menyeleksi dan menggunakan bahan, alat, dan teknik, dan

c) tahap penilaian produk, tahap ini berkenaan dengan penilaian produk yang dihasilkan siswa sesuai kriteria yang ditetapkan

Kegiatan evaluasi akan menghasilkan data berupa biji (score) dan nilai (grade). Dalam Soehardjo (2011: 313) dijelaskan bahwa tindakan evaluasi yang akan menghasilkan biji disebut pembijian (scoring) dan tindakan evaluasi yang akan menghasilkan nilai disebut penilaian (grading). Pembijian berfungsi untuk menentukan jenjang kuantitas kompetensi hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Sedangkan penilaian berfungsi untuk menentukan jenjang kualitas kompetensi.

Guna mendapatkan hasil evaluasi yang lebih obyektif maka digunakan teknik evaluasi gabungan dengan cara pembijian yang diikuti oleh penilaian. Teknik evaluasi gabungan tersebut dilakukan dengan cara konversi yakni pengubahan biji (score) menjadi nilai (grade). Hasil yang diperoleh dari pembijian berwujud simbol kuantitas yang berupa angka berubah menjadi simbol kualitas yang berupa huruf (A, B, C, D, dan E) atau menjadi pernyataan kualitas (Baik Sekali, Baik, Sedang, Kurang, Kurang Sekali).

Dalam pembelajaran seni dikenal istilah hasil belajar yang disebut proses-kerja dan hasil-akhir (Soehardjo 2011: 314). Proses kerja menentukan hasil kerja, yakni hasil akhir berkesenian. Dalam proses kerja dengan bahan ajar yang bertipe prosedur akan menunjukkan hasil belajar yang berupa kemampuan bertindak prosedural berkesenian. Proses kerja tidak dapat diabaikan dalam proses pembimbingan dan evaluasi karena dalam setiap proses kerja terdapat berbagai potensi siswa di dalamnya.

Dalam pembelajaran seni yang dimaksud hasil akhir (final product) adalah hasil dari proses berkesenian (Soehardjo 2011: 316). Hasil dari proses berkesenian tersebut berupa sebuah karya seni. Suatu karya seni tersebut merupakan hasil dari suatu proses yang berlangsung melalui tahapan demi tahapan. Dalam mengevaluasi karya siswa, guru perlu berperan sebagai pembimbing selama proses kerja siswa. Kegiatan evaluasi pembelajaran merupakan suatu hal yang penting untuk dilaksanakan agar dapat mengukur tingkat keberhasilan belajar siswa. Evaluasi juga penting untuk mengamati bagaimana proses belajar siswa, serta berguna sebagai refleksi guru dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran seni rupa merupakan pembelajaran yang terdiri dari kegiatan apresiasi dan kreasi, serta menekankan adanya kreativitas pada siswa untuk mengekspresikan perasaannya ke dalam bentuk karya seni rupa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.

3.   Tujuan Pembelajaran Seni Rupa

Hal pertama yang dilakukan jika bermaksud melaksanakan suatu kegiatan adalah menentukan tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan kegiatan tersebut. Tujuan pendidikan nasional menurut Suwarno (2006:32) adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.

Tujuan merupakan komponen utama dan pertama dalam pembelajaran. Sekolah sebagai institusi pendidikan formal, tentu memiliki tujuan pembelajaran untuk meningkatkan mutu atau kualitas pendidikan guna mencerdaskan peserta didiknya. Tidak hanya institusi pendidikan formal, institusi pendidikan non formal seperti lembaga bimbingan belajarpun memiliki tujuan pembelajaran yang serupa, yaitu mengarah pada usaha meningkatkan mutu atau kualitas pendidikan. Seni rupa sebagai bagian dari pendidikan secara umum atau bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki tugas dan tanggung jawab yang sejajar dengan mata pelajaran lain.

Menurut (Ismiyanto, 2010: 34) tujuan-tujuan pendidikan seni adalah: (1) mengembangkan kreativitas dan sensitivitas peserta didik, (2) meningkatkan kapasitas dan kualitas pengetahuan kesenian peserta didik, dan (3) meningkatkan ketrampilan peserta didik. Sejalan dengan konsep pendidikan seni yang dinyatakan oleh Depdiknas (Sobandi, 2008:6) bahwa pendidikan seni di sekolah umum pada dasarnya diarahkan untuk menumbuhkan sensitivitas dan kreativitas, sehingga terbentuk sikap apresiatif, kritis, dan kreatif pada diri siswa secara menyeluruh. Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpukan bahwa tujuan pendidikan seni rupa secara umum adalah untuk mengembangkan rasa dan kepekaan seni.

Melalui kegiatan apresiasi dan kreasi anak-anak dilatih untuk melatih sensitivitas, perasaan, kepekaan, sikap kritis yang selanjutnya diharapkan dapat menumbuh kembangkan kreativitas.

Menurut Garha dan Idris (1978:7) tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan kesenian ialah kepuasan anak-anak mengungkapkan perasaannya ke dalam bentuk karya seni, sedangkan menurut Wickiser dan Soeharjo (dalam Sobandi, 2008:74) tujuan pendidikan seni pada jenjang sekolah umum adalah untuk (1) menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian peserta didik, (2) mengasah rasa estetik anak didik, dan (3) mengkayakan kehidupan peserta didik secara kreatif.

Tujuan pendidikan melalui seni yang penting adalah mengekspresikan perasaan dan membangun komunikasi, serta mengembangkan dorongan spontanitas dan kekuatan kreatif siswa (Salam, 2001:22). Secara khusus, tujuan pendidikan seni rupa di sekolah adalah dalam rangka penanaman nilai estetis yang terwujud dalam program pembelajaran melalui pengalaman kreatif dan apresiatif (Syafii 2006:13).

Tujuan menentukan kemana kedudukan dan peranan kesenian sebagai media untuk mengembangkan segi rasa keindahan dalam arti pengetahuan, keterampilan dan apresiasi seni, juga sebagai alat pengembangan kesenian nasional dan rasa bangga terhadap karya seni sebagai salah satu hasil budi daya (Jasin,1987:262). Sebagai bagian dari pendidikan secara umum, pembelajaran seni rupa memiliki tugas dan tanggung jawab sejajar dengan pelajaran lain. Tujuan tersebut yakni, mencerdaskan kehidupan bangsa secara keseluruhan.

Pendidikan yang dilakukan melalui proses pembelajaran, khususnya pada pembelajaran seni rupa, siswa dapat memahami keindahan suatu bentuk karya seni melalui pengamatan dan kegiatan atau proses berkarya. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran seni rupa bertujuan untuk mengekspresikan perasaan dan membangun komunikasi peserta didik, mengembangkan potensi peserta didik, serta mengasah rasa estetik dan kreativitas peserta didik melalui pengalaman kreatif dan apresiatif atau pengalaman perseptual, kultural, artistik, dan apresiatif.

4.   Fungsi Pembelajaran Seni Rupa

Fungsi adalah berkenaan dengan sumbangan yang dapat diberikan kepada suatu aspek atau sistem. Sistem yang satu dapat memberikan atau sebagai fungsi dari sistem lainnya. Apabila pendidikan dan/atau pembelajaran seni dipandang sebagai suatu sistem, maka dapat merupakan fungsi dari sistem lainnya, dan bila sistem di luar pendidikan seni itu adalah siswa, guru, masyarakat, sekolah, dan seterusnya. Rasjoyo (1996:12) mengatakan:

    Fungsi individual meliputi fungsi pemenuhan kebutuhan fisik dan pemenuhan kebutuhan emosional. Fungsi sosial terpilah ke dalam empat bidang, yakni bidang rekreasi, komunikasi, pendidikan, dan keagamaan. Fungsi individual untuk pemenuhan kebutuhan fisik meliputi seni bangunan (rumah), seni furniture, pakaian (tekstil), dan seni kerajinan.

Selanjutnya, fungsi individual untuk pemenuhan kebutuhan emosional dapat dijelaskan bahwa melalui seni, seseorang dapat menuangkan emosinya. Emosi tidak hanya amarah saja, namun kesedihan, kegembiraan, haru, iba, cinta, dan benci adalah termasuk bagian dari emosi seseorang. Pemenuhan kebutuhan emosi, yaitu lebih menekankan pada kepuasan batin ketika menciptakan sebuah karya seni. Rasa marah, sedih, gembira, haru, iba, cinta, dan benci dapat dituangkan dalam suatu karya. Setiap orang membutuhkan kesenian, hanya saja kadarnya berbeda. Hal ini didasari pada tingkat dan kedalaman estetik seseorang.

Seseorang yang pengalaman estetiknya lebih banyak memerlukan pemuasan yang lebih banyak pula. Pada bagian fungsi sosial yang pertama, yaitu bidang rekreasi. Fungsi seni sebagai benda rekreasi adalah seni yang mampu menciptakan suatu kondisi tertentu yang bersifat penyegaran dan pembaharuan dari kondisi yang telah ada. Fungsi sosial seni yang kedua, yaitu bidang komunikasi, memiliki tujuan agar seniman dapat berkomunikasi dengan pengamat karya. Karya seni rupa yang dapat digunakan sebagai sarana komunikasi, misalnya poster dan spanduk.

Selanjutnya, fungsi sosial seni ketiga, yakni bidang pendidikan, misalnya pada gambar ilustrasi terjadinya proses rotasi bumi dan patung peraga organ tubuh manusia; sedangkan fungsi sosial seni keempat, yakni bidang keagamaan, artinya penciptaan karya seni untuk kepentingan keagamaan (religi), misalnya kaligrafi Arab dan seni arsitektur masjid, gereja, candi, dan makam. Secara lebih luas, Syafii (2006:9-12) menyatakan:

    Fungsi pendidikan seni rupa dapat dilihat dari dua sisi, yakni dari kebutuhan anak dan kebutuhan institusi. Fungsi pendidikan seni rupa bagi kebutuhan anak, yaitu seni rupa sebagai pemenuhan kebutuhan berekspresi, berapresiasi, dan berekreasi. Fungsi pendidikan seni rupa bagi institusi pendidikan, yaitu sebagai pelestari dan pengembang budaya visual estetik, juga sebagai pendidikan keterampilan. Seni rupa memiliki kedudukan sebagai sarana untuk menyampaikan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.

Dapat dikatakan bahwa pewarisan budaya yang menjadi identitas bangsa dapat berjalan dengan berkesinambungan. Selain fungsi penyampaian pengetahuan, keterampilan dan nilai, pendidikan seni rupa juga berfungsi memupuk pengertian dan kesadaran mencintai lingkungan hidupnya, termasuk menggugah kesadaran hidup berkelompok. Melalui pembelajaran seni rupa di sekolah siswa dapat mempelajari budaya di Indonesia, jika tidak ditempuh melalui jalur pendidikan dapat dimungkinkan pada generasi yang akan datang tidak mengenal budayanya sendiri.

Dapat disimpulkan bahwa fungsi pembelajaran seni rupa dapat dikelompokkan menurut (1) kebutuhan siswa, yang meliputi seni rupa sebagai pemenuhan kebutuhan atau media bermain, berekspresi, komunikasi, pengembangan bakat, pendidikan, berapresiasi, dan berekreasi; dan (2) kebutuhan institusi, yaitu sebagai pelestari dan pengembang budaya visual estetik, juga sebagai pendidikan keterampilan, serta sebagai media/alat atau sarana pendidikan.

Berekspresi merupakan kebutuhan setiap orang, termasuk juga anak-anak. Ekspresi adalah ungkapan yang dikaitkan dengan aspek psikologis seseorang, perasaan, perhatian, persepsi, fantasi atau imajinasi, dan sebagainya. Aspek-aspek ini dapat dituangkan ke dalam proses berkarya seni. Bagi orang dewasa, tercurahkannya aspek psikologis ini akan dapat memuaskan dan sudah barang tentu melepaskan ketegangan yang dihadapi, demikian juga halnya untuk anakanak.

Anak-anak, dalam hal ini siswa, jika diberikan ruang untuk berekspresi berkarya seni rupa, maka anak itu akan merasa senang, gembira oleh karena terpuaskan dan akhirnya melepaskan persoalan psikologis yang dihadapi. Sensitif artinya peka, cepat menerima rangsangan. Pendidikan sensitivitas adalah pendidikan yang memungkinkan siswa untuk menjadi peka atau cepat menerima rangsangan, tanggap dalam merespons hal-hal yang berkaitan dengan fenomena estetik visual. Dalam pendidikan hal ini dilakukan melalui proses pembiasaan. Jika siswa terbiasa melihat karya-karya seni rupa yang estetik, maka pada gilirannya akan dengan cepat memberikan respons dalam bentuk pertimbangan atau penilaian karya seni. Siswa juga akan berkembang kepekaan estetiknya dalam menghadapi lingkungan sekitar.

Kreatif merupakan sifat yang dilekatkan pada diri manusia yang dikaitkan dengan kemampuan atau dayanya untuk mencipta. Kreativitas seringkali diartikan sebagai kelenturan atau kelincahan dalam berpikir, kelancaran dalam mengemukakan pendapat, kemampuan untuk memunculkan gagasan-gagasan baru yang berbeda dengan orang lain. Kreativitas juga dianggap sebagai perilaku yang konstruktif, inovativ, dan produktif yang dapat diamati melalui tindakan atau kecakapan seseorang. Karena itu, sepanjang kehidupan manusia, sifat kreatif ini senantiasa diperlukan untuk mengiringi tingkah laku manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

5.   Kendala-kendala yang Dihadapi

Pembelajaran seni rupa dengan memanfaatkan pelepah pisang sebagai media berkarya dua dimensi teknik kolase tidak lepas dari berbagai kendala. Biasanya siswa mengalami kesulitan dalam proses berkarya karena waktu pengerjaan yang diberikan oleh guru terlalu singkat. Hal ini sebagai akibat dari pembagian alokasi waktu mata pelajaran seni budaya dalam satu semester untuk tiga sub mata pelajaran, yakni seni rupa, seni musik, dan seni tari. Pada perencanaan pembelajaran, guru menetapkan alokasi waktu untuk materi pelajaran tersebut adalah dua kali pertemuan. Setelah proses pembelajaran selesai, waktu dua kali pertemuan tersebut dirasa belum cukup bagi siswa untuk menyelesaikan karyanya.

Dalam perencanaan pembelajaran, guru telah berupaya dengan baik dengan menetapkan materi pelajaran tentang karya dua dimensi teknik kolase. Guru menggunakan pertimbangan bahwa karya dua dimensi teknik kolase memiliki kesulitan lebih tinggi dari seni lukis cat air. Setelah peneliti mengamati dan melakukan wawancara dengan siswa dalam proses pembelajaran karya dua dimensi teknik kolase dengan memanfaatkan pelepah pisang, diketahui bahwa materi pelajaran tersebut lebih mudah dipahami oleh siswa. Hal ini sedikit berbeda dengan pertimbangan guru ketika membuat perencaanan pembelajaran.

Pada pembelajaran yang akan datang, guru hendaknya perlu menyusun perencanaan secara tepat dalam upaya melaksanakan pembelajaran yang efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kendala utama dalam pelaksanaan pembelajaran ini adalah berkenaan dengan proses siswa berkarya. Siswa mengalami kesulitan dalam pembuatan karya saat merekatkan pelepah pisang pada kertas kardus. Pelepah pisang sulit merekat secara merata pada kertas kardus. Kesulitan lainnya adalah pelepah yang terlalu kering mudah robek, dan waktu yang dibutuhkan agar pelepah benar-benar menempel pada kardus dan dalam pembuatan polanya relatif lama. Dalam hal ini, guru perlu berupaya lebih maksimal dalam memantau dan memberikan pengarahan ketika siswa sedang melaksanakan proses pembuatan karya.

F.   Penutup

Penggunaan media campur dalam melukis mulai berkembang setelah beberapa pelukis modern di awal abad ke-20 menggunakan bahan-bahan yang ditempelkan dalam kanvasnya. Kolase menjadi salah satu bentuk karya kreatif yang menggunakan media campur. Penggunaan bermacam bahan atau unsur dari berbagai sumber hampir tak terbatas untuk menciptakan lukisan kolase. Latihan-latihan melukis kolase sangat berguna sebagai penjelajahan dan percobaan dalam menyusun bentuk untuk menciptakan komposisi rupa dan mengembangkan imajinasi serta mendorong kreativitas. Terlebih jika unsur-unsurnya dipungut dari benda-benda terbuang yang seolah tak berguna Sebaiknya tidak berfikir untuk membuat lukisan representatif (Sunaryo, 2006: 53).

Pewarnaan atau pengecatan dapat dilakukan sebelum unsur-unsur di susun atau dapat pula setelah disusun. Bahan yang sudah bagus warnanya tidak diperlukan cat. Penambahan-penambahan warna mungkin diperlukan untuk memberikan aksentuasi. Memanfaatkan bentuk, warna, ukuran, dan tekstur bahan yang diperoleh dan kemudian mencermatinya untuk mengembangkan imajinasi serta meresponnya sebagai rangsangan mencipta.

Sebagai bagian dari pendidikan secara umum atau bagian dari sistem pendidikan nasional, maka pembelajaran seni rupa memiliki tugas dan tanggung jawab sejajar dengan mata pelajaran lain. Terkait dengan itu sebelum berpikir ke arah mana tujuan pembelajaran seni rupa yang akan dilakukan, guru perlu mencermati tujuan pendidikan nasional dirumuskan. Rumusan tujuan pendidikan nasional ini dapat dibaca dalam undang-undang sistem pendidikan nasional.

Tujuan pendidikan nasional ini tergolong rumusan pendidikan yang masih umum, dalam arti luas cakupannya. Tujuan yang lebih rendah dari tujuan pendidikan nasional adalah tujuan institusional, artinya tujuan pendidikan pada tingkat kelembagaan, misalnya tujuan pendidikan TK, SD, SMP, atau SMA. Tujuan-tujuan pendidikan ini pun perlu dipahami guru dan dapat dibaca dalam peraturan-peraturan pemerintah yang mengikuti undang-undang pendidikan terkait (Syafii, 2006: 29).

Daftar Pustaka

Anni, Chartarina Tri dan RC, Achmad Rifa‟i. 2009. Psikologi pendidikan. Semarang: Unnes Press.

Anni, Chatharina Tri. dkk. 2007. Psikologi Belajar. Semarang : UPT Unnes Press.

Bahari, Nooryan. 2008. Kritik Seni:  Wacana, Apresiasi, dan Kreasi. Yogyakarta:  Pustaka Belajar.

Bastomi, Suwaji. 1985. Berapresiasi Pada Seni Rupa. Semarang:  UNNES Press.

Bastomi, Suwaji. 2003. Kritik Seni. Bahan Ajar. Semarang: Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.

Chaniago, Amran. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bandung:  Pustaka Setia.

Depdikbud, 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.

Djamarah, Saiful Bahri. 2010. Guru Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Erman, Nani Rosana dan Ismiatun. 2004. Berkreasi dengan Pelepah Pisang. Surabaya:  Trubus Agrisarana.

Garha, O dan Bongsoe. 1975. Penuntun Pendidikan Seni Rupa untuk SD. Bandung:  PT Pelita Masa.

Garha, Oho dan Md Idris. 1978. Pendidikan Kesenian Seni Rupa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Haryanto. 2007. Media, Seni Rupa, Desain, dan Craft:  Handout Mata Kuliah Media Seni Rupa. Semarang:  UNNES.

Ismiyanto, PC S. 2003. Metode Penelitian. Buku Ajar Jurusan Seni Rupa FBS Unnes. Jurusan Seni Rupa.

Ismiyanto, PC S. 2008. Kurikulum dan Buku Teks Pendidikan Seni Rupa. GBPP-Silabus, RPP, dan Handout Jurusan Seni Rupa FBS Unnes. Jurusan Seni Rupa.

Ismiyanto, PC S. 2009. Perencanaan Pembelajaran Seni Rupa. GBPP-Silabus, RPP, dan Handout Mata Kuliah Jurusan Seni Rupa FBS Unnes. Jurusan Seni Rupa.

Ismiyanto, PC S. 2010. Strategi dan Model Pembelajaran Seni Rupa. Jurusan Seni Rupa FBS Unnes.Jurusan Seni Rupa.

Ismiyanto, PC. S. 2003. Metode Penelitian, Handout Mata Kuliah Metode Penelitian. Semarang:  Universitas Negeri Semarang.

Ismiyanto, PC. S. 2009. GBPP – Silabus, RPP, dan Handout Mata Kuliah Perencanaan Pembelajaran Seni Rupa. Semarang:  Universitas Negeri Semarang.

Jasin, Anwar. 1987. Pembaharuan Kurikulum SD Sejak Proklamasi Kemerdekaan. Jakarta: Balai Pustaka.

Kartika, Dharsono Sony. 2007. Kritik Seni. Bandung:  Rekayasa Sains.

Muharrar dan Sri Verayanti. 2013. Kreasi Kolase, Montase, Mozaik Sederhana. Semarang: Erlangga Group.

Mulyono. 2007. Pelepah Pisang Menjadi Uang. Jakarta:  Ganeca Exact.

Munib, Achmad, dkk. 2011. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press.

Poerwadarminta. 1993. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:  Balai Pustaka.

Rasjoyo. 1996. Pendidikan Seni Rupa untuk SMU Kelas 1. Jakarta: Erlangga.

Riafi RC, Achmad dan Chatharina Tri Anni. 2009. Psikologi Pendidikan. Semarang:  Universitas Negeri Semarang Press.

Rondhi, Moh dan Anton Sumartono. 2002. Paparan Perkuliahan mahasiswa: Tinjauan Seni Rupa I. Semarang: Unnes Press.

Rondhi, Moh. 2002. Tinjauan Seni Rupa 1. Semarang:  Universitas Negeri Semarang.

Rondhi, Moh. Dan Sumartono Anton. 2002. Tinjauan Seni Rupa I. Buku Ajar Jurusan Seni Rupa FBS Unnes. Jurusan Seni Rupa.

Salam, Sofyan. 2001. Pendidikan Seni Rupa di Sekolah Dasar. Makasar: Universitas Negeri Makasar.

Sanyoto, Sadjiman Ebdi. 2009. Nirmana Elemen-Elemen Seni dan Desain. Yogyakarta:  Jalasutra.

Sobandi, Bandi. 2008. Model Pembelajaran Kritik dan Apresiasi Seni Rupa. Bandung:  Universitas Pendidikan Indonesia.

Sobandi, Bandi. 2008. Model Pembelajaran Kritik dan Apresiasi Seni Rupa. Bandung: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Soehardjo, A. J. 2011. Pendidikan Seni:  Strategi Penataan dan Pelaksanaan Pembelajaran Seni. Malang:  Bayumedia Publishing.

Sugandi, Achmad dkk. 2005. Teori Pembelajaran. Semarang:  Universitas Negeri Semarang Press.

Sulistyowati, Retno. 2007. Bunga dari Pelepah Pisang. Surabaya:  Tiara Aksa.

Sunaryo, Aryo. 2002. Nirmana I. Semarang:  Universitas Negeri Semarang.

Sunaryo, Aryo. 2002. Paparan Perkuliahan Mahasiswa Nirmana 1. Semarang. Jurusan Seni Rupa Unnes.

Sunaryo, Aryo. 2006. Bahan Ajar Seni Lukis 1. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Sunaryo, Aryo. 2009. Bahan Ajar Seni Rupa 1. Semarang:  Universitas Negeri Semarang.

Susanto, Mikke. 2002. Diksi Rupa:  Kumpulan Istilah Seni Rupa. Yogyakarta:  Kanisius.

Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-dasar ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz.

Syafii. 2006. Konsep dan Model Pembelajaran Seni Rupa. Semarang:  Universitas Negeri Semarang.

Syafii. 2010. Evaluasi Pembelajaran Seni Rupa. Semarang:  Universitas Negeri Semarang.

Uno, Hamzah B. dkk. 2010. Desain Pembelajaran. Bandung:  MQS Publishing.

Utomo, Budi. Kamsijo. 2009 Silabus, Handout, dan Media Pembelajaran Strategi Pembelajaran Seni Rupa

Jati http://id.wikipedia.org/wiki/Jati. diunduh pada tanggal 06 Februari 2014 pukul 10.20 WIB

http://www.e-dukasi.net diunduh tanggal 11 Maret 2013 pukul 08.00 WIB.

http://belajar.kemdiknas.go.id/index5 diunduh tanggal 11 Maret 2013 pukul 08.00 WIB.

Kolase dapat dibuat dengan beberapa perpaduan bahan selama bahan itu dapat dipadukan dengan