Kalimat yang menunjukkan bukti watak Raden Wijaya adalah

Kalimat yang menunjukkan bukti watak Raden Wijaya adalah

Berikut ini kunci jawaban bahasa Indonesia kelas 12 SMA halaman 39, menjawab pertanyaan dari novel Kemelut di Majapahit, ada 5 soal /buku.kemdikbud/

RINGTIMES BANYUWANGI – Simak kunci jawaban pelajaran bahasa Indonesia di kelas 12 SMA pada halaman 39 kegiatan 2 materi novel Kemelut di Majapahit.

Halo adik-adik semua, hari ini kita akan belajar bahasa Indonesia materi kemelut di Majapahit, novel sejarah yang ada di halaman 39 pada kegiatan 2.

Yuk buka buku paket halaman 39 dan perhatikan 5 pertanyaan tentang novel kemelut Majapahit, simak kunci jawabannya di bawah ini.

Baca Juga: Kunci Jawaban Bahasa Inggris Kelas 12 SMA Halaman 38, 39, dan 40, Speaking Task 3

1. Kapankah latar waktu cerita dalam kutipan novel sejarah tersebut dibuat?

Jawaban:

Latar waktu cerita dalam kutipan novel sejarah tersebut adalah pada masa pemerintahan Raja Majapahit pertama, yaitu Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana.

Yang terdapat pada paragraf 1.

Baca Juga: Kunci Jawaban Bahasa Inggris Kelas 12 SMA Halaman 48, Task 2 Find Dialogs

Sumber: Buku Sekolah Elektronik

Raden Wijaya atau disebut juga Dyah Wijaya (wafat: Majapahit, 1309) adalah pendiri dan maharaja pertama Kekaisaran Majapahit yang memerintah pada tahun 1293-1309, bergelar Sri Kertarajasa Jayawardana, atau lengkapnya Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana.

Kalimat yang menunjukkan bukti watak Raden Wijaya adalah
Raden WijayaNararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana

Ilustrasi Raden Wijaya

maharaja Majapahit PertamaBerkuasa
Kalimat yang menunjukkan bukti watak Raden Wijaya adalah
Majapahit (1293 - 1309)Penobatan15 Kartika 1215 Saka
(10 November 1293)PenerusJayanegara

Wafat1309
Kalimat yang menunjukkan bukti watak Raden Wijaya adalah
MajapahitWangsaRajasa
Nama lengkap
Nararya Sanggramawijaya
AyahRakyan JayadarmaIbuDyah Lembu TalPermaisuriTribhuwaneswariIstri

  • Tribhuwaneswari
  • Narendraduhita
  • Jayendradewi
  • Gayatri
  • Indreswari

Anak
  • Jayanegara
  • Tribhuwana Wijayatunggadewi
  • Rajadewi Maharajasa
AgamaHindu

Menurut Pararaton, Raden Wijaya adalah putra dari kerajaan Sunda-Galuh yang berpindah ke daerah jawa, ia mendirikan kerajaan baru bernama Majapahit.

Sejarah Kerajaan Singhasari hingga berdirinya Kerajaan Majapahit dari segi pelaku utamanya dapat dipandang dari munculnya 3 dahan silsilah dalam pohon wangsa Rajasa. Dahan pertama adalah dari jalur Tunggul Ametung dengan Ken Dedes yang menurunkan Anusapati, Wisnuwardhana, Kertanegara hingga ke-empat putri yang menjadi ibu yang melahirkan raja-raja Majapahit dan menjadi anggota utama keluarga Majapahit.[1] Dahan yang kedua dan ini menjadi penting adalah dari jalur Ken Arok dengan Ken Dedes yang menurunkan Bhatara Parameswara, Narasinghamurti, Dyah Lembu Tal, hingga Raden Wijaya, pendiri Majapahit.[2] Dahan ketiga adalah jalur dari Ken Arok dan Ken Umang yang menurunkan Tohjaya.

Menurut prasasti Balawi dan Nagarakretagama, Raden Wijaya menikah dengan empat orang putri Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singhasari, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri.

Sedangkan menurut Pararaton, Wijaya hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja, serta seorang putri dari Kerajaan Malayu bernama Dara Petak, yaitu salah satu dari dua putri yang dibawa dari Melayu oleh pasukan yang dikirim oleh Kertanagara, dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahisa Anabrang pada masa kerajaan Singhasari. Dara Petak merupakan salah seorang putri Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa Raja Melayu dari Kerajaan Dharmasraya.[3]

Menurut prasasti Sukamerta dan prasasti Balawi, Raden Wijaya memiliki seorang putra dari Tribhuwaneswari bernama Jayanagara.[4] Sedangkan Jayanagara menurut Pararaton adalah putra Dara Petak, dan menurut Nagarakretagama adalah putra Indreswari. Sementara itu, dari Gayatri lahir dua orang putri bernama Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat.

Namun ada juga pendapat lain, dimana Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga yang juga salah seorang putri Kerajaan Melayu sebagai istrinya selain dari Dara Petak, karena Dara Jingga juga dikenal memiliki sebutan sira alaki dewa — dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa.

Menurut Prasasti Kudadu, pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelanggelang terhadap kekuasaan Kerajaan Singhasari. Raden Wijaya ditunjuk Kertanegara untuk menumpas pasukan Gelanggelang yang menyerang dari arah utara Singhasari. Raden Wijaya berhasil memukul mundur musuhnya. Namun pasukan pemberontak yang lebih besar datang dari arah selatan dan berhasil menewaskan Kertanagara.

Menyadari hal itu, Raden Wijaya melarikan diri, berlindung ke Terung di sebelah utara Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar musuh ia kemudian pergi ke arah timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu, ia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu Arya Wiraraja, penguasa Songeneb (nama lama Sumenep), penasehat raja Kertanegara yang merupakan murid dari Mahisa Campaka (Narasinghamurti), kakek Raden Wijaya.

Hutan Tarik dan Desa Majapahit

Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut kembali takhta dari tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan. Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Wijaya menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali kerajaan leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadiri menerimanya dengan senang hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan Jungbiru.

Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb yang dipimpin oleh anaknya, Ranggalawe, untuk membantu Wijaya membuka hutan tersebut. Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah seorang Madura menemukan buah maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu, desa pemukiman yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi nama Majapahit.

Catatan Dinasti Yuan mengisahkan, pada tahun 1293, pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang yang dipimpin Ike Mese, Kau Hsing dan Shih Pi mendarat di Jawa untuk menyerang Kertanagara, karena pada tahun 1289 Kertanagara telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan raja Mongol.

Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol ini untuk menghancurkan Jayakatwang. Ia pun mengajak Ike Mese untuk bekerjasama. Wijaya meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Wangsa Rajasa di Jawa dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol.

Jayakatwang yang mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan oleh pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol, Majapahit dan Madura bergerak menyerang Daha, ibu kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya kalah dan ditawan bersama putranya Ardharaja dalam kapal Mongol.

Perang melawan Yuan-Mongol

Setelah Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin pada pihak Mongol untuk kembali ke Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Canggu, Majapahit, Wijaya dan pasukannya membunuh para prajurit Mongol yang mengawalnya.

Pada 19 April 1293, Raden Wijaya memimpin pasukannya menyerang tentara Mongol. Tentara Mongol yang sedang berpesta di Daha diserbu oleh pasukan Majapahit. Setelah kehilangan 3.000 orang tentaranya, Ike Mese memutuskan mundur. Sisa pasukan Mongol akhirnya meninggalkan Jawa pada 24 April 1293.

Kemudian Wijaya menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit yang pertama dengan gelar Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardana. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.

Dalam memerintah Majapahit, Raden Wijaya mengangkat para pengikutnya yang dulu setia dalam perjuangan. Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai pasangguhan, Nambi diangkat sebagai patih Majapahit, Lembu Sora sebagai patih Daha.

Pada tahun 1294 Wijaya juga memberikan anugerah kepada pemimpin desa Kudadu di wilayah Gunung Butak yang dulu melindunginya saat pelarian menuju Pulau Madura. Raden Wijaya juga membentuk Dharmaputra, pasukan elit yang beranggotakan tujuh orang, yaitu Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa.

Pada tahun 1295, Raden Wijaya mengangkat anaknya, Jayanagara, sebagai yuwaraja atau raja muda di Kadiri atau Daha. Pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam Prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.

Pemberontakan Ranggalawe

Pada tahun 1295 seorang tokoh licik bernama Mahapati menghasut Ranggalawe untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi sebagai patih, dan menjadi perang saudara pertama yang melanda Majapahit. Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang pembagian wilayah kerajaan. Wijaya mengabulkannya. Maka, sejak saat itu, wilayah kerajaan Majapahit terbagi menjadi dua, di mana Majapahit sebelah barat dikuasai oleh Wijaya dan di timur dikuasai oleh Wiraraja dengan ibu kota di Lamajang (nama lama Lumajang).

Pembunuhan Lembu Sora

Pada tahun 1300 terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman Ranggalawe. Pada saat pemberontakan Ranggalawe, Lembu Sora berada di pihak Majapahit. Namun, pada pertempuran Tambak Beras ketika Ranggalawe dibunuh dengan kejam oleh Kebo Anabrang, Sora yang merupakan paman Ranggalawe merasa tidak tahan, kemudian berbalik membunuh Anabrang.

Peristiwa terbunuhnya Kebo Anabrang dijadikan alasan oleh Mahapati untuk menghasut Nambi, bahwa Lembu Sora akan memberontak terhadap Majapahit, sehingga terjadi suasana perpecahan antara Lembu Sora dan Nambi. Pada puncaknya, Lembu Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung tewas dibantai kelompok Nambi sewaktu dalam perjalanan menuju istana Majapahit.

Menurut Nagarakretagama, Raden Dyah Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.[5] Ia dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping, Blitar, sebagai Harihara, atau perpaduan Wisnu dan Siwa.

Raden Dyah Wijaya digantikan Jayanagara sebagai raja penerusnya.

Raden Wijaya merupakan nama yang lazim dipakai para sejarawan untuk menyebut pendiri Kerajaan Majapahit. Nama ini terdapat dalam Pararaton yang ditulis sekitar akhir abad ke-15. Kadang Pararaton juga menulisnya secara lengkap, yaitu Raden Harsawijaya. Padahal menurut bukti-bukti prasasti, pada masa kehidupan Wijaya (abad ke-13 atau 14) pemakaian gelar raden belum populer.

Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri Majapahit bernama Dyah Wijaya. Gelar "dyah" merupakan gelar kebangsawanan yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelar "Raden". Istilah Raden sendiri diperkirakan berasal dari kata Ra Dyah atau Ra Dyan atau Ra Hadyan.

Nama asli pendiri Majapahit yang paling tepat adalah Nararya Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah lebih sering digunakan.

Dyah Wijaya dalam prasasti Balawi tahun 1305 menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa. Menurut Nagarakretagama, Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal, putra Narasinghamurti. Sedangkan menurut Pararaton, Narasinghamurti alias Mahisa Campaka adalah putra Mahisa Wonga Teleng putra Ken Arok pendiri Wangsa Rajasa.[6]

 

Arca[pranala nonaktif permanen] Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa. Semula berlokasi di Candi Simping, Blitar, kini menjadi koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.

dengan Nagarakretagama yang merupakan sumber primer UNESCO The Memory of the World Register for Asia/Pasific, yang menyebut Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki, putra Narasinghamurti. Naskah ini memuji Dyah Lembu Tal sebagai seorang perwira yuda yang gagah berani dan merupakan ayah dari Raden Dyah Wijaya. Jadi bisa di pastikan Raden Wijaya berdarah Singasari (Jawa) tulèn, bukan berdarah campuran dari Singasari (Pihak Ibu) dan Sunda (Pihak Ayah) seperti menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara karangan Kesultanan Cirebon. Menurut Nagarakertagama Dyah Lembu Tal merupakan seorang laki-laki dan bukan seorang perempuan. Dyah Lembu Tal merupakan Ayah dari Wijaya yang juga berasal dari Singhasari dan bukan berasal dari Sunda.Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Raden Wijaya masih keturunan Sunda karena ayahnya adalah putra dari raja Kerajaan Sunda Galuh.

Orang Tua

  • Dyah Lembu Tal
    putra Mahisa Campaka, dari Kerajaan Singasari, juga disebut Dyah Singamurti

Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, Raden Wijaya masih keturunan Sunda karena ayahnya adalah putra dari raja Kerajaan Sunda Galuh.

Permaisuri

  • Tribhuwana
    putri sulung Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singasari. Bergelar Sri Prameswari Dyah Dewi Tribhuwana-iswari, biasa disingkat Tribhuwaneswari

Selir

  • Mahadewi
    bergelar Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita atau disebut dengan Narendraduhita
  • Jayendradewi
    istri yang paling setia. Bergelar Sri Jayendra Dyah Dewi Prajña Paramita atau disebut dengan Prajna Paramita
  • Gayatri
    putri bungsu Kertanegara. Bergelar Rajapatni
    • Dyah Gitarja
      bergelar Bhre Kahuripan, setelah naik tahta bergelarSri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani, disebut juga Ratu Kencana Wungu
    • Dyah Wiyat
      bergelar Rajadewi Maharajasa Bhre Daha
  • Dara Petak
    putri Srimat Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa, dari Kerajaan Dharmasraya. Bergelar Indra-iswari atau Indreswari
    • Jayanagara
      bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

  1. ^ Sidomulyo, H. 2007. Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
  2. ^ Deny Yudo Wahyudi, 2013, KERAJAAN MAJAPAHIT: DINAMIKA DALAM SEJARAH NUSANTARA,  Malang: FIS, Universitas Negeri Malang.
  3. ^ Slamet Muljana, 2005, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKiS, ISBN 979-98451-16-3.
  4. ^ Poesponegoro & Notosusanto, hlm. 427.
  5. ^ Riana, I. K. (2009). Kakawin dēśa warṇnana, uthawi, Nāgara kṛtāgama: masa keemasan Majapahit. Penerbit Buku Kompas.
  6. ^ Poesponegoro & Notosusanto, hlm. 410.

Didahului oleh:
-
Raja Majapahit
1293–1309
Diteruskan oleh:
Jayanagara
  • Invasi Yuan-Mongol ke Jawa

Menurut Pararaton, Raden Wijaya adalah putra Mahisa Campaka, seorang pangeran dari Kerajaan Singhasari. Menurut Negarakertagama, Raden Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal, yang merupakan anak dari Mahisa Campaka (Narasinghamurti). Ia dibesarkan di lingkungan Kerajaan Singhasari.

Sejarah Kerajaan Singhasari hingga berdirinya Kerajaan Majapahit dari segi pelaku utamanya dapat dipandang dari munculnya 3 dahan silsilah dalam pohon wangsa Rajasa. Dahan pertama adalah dari jalur Tunggul Ametung dengan Ken Dedes yang menurunkan Anusapati, Wisnuwardhana, Kertanegara hingga ke-empat putri yang menjadi ibu yang melahirkan raja-raja Majapahit dan menjadi anggota utama keluarga Majapahit.[1] Dahan yang kedua dan ini menjadi penting adalah dari jalur Ken Arok dengan Ken Dedes yang menurunkan Bhatara Parameswara, Narasinghamurti, Dyah Lembu Tal, hingga Raden Wijaya, pendiri Majapahit.[2] Dahan ketiga adalah jalur dari Ken Arok dan Ken Umang yang menurunkan Tohjaya.

Menurut prasasti Balawi dan Nagarakretagama, Raden Wijaya menikah dengan empat orang putri Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singhasari, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri.

Sedangkan menurut Pararaton, Wijaya hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja, serta seorang putri dari Kerajaan Malayu bernama Dara Petak, yaitu salah satu dari dua putri yang dibawa dari Melayu oleh pasukan yang dikirim oleh Kertanagara, dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahisa Anabrang pada masa kerajaan Singhasari. Dara Petak merupakan salah seorang putri Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa Raja Melayu dari Kerajaan Dharmasraya.[3]

Menurut prasasti Sukamerta dan prasasti Balawi, Raden Wijaya memiliki seorang putra dari Tribhuwaneswari bernama Jayanagara.[4] Sedangkan Jayanagara menurut Pararaton adalah putra Dara Petak, dan menurut Nagarakretagama adalah putra Indreswari. Sementara itu, dari Gayatri lahir dua orang putri bernama Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat.

Namun ada juga pendapat lain, dimana Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga yang juga salah seorang putri Kerajaan Melayu sebagai istrinya selain dari Dara Petak, karena Dara Jingga juga dikenal memiliki sebutan sira alaki dewa — dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa.

Menurut Prasasti Kudadu, pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelanggelang terhadap kekuasaan Kerajaan Singhasari. Raden Wijaya ditunjuk Kertanegara untuk menumpas pasukan Gelanggelang yang menyerang dari arah utara Singhasari. Raden Wijaya berhasil memukul mundur musuhnya. Namun pasukan pemberontak yang lebih besar datang dari arah selatan dan berhasil menewaskan Kertanagara.

Menyadari hal itu, Raden Wijaya melarikan diri, berlindung ke Terung di sebelah utara Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar musuh ia kemudian pergi ke arah timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu, ia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu Arya Wiraraja, penguasa Songeneb (nama lama Sumenep), penasehat raja Kertanegara yang merupakan murid dari Mahisa Campaka (Narasinghamurti), kakek Raden Wijaya.

Hutan Tarik dan Desa Majapahit

Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut kembali takhta dari tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan. Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa Wijaya menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali kerajaan leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadiri menerimanya dengan senang hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan Jungbiru.

Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb yang dipimpin oleh anaknya, Ranggalawe, untuk membantu Wijaya membuka hutan tersebut. Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah seorang Madura menemukan buah maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu, desa pemukiman yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi nama Majapahit.

Catatan Dinasti Yuan mengisahkan, pada tahun 1293, pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang yang dipimpin Ike Mese, Kau Hsing dan Shih Pi mendarat di Jawa untuk menyerang Kertanagara, karena pada tahun 1289 Kertanagara telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan raja Mongol.

Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol ini untuk menghancurkan Jayakatwang. Ia pun mengajak Ike Mese untuk bekerjasama. Wijaya meminta bantuan untuk merebut kembali kekuasaan Wangsa Rajasa di Jawa dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol.

Jayakatwang yang mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan oleh pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol, Majapahit dan Madura bergerak menyerang Daha, ibu kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya kalah dan ditawan bersama putranya Ardharaja dalam kapal Mongol.

Perang melawan Yuan-Mongol

Setelah Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin pada pihak Mongol untuk kembali ke Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Canggu, Majapahit, Wijaya dan pasukannya membunuh para prajurit Mongol yang mengawalnya.

Pada 19 April 1293, Raden Wijaya memimpin pasukannya menyerang tentara Mongol. Tentara Mongol yang sedang berpesta di Daha diserbu oleh pasukan Majapahit. Setelah kehilangan 3.000 orang tentaranya, Ike Mese memutuskan mundur. Sisa pasukan Mongol akhirnya meninggalkan Jawa pada 24 April 1293.

Kemudian Wijaya menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit yang pertama dengan gelar Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardana. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.

Dalam memerintah Majapahit, Raden Wijaya mengangkat para pengikutnya yang dulu setia dalam perjuangan. Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai pasangguhan, Nambi diangkat sebagai patih Majapahit, Lembu Sora sebagai patih Daha.

Pada tahun 1294 Wijaya juga memberikan anugerah kepada pemimpin desa Kudadu di wilayah Gunung Butak yang dulu melindunginya saat pelarian menuju Pulau Madura. Raden Wijaya juga membentuk Dharmaputra, pasukan elit yang beranggotakan tujuh orang, yaitu Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa.

Pada tahun 1295, Raden Wijaya mengangkat anaknya, Jayanagara, sebagai yuwaraja atau raja muda di Kadiri atau Daha. Pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam Prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.

Pemberontakan Ranggalawe

Pada tahun 1295 seorang tokoh licik bernama Mahapati menghasut Ranggalawe untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi sebagai patih, dan menjadi perang saudara pertama yang melanda Majapahit. Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang pembagian wilayah kerajaan. Wijaya mengabulkannya. Maka, sejak saat itu, wilayah kerajaan Majapahit terbagi menjadi dua, di mana Majapahit sebelah barat dikuasai oleh Wijaya dan di timur dikuasai oleh Wiraraja dengan ibu kota di Lamajang (nama lama Lumajang).

Pembunuhan Lembu Sora

Pada tahun 1300 terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman Ranggalawe. Pada saat pemberontakan Ranggalawe, Lembu Sora berada di pihak Majapahit. Namun, pada pertempuran Tambak Beras ketika Ranggalawe dibunuh dengan kejam oleh Kebo Anabrang, Sora yang merupakan paman Ranggalawe merasa tidak tahan, kemudian berbalik membunuh Anabrang.

Peristiwa terbunuhnya Kebo Anabrang dijadikan alasan oleh Mahapati untuk menghasut Nambi, bahwa Lembu Sora akan memberontak terhadap Majapahit, sehingga terjadi suasana perpecahan antara Lembu Sora dan Nambi. Pada puncaknya, Lembu Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung tewas dibantai kelompok Nambi sewaktu dalam perjalanan menuju istana Majapahit.

Menurut Nagarakretagama, Raden Dyah Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.[5] Ia dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping, Blitar, sebagai Harihara, atau perpaduan Wisnu dan Siwa.

Raden Dyah Wijaya digantikan Jayanagara sebagai raja penerusnya.

Raden Wijaya merupakan nama yang lazim dipakai para sejarawan untuk menyebut pendiri Kerajaan Majapahit. Nama ini terdapat dalam Pararaton yang ditulis sekitar akhir abad ke-15. Kadang Pararaton juga menulisnya secara lengkap, yaitu Raden Harsawijaya. Padahal menurut bukti-bukti prasasti, pada masa kehidupan Wijaya (abad ke-13 atau 14) pemakaian gelar raden belum populer.

Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri Majapahit bernama Dyah Wijaya. Gelar "dyah" merupakan gelar kebangsawanan yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelar "Raden". Istilah Raden sendiri diperkirakan berasal dari kata Ra Dyah atau Ra Dyan atau Ra Hadyan.

Nama asli pendiri Majapahit yang paling tepat adalah Nararya Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah lebih sering digunakan.

Dyah Wijaya dalam prasasti Balawi tahun 1305 menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa. Menurut Nagarakretagama, Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal, putra Narasinghamurti. Sedangkan menurut Pararaton, Narasinghamurti alias Mahisa Campaka adalah putra Mahisa Wonga Teleng putra Ken Arok pendiri Wangsa Rajasa.[6]

 

Arca[pranala nonaktif permanen] Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa. Semula berlokasi di Candi Simping, Blitar, kini menjadi koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.

dengan Nagarakretagama yang merupakan sumber primer UNESCO The Memory of the World Register for Asia/Pasific, yang menyebut Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki, putra Narasinghamurti. Naskah ini memuji Dyah Lembu Tal sebagai seorang perwira yuda yang gagah berani dan merupakan ayah dari Raden Dyah Wijaya. Jadi bisa di pastikan Raden Wijaya berdarah Singasari (Jawa) tulèn, bukan berdarah campuran dari Singasari (Pihak Ibu) dan Sunda (Pihak Ayah) seperti menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara karangan Kesultanan Cirebon. Menurut Nagarakertagama Dyah Lembu Tal merupakan seorang laki-laki dan bukan seorang perempuan. Dyah Lembu Tal merupakan Ayah dari Wijaya yang juga berasal dari Singhasari dan bukan berasal dari Sunda.

Orang Tua

  • Dyah Lembu Tal
    putra Mahisa Campaka, dari Kerajaan Singasari, juga disebut Dyah Singamurti

Permaisuri

  • Tribhuwana
    putri sulung Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singasari. Bergelar Sri Prameswari Dyah Dewi Tribhuwana-iswari, biasa disingkat Tribhuwaneswari

Selir

  • Mahadewi
    bergelar Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita atau disebut dengan Narendraduhita
  • Jayendradewi
    istri yang paling setia. Bergelar Sri Jayendra Dyah Dewi Prajña Paramita atau disebut dengan Prajna Paramita
  • Gayatri
    putri bungsu Kertanegara. Bergelar Rajapatni
    • Dyah Gitarja
      bergelar Bhre Kahuripan, setelah naik tahta bergelarSri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani, disebut juga Ratu Kencana Wungu
    • Dyah Wiyat
      bergelar Rajadewi Maharajasa Bhre Daha
  • Dara Petak
    putri Srimat Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa, dari Kerajaan Dharmasraya. Bergelar Indra-iswari atau Indreswari
    • Jayanagara
      bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara
  • Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

  1. ^ Sidomulyo, H. 2007. Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
  2. ^ Deny Yudo Wahyudi, 2013, KERAJAAN MAJAPAHIT: DINAMIKA DALAM SEJARAH NUSANTARA,  Malang: FIS, Universitas Negeri Malang.
  3. ^ Slamet Muljana, 2005, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKiS, ISBN 979-98451-16-3.
  4. ^ Poesponegoro & Notosusanto, hlm. 427.
  5. ^ Riana, I. K. (2009). Kakawin dēśa warṇnana, uthawi, Nāgara kṛtāgama: masa keemasan Majapahit. Penerbit Buku Kompas.
  6. ^ Poesponegoro & Notosusanto, hlm. 410.

Didahului oleh:
-
Raja Majapahit
1293–1309
Diteruskan oleh:
Jayanagara
  • Invasi Yuan-Mongol ke Jawa

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Raden_Wijaya&oldid=21610848"