Jika barang temuan ditemukan oleh anak kecil maka yang mengurus barang tersebut adalah

Luqathah adalah barang yang tidak diketahui pemiliknya dan telah ditemukan oleh seseorang.Masalah Luqathah, merupakan salah satu persoalan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, ini disebabkan adanya kelalaian dari pihak yang mempunyai barang. Bagi yang kehilangan barang maupun yang penemu, keduanya mempunyai kewajiban yang sama untuk mengetahui bagaimana seharusnya islam menangani masalah ini manusia beranggapan bahwa barang yang sudah jatuh itu milik mereka.mereka menganggap bahwa barang tersebut adalah rezeki mereka. Mereka cenderung tidak peduli dengan hal semacam ini bahkan hampir melupakan bagaimana dan seperti apa cara untuk menangani barang temuan.

Hukum pengambilan barang temuan, oleh ulama dibagi ke dalam beberapa tingkatan dan di antaranya sebagai berikut :

  1. Apabila barang temuan ditemukan oleh orang yang memiliki kepercayaan tinggi dan ia mampu mengurus benda-benda temuan itu sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, maka atasnya berhak mengambil barang temuan tersebut
  2. Apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu dengan sebagaimana mestinya, tetapi bila tidak diambil pun barang barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia.
  3. Apabila harta itu ditemukan, kemudian yang bersangkutan ragu -ragu antara mampu memelihara dengan mengesampingjkan harta yang ditemukan.
  4. Penetapan hukum terhadap barang temuan oleh kebanyakan ulama fiqh adalah “boleh”. Tentunya penetapan tersebut didasari oleh penalaran dalil-dalil yang ada, dan hukum tersebut berlaku bagi orang yang meyakini dirinya mampu memelihara dan mengumumkannya, dasar hukum tentang kewajiban bagi penemu untuk mengumumkan barang temuan adalah hadits Nabi SAW:
  5. “Dari Zaid bin Khalid r.a. berkata; Seorang datang kepada Rasulullah SAW, menanyakan tentang luqathah, Rasulullah SAW bersabda: Kenalilah wadah dan tali pengikatnya, kemudian umumkan selama satu tahun, maka jika dating pemiliknya (kembalikan padanya), jika tidak maka sesukamu. Ditanya: Jika menemukan kambing? Rasulullah SAW menjawab: Kambing itu untukmu atau saudaramu atau bagi srigala. Jika mendapatkan unta? Rasulullah SAW bersabda: Apa urusanmu dengan unta? Dia sanggup cukup dengan minumnya dan kakinya, dia dapat mencari minum dan makanannya sehingga bertemu dengan pemiliknya.” (HR Bukhari-Muslim)
  6. Abu Daud juga merawikan hadits tentang larangan Rasulullah SAW mengambil barang temuan pada saat orang-orang sedang mengerjakan ibadah haji, hadits tersebut ialah
  7. Artinya: “Diceritakan Yazid ibn Khalid Mauhab dan Ahmad ibn Shalih berkata diceritakan ibn Wahab dikabarkan ‘Umar dari Bakir dari Yahya ibn Abdurrahman ibn Hathib dari Abdurrahman ibn ‘Ustman al-Taymi sesungguhnya Rasulullah Saw., melarang mengambil barang yang hilang kepunyaan orang-orang yang sedang mengerjakan ibadah haji, kemudian berkata Ahmad berkata ibnu Wahab yakni tinggalkanlah barang temuan di waktu haji sampai ada orang yang mempunyai mengambilnya berkata seperti itulah ibnu Mauhab dari ‘Umar”. (H.R. Abu Dawud)
  8. Apabila orang yang menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara barang tersebut.

Dalam pandangan imam Malik, bahwa barang temuan itu tetap menjadi tanggungan (ganti rugi; biaya) bagi si penemu sekiranya ia telah melakukan tindakan, baik dengan cara menyedekahkan dan atau memanfaatkan. Alasan imam Malik lantaran barang temuan itu adalah serupa dengan wadi’ah (barang titipan), sehingga bagaimana pun keadaan barang tersebut tentu tidak berpindah status kepemilikan kepada orang lain (si penemu); karenanya jika rusak perlu mengganti atau membayarkannya

Di kisahkan bahwa ada seorang laki-laki pernah datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW., mengenai Luqhatah . Beliau menjawab : “ perhatikanlah bejana tempatnya dan tali pengikatnya, lalu umumkanlah (barang Itu) selama setahun. Jika pemiliknya datang maka serahkanlah kepada mereka dan jika tidak maka manfaatkanlah . Lelaki itu bertanya lagi, “ bagaimana barang temuan tersebut berupa kambing yang tersesat? Beliau menjawab: “Ambillah, itu milikmu, atau milik saudaramu, atau akan di makan serigala . Lelaki itu masih bertanya “bagaimana bila itu berupa unta yang tersesat?” Beliau menjawab “ Apa urusannya denganmu?! Ia masih memakai terompah dan memiliki cadangan airnya sendiri sampai nanti pemiliknya datang menemukannya .”(H.R Al-Bukhari)

Pada tingkat yang pertama, ulama mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) sepakat mengenai barang temuan untuk mengumumkan setidaknya satu tahun dari batas waktu barang itu ditemukan. Namun demikian, yang perlu diperhatikan bahwa barang tersebut harus tahan lama (seperti emas, perak dan barang yang sejenis dengannya). Meskipun begitu, di kalangan ulama masih tampak berbeda pendapat sehubungan dengan barang temuan itu perlu diambil atau dibiarkan saja.

Para ulama fikih berbeda pendapat terkait dengan barang temuan di tanah haram. Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah dalam salah satu riwayatnya dan haram. Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah dalam salah satu riwayatnya dan dari Syafi’i mengatakan,”Bahwa ia seperti barang temuan di tanah halal. dari Syafi’I mengatakan,”Bahwa ia seperti barang temuan di tanah halal. Sementara perkataan Ahmad dan ini termasuk salah satu riwayat dari Syafi’i Sementara perkataan Ahmad dan ini termasuk salah satu riwayat dari Syafi’I mengatakan, “Bahwa barang temuan di haram hendaknya diumumkan untuk mengatakan, “Bahwa barang temuan di haram hendaknya diumumkan untuk selamanya sampai datang pemiliknya. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi selamanya sampai datang pemiliknya.

Dengan demikian, sejumlah uraian di atas dapat dikatakan bahwa hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya Dikarenakan status hukum barang temuan itu dibolehkan untuk diambil, maka anjuran atasnya juga dituntut untuk memeliharanya dengan baik. Dengan demikian, identitas kepercayaan seseorang untuk menerima tanggungan dalam rangka memelihara barang temuan menjadi tindakan yang tidak boleh disia-siakan.

Luqathah secara bahasa bermakna asy-syai’ al-malquth (sesuatu yang dipungut). Adapun secara istilah, luqathah adalah setiap harta yang tercecer dari pemiliknya kemudian diambil oleh orang lain. Misalnya seseorang menemukan uang atau pakaian di jalan yang dikhawatirkan rusak, kemudian ia mengambilnya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Kata luqathah mengikuti wazan fu’alah yang bermakna sesuatu yang dipungut, yaitu ungkapan yang mencakup setiap mal (harta) atau mukhtash yang tercecer dari pemiliknya. Adapun yang dimaksud dengan mal adalah sesuatu yang bisa dikenakan akad padanya, sedangkan mukhtash adalah sesuatu yang tidak bisa dikenakan akad padanya. Yang pertama, misalnya uang, perkakas dan semisalnya, dinamakan dengan mal.

Adapun mukhtash adalah sesuatu yang tidak bisa dikenakan akad padanya, misalnya anjing, tidak disebut mal dan tidak sah untuk diperjualbelikan, akan tetapi di kalangan ahli ilmu dinamakan dengan mukhtash. Apabila seseorang menemukan anjing pemburu, maka itu termasuk luqathah dan jika seseorang menemukan jam tangan, pena dan semisalnya maka itu juga luqathah, akan tetapi yang ini dinamakan mal dan yang tadi dinamakan mukhtash.

Rukun Luqathah

Luqathah memilki tiga rukun, yaitu :

  1. Al-Multaqith, yaitu orang yang menemukan barang temuan.
  2. Al-Luqathah, yaitu barang yang ditemukan.
  3. Al-Iltiqath, yaitu tindakan mengambil barang temuan.

Hukum Mengambil Luqathah

Hukum asalnya, diperbolehkan mengambil barang temuan, berdasarkan hadits dari Zaid bin Khalid Al Juhani radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang barang temuan berupa emas dan perak, maka beliau bersabda :

اِعْرِفْ وِكَاءَهَا وَعِفَاصَهَا، ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً، فَإِنْ لَمْ تَعْرِفْ فَاسْتَنْفِقْهَا، وَلْتَكُنْ وَدِيعَةً عِنْدَكَ، فَإِنْ جَاءَ طَالِبُهَا يَوْمًا مِنَ الدَّهْرِ فَأَدِّهَا إِلَيْهِ

“Kenalilah pengikat dan wadahnya, kemudian umumkanlah selama setahun, jika pemiliknya tidak diketahui maka manfaatkanlah, dan barang itu dianggap sebagai titipan di sisimu, jika suatu hari pemiliknya datang maka serahkanlah kepadanya.”

Para ulama juga telah bersepakat atas diperbolehkannya mengambil barang temuan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hubairah rahimahullah, “Para ulama telah bersepakat atas diperbolehkannya mengambil barang temuan secara umum.”

Macam-macam Luqathah

Luqathah terbagi menjadi beberapa macam, yaitu :

  1. Barang yang sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya karena tidak dibutuhkan lagi, seperti kursi rusak yang dibuang, wadah yang ditinggalkan karena sudah tidak diperlukan lagi, maka barang-barang tersebut boleh langsung dimiliki oleh penemunya dan tidak  perlu diumumkan.
  2. Barang sepele yang jika hilang, maka biasanya si pemilik tidak menghiraukan dan tidak mencari-carinya, seperti uang kecil, makanan ringan, pena dan semisalnya, maka jika barang tersebut ditemukan, boleh langsung dimiliki tanpa harus diumumkan. Namun, jika pemiliknya diketahui, maka harus diserahkan atau dikabarkan kepadanya. Berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwasannya Nabi pernah melewati sebutir kurma di jalan kemudian beliau bersabda :

    لَوْلَا أَنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الصَّدَقَةِ لَأَكَلْتُهَا

    “Seandainya aku tidak khawatir kurma ini dari shadaqah niscaya aku memakannya.”

  3. Barang yang jika hilang, maka biasanya dicari-cari oleh pemiliknya. Barang temuan seperti ini, jika dipungut, maka harus diumumkan selama setahun penuh. Jika pemiliknya datang, maka diserahkan kepadanya, jika tidak, maka menjadi milik si penemu.Misalnya, jika seseorang menemukan alat perekam senilai tiga ratus riyal, maka wajib baginya untuk mengenali ciri-cirinya, kemudian mengumumkannya selama setahun. Apabila pemiliknya datang, maka barang itu harus diserahkan kepadanya. Jika telah diumumkan setahun penuh namun pemiliknya tidak kunjung datang, maka menjadi milik si penemu.
  4. Hewan yang sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya karena tidak dibutuhkan lagi, maka hewan tersebut boleh langsung dimiliki oleh orang yang menemukan tanpa harus mengumumkannya. Seperti kambing kurus yang tidak mampu berjalan, yang secara kebiasaan diketahui bahwa si pemilik meninggalkannya karena sudah tidak membutuhkannya lagi, maka hewan tersebut boleh dimiliki oleh orang yang menemukannya.

    Sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhu, ia berkata :

    كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَأَعْيَا جَمَلِيْ ، فَأَرْدُتُ أَنْ أُسَيِّبَهُ، فَلَحِقَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعَا لَهُ، فَضَرَبَهُ، فَسَارَ سَيْرًا لَمْ يَسِرْ مِثْلَهُ.

    “Aku pernah bersama Nabi ﷺ dalam suatu safar, kemudian untaku menjadi lemah, maka aku ingin meninggalkan unta itu. Lalu Rasulullah ﷺ menyusulku seraya mendoakan unta itu dan memukulnya, seketika unta itu berjalan dengan kecepatan tidak seperti biasanya.”

  5. Hewan tersesat yang tidak bisa menjaga diri dari binatang buas kecil, seperti domba, kambing, unta kecil, sapi kecil dan semisalnya, maka hewan tersebut boleh diambil (dipungut) dan diumumkan selama setahun penuh. Jika pemiliknya datang, maka diserahkan kepadanya, namun jika tidak, maka menjadi milik si penemu. Berdasarakan sabda Nabi ketika ditanya tentang kambing tersesat:

    هِيَ لَكَ أَوْ لِأَخِيْكَ أَوْ لِلذِّئْبِ

    “Kambing itu untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.”

    Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Hewan tersesat yang tidak bisa menjaga diri dari hewan buas kecil, seperti domba, kambing, unta kecil dan semisalnya, maka hewan-hewan itu boleh diambil dan dipelihara. Apabila bertemu dengan pemiliknya, maka boleh minta ganti atas biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan. Jika ia khawatir biayanya lebih besar daripada harga hewan itu, maka hendaknya ia benar-benar mengenali ciri-cirinya, lalu menjualnya dan menyimpan uang hasil penjualan untuk pemiliknya. Jika kemudian pemiliknya datang dengan menyebutkan ciri-ciri yang sesuai dengan kenyataannya, maka ia berikan uang tadi kepada pemiliknya.”

  6. Hewan tersesat yang bisa menjaga diri dari binatang buas kecil, seperti unta, sapi, kuda, burung merpati dan semisalnya, maka hewan tersebut tidak boleh diambil. Karena hewan tersebut bisa menjaga diri dari bahaya yang mengancamnya, baik dengan kekuatan yang dimiliki atau kemampuannya bergerak cepat dan semisalnya. Jika hewan tersebut diambil, bisa jadi akan menyulitkan si pemilik untuk menemukannya. Disebutkan dalam hadits dari Zaid bin Khalid radhiyallahu’anhu ketika Rasulullah ﷺ ditanya tentang unta tersesat, maka beliau bersabda :

    دَعْهَا فَإِنَّ مَعَهَا حِذَاءَهَا وَسِقَاءَهَا تَرِدُ الْمَاءَ وَتَأْكُلُ الشَّجَرَ حَتَّى يَجِدَهَا رَبُّهَا

    “Biarkanlah unta itu, sesungguhnya ia memiliki alas kaki dan tempat minum sendiri, ia bisa mendatangi tempat air dan memakan tetumbuhan, sampai ditemukan oleh pemiliknya.”

    Demikian pula, barang-barang berukuran besar yang tidak dikhawatirkan diambil orang, seperti kayu besar, logam berat dan semisalnya, tidak boleh dipungut, karena barang itu akan diambil lagi oleh pemiliknya.

Beberapa Ketentuan Seputar Luqathah

Ada beberapa ketentuan terkait mengambil barang temuan sebagaimana uraian berikut ini :

  1. Tidak boleh memungut barang temuan di tanah haram (Mekah). Berdasarkan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda pada hari Fathu Makkah:

    إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ لَا يُعْضَدُ شَوْكُهُ، وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ، وَلَا يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلَّا مَنْ عَرَّفَهَا

    “Sesungguhnya negeri ini telah dimuliakan oleh Allah, tidak boleh dicabut durinya, tidak boleh diusir hewan-hewannya dan tidak boleh dipungut barang temuannya, kecuali bagi orang yang ingin mengumumkannya.”

    Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Apabila barang temuan itu di Mekah, maka tidak boleh diambil kecuali jika ingin mengumumkan selama-lamanya, maka ia sendiri mengumumkannya, kemudian anggota keluarga sepeninggalnya, kemudian orang-orang setelah itu sampai hari kiamat.”

    Demikian pula, tidak boleh mengambil barang yang tercecer dari jama’ah haji, meskipun di luar tanah haram. Berdasarkan hadits :

    عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ التَّيْمِيِّ، أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لُقَطَةِ الْحَاجِّ

    Dari ‘Abdurrahman bin ‘Utsman At-Taimiy, sesungguhnya Rasulullah ﷺ melarang dari memungut barang yang tercecer dari jama’ah haji.

    Adapun di masa sekarang, ketika jama’ah haji semakin banyak dan sulit mengumumkan barang temuan di pasar-pasar maupun di tempat-tempat berkumpulnya manusia, maka merupakan suatu kebaikan jika barang yang tercecer dari jama’ah haji diserahkan kepada bagian keamanan di tanah haram yang akan mengurusi barang-barang tersebut. Demikian pula karena umumnya manusia telah memaklumi bahwa barang-barang hilang biasanya disimpan oleh bagian keamanan. Hal itu akan lebih menjaga supaya barang itu tidak rusak dan akan lebih mudah ditemukan oleh pemiliknya.

  2. Adakalanya mengambil barang temuan hukumnya wajib, yaitu jika barang temuan itu di lokasi yang tidak aman, banyak pencuri ataupun orang-orang yang tamak terhadap harta, sehingga dikhawatirkan barang itu akan diambil dan dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, sedangkan si penemu yakin bisa menjaga barang temuan itu dan mampu mengumumkannya. Ketika itu terjadi, wajib mengambil barang temuan itu dalam rangka menjaga harta sesama muslim, terlebih lagi jika pemiliknya diketahui.
  3. Apabila seseorang menemukan barang temuan sedangkan ia merasa tidak mampu menjaga dan mengumumkannya, maka tidak boleh untuk mengambilnya.Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘utsaimin rahimahullah berkata, “Wajib bagi orang yang ingin mengambil barang temuan untuk merasa yakin (bisa menjaga dan mengumumkannya -pen), jika tidak yakin, maka tidak boleh mengambilnya. Adapun jika ia merasa yakin, maka apakah yang lebih utama ia mengambilnya atau membiarkannya? Kita katakan, “Jika barang itu berada di tempat yang rawan terkena kerusakan dan dikhawatirkan akan datang setelahnya orang yang tidak mengerti hukumnya, maka yang lebih utama adalah mengambil dan mengumumkannya. Adapun jika tidak seperti itu, maka yang afdhal adalah membiarkannya, karena jika ia ambil, maka diharuskan untuk mengumumkannya, sedangkan ada kemungkinan ia tidak mampu melakukannya.”
  4. Apabila seseorang mengambil luqathah berupa barang yang boleh dipungut dan dianggap bernilai oleh umumnya manusia, maka wajib baginya untuk mengumumkan (mempublikasikannya) selama setahun penuh. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ :

    اِعْرِفْ وِكَاءَهَا وَعِفَاصَهَا، ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً

    “Kenalilah pengikat dan wadahnya, kemudian umumkanlah selama satu tahun.”

    Hendaknya penemuan itu diumumkan ketika siang hari di pasar-pasar dan tempat-tempat berkumpulnya manusia, terutama di sekitar tempat penemuan barang, dengan menyebutkan jenis barang temuan itu tanpa menyebutkan ciri-cirinya, baik diumumkan oleh si penemu itu sendiri atau mewakilkan kepada orang lain. Dan di masa sekarang bisa juga diumumkan di media-media yang ada, baik surat kabar, siaran radio dan semisalnya. Kapan saja pemiliknya datang dengan menyebutkan jenis, sifat dan kadar barang tersebut, maka ketika itu wajib diserahkan kepadanya.

  5. Apabila seseorang mengambil barang temuan dan telah mengumumkannya selama setahun, namun pemiliknya tetap tidak diketahui, maka ia boleh memanfaatkan barang itu. Jika di kemudian hari pemiliknya datang, maka wajib untuk diganti. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ :

    فَإِنْ لَمْ تَعْرِفْ فَاسْتَنْفِقْهَا، وَلْتَكُنْ وَدِيعَةً عِنْدَكَ، فَإِنْ جَاءَ طَالِبُهَا يَوْمًا
    مِنَ الدَّهْرِ فَأَدِّهَا إِلَيْهِ

    “Jika pemiliknya tidak diketahui, maka manfaatkanlah dan barang itu dianggap sebagai titipan di sisimu, jika suatu hari pemiliknya datang, maka serahkanlah kepadanya.”

  6. Jika seseorang mengambil barang temuan, maka barang itu statusnya sebagai amanah yang dibawa oleh si penemu. Apabila barang itu hilang, rusak atau berkurang bukan karena keteledorannya, maka ia tidak wajib untuk menggantinya sebagaimana barang titipan. Adapun jika barang itu hilang atau rusak karena keteledorannya, maka ia wajib menggantinya dengan barang semisal, jika memang barang itu ada yang semisal dan jika tidak ada yang semisal, maka diganti harganya.
  7. Apabila barang temuan yang diambil berupa barang yang cepat rusak dan tidak bertahan untuk disimpan selama setahun, maka setelah dikenali ciri-cirinya, hendaknya barang itu dijual dan uangnya disimpan. Setelah diumumkan setahun, namun pemiliknya tidak kunjung datang, maka uang itu menjadi milik si penemu. Namun, jika pemiliknya datang, maka harus diserahkan kepadanya, meskipun sudah lebih dari setahun.
  8. Status barang temuan selama rentang waktu satu tahun diumumkan belum menjadi milik si penemu, sehingga ia tidak berhak melakukan tasharruf (menjual, menyewakan dan semisalnya) kecuali untuk kemaslahatan barang temuan itu sendiri. Adapun setelah sempurna diumumkan setahun, maka statusnya menjadi milik si penemu, boleh baginya untuk melakukan tasharruf terhadap barang itu, baik menjual atau tindakan lainnya, sesuai yang ia inginkan.
  9. Jika pembawa barang temuan meninggal dunia, maka ahli waris si penemu menggantikannya dalam mengumumkan barang itu, jika memang belum diumumkan selama setahun. Namun, berhak memiliki barang itu, jika telah sempurna diumumkan selama setahun. Dan kapan saja pemilik barang itu datang, maka boleh mengambil barang itu dari ahli waris sebagaimana ia boleh mengambilnya dari si penemu.

Disusun oleh:
Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A.

Artikel Alukhuwah.Com