Jelaskan apa yang dimaksud dengan rehabilitasi kerusakan kimia dan biologi tanah

© 2003 M. Anang Firmansyah                                                   Posted  17 November  2003

Makalah Individu

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pascasarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Npvember  2003

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

RESILIENSI TANAH TERDEGRADASI

Oleh:

M. Anang Firmansyah

Abstrak

Degradasi tanah di lingkungan tropika cukup besar bila ditinjau dari faktor pembentuk tanah dan akibat aktivitas manusia dalam pengelolaan lahan yang tidak sesuai kaidah konservasi lingkungan.  Faktor degradasi tanah dan proses terjadinya degradasi tanah mutlak untuk dikenali sehingga upaya rehabilitasi tanah terdegradasi dapat dilakukan dengan tepat sesuai kerusakan spesifik tanah terdegradasi.  Rehabilitasi tanah terdegradasi dapat dilakukan dengan pemberian amelioran, bahan organik merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh yang cukup murah dan dapat dilakukan di tingkat usahatani.  Rehabilitasi tanah terdegradasi merupakan upaya memperpendek tercapainya resiliensi sifat fisik, kimia dan biologi tanah, yaitu kondisi tanah semula sebelum terjadi proses degradasi.  Rehabilitas juga berdampak meningkatkan produktivitas tanah terdegradasi sehingga mampu mendukung sistem usahatani.


Kata Kunci:  degradasi, tanah, resiliensi, rehabilitasi

PENDAHULUAN

Tanah–tanah lahan kering tropika basah seperti di pulau-pulau besar  luar Pulau Jawa merupakan tanah yang rentan degradasi, selain disebabkan faktor alami juga akibat campur tangan manusia. Namun akhir-akhir ini Pulau jawa tidaj kalah intensifnya degradasi tanah, ditandai dengan kondisi banjir saat musim hujan dan kekeringan cukup parah saat musim kemarau.  Hal itu menunjukkan bahwa tanah tidak mampu lagi mengatur kelembaban, sehingga cepat mengering dan jenuh bila kondisi curah hujan berubah. Definisi degradasi tanah cukup banyak diungkapkan para pakar tanah, namun kesemuanya menunjukkan penurunan atau memburuknya sifat-sifat tanah apabila dibandingkan dengan tanah tidak terdegradasi.   Degradasi tanah menurut FAO (1977) adalah hasil satu atau lebih proses terjadinya penurunan kemampuan tanah secara aktual maupun potensial untuk memproduksi barang dan jasa. Definisi tersebut menunjukkan pengertian umum dengan cakupan luas tidak hanya berkaitan dengan pertanian; definisi yang terkait erat dengan pertanian atau produksi tanaman dikemukakan oleh Arsyad (1989) yang menyamakan antara degradasi tanah dengan kerusakan tanah yaitu hilang atau menurunnya fungsi tanah sebagai matrik tempat akar tanaman berjangkar  dan air tanah tersimpan, tempat unsur hara dan air ditambahkan.

Makalah ini bertujuan untuk memahami faktor-faktor terjadinya degradasi tanah, proses dan karakteristik tanah terdegradasi, serta upaya memperpendek tercapainya resiliensi melalui upaya rehabilitasi tanah terdegradasi.

FAKTOR-FAKTOR DEGRADASI TANAH

Faktor degradasi tanah umumnya terbagi 2 jenis yaitu akibat faktor alami dan akibat faktor campur tangan manusia. Menurut Barrow (1991) faktor alami penyebab degradasi tanah antara lain: areal berlereng curam, tanah mudah rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain.  Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antara lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat.  Oldeman (1994) menyatakan lima faktor penyebab degradasi tanah akibat  campur tangan manusia secara langsung, yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan,  dan aktivitas industri dan bioindustri. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Lal (1986) mengemukakan bahwa faktor penyebab tanah terdegradasi dan rendahnya produktivitas, antara lain: deforestasi, mekanisasi dalam usahatani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian, dan  penanaman secara monokultur. Faktor-faktor tersebut di Indonesia umumnya terjadi secara simultan, sebab deforestasi umumnya adalah langkah permulaan degradasi lahan, dan umumnya tergantung dari aktivitas berikutnya apakah diotelantarkan, digunakan ladang atau perkebunan maka akan terjadi pembakaran akibat campur tangan manusia yang tidak terkendali.

Umumnya telah sepakat bahwa faktor-faktor penyebab degradasi baik secara alami maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan menurunnya produktivitas tanah.  Pada sistem usahatani tebas dan bakar atau perladangan berpindah masih tergantung pada lama waktu bera agar tergolong sistem usaha yang berkelanjutan secara ekologis.  Secara khusus disebutkan bahwa sistem tersebut pada beberapa daerah marjinal dan tekanan populasi terhadap lahan cukup tinggi, kebutuhan ekonomi makin meningkat mengakibatkan masa bera makin singkat sangat merusak dan menyebabkan degradasi tanah dan lingkungan (Lal, 1986).   Lahjie (1989) menyatakan kondisi tanah menentukan lamanya masa bera, pada tanah subur di Datah Bilang Kabupaten Kutai maka jekau betiq muda (vegetasi Æ 10 cm) dicapai pada umur 4 tahun, sedangkan pada tanah kurang subur seperti di Long Urug Kabupaten Bulungan dicapai pada umur 8 tahun.   Ahn (1993) menyatakan masa bera telah memendek dari masa bera umumnya  yaitu lebih dari 10 – 20 tahun. Von Vexkul (1996) menyatakan bahwa lama masa bera yang berkelanjutan dalam banyak kasus telah menurun kurang dari 5 tahun. Berdasarkan hasil kajian diatas patokan masa bera yang berkelanjutan tergantung juga kepada kondisi kesuburan tanah, pada tanah ladang yang subur maka masa bera lebih pendek dibandingkan tanah ladang tidak subur.  Driessen et al., (1976) menyatakan bahwa pada tanah ladang Podzolik di Tamiyang Layang Kalimantan Tengah mengalami penurunan produktivitas  mula-mula disebabkan memburuknya morfologi, sifat fisik dan  sifat kimia tanah.  Namun setelah 5 tahun penggunaan tanah penurunan produktivitas disebabkan karena slaking sehingga terjadi erosi , menyebabkan tanah kehilangan lapisan atas yang umumnya mengandung lebih dari 80% unsur hara di dalam profil tanah.  Hal tersebut sejalan dengan penelitian McAlister et al., (1998) bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al tinggi dan persentase kejenuhan basa rendah di subsoil setelah 2 – 5 tahun pembakaran.  Tanah menjadi subyek erosi, subsoil menjadi media tumbuh tanaman, dan tingginya tingginya konsentrasi  Al pada tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan basa mendorong penurunan produksi tanaman.

Pengaruh antropogenik terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi apabila tanah diusahakan bukan untuk non pertanian.  Perhitungan kehilangan tanah yang ditambang untuk pembuatan bata merah sangat besar.  Manik dkk (1997) menghitung kehilangan tanah akibat pembuatan bata merah di Bandar Lampung sekitar 4.510,4  Mg ha-1 yang merupakan 201,4 kali lebih besar dari erosi rata-rata.   Hidayati (2000) menyatakan akibat penimbunan permukaan tanah dengan tanah galian sumur tambang emas di Sukabumi mengakibatkan penurunan status hara, menurunkan populasi mikroba dan artropoda tanah, dan merubah iklim mikro.

Laju deforestrasi di Indonesia sebesar 1,6 juta ha per tahun; sedangkan luas lahan kritis hingga awal tahun 1999/2000 keseluruhan seluas 23,2 juta ha, dan 1,8 juta ha di Kalimantan tengah (Dephut, 2003).  Deforestasi mengakibatkan penurunan sifat tanah.  Handayani (1999) menyatakan bahwa deforestrasi menyebabkan kemampuan tanah melepas N tersedia (amonium dan nitrat) menururn.  Tanah hutan mampu melepas N tersedia 30 mg N kg-1 tanah dalam 7 hari, sedangkan pada hutan yang telah ditebang  6 bulan sebesar 26,5 mg N kg-1 tanah, dan apabila digunakan untuk pertanian maka N tersedia yang dapat dilepas tinggal 20 mg N kg-1 tanah.  Tian (1998) menyatakan degradasi lahan akibat land clearing dan penggunaan untuk pertanaman secara terus-menerus selama 17 tahun memicu hilangnya biota tanah dan memburuknya sifat-sifat fisik dan kimia tanah.  Dibandingkan tanah non terdegradasi, maka tanah terdegradasi lebih rendah 38% C organik tanah, 55% lebih rendah basa-basa dapat ditukar, 56% lebih rendah biomass mikrobia, 44% lebih rendah kerapatan mikroartropoda, sebaliknya 13% lebih tinggi berat isi dan 14% pasir.  Nilai pH tanah non terdegradasi lebih tinggi daripada tanah terdegradasi.  Begitu pula ditemukan bahwa dekomposisi daun dan pelepasan unsur hara lebih rendah pada tanah terdegradasi daripada non terdegradasi selama 150 hari percobaan. 

Kebakaran hutan seringkali terjadi, data menunjukkan bahwa luas kebakaran hutan di Indonesia 5 tahun terakhir terluas pada tahun 1998 sebesar 515.026 ha, sedangkan pada tahun 2002 sebesar 35.496 ha (Dephut, 2003).  Karakteristik tanah terbakar di Sumatera ditinjau dari warna tanah masih dapat bertahan 12 minggu setelah hutan terbakar, nilai value dan chroma menurun dan hue menjadi lebih kuning.  Kebakaran menyebabkan perubahan warna agregat luar memiliki hue dan chroma lebih rendah dan hue menjadi lebih merah dibandingkan warna dalam agregat. Selama itu terjadi penurunan Cadd dan meningkatnya kejenuhan Al. Penggunaan warna tanah setelah kebakaran untuk menduga kesuburan tanah sangat terbatas, sebab kesuburan tanah berubah lebih cepat daripada warna tanah (Ketterings and Bighman, 2000). Kebakaran hutan terutama pada tanah yang terdapat tunggul atau log mengalami perubahan mineral filosilikat.  Pada kedalaman 0 – 8 cm pada pasca kebakaran maka kaolin (kaolinit dan haloisit) hancur secara sempurna, sedangkan vermikulit, klorit, klorit-vermikulit, dan hidroksi interlayer vermikulit jarak basalnya d001 mengerut hingga 0,1 nm atau terlapuk (Ulery et al., 1996).   Kebakaran hutan  berdampak pada penurunan aktivitas enzim (Boerner et al, 2000), menurunkan biomas akar kedalaman 0 - 10 cm dan sekitar 47% biomas akar hilang pada kedalaman 0 - 2 cm,  serta menurunkan produktivitas akar hingga 86% (Castellanos et al., 2001), kebakaran  berdampak besar pada peningkatan BD dan  kehilangan C pada lapisan 0 - 5 cm  dibandingkan dengan 5 – 10 cm dan berpengaruh kecil pada lapisan  30 cm (Pennington et al, 2001), kebakaran juga menyebabkan penurunan laju respirasi hingga 26 %  pada aktivitas dan komunitas mikroba diakibatkan  peracunan dissolved organic carbon (DOC) karena hilangnya asam karboksilik organik (Fritze et al., 1998), kebakaran juga menyebabkan meningkatnya ammonium, P tersedia, Na+, K+, Mg2+, menurunkan nitrat, KTK dan Ca2+, bahan organik, sedangkan erosi akibat kebakaran dapat berkisar 56 dan  45  kali lebih tinggi dibandingkan  tanah tidak terbakar masing-masing pada intensitas tinggi dan sedang di Mediterania (Garcia et al, 2000).

KARAKTERISASI TANAH TERDEGRADASI

Karakteristik tanah terdegradasi umumnya diukur dengan membandingkan dengan tanah non terdegradasi yaitu tanah hutan.  Pembandingan tanah hutan sebagai tanah non terdegradasi karena memiliki siklus tertutup artinya semua unsur hara di dalam sistem tanah hutan berputar dan sangat sedikit yang hilang atau keluar dari sistem siklus hutan.  Sedangkan selain tanah hutan merupakan sistem terbuka dimana siklus hara dapat hilang dari sistem tersebut.  Penurunan sifat pada tanah untuk penggunaan non hutan akan menunjukkan memburuknya sifat-sifat tanah.  Handayani (1999) menyatakan bahwa tanah Ultisol Bengkulu di vegetasi hutan habis tebang 4 bulan  dan tanah pertanian yang diusahakan 3 tahun  terjadi penurunan kemampuan menyediakan N anorganik  sebesar 12 - 13% dibandingkan tanah hutan.  Selain itu terjadi penurunan intensitas mineralisasi N pada lahan pertanian sebesar 39% pada kedalaman tanah 0 – 10 cm.  Hal ini menunjukkan bahwa tanah hutan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan tanah pertanian.  Konversi penggunaan lahan hutan ke pertanian telah menyebabkan degradasi pada siklus N akibat rendahnya sumber pool N-labil. 

          Penelitian lain yang membandingkan tanah hutan (non terdegradasi) dan alang-alang serta lahan tebu (terdegradasi) dilakukan di Lampung Tengah.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan N total tanah hutan lebih tinggi daripada tanah alang-alang dan kebun tebu masing-masing 0,26, 0,17, 0,16%. Hasil KTK pun menunjukkan kecenderungan sama dimana tanah hutan tertinggi sebesar 7,15 me 100g-1, lahan alang-alang sebesar 6,37 me 100g-1 dan kebun tebu sebesar 4,66 me 100g-1.  Proses pencucian ternyata intensif di tanah alang-alang terlihat dari ketebalan horison E sebesar 40 cm, sedangkan hutan sebesar 30 cm, sedangkan kebun tebu hanya 20 cm diakibatkan pengolahan tanah dalam (Armanto, 2001).

PROSES DEGRADASI TANAH

Lima proses utama yang terjadi timbulnya tanah terdegradasi, yaitu: menurunnya bahan kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat, memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian unsur hara (Lal, 1986).  Khusus untuk tanah-tanah tropika basah terdapat tiga proses penting terjadinya degradasi tanah, yaitu: 1) degradasi fisik berhubungan dengan memburuknya struktur tanah sehingga memicu pergerakan, pemadatan, aliran banjir berlebihan, dan erosi dipercepat, 2) degradasi kimia berhubungan dengan terganggunya siklus C, N, P, S dan unsur lainnya, dan 3) degradasi biologi berhubungan dengan menurunnya kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, aktivitas biotik dan keragaman spesies fauna tanah (Lal, 1995).  Degradasi tanah pada lahan alang-alang di Lampung Tengah dengan  curah hujan tahunan > 2.300 mm th-1  disebabkan karena pencucian intensif akibat kanopi alang-alang tidak mampu menahan pukulan energi hujan.  Tanah lahan alang-alang terjadi pemiskinan kesuburan tanah karena pencucian dan juga komposisi alang-alang yang didominasi Si (2,66%) dan hara mikro Mn (97,8 ppm), Zn (9,0 ppm) dan Cu (6,3 ppm), sedangkan kandungan N, P, K sangat rendah.  Kejenuhan Al dan Aldd lebih tinggi pada lapisan atas (0-10 cm) dibandingkan lapisan bawah (10-20 cm).  Selain itu pada sifat fisik kerapatan isi antara lapisan atas dan bawah sama sebesar 1,34 Mg m-3.

KLASIFIKASI TANAH  TERDEGRADASI

          Klasifikasi tanah terdegradasi cukup banyak dimunculkan diantaranya adalah GLASOD (Globall Assessmen of Soil Degradation), suatu proyek yang dirancang UNEP (United Nations Environment Programme) yang dikoordinir olrh ISRIC (International Soil Reference and Information Centre)  bekerjasama dengan ISSS (International Soil Society of Soil Science). The Winand Staring Centre for Integrated Land, Soil and Water Research (SC/DLO), and Food and Agricultural Organization (FAO).    Klasifikasi GLASOD didasarkan atas keseimbangan antara kekuatan rusak iklim dan resisensi alami kelerengan terhadap kekutan merusak akibat intervensi manusia, sehingga dihasilkan penurunan kapasitas tanah saat ini atau kedepan untuk mendukung kehidupan manusia.    Tipe degradasi tanah terbagi 2 macam, pertama berhubungan dengan displasemen bahan tanah yang terdiri dari erosi air (hilangnya top soil dan deformasi lereng) dan erosi angin (hilangnya top soil, deformasi lereng, dan overblowing).  Kedua berdasarkan deteroriasi in situ terdiri dari degradasi kimia (hilangnya unsur hara/ bahan organik, salinisasi, acidifikasi, dan polusi), dan degradasi fisik (kompaksi, crusting , sealing, banjir, subsiden bahan organik).  Derajat tipe degradasi terbagi menjadi rendah sedang, kuat dan ekstrim, dengan faktor penyebab adalah deforestasi, overgrazing, kesalahan pengelolaan pertanian, eksploitasi berlebihan, dan aktivitas industri (Oldeman, 1994)

          Menurut Eswaran et al., (2001) klasifikasi  tersebut lebih banyak berdasarkan faktor iklim dan penggunaan lahan daripada kondisi lahan  aktual atau saat in.

DAMPAK DEGRADASI TANAH TERHADAP PRODUKTIVITAS

Degradasi tanah berdampak terhadap peurunan produktivitas tanah.  Kehilangan produktivitas dicirikan terjadinya erosi akibat tanah terdegradasi diperkirakan 272 juta Mg pangan dunia hilang berdasarkan tingkat produksi tahun 1996 (Lal, 2000).  Tanah yang mengalami kerusakan sifat fisik, kimia dan biologi memiliki pengaruh terhadap penurunan produksi padi mencapai 22% pada lahan semi kritis, 32% pada lahan kritis, dan 38% pada sangat kritis; sedangkan untuk kacang tanah mengalami penurunan 9%, 46%, 58% masing-masing pada tanah semi kritis, kritis, dan sangat kritis.  Sifat tanah yang berkorelasi nyata terhadap  produksi padi adalah kedalaman solum, kandungan bahan organik. P2O5 tersedia, Fe dan Cu; sedangkan pada kacang tanah adalah kedalaman solum, ketebalan topsoil, kandungan bahan organik, P2O5 tersedia, P2O5 total, K2O total, Fe, Cu dan Zn (Sudirman dan Vadari, 2000).

PENTINGNYA REHABILITASI TANAH TERDEGRADASI DALAM UPAYA MEMPERPENDEK TERCAPAINYA RESILIENSI

DAN MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS

Resiliensi (resilience) sebagai kata benda adalah ukuran kemampuan sistem tanah untuk kembali kepada kondisi asli, sedangkan resiliensi sebagai kata sifat berarti kemampuan sangga tanah atau ketahanan tanah terhadap perubahan (Eswaran, 1994). Konsep resiliensi adalah mengevaluasi kemampuan tanah untuk kembali kepada tinkat penampilan semula, jika tanah tersebut mengalami degradasi atau terjadi penurunan sifat-sifatnya dalam konteks dimensi waktu dan nilai.  Resiliensi merupakan upaya dari rehabilitasi (Eswaran, 1994), sedangkan Lal (1994) menyatakan resiliensi tanah tergantung kepada keseimbangan antara restorasi tanah dan degradasi tanah.  Proses degradasi di lahan kering antara lain memburuknya struktur tanah, gangguan terhadap siklus air, karbon dan hara; sedangkan restorasinya meliputi pembentukan mikroagregat mantap, mekanisme humifikasi dan biomass C tanah, meningkatkan cadangan hara dan mekanisme siklus hara, dan keragaman hayati.

Seybold (1999) menyatakan terdapat 3 pendekatan untuk mengkaji resiliensi tanah antara lain: 1) mengukur secara langsung recovery setelah terjadinya gangguan, 2) melakukan kuantifikasi terpadu mekanisme recovery setelah terjadinya gangguan, dan 3) mengukur sifat-sifat yang mendukung indikator mekanisme recovery tersebut.  

Rehabilitasi tanah terdegradasi dapat ditinjau dari sifat tanah yang mengalami penurunan dan diupayakan dilakukan perbaikan dengan menggunakan amelioran.  Menurut Dent (1993) bentuk degradasi tanah yang terpenting di kawasan Asia antara lain adalah erosi tanah, degradasi sifat kimia berupa penurunan bahan organik tanah dan pencucian unsur hara. Berdasarkan penelitian Herrik and Wander (1998 diacu dalam Seybold et al., 1999) resiliensi tanah dapat dilakukan berdasarkan kuantifikasi percobaan melalui pengukuran lajunya (persamaan 1), atau dikembangkan menjadi recovery setelah gangguan (persamaan 2); sedangkan resistensi ditunjukkan sebagai perbandingan kapasitas fungsi tanah setelah gangguan dan kapasitasnya sebelum terganggu (persamaan 3).  Resistensi tanah dalam istilah ini berhubungan dengan kualitas tanah dalam arti recovery fungsi tanah; sedangkan resistensi tanah berhubungan dengan kualitas tanah dalam arti derajat perubahan tanah dalam fungsi tanah sebagai hasil gangguan.  Selama gangguan, kualitas tanah menjadi fungsi resistensi tanah, sedangkan setelah gangguan maka kualitas tanah merupakan fungsi dari resiliensi tanah.

Laju recovery = d [(B - C) : (A - C)] : dt

Recovery = (B - C) : (A - C)

Resistensi = C : A

(1)

(2)

(3)

Dimana, A adalah kemampuan tanah sebelum terganggu atau non terdegradasi atau tanah hutan sekunder , B adalah tingkat recovery atau sifat tanah terdegradasi yang telah melalui upaya rehabilitasi, dan C adalah tingkat fungsi tanah segera setelah mengalami gangguan atau tanah terdegradasi pada saat sebelum diberikan perlakuan rehabilitasi.

Formula untuk mengukur degradasi dan non degradasi tanah pada makrofauna pendekomposisi serasah daun/kehilangan berat kering (MD) atau pelepasan unsur hara (MN) Seastedt (1984 diacu dalam Tian, 1998) adalah sebagai berikut:

MD atau MN = (A - B)/(100 - B) x 100 %

Dimana A merupakan persentase kehilangan bobot kering daun atau unsur hara yang terkandung dalam kantong mesh halus, dan B merupakan mkehilangan berat kering daun atau unsur hara yang terkandung dalam kantong mesh kasar.  Persamaan lain yang menunjukkan bahwa degradasi tanah menurunkan dekomposisi daun dan pelepasan unsur hara yaitu pengaruh degradasi tanah (DD), yang dihitung dengan persamaan berikut:

DD = (D – N)/(100-N) x 100%

Dimana D merupakan persentase kehilangan berat kering daun atau unsur hara yang terkandung di dalam tanah terdegradasi, dan N merupakan persentasekehilangan berat kering daun atau unsur hara yang terkandung di dalam tanah non terdegradasi.

Rehabilitasi terhadap degradasi sifat fisik tanah

Degradasi sifat fisik tanah umumnya disebabkan memburuknya struktur  tanah, sehingga upaya perbaikan sifat tersebut mengarah terhadap perbaikan struktur tersebut. Zhang et al., (1997) menyatakan bahwa penggunaan gambut terhumifikasi rendah dengan BD 0,10 Mg m-3 memiliki pengaruh lebih besar daripada gambut terhumifikasi tinggi dengan BD 0,29 Mg m-3 dalam menurunkan kompaktibilitas tanah.  Penelitian tersebut juga menemukan bahwa bahan organik lebih efektif untuk tanah dengan kompaktibilitas tinggi, ketahanan penetrasi maksimum tanah liat menurun dari 0,64 menjadi 0,30 MPa, dan pada tanah berpasir meningkat dari 0,64 menjadi 1,08 MPa.  Penelitian lain yang menggunakan amelioran gambut dan juga kompos dilakukan oleh Saidi (1994)  tenyata pemberian bahan tersebut dapat memperbaiki sifat fisik tanah berupa peningkatan total ruang pori, perbaikan aerasi tanah, pori air tersedia, permeabilitas tanah dan menurunkan ketahanan penetrasi. Pemberian dosis 20 Mg ha-1 dapat meningkatkan aerasi diatas 12%, sedangkan pada takaran 10 Mg ha-1 sudah dapat memperbaiki ketahanan penetrasi.  Penelitian Afandi et al., (1997) ternyata upaya rehabilitasi ultisol melalui pencampuran lapisan atas dengan lapisan bawah tidak berpengaruh terhadap sifat fisik tanah.

 Upaya perbaikan sifat fisik tanah utamanya dalam pemantapan agregat tanah yang memiliki tekstur lepas menggunakan polimer organik.  Polyacrilamide (PAM) berberat molekul tinggi dan bermuatan negatif sedang mampu memantapkan permukaan tanah, menurunkan runoff dan erosi (Shainberg et al., 2002).  Nadler et al., (1996) melakukan penelitian pemberian PAM  pada tanah Typic Haplargid  lempung berpasir ternyata mampu memantapkan struktur pada dosis rendah 25 – 75 mg kg-1. Selain memantapkan struktur tanah maka pemberian  PAM sebanyak 15 kg ha-1 mampu mengendalikan sealing, crusting dan menurunkan runoff serta erosi (Zhang and Miller, 1996).  Penelitian PAM juga pernah dilakukan pada agregasi lahar dingin Gunung Merapi dengan kadar pasir 89,7% ternyata mampu menurunkan ketahanan penetrasi dari 1,31 menjadi 0,50 kg m-2, menurunkan BD dari 1,29 menjadi 1,13 Mg m-3, meningkatkan porositas total dari 51,4% menjadi 57,5%, dan menaikkan kadar air tersedia dari 10,6 menjadi 13,5% berat (Wardoyo, 1992).

Rehabilitasi degradasi sifat kimia dan biologi tanah

Rehabilitasi pada tanah terdegradasi yang dicirikan dengan penurunan sifat kimia dan biologi tanah umumnya tidak terlepas dari penurunan kandungan bahan organik tanah, sehingga amelioran yang umum digunakan  berupa bahan organik sebagai agen resiliensi. Pemberian bahan organik jerami atau mucuna sebanyak 10 Mg ha-1 dapat memperbaiki sifat-sifat tanah Typic Haplohumult (Gajruk) yaitu: meningkatkan aktivitas mikroba, meningkatkan pH H2O, meningkatkan selisih pH, meningkatkan pH NaF (mendorong pembentukan bahan anorganik tanah yang bersifat amorf), meningkatkan KTK pH 8,2 atau KTK variabel yang tergantung pH, menurunkan Aldd dan meningkatkan C-organik tanah.  Penurunan Aldd selain disebabkan oleh kenaikan pH dan pengikatan oleh bahan-bahan tanah bermuatan negatif, juga disebabkan pengkhelatan senyawa humik.  Peranan asam fulvik dalam mengkhelat Al jauh lebih tinggi dibandingkan asam humik sekitar tiga kalinya (Winarso, 1996).

Tian et al., (1999) menyatakan bahwa dalam pertanian tradisional maka pemanfaatan cover crop pada masa bera dapat meningkatkan produktivitas tanah berliat aktivitas rendah di tropika basah Pueraria phaseloides diperkirakan dapat memfiksasi 172 kg N-1 dari atmosfer selama siklus 2 tahun.  Penelitian lainnya yang menggunakan tanaman penutup tinggi yaitu pohon juga diteliti oleh Tiasn et al., (2001) bahwa Leucaena leucochephala dan Acacia leptocarpa merupakan spesies yang menjanjikan untuk ditanam saat masa bera dengan tujuan regenerasi tanah di tropika basah.  Tingginya polifenol yang dihasilkan dari serasah daun mampu mengikat protein selama dekomposisi daun, sehingga terjadi immobilisasi N, hal tersebut merupakan peranan utama polifenol dalam bahan organik tanah dan peningkatan N pada tanah terdegradasi. 

Bahan organik sebagai bahan rehabilitasi juga didapat dari limbah, terutama limbah industri kelapa sawit yang banyak di luar Pulau Jawa. Manik (2002) menyatakan bahwa penambahan tandan kosong kelapa sawit sebanyak 96 Mg ha-1 mampu meningkatkan pH tanah, kandungan P, K, Mg, dan KTK tanah, serta meningkatkan produksi tandan buah segar sebesar 16,3%.  Widhiastuti (2002) pemanfaatan limbah cair kelapa sawit atau POME (Palm Oil Mill Effluent) meningkatkan karbon mikroorganisme C-mic, dengan kecenderungan makin lama limbah diaplikasikan kandugnan C-mic makin meningkat.  Pada aplikasi limbah POME tahun 1990 kandungan C-mic mencapai 256 mg g-1, aplikasi limbah POME tahun 1991 kandungan C-mic mencapai 156 mg g-1, aplikasi POME tahun 1992 didapat C-mic sebesar 117  mg g-1, sedangkan pada perkebunan sawit rakyat tanpa pemupukan hanya 34 mg g-1 dan perkebunan dengan pemupukan anorganik sebesar 59 mg g-1.  C mic merupakan indikator utama suatu sistem terdegradasi atau ter-recovery (Smith et al., 1992).

Amelioran lain yang umum digunakan pada tanah-tanah tropika adalah kapur.  Pengapuran umumnya ditujukan untuk menetralkan Aldd terutama pada tanaman yang peka terhadap keracunan Al.  Biasanya meningkatkan pH tanah hingga 5,5, sedangkan bila karena keracunan Mn, maka pH perlu dinaikkan hingga 6,0 (Ahn,1993).

KESIMPULAN

1.            Faktor degradasi tanah dapat terjadi secara alami dan dipercepat akibat aktivitas manusia seperti deforestasi, perladangan berpindah, kebakaran hutan, tambang.

2.            Degradasi tanah menurunkansifat-sifat tanah dan  produktivitas tanah.

3.            Rehabilitasi tanah merupakan upaya memperpendek pencapaian resiliensi tanah terdegradasi.

4.            Penggunaan amelioran, bahan organik merupakan salah satu upaya untuk rehabilitasi tanah terdegradasi.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, R. Widiastuti, dan M. Utomo.  1997.  Upaya rehabilitasi sifat fisika tanah Ultisol melalui pencampuran tanah lapisan atas, lapisan bawah dan bahan organik.  J. Tanah Trop. 4:83-88.

Ahn, P.M. 1993.  Tropical soils and fertilizer use.  Longman Science & Technical.  263p.

Arsyad, S.  1989.  Konservasi tanah dan air.  IPB Press.  290 hal.

Armanto, M.E.  2001.  Karakteristik sifat-sifat tanah yang diusahakan sebagai kebun tebu, hutan dan lahan alang-alang.  J. Tanah Trop. 12:107-115.

Barrow, C.J.  1991.  Land degradation.  Cambridge University Press.  295p.

Boerner, R.E.J., K.L.M. Decker, and E.K. Sutherland.  2000.  Prescribed burning effects on soil enzyme activity in a southern Ohio hardwood forest: a landscape-scale analysis.  Soil Biology & Biochemistry. 32:899-908.

Saidi, B.B.  Rehabilitasi sifat fisik Ultisol (Typic Kandiudult) Sitiung dengan kompos dan Gambut.  Tesis IPB.  167 hal.

Castellanos, J., V.J. Jaramillo, R.L. Sanford Jr, and J.B. Kauffman.  2001.  Slash-and-burn effect on fine root biomass and productivity in a tropical dry forest ecosystem in Mexico.  Forest Ecology and Management.  148:41-50.

Dent, F.J.  1993.  Toward a standart methodology for the collection and analysis of land degradation data.  Proposal for discussion.  Expert Consultation of the Asian Network on Problem Soils.  25-29 October 1993, Bangkok Thailand.

Dephut.  Statistik Kehutanan.  http://www.dephut.org.id/. dikunjungi 23 September 2003.

Driessen, P.M., P. Buurman, and Permadhy.  1976.  The influence of shifting cultivation on a Podzolic soil from Central Kalimantan.  Proceedings Peat and Podzolik Soils anTheir Potential for Agriculture in Indonesia.  Bulletin 3.  Soil Researc Institute. pP:95-114.

Eswaran, H.  1994.  Soil resilience and sustainable land management in the context of AGENDA 21.  Greenland, D.J. and I. Szabolcs (editor).  Soil resilience and the sustainable land.  CAB International.  p:19-32.

_________, R. Lal, and P.F. Reich.  2001.  Land degradation: an overview.  Bridges, E.M., I.A. Hannan, L.R. Oldeman, F.W.T.P. de Vries, S.J. Scherr and S. Sombatpanit (editor). Response to land degradation.  Science Publishers, Inc. P:20-35.

FAO.  1977.  FAO soil bulletin: assesing soil degradation.  UN.  Rome.  83p.

Fritze, H., T. Pennanen, and V. Kitunen.  1998.  Characterization of dissolved organic carbon from burned humus and its effects on microbial activity and community structure.  Soil Biol. Biochem.  30(6):687-693.

Garcia, E.G.  V. Andreu, dan J.L. Rubio.  Changes in organic matter, nitrogen, phosphorus and cations in soil as a result of fire and water erosion in a Mediterranean landscape.  European Journal of Soil Science.  51:201-210.

Ketterings, Q.M.  and J.M. Bighman.  2000.  Soil color as an indicator of slash-and-burn fire severity and soil fertility in Sumatra , Indonesia.  Soil Sci. Soc. Am. J. 64:1826-1833.

Lahjie, A.M. 1989.  Praktek perladangan oleh penduduk asli dan pendatang di Kalimantan Timur.  Proceeding of the Pusrehut seminar on reforestration and rehabilitation to develop the tropical rain forest and to support human prosperity and ecosystems.  Mulawarman University.  163-178p.

Lal, R.  1986.  Soil surface management in the tropics for intensive land use and high and sustained production.  Stewart, B.A.(editor).  Advances in soil science volume 5.  Springer-Verlag  New York Inc. p:1-110.

_____.  1994.  Sustainable land use system and soil resilience.  Greenland, D.J. and I. Szabolcs (editor).  Soil resilience and the sustainable land.  CAB International.  p:41-67.

_____. 1995.  Sustainable management of soil resources in the humid tropics.  United Nations University Press.  Tokyo.  146p.

_____. 2000.  Soil management in the developing countries.  Soil Science.  165(1):57-72.

Handayani, I.P.  1999.  Kuantitas dan variasi nitrogen-tersedia pada tanah setelah penebangan hutan.  J. Tanah Trop. 8:215-226.

Hidayati, N.  2000.  Degradasi lahan pasca penambangan emas dan upaya reklamasinya: kasus penambangan emas Jampang-Sukabumi. PROSIDING Konggres Nasional VII HITI: Pemanfaatan sumberdaya tanah sesuai dengan potensinya menuju keseimbangan lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.  Bandung 2 - 4 Nopember 1999.  Buku I.  Himpunan Tanah Indonesia.   Hal: 283-294.

Manik, K.S.E., K.S. Susanto, dan Afandi.  1997.  Degradasi lahan akibat proses antropogenik :studi kasus pembuatan batu bata di sekitar Bandar Lampung.  J. Tanah Trop. 4:95-98.

___________.  2002. Pperubahan beberapa sifat kimia tanah akibat pemberian tandan kosong pada areal tanaman kelapa sawit di PT.  Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Rejosari Lampung Selatan.  J. Tanah Trop. 14:111-115.

McAlister, J.J., B.J. Smith, and B. Sanchez.  1998.  Forest clearence: impact of landuse change on fertility status of soils from the Sao Francisco area of Niteroi, Brazil.  Land Degradation & Development.  9:425-440.

Nadler, A., E. Perfect, and B.D. Kay.  1996.  Effect of polyacrylamide application on stability of dry and wet aggregates.  Soil Sci. Soc. Am. J.  60:555-561.

Oldeman, L.R.  1994.  The global extent of soil degradation.  Greenland,D.J. and I. Szabolcs (editor).  Soil resilience and sustainable land use.  CAB International. p:99-118.

__________.  1994.  An international methodology for an assessment of soil degradation land georeferenced soils and terrain database.  The Collection and Analysis of Land Degradation Data: Report of the Expert Consultation of the Asian Network on Problem soils.  Bangkok, Thailand, 25-29 Oktober 1994.  FAO.  P:35-68.

Pennington, P., M. Laffan, R. Lewis, and P. Otahal.  2001.  Assessing the long-term impacts of forest harvesting and high intensity broadcast burning on soil properties at the Warra LTER Site.  Tasforest. 13 (2):291-301.

Seybold, C.A., J.E. Herrick, and J.J. Brejda.  1999.  Soil resilience: a fundamental component of soil quality.  Soil Science. 164(4):224-234.

Shainberg, I., A.I. Mamedov, and G.J. Levy.  2002.  Controlling erosion wiyh polymers.  Proceedings 12th International Soil Conservation, May 26-31, 2002 Beijing China. Tsinghua University Press.  p:551-557.

Smith, J.L., R.I. Papendick, D.F. Bezdicek, and J.M. Lynch.  1992.  Soil organic matter dynamics and crop residue management. In Soil microbial ecology: applications in agricultural and environmental management.  F.B. Metting Jr. (editor). Marcel Dekker Inc.  p:65-94.

Sudirman dan T. Vadari.  2000.  Pengaruh kekritisan lahan terhadap produksi padi dan kacang tanah di Garut Selatan. PROSIDING Konggres Nasional VII HITI: Pemanfaatan sumberdaya tanah sesuai dengan potensinya menuju keseimbangan lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.  Bandung 2-4 Nopember 1999.  Buku I.  Himpunan Tanah Indonesia.   Hal: 411-417.

Tian G.  1998.  Effect of soil degradation on leaf decomposition and nutrient release under humid tropical conditions.  Soil Science. 163(11):897-906.

_____, G.O. Kolawole, F.K. Salako, and B.T. Kang.  1999.  An improved cover crop-fallow system for sustainable management of low activity clay soils of the tropics.  Soil Science.  164(9):671-682.

_____, F.K. Salako, and F. Ishida.  2001.  Replenishment of C, N, and P in a degraded Alfisol under humid tropical condition: effect of fallow species and litter polyphenols.  Soil Science.  166(9):614-621.

Ulery, A.L., R.C. Graham, and L.H. Bowen.  1996.  Forest fire effects on soil phyllosilicates in California.  Soil Sci. So. Am. J.  60:309-315.

Von Vexkull, H.  1996.  Constraint to agricultural production and food security in Asia: challenges and opportunities.  Proceeding: nutrien management for sustainable food production in Asia.  Bali: December 9-12, 1996.  p:1-28.

Wardoyo, S.S.  1992.  Pengaruh polyacrylamide (PAM) dan bahan organik terhadap agregasi lahar dingin Gunung Merapi dan perkecambahan biji Flemigia congesta.  Tesis IPB. 86 hal.

Widhiastuti, R. 2002. Pengaruh limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawit yang digunakan sebagai pupuk terhadap sifat biologi dan kualitas air tanah.  Jurnal Penelitian Pertanian.  21(2):105-111.

Winarso, S.  1996.  Pengaruh penambahan bahan organik terhadap pengkhelatan Aluminium oleh senyawa-senyawa humik pada Typic Haplohumult.  Tesis IPB.  130 hal.

Zhang, H., K.H. Hartge, and H. Ringe.  1997.  Effectiveness of  organic matter incorporation in reducing soil compactibility.  Soil Sci. Soc. Am. J.  61:239-245.

Zhang, X.C., and W.P. miller.  1996.  Polyacrylamide effect on infiltrasi and erosion in furrow.  Soil Sci.Soc. Am. J. 60:866-872.