Dua sikap yang dilakukan Ali bin Abi Thalib untuk membersihkan pemerintahan adalah

Konflik yang terjadi antara pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan diakhiri dengan tahkim.

Pihak Khalifah Ali mengutus seorang ulama yang terkenal sangat jujur tetapi tidak baik dalam berpolitik bernama Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan pihak Muawiyah mengutus seorang yang terkenal sangat cerdik dalam berpolitik yaitu Amr bin Ash.

Dalam tahkim tersebut pihak Ali bin Abi Thalib kalah bersaing dengan pihak Muawiyah, karena Amr bin Ash lebih cakap dibandingkan Abu Musa Al-Asy’ari.

Setelah selesai melakukan tahkim, pihak Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima hasil tahkim tetapi tetap setia terhadap Khalifah Ali, dan kelompok yang tidak menerima hasil tahkim tetapi kecewa dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

Mereka yang kecewa terhadap kepemimpinan Ali memilih untuk melakukan perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat dalam tahkim, termasuk Ali bin Abi Thalib.

Muncul kaum Khawarij yang mengeluarkan beberapa pernyataan mengenai orang-orang yang mengikuti tahkim sebagai orang-orang kafir. Sebagai oposisi dalam kekuasaan yang ada, Khawarij berpendapat bahwa Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib telah keluar dari ajaran Islam karena kebijakan-kebijakannya, termasuk karena melakukan tahkim.

Selain kedua khalifah tersebut, khawarij memandang pemimpin-pemimpin lain pun telah menyeleweng dari Islam, di antaranya Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, dan mereka yang mendukung tahkim.

Peristiwa tahkim memang menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para sahabat, banyak pengikut Ali bin Abi Thalib yang tidak setuju dan memilih untuk tidak mendukung Khalifah Ali. Pemerintahan Ali dibuat repot oleh tindakan-tindakan pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Khawarij.

Hal tersebut dimanfaatkan oleh Muawiyah untuk menduduki wilayah Mesir. Akibatnya perekonomian pemerintahan Khalifah Ali mulai terganggu, mengingat Mesir menjadi sumber pendapatan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.

Akhirnya perselisihan antara pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah diselesaikan dengan pemberian kekuasaan Syria kepada Muawiyah, dan Khalifah Ali tidak melanjutkan penyerangan terhadap pihak Muawiyah. Hal itu disebut oleh beberapa pihak sebagai kegagalan dari pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh banyak pihak, seperti di wilayah Bashrah, Mesir, dan Persia, telah membuat kekuasaan Ali menjadi lemah, sedangkan Muawiyah bertambah kuat. Pihak Muawiyah berhasil memanfaatkan penurunan pemerintahan Ali sebagai kekuatan bagi mereka untuk membangun kekuasaan baru.

Semakin banyak pihak-pihak yang tidak mendukung Khalifah Ali untuk kembali bangkit membangun pemerintahannya. Ditambah semakin berkurangnya pemasukan dari setiap daerah kekuasaan pemerintahan Ali yang mulai membangkang, telah membuat kekuatan Khalifah Ali sulit untuk kembali.

Berbeda dengan pihak Khalifah Ali, pihak Muawiyah semakin kuat posisinya karena banyak didukung oleh rakyat dan sumber daya alam di sekitar wilayah Mesir dan Syria.

Ali bin Abi Thalib adalah jenderal perang yang gagah berani, dan seorang diplomat yang jujur, sedangkan Muawiyah adalah seorang diplomat yang cerdik dan pintar. Namun, Muawiyah akan memainkan sebuah strategi yang cukup licik apabila jalan peperangan sudah tidak bisa ia tangani.

Hal itu terlihat ketika Muawiyah menuduh pihak Ali bin Abi Thalib sebagai dalang dari terbunuhnya Khalifah Utsman. Dia memanfaatkan situasi ketegangan di antara umat Islam untuk menjatuhkan kekuatan Khalifah Ali di mata umat.

Sebuah rencana pembunuhan dilakukan oleh kaum Khawarij yang tidak suka dengan keputusan Ali bin Abi Thalib. Dikisahkan, salah seorang pengikut Khawarij, bernama Abdurrahman, memberikan sebuah pukulan yang hebat kepada Ali bin Abi Thalib ketika ia akan melaksanakan adzan di Masjid. Pukulan itu membuat Khalifah Ali mengalami luka yang fatal, dan wafat pada 17 Ramadhan 40 H.

Sumber : Supriyadi, Dedi. 2016. Sejarah Perdaban Islam. Bandung : Pustaka Setia

Salah satu kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib adalah sikapnya ke musuh.

Republika

Sikap Belas Kasih Ali bin Abi Thalib ke Musuh. Foto: Sahabat Nabi (Ilustrasi)

Rep: Imas Damayanti Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Khalifah keempat Islam Sayyidina Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai sosok yang bijaksana. Salah satu kebijaksanaan beliau nampak ketika beliau dihadapkan dengan musuhnya dalam peperangan.

Baca Juga

Dalam buku Struktur dan Makna Matsnawi Rumi karya Sayed G. Safavi dijelaskan, ketika umat Islam menang dalam peperangan melawan kaum kafir, Sayyidina Ali bin Abi Thalib segera menjatuhkan pedang dari tangannya.

Sikap ini kemudian mengundang tanya bagi orang kafir. Seorang kafir bertanya: “Ketika kau telah menang atasku, mengapa kau jatuhkan pedang dari tanganmu? Bicaralah wahai, Ali. Sehingga jiwaku bisa berputar seperti janin,”.

Sayyidina Ali kemudian menjawab: “Janin tidak bisa berputar ketika berada di bawah kendali bintang-bintang sampai ia berputar menghadap matahari yang memberkati jiwanya. Bagaimana matahari melakukannya? Matahari memiliki banyak cara rahasia yang digunakannya untuk mengubah alam,”.

Kemudian, seorang kafir itu terkagum-kagum dan berbicara: “Katakan selanjutnya, wahai pangeran elang, mengapa belas kasih dapat menggantikan dendam?”. Inilah titik kalimat yang berbentuk pertanyaan namun sejatinya adalah sebuah pernyataan tentang kekaguman seorang kafir kepada kebijaksanaan Sayyidina Ali.

  • ali bin abi thalib
  • sahabat nabi
  • kisah sahabat nabi
  • muhammad saw

Dua sikap yang dilakukan Ali bin Abi Thalib untuk membersihkan pemerintahan adalah

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...