Langkah apa saja yang dilakukan pemegang mandat Supersemar dalam mengendalikan keamanan negara

Merdeka.com - Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret mengubah sejarah Indonesia untuk selamanya. Surat itu berisi perintah dari Presiden Soekarno untuk Letnan Jenderal Soekarno, Panglima Angkatan Darat. Isinya pemberian wewenang untuk memulihkan keamanan dan ketertiban setelah peristiwa G30S PKI.

Secarik surat perintah itulah yang mengubah peta politik di Indonesia secara drastis. Atas wewenang yang diberikan, Soeharto langsung mengambil alih komando. Dia membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menangkapi orang-orang yang dicurigai terlibat gerakan 30 September. Termasuk para menteri yang loyal pada Presiden Soeharto.



Surat susulan dari Presiden Soekarno yang memprotes pembubaran parpol tak digubris Soeharto. Dia terus bergerak, termasuk membubarkan Resimen Tjakrabirawa. Satuan elite pengawal Presiden Soekarno. Setelah Supersemar diteken, kekuasaan Soekarno meredup dan sebaliknya Soeharto menjadi orang paling berkuasa di Indonesia.

Supersemar terjadi pada 11 Maret 1966, tiga jenderal utusan Letnan Jenderal Soeharto menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor. Brigadir Jenderal M Jusuf, Brigadir Jenderal Amirmachmud dan Brigadir Jenderal Basuki Rahmat.

Banyak versi beredar soal bagaimana situasi di Istana Bogor saat Soekarno menyambut tiga jenderal itu. Ada yang mengatakan Soekarno ditodong pistol. Ada juga yang menyampaikan Soekarno secara sukarela membuat surat perintah untuk Letjen Soeharto.

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) memiliki tiga versi Supersemar yang berbeda. dari ketiganya, tak satu pun yang diyakini 100 persen asli. Selama ini yang dipercaya sebagai kebenaran adalah versi Angkatan Darat. Tapi itu pun diyakini bukanlah naskah asli yang diserahkan Soekarno pada Soeharto. ANRI telah menghabiskan waktu belasan tahun untuk mencari keberadaan surat tersebut. Namun masih nihil.

Berikut isi Supersemar seperti versi yang banyak beredar semasa Orde Baru

1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.

2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.

3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.

Sejarawan Anhar Gonggong meyakini naskah Supersemar asli disimpan oleh Soeharto. Menurut Anhar, Supersemar adalah hal yang sangat penting bagi terciptanya kekuasaan Soeharto. Tentu Presiden Soeharto tak akan merelakan jika hal itu dipegang oleh orang lain.

2 dari 3 halaman

Langkah apa saja yang dilakukan pemegang mandat Supersemar dalam mengendalikan keamanan negara
m jusuf. ©2017 buku. jenderal m jusuf panglima para prajurit

Versi mantan Panglima TNI Jenderal M Jusuf soal naskah Supersemar. Menurutnya saat itu, Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur mengetik surat ini dengan karbon rangkap tiga (Cara lama untuk menggandakan surat dengan mesin ketik). Surat pertama diserahkan dan ditandatangani Presiden Soekarno.

Surat itulah yang kemudian dikenal sebagai naskah asli yang diserahkan Brigjen Basuki Rachmat pada Jenderal Soeharto.

Setelah diserahkan pada Soeharto, naskah itu tak pernah lagi terlihat.??Kopi kedua disebut disimpan oleh Brigjen Sabur. Sementara kopi surat ketiga diambil oleh Jenderal M Jusuf.

Baik kopi kedua dan ketiga ini tak pernah ditandatangani oleh Presiden Soeharto.??Namun soal surat itu tak pernah disinggung-singgung lagi oleh Jenderal M Jusuf. Sampai kematiannya pun, dia tak pernah membahasnya.

"Kalau surat yang asli sudah dibawa Basuki (Rachmat) ke Soeharto. Jadi jangan kau tanyakan lagi padaku," kata dia dalam biografinya, Panglima Para Prajurit yang ditulis Atmadji Sumarkidjo.

3 dari 3 halaman

Langkah apa saja yang dilakukan pemegang mandat Supersemar dalam mengendalikan keamanan negara
G30S PKI. wordpress.com

Tanggal 12 Maret 1966, sehari setelah mendapat perintah Supersemar, Letjen Soeharto bergerak membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI).  Dengan mengatasnamakan Presiden Soekarno, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 perihal pembubaran PKI.  Isinya, membubarkan PKI dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi underbouwnya.Kedua, Soeharto menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. Yang dijadikan dasarnya adalah SIdang Mahmilub tentang keterlibatan PKI dalam peristiwa Gerakan 30 September.Presiden Soekarno sempat mengirimkan surat kedua yang berisi protes. Surat itu mengingatkan Soeharto wewenangnya hanya pada pemulihan keamanan dan ketertiban, bukan membubarkan partai politik. Namun tak ada respons dari Soeharto.Sejarawan Asvi Warman Adam menyebutkan setelah Supersemar kekuasaan Soekarno mulai diciutkan. Letjen Soeharto terus melanjutkan manuvernya.

“Kemudian dibubarkan juga Tjakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden. Itu kan 3000 orang dibubarkan. Kemudian 15 orang Menteri di tangkap. Itu juga dalam rangka, mengurangi kekuasaan Soekarno.,” kata Asvi beberapa waktu lalu.

(mdk/ian)

Baca juga:
Aksi Desak Penyitaan Aset Supersemar
ICW Nilai Pemerintah Jokowi Tak Serius Ungkap Dugaan Korupsi Soeharto
Jelang Penyitaan, Gedung Granadi Dijaga Ketat Kepolisian
Jaksa Agung minta Tommy Suharto serahkan Gedung Granadi
Sejarah 'Supersemar' dan kukuhnya Tommy Soeharto jadi Ketum Partai Berkarya
Supersemar versi Jenderal M Jusuf & debat panas pembubaran PKI

Surat Perintah Sebelas Maret, lebih dikenal dengan singkatannya Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966 yang memberikan mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), untuk mengambil segala tindakan yang "dianggap perlu" untuk mengatasi situasi keamanan dan kestabilan pemerintahan yang buruk pada masa pembersihan setelah terjadinya Gerakan 30 September.

Langkah apa saja yang dilakukan pemegang mandat Supersemar dalam mengendalikan keamanan negara
Surat Perintah Sebelas Maret

Versi militer dari dokumen Supersemar

Ratifikasi11 Maret 1966LokasiTidak diketahuiPenandatanganSoekarnoTujuanUntuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam mengatasi situasi keamanan, kestabilan pemerintahan, dan jalannya proses revolusi

Sebagai akibat dari berlakunya, Supersemar menjadi penanda peralihan kekuasaan Orde Lama yang dipimpin Soekarno ke Orde Baru yang dipimpin Soeharto.[1]

Pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965, sebuah kelompok TNI yang menamakan dirinya Gerakan 30 September membunuh enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat, merebut kendali sementara di beberapa bagian pusat Jakarta, dan mengeluarkan sejumlah keputusan melalui Radio Republik Indonesia dalam percobaan kudeta.[2] Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang atas percobaan kudeta tersebut. Tiga hari setelah peristiwa tersebut, Soekarno menunjuk Soeharto, saat itu sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, untuk mengambil langkah memulihkan keamanan negara yang mulai tidak stabil. Soeharto meresponnya dengan membentuk Kopkamtib dan menggelar operasi untuk menyingkirkan PKI di berbagai daerah.[3]

Ketika Soekarno melantik Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan di Istana Merdeka, di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa menentang pelantikan, terlihat pergerakan pasukan tanpa lencana di sekitar Istana. Pasukan ini belakangan diketahui merupakan Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang hendak menahan menteri-menteri yang diduga terlibat dalam Gerakan 30 September. Soekarno disarankan untuk meninggalkan pertemuan dan kemudian melakukannya dengan pergi ke Istana Bogor, 60 km selatan Jakarta, dengan helikopter. Sore harinya, tiga jenderal TNI, Mayor Jenderal Basuki Rahmat, Brigadir Jenderal M. Jusuf, dan Brigjen Amirmachmud mengunjungi Sukarno dan pergi dengan Supersemar yang ditandatangani yang kemudian mereka berikan kepada Soeharto. Keesokan harinya Suharto menggunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya untuk melarang PKI, dan pada tanggal 18 Maret, lima belas menteri yang loyal terhadap Soekarno ditangkap.[4][5][6]

Pada Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) memilih untuk mencabut kekuasaan Sukarno dan menunjuk penjabat presiden Suharto. Pada tahun 1968 MPRS menghapus kata 'penjabat' dan lebih dari dua tahun setelah peristiwa September 1965 Soeharto menjadi presiden Indonesia. Proses pengalihan kursi kepresidenan dari Sukarno ke Soeharto memakan waktu selama dua tahun. Suharto tetap berkuasa sebagai presiden sampai ia mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.[2]

  • Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "Lho ini kan perpindahan kekuasaan". Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan di mana karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia. Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
  • Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
  • Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka, Jakarta untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap diistana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Dan menurutnya mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari istana merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta izin untuk datang ke Bogor. Dan semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di luar istana sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi yangdatang ke Istana Bogor tidak ada Jendral Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir.
  • Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
  • Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.

Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, ANRI telah berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) M. Jusuf, yang merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Lembaga ini juga sempat meminta bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, dan M. Saelan, bahkan meminta DPR untuk memanggil M. Jusuf. Sampai sekarang, usaha ANRI itu tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan Presiden Soeharto pada 27 Januari 2008, membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap.

  • Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966

  1. ^ Ramadhani, Nurul Fitri (11 Maret 2022). "Pakar menjawab: misteri Supersemar, kronologi yang janggal dan naskah asli yang tidak pernah ditemukan". The Conversation. Diakses tanggal 12 Maret 2022. 
  2. ^ a b Ricklefs (1982) p. 269
  3. ^ Maarif, Syamsul Dwi (10 Maret 2022). "Supersemar adalah Surat Perintah 11 Maret 1966: Isi dan Sejarahnya". Tirto.id. Diakses tanggal 12 Maret 2022. 
  4. ^ Ricklefs (1982) pp. 274-275
  5. ^ Schwarz (1999) p. 25
  6. ^ Crouch (2007) pp. 187-192

  • Bachtiar, Harsja W. (1988), Siapa Dia?: Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Penerbit Djambatan, Jakarta, ISBN 979-428-100-X
  • Center of Information Analysis (CIA [sic]) (1999), Kontoversi Supersemar (The Supersemar Controversy), Yogyakarta, ISBN 979-9222-10-9
  • Chaniago, Asmid Kamal & Yusmar Basri, IPS Sejarah untuk kelas 1–3 SLTP: dikembangkan dan disesuaikan dengan kurikulum SLTP/GBPP 1994, Yudhistira, ISBN 979-453-588-5
  • Crouch, Harold (2007), The Army and Politics in Indonesia, Equinox Publishing, Singapore, ISBN 979-3780-50-9
  • Djamaluddin, Dasman, (1998), General TNI Anumaerta Basoeki Rachmat dan Supersemar, Grasindo, Jakarta, ISBN 979-669-189-2
  • Dwipayana, G and Sjamsuddin, Nazaruin (eds) (1991), Jejak Langkah Pak Harto: 1 Oktober 1965 – 27 Maret 1968 , PT Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta, ISBN 979-8085-02-7
  • Hanafi A.M. (1999), Menggugat Kudeta: Jend. Soeharto dari Gestapu ke Supersemar, Yayasan API, Jakarta
  • Martowidjojo, H.Mangil (1999), Kasaksian Tentang Bung Karno 1945–1967, Grasindo, Jakarta, ISBN 979-669-519-7
  • Pambudi, A. (2006), Supersemar Palsu: Kesaksian Tiga Jenderal, Media Pressindo, Jakarta ISBN 979-22-2137-9
  • Ricklefs (1982), A History of Modern Indonesia, Macmillan Southeast Asian reprint, ISBN 0-333-24380-3
  • Saelan, H.Maulwi (2001), Dari Revolusi '45 Sampai Kudeta '66, Yayasan Hak Bangsa, Jakarta, ISBN 979-96535-0-9
  • Shwarz, Adam (1999), A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability, Allen & Unwin, ISBN 1-86508-179-5
  • Sekretariat Negara Republik Indonesia (1985) 30 Tahun Indonesia Merdeka 1965–1973, 6th reprint

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Surat_Perintah_Sebelas_Maret&oldid=20830742"